Share

3. Masa Lalu, Masa Kini

“Sejarah adalah perpaduan tiga dimensi waktu. Yakni, masa lalu, masa kini dan masa depan. Hari ini tidak mungkin kalau tidak melalui masa lalu. Dan masa depan tidak akan ada kalau bukan karena hari ini. Sejarah ditulis oleh mereka yang menang di masa lalu. Tetapi masa depan diciptakan oleh kita yang berjuang di masa kini. Seperti orang yang amnesia, orang yang tidak mau belajar sejarah akan kehilangan arah dan pijakan. Karena sejarah menyangkut jati diri dan identitas seseorang atau bangsa."

Kepiawaian Lambang menjelaskan membuat semua murid serius mendengarkan. Tiba-tiba Brian yang duduk di pojok kanan depan mengangkat tangannya.

"Seperti sebuah lagu, Bu," ujarnya.

"Lagu apa?"

Brian berdiri dan mendendangkan sebuah lagu. "Aku bagai nelayan. Yang kehilangan arah. Dan tak tau ke mana, ho wo woo.  Ku harus bersandar."

"Huuu!" 

Cibiran dari teman sekelas membuat Brian sigap melindungi badan dengan tangannya dari serangan lemparan kertas dari teman-temannya. 

"Kenapa? Apa aku salah kata? Maaf, maaf," kata Hadi sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dahi.

"Sudah, Anak-anak! Diam semua!"

Lambang menyudahi keributan yang diciptakan Brian.  Dia tersenyum geli melihat tingkah anak didik yang menurutnya sangat lucu.

"Brian tidak bersalah. Dia hanya mengaitkan sejarah dengan lagu yang dia suka. Berarti dia menyimak apa yang saya jelaskan. Hanya saja caranya menangkap materi pelajaran terbilang unik."

"Dia memang suka bernyanyi, Bu. Waktu makan, dia bernyanyi. Waktu mandi, bernyanyi. Bahkan mungkin ketika tidur pun dia bernyanyi," celetuk teman sebangkunya yang bernama Ricky.

"Kalo begitu, gimana kalo sekarang kita minta Brian ke depan untuk bernyanyi? Sekali-kali nggak apa-apa ada hiburan supaya tidak tegang," usul Lambang.

"Setujuuu!" teriak seisi kelas dengan kompak.

Brian terpaksa maju dengan malu-malu. Tangannya menggaruk kepala, kemudian dia sadar kalo baru kemarin kepalanya dicukur plontos. Tak ayal tingkahnya membuat semua yang ada di dalam kelas tertawa terbahak-bahak. 

Termasuk Lambang yang hari itu bisa tertawa lepas setelah sekian purnama dia lupa cara tertawa. Brian menunggu hingga mereka selesai tertawa. Kemudian dia bernyanyi sambil menggerakkan tangannya bak artis ternama.

"Karena wanita ingin dimengerti. Lewat tutur lembut dan laku agung. Karena wanita ingin dimengerti. Manjakan dia dengan kasih sayang."

Suara Brian membuat seluruh kelas bertepuk tangan dengan meriah. Tidak terasa, bel istirahat sudah berbunyi. Lambang mengakhiri kegiatan mengajar setelah mengingatkan anak didiknya untuk membaca materi minggu depan. Usai mengucap salam dia keluar kelas menuju ruang guru. 

Siang ini cuaca terlihat cerah.  Lambang berencana untuk pergi ke perpustakaan daerah guna memperkaya pengetahuannya mengenai sejarah. Dia merasa dunia pendidikan adalah jiwanya. Bersama anak didiknya bisa tertawa lepas tanpa beban.  Tidak ada lagi yang diinginkan selain mengajar dan mengajar. Karena itu, dia merasa perlu untuk mencari referensi materi.

Lambang sudah bersiap pergi ke perpustakaan saat adiknya datang. 

"Mau ke mana mbak?" tanya Nameera sambil mencium tangannya.

"Mau ke Perpusda."

"Naik apa? Aku antar, yuk!"

"Nggak usah. Lagian kamu juga baru datang," tolak Lambang.  Tali sepatu berwarna biru dia ikat dengan rapi di kakinya.

"Nggak apa-apa, Mbak. Ayo, sebentar saja, kok!" Nameera tetap memaksa.

"Ayo, dah!" 

Akhirnya Lambang mengikuti perempuan manis itu naik sepeda motor dan duduk di belakangnya. Setelah berpamitan pada ibunya, Nameera memutar gas pada tangan kanan. Honda Prima itu berjalan melewati Jalan Hasan Assegaf yang tidak begitu ramai. 

Meski demikian, Nameera mengendarai dengan kecepatan 40 km/jam karena terkadang banyak anak kecil yang melintas. Jalan ini adalah jalan kampung sebelum menuju jalan utama yang sedikit ramai.

Setelah melewati Jalan Sucipto dan melewati Alun-Alun Kabupaten, Lambang segera turun dari sepeda motor begitu tiba di halaman Perpusda. 

"Kalau sudah mau pulang telepon aku, ya, Mbak?" pinta Nameera sebelum memutar arah.

"Nggak usah. Aku belum tahu mau pulang jam berapa."

"Oke, deh." 

Nameera memutar sepeda motornya meninggalkan Lambang yang segera berjalan memasuki Gedung Perpusda.  Seorang petugas menyambutnya ramah di pintu masuk. Karena Lambang belum mempunyai kartu anggota, dia menyerahkan KTP sekaligus meminta pada petugas untuk dibuatkan kartu anggota.  Lambang merasa perlu sering-sering ke tempat ini untuk memperkaya pengetahuannya mengenai sejarah.

Proses pembuatan kartu anggota tidak memakan waktu lama, sehingga Lambang bisa segera mencari buku yang ingin dibaca. Pengunjung perpustakaan ini tidak begitu banyak.  Hanya ada beberapa remaja yang terlihat seperti murid SMP. Mungkin mereka mengerjakan tugas sekolah.

Lambang menemukan buku yang dia cari. Sambil berjalan menuju ruang baca, dia membuka-buka buku bersampul gambar sebuah pendopo. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Nameera, adiknya. Sejak Lambang pulang ke kota kelahirannya, Nameera begitu peduli dan perhatian. Apa yang Lambang butuhkan sebisa mungkin dipenuhi olehnya. Sementara, Lambang sangat acuh tak acuh terhadap adik semata wayangnya itu.

***

"Lambang, jangan bermain saja! Jaga adikmu!" suruh Ibu.

Lambang menuruti perintah Ibunya dengan setengah hati. Hal yang paling dibenci adalah disuruh menjaga adik.  Padahal, dia sangat ingin bermain dengan teman-temannya di sungai.  Mengulang keseruan mereka kemarin yang menemukan batang pisang hanyut.  Beramai-ramai mereka menaiki batang pisang itu sambil tertawa kegirangan layaknya sekelompok pendayung sedang mengikuti kejuaraan.

Kadang mereka berlomba kekuatan bertahan di atas batang pohon pisang dengan cara menjatuhkan yang lain. Teman yang bisa bertahan duduk lebih lama itulah pemenangnya. Akibat sering bermain di sungai, mereka semua pandai berenang. Berenang tepat di bawah pintu air adalah kesenangan mereka. 

Lambang memandang adiknya dengan hati dongkol. Anak kecil yang berusia tiga tahun itu bermain boneka plastik yang ibu beli di pedagang mainan saat ada hajatan tetangga dekat rumah. Lambang merebut boneka dari tangan gadis cantik itu dan melemparnya ke kaki kursi. Sontak Nameera menangis dan berusaha mengambil kembali boneka yang sulit dia raih. 

Ibu datang mendekat dan memarahi Lambang. Dia meraih Nameera kecil ke dalam pelukannya dan ditenangkan. Boneka di bawah kursi diambil dan diberikan pada gadis berkulit putih itu. Tiba-tiba teringat masakan di dapur masih ada di atas kompor. Bergegas sambil menggendong Nameera kakinya melangkah menuju dapur.

Lambang merasa ada kesempatan untuk keluar rumah.  Setengah berjingkat dan membuka pintu perlahan, kemudian ditutup kembali dengan sangat hati-hati tanpa menimbulkan suara.  Tiba di halaman dia berlari kegirangan seakan-akan terbebas dari kurungan. 

Teman-temannya yang sebagian besar laki-laki menyambut gembira kedatangan Lambang dengan menunjukkan dua buah batang pisang yang mereka temukan. 

***

Memory tentang masa kecil bersama adiknya yang tidak begitu akrab sejenak membuat Lambang lupa akan tujuannya ke tempat ini.  Dia segera fokus pada buku di hadapannya. Tangan kiri membuka lembar pertama, sedangkan tangan kanan mengambil buku dan bolpoin dari dalam tas. Kalimat demi kalimat dibaca dengan teliti. Sambil sesekali menulis informasi penting di buku tulisnya. 

Hampir satu jam Lambang berada di perpustakaan. Namun, apa yang dia cari rupanya tidak ada di buku itu. Segera dia berdiri dan mengembalikan buku yang dipegang. Kemudian mencari lagi di antara deretan buku di hadapannya. Seketika indra penglihatannya tertuju pada sebuah buku bergambar bendera kabupaten di pojok kanan atas. 

"Mbak, masih lama? Kami mau tutup," tegur seorang petugas.

"Oh, maaf.  Ini sudah selesai," kata Lambang. 

Perempuan bertubuh subur itu membawa buku yang dia temukan pada petugas perpustakaan untuk dicatat sebagai buku pinjaman. Supaya bisa dibawa pulang untuk dibaca di rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status