Share

4. Cinta Pertama

 Lambang menatap nanar buku yang dia pinjam dari perpustakaan yang kini terbuka di hadapannya. Isi buku setebal seratus halaman itu sudah dia lahap hingga dua kali. Kedua tangan disilangkan di depan dada. Pikirannya menerka-nerka apa yang dia cari mungkin ada di buku lain. Tidak mungkin hal penting tidak tertulis di buku sejarah kabupaten. 

Lambang keluar dari kamar mencari ibunya. Saat langkahnya melewati ruang tamu, terdengar suara sang ibu berada di depan rumah. Sepertinya sedang berbicara dengan tetangga yang lewat. Dia menunggu tetangga itu pergi. Ada yang Lambang ingin tanyakan pada beliau. 

Pembicaraan mereka terdengar sekilas di telinga Lambang. Bu Sumiyati menoleh saat Lambang menyentuh bunga anyelir yang bunganya hampir layu. Dia mengambil alat penyiram bunga yang berada di samping rumah.  Kemudian diisi dengan air dari keran yang terdapat di dekat taman. Bu Sumiyati datang mendekat dengan tangan kiri memegang sapu lidi.

"Siapa dia, Bu?" tanya Lambang. Tangannya menyiram bunga anyelir yang hampir layu.

"Itu tadi Lek Siti. Anaknya mau menikah dua minggu lagi. Ibu diminta bantu buat kue," jelas Bu Sumiyati sambil menyapu sampah di sela-sela bunga.

"Bu ...." Lambang menghentikan kegiatannya.

Ibunya menoleh dan sejenak berhenti menyapu. "Ada apa?"

"Berkas-berkas milik bapak masih Ibu simpan?" tanya Lambang dengan nada lembut.

"Masih. Semua ibu kumpulin jadi satu supaya kalo dibutuhkan biar mudah mencarinya." Bu Sumiyati berjongkok mencabut rumput yang mengganggu pertumbuhan bunga.

"Aku boleh pinjam sebentar? Ada kaitannya dengan materi yang aku ajarkan pada murid. Mungkin ada beberapa yang aku butuhkan untuk difotokopi. Setelah itu akan kukembalikan lagi ke tempatnya," janji Lambang.

"Ambil sendiri saja. Ada di dalam lemari di bagian atas. Ibu bungkus dengan plastik," katanya. 

Lambang menghentikan kegiatannya. Dia mengambil berkas di tempat yang ditunjukkan ibunya. Pintu kamar dari kayu jati itu dia buka. Seketika aroma bunga sedap malam menguar terhirup hidungnya. Bunga kesukaan sang ibu itu hampir setiap hari ada dalam kamar. Dipetik dari taman bunga di depan rumah.

Lambang menghampiri lemari yang dimaksud. Dia buka pintu lemari dan mencari bungkusan plastik di bagian atas. Tangan kanannya menjangkau bungkusan itu dan memeriksa isinya. Kemudian dia tutup kembali pintu lemari dan bergegas pergi ke kamarnya untuk mempelajari berkas-berkas milik bapaknya.

Sebuah foto terlihat di antara lembaran-lembaran dokumen penting itu. Seorang pria bermata tajam dan berambut hitam tersenyum manis di foto itu. Kumis yang melintang semakin menambah kharisma di wajahnya. Lambang mengusap wajah pria di dalam foto dengan tangan kanan. Ada sesak di dada menahan kerinduan terhadap pria berkulit eksotis itu.

***

Malam yang semakin larut tidak membuat Lambang beranjak pergi ke pembaringan.  Sejak pukul sembilan malam dia menemani pria berkumis yang bernama Koeswadi itu duduk di depan kanvas. Kegiatan yang sangat dia sukai dan selalu ditunggu setiap malam. Tangan pria itu menari-nari membentuk sketsa, pikirannya berimajinasi, sambil bercerita pada anak gadis yang duduk di sampingnya.

"Bapak ingin kamu merenungkan hal ini dalam hidup. Jadilah manusia yang berhasrat kuat untuk mewujudkan cita-cita mulia. Agar tidak tenggelam dalam angan-angan dunia semata. Jadilah manusia yang terus belajar untuk tampil apa adanya. Agar mampu berdiri di tengah badai kehidupan dan mengasihi mereka yang tidak berdaya. Jadilah manusia yang berhati bersih dan bercita-cita tinggi. Agar sanggup memimpin dirimu sendiri, sebelum diberi kesempatan memimpin orang lain. Dan jadilah manusia yang cukup kuat untuk tahu kelemahanmu. Agar berani menghadapi apapun yang terjadi pada diri sendiri, bukan pada orang lain."

"Iya, Pak. Tenang saja, aku akan jadi anak yang kuat dan berani," ujar gadis berusia sepuluh tahun itu dengan bangga.

"Kamu sudah memahami artinya cinta tanah air?" tanya Koeswadi pada putrinya.

"Mmm, rela mengorbankan apa yang dimiliki untuk keutuhan tanah air kita, ya, kan?" Gadis berkulit sama dengan bapaknya itu tersenyum lebar. 

Koeswadi menoleh mendengar jawaban putrinya dan tertawa hingga tampak deretan gigi putihnya yang tetap rapi meski dimakan usia. Sementara, tangannya masih lincah bergerak di atas kanvas.

"Tidak hanya itu. Tetapi, imbangilah dengan sikap dan perbuatan yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan terhadap bangsa. Kamu lahir di kabupaten ini, maka kamu harus setia pada tanah kelahiranmu dengan memberikan apa yang bisa kamu berikan. Misalnya, kamu berbakat di bidang olahraga. Berikanlah prestasi terbaikmu demi nama baik kabupaten. Maka kamu akan membawa kabupaten ini terkenal hingga ke daerah lain berkat prestasi di bidang olahraga."

Lambang mengangguk paham. Diamatinya kelihaian tangan pria berusia 37 tahun itu dalam mencampur warna. Dia sangat menyukai cara kerja bapaknya yang seorang seniman lukis. Tetapi, tidak banyak yang mengakui kehebatan seniman itu selain teman-teman kerjanya.

"Kenapa, sih, Bapak suka melukis?"

Koeswadi menatap lukisannya sejenak sebelum menjawab pertanyaan putrinya yang cerdas. 

"Melukis ibarat gambaran hati. Apa yang kita tuangkan ke dalam lukisan, itulah gambaran hati kita saat itu," jelas Koeswadi sambil mencampur warna dalam palet.

"Bapak sekarang sedang menggambar suasana pedesaan di pagi hari. Jadi, hati Bapak lagi senang, cerah seperti matahari di pagi hari. Begitu, Pak?" tebak Lambang dengan pandangan bola matanya yang lucu.

Koeswadi tertawa. Dia menatap lukisannya dari berbagai sudut pandang. Sesekali dia menambahkan gradasi warna gelap di sudut-sudut objek tertentu.

"Pak, apa dengan melukis juga bisa memberikan yang terbaik untuk kabupaten?" tanya Lambang dengan sikap ingin tahu.

"Kenapa tidak? Sangat bisa. Kamu tahu, nggak? Bendera kabupaten yang selalu terpasang di pendopo?"

Lambang mengangguk. "Kata Bu Guru, itu adalah lambang kabupaten kita yang juga terpasang pada baju seragam dinas Bapak, kan?"

"Anak pintar," ujar Koeswadi sambil mengelus rambut putrinya.

"Tahu, nggak, siapa yang menciptakan gambar di bendera itu?" lanjut pria berkumis itu.

Lambang menggeleng. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Koeswadi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

"Besok saja ceritanya. Sekarang sudah larut malam. Besok pagi kamu harus sekolah." Koeswadi menepuk pundak Lambang dan mengecup pucuk kepalanya.

Lambang menurut, meskipun hatinya ingin mendengar cerita mengenai gambar di bendera kabupaten malam ini. Dia tidak berani melawan pria yang menjadi cinta pertamanya itu. 

***

"Ketemu, Nak?" 

Suara ibu yang tiba-tiba muncul di pintu kamar mengejutkan Lambang dari lamunannya di masa lalu. Dengan cepat dia menghapus air mata di pipinya.

"Ketemu, Bu. Ini sudah aku ambil," katanya sambil menunjukkan bungkusan plastik hitam pada ibunya.

"Ya, sudah. Ayo makan dulu! Ada pepes ikan dan sayur bening kesukaanmu."

Begitu mendengar kata pepes ikan, Lambang tidak bisa menunda-nunda lagi untuk segera melahapnya. Dengan riang dia mengikuti perempuan berkaca mata itu menuju dapur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status