Share

6. Ketika Bapak Pergi

"Gagal dalam kemuliaan lebih baik dari pada sukses dalam kehinaan." (Koeswadi).

Motto dari ayah tercinta sudah Lambang ketik pada lembar skripsinya. Revisi pada bab hasil dan pembahasan sudah diselesaikan. Rencananya besok mau diserahkan pada dosen pembimbing. 

Namun, perkuliahan kampus sudah memasuki masa libur semester ganjil. Jadi, dosennya meminta untuk menunda bimbingan skripsi sampai selesai liburan. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan selama liburan, Lambang memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumah. 

Itulah sebabnya dia menuntaskan revisinya malam ini. Besok pagi dia akan menaiki bus pertama menuju kota kelahirannya. Setelah menyimpan mesin ketik di lemari bagian bawah, mahasiswi semester akhir itu melepas penat di kasur lantai. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halus mengiringi tidurnya yang lelap.

Azan Subuh baru saja usai dikumandangkan. Lambang segera mengerjakan ibadah salat Subuh dengan khusyuk. Dinginnya udara pagi tidak menghalangi Lambang untuk berangkat ke terminal setelah shalat Subuh. Bus pertama berangkat pukul lima pagi. Penumpang bus yang masih sepi membuat Lambang leluasa memilih tempat duduk. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, Lambang tiba di kota kelahirannya. 

Bapak dan ibunya sangat gembira dengan kedatangan Lambang. Dengan begitu, suasana terasa lengkap bersama kedua anak mereka. Ketika makan bersama, acap kali muncul cerita-cerita dari anak-anak mereka. Membuat suasana terasa hangat.

Selama liburan di rumah, Lambang membantu ibunya mengerjakan pesanan nasi kotak bersama Nameera yang kebetulan juga sedang libur. Biasanya pegawai pemerintahan sering memesan nasi untuk makan siang. Banyak orang yang cocok dengan masakan ibu Lambang. Sehingga, semakin banyak pesanan yang harus dibuat.

Lambang memandang wajah bapaknya yang terlihat pucat dan lelah, saat mau berangkat bekerja di Departemen Penerangan Kabupaten.

"Bapak kenapa? Kok, terlihat lemas?" tanya Lambang dengan suara yang menyiratkan kekhawatiran.

"Iya, Bapak merasa capek," jawab pria yang bernama Koeswadi itu.

"Aku antar, ya? Pake sepeda motor," Lambang menawarkan diri untuk mengantar bapaknya ke kantor.

"Jangan!" sahut pria yang berusia 51 tahun sambil mengibaskan tangan.

"Panggilkan becak saja."

Lambang segera menuruti permintaan bapaknya. Kebetulan becak di pangkalan ada yang sudah siap mengantar penumpang. Begitu bapaknya berada di atas becak, pandangannya tidak pernah lepas dari Lambang. Tidak seperti biasanya bapak seperti ini, kenapa, ya? Lambang bertanya dalam hati. 

Dia merasa berat melepas bapaknya ke kantor pagi ini. Dia memandang kepergian Pak Koeswadi hingga becaknya berbelok di depan gang.  Namun, belum sampai lima belas menit, becak itu kembali membawa bapaknya dalam keadaan lunglai. 

"Bapak kenapa? Bapak kenapa?"

Lambang dengan cepat menghampiri becak itu dengan derai air mata.

"Bapak tidak bisa berjalan," kata Pak Koeswadi dengan raut wajah kesakitan. 

Lambang memanggil ibu dan adiknya, kemudian meminta tolong tetangga untuk membopong bapaknya ke dalam rumah. Perasaan Lambang sudah tidak karuan. 

"Ya, Allah, tolong selamatkan bapakku," doanya sambil terus menangis. 

Adik dan ibunya tak kalah bersedih melihat kondisi pemimpin keluarga itu. Lambang segera memanggil seorang mantri bertempat tinggal di depan rumahnya. Kebetulan beliau ada di rumah. Ketika Lambang memanggilnya dengan menangis, dia segera mengambil peralatan medisnya dan melakukan pertolongan pada Pak Koeswadi. Dia memeriksa denyut nadi dan tekanan darah. Berdasarkan hasil pemeriksaan, tekanan darahnya hanya enam puluh, sangat rendah.

"Mbak, Pak Koeswadi kondisinya sangat menurun. Tolong segera dibawa ke rumah sakit. Sebentar, saya panggilkan ambulans," kata Pak Mantri sambil menghubungi pihak rumah sakit dengan ponselnya.

Tidak lama kemudian ambulans datang. Lambang segera masuk bersama bapaknya. Ibu dan adiknya menyusul naik di belakang Lambang. Pak Mantri memberi secarik kertas berisi nomor ponselnya untuk Lambang. Supaya ketika terjadi sesuatu, Lambang bisa menghubunginya. Di dalam ambulans, Pak Koeswadi memegang erat tangan Lambang.

"Sabar, ya, Pak. Bapak harus kuat," ujar Lambang memberi semangat. "Bapak harus melihat aku wisuda. Aku ingin mempersembahkan wisudaku untuk Bapak."

Pak Koeswadi mengangguk lemah sambil menatap anak kesayangannya dengan sendu. Air mata Lambang terus mengalir tiada henti. Setelah tiba di rumah sakit, petugas segera membawa Pak Koeswadi ke ruang UGD. 

Lambang memohon pada dokter supaya diizinkan menemani bapaknya di dalam. Dokter merasa tidak tega melihat genggaman pria yang terbaring sakit pada tangan anaknya. Sehingga, dia mengizinkan Lambang ikut masuk. Sedangkan ibu dan adiknya menunggu di luar.

Lambang tidak pernah mau melepas genggaman tangan pria yang sangat dikasihinya. Pelan-pelan napas Pak Koeswadi semakin lemah. Dokter menghampiri dan memberikan kejut jantung. 

"Mbak, bisa minta tolong untuk tinggalkan kami?" Dokter itu menyuruh Lambang pergi.

"Jangan, Dokter. Saya tidak mau meninggalkan bapak," pinta Lambang sambil menangis.

Dokter akhirnya mengalah. Lambang terus mengucapkan takbir, tahmid, tahlil dan semuanya dia baca di telinga Pak Koeswadi.

"Bapaaak! Allahu akbar ... Allahu akbar, Bapak! Laa ilaa ha illallaah ...."

Lambang menjerit seakan-akan memanggil nyawa Pak Koeswadi untuk tetap berada di dalam raganya. Dokter melakukan semua yang bisa diusahakan untuk membuat Pak Koeswadi bisa bertahan. Namun, akhirnya dokter tidak bisa menolong. Bapak benar-benar pergi. Lambang sangat terpukul. Inilah pertama kali dia merasa sangat kehilangan. Dia tidak siap.  Benar-benar tidak siap. Orang yang dia sayangi kini dijemput oleh Allah. Pikirannya kalut.

"Mbak, di luar ada ibu dan adik. Tolong tunjukkan kalau Mbak tegar. Jangan terlihat rapuh di depan mereka. Beri semangat! Siapa lagi yang akan menyemangati mereka kalau bukan Mbak. Sampaikan berita ini pada ibu dengan sikap yang tegar, supaya mereka tidak larut dalam kesedihan. Kasihan Bapak jika terus diratapi." tutur Dokter yang baik hati itu menasihati Lambang.

Akhirnya Lambang berusaha tegar. Dia hapus sisa-sisa air mata dengan sikunya. Barulah dia melangkah keluar menuju ibu dan adiknya berada. Tiba di dekat mereka, Lambang menarik napas sejenak. Menahan air mata untuk tidak keluar. Menguatkan hati ketika akan menyampaikan berita duka.

"Ibu ... bapak sudah pergi ke surga," kata Lambang berusaha membuat suaranya tegar.

"Kenapa?" ibu Lambang masih belum memahami perkataan anak sulungnya.

"Bapak sudah meninggal, Bu. Meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya." Lambang mengulangi perkataannya. 

Saat itulah tangis mereka pecah. Ibunya pingsan, sedangkan Nameera menangis sejadi-jadinya. Untunglah beberapa petugas rumah sakit dengan sigap membaringkan wanita berkaca mata itu di kursi panjang. Lambang merangkul adiknya erat-erat.

"Mulai sekarang kita harus siap menerima sebuah kenyataan. Apapun kondisinya kita harus tetap rukun. Sampai kapanpun," bisik Lambang sambil memeluk adiknya.

Nameera mengangguk. Dia yang biasanya manja, mau minta apa selalu disediakan.

"Mbak, nanti kalau aku mau minta apa-apa, aku minta sama Mbak, ya?" kata Diana sambil merangkul Lambang lebih erat.

"Percayalah! Tuhan akan menolong kita. Berubahlah mulai sekarang menjadi dewasa, ya, Dik? Yang penting ibu bahagia. Kita bahagiakan ibu kita."

Nameera setuju.

Lambang segera mengurus semua administrasi saat ibunya siuman. Dia meminjam telepon petugas resepsionis untuk memberi kabar pada Pak Mantri tetangga depan rumahnya, supaya membantu menyiapkan kedatangan jenazah.

Pihak rumah sakit juga mengusahakan yang terbaik untuk keluarga yang ditinggalkan. Petugas ambulans diminta untuk mengantar jenazah dan keluarga ke rumah. Sepanjang perjalanan Lambang tetap memegang tangan bapaknya. 

Tiba di rumah, semua tetangga sudah berkumpul menyambut kedatangan jenazah Pak Koeswadi dengan isak tangis. Beberapa saudara juga sudah datang berkat bantuan Pak Mantri. Mereka menghibur Lambang, ibu dan adiknya. 

Takmir masjid mengurus keperluan jenazah dengan cepat. Mereka bahu membahu dengan pengurus RT/RW dengan didampingi salah seorang perwakilan saudara Psk Koeswadi. Tanpa mengusik Lambang dan ibunya yang masih berduka, sehingga proses pemakaman berjalan lancar.

***

Lambang dan Nameera berubah menjadi wanita yang tegar. Di hadapan ibu, mereka tidak pernah menunjukkan rasa sedih. Saat itu ketika seorang pegawai negeri meninggal, uang pensiun tidak langsung cair. Gaji dihentikan, sehingga mereka tidak punya apa-apa. Biaya hidup pun tidak ada. Lambang memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

"Ibu tidak usah memikirkan kuliahku. Tetapi, aku berjanji kuliahku akan selesai. Ayo bersama-sama bagaimana caranya supaya hidup kita tetap berlanjut." Lambang menguatkan ibunya. "Ibu tidak boleh rapuh. Masih ada aku dan adik yang membutuhkan Ibu."

Bu Sumiyati merenungkan kata-kata anaknya. Dia membenarkan ucapan Lambang. Tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Kehidupan masih terus berlanjut.

Sejak itu Bu Sumiyati mulai bangkit. Beliau mau menuruti saran anak-anaknya dengan berbisnis kecil-kecilan. Mereka membuka warung di depan rumah, menjual nasi urap-urap dengan sambal terong. Nameera pun mulai belajar membuat kue. Mereka bahu membahu untuk saling menguatkan.

***

"Bu Lambang!"

Suara panggilan dari Bu Merlita menyadarkan Lambang dari lamunannya. Sejak menenangkan muridnya yang bersedih karena ayahnya sakit, Lambang terduduk di bangku taman teringat bapaknya. Kondisi muridnya yang mengingatkan dia pada masa lalu di saat bapaknya sakit. 

"Ya, Bu? Maaf, saya terlalu asyik dengan suasana taman yang sejuk," kata Lambang menyembunyikan kesedihannya.

Bu Merlita mengajak Lambang ke ruang guru untuk ikut makan, karena ada salah seorang rekan guru yang berulang tahun. Lambang mengikuti langkah Bu Merlita dan berusaha terlihat biasa seperti tidak terjadi apa-apa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status