Share

7. Perempuan Tegar

Selembar kertas agak tebal terselip di antara dokumen-dokumen milik Pak Koeswadi menarik perhatian Lambang. Dia ambil kertas itu. Tertulis, piagam penghargaan diberikan kepada Koeswadi sebagai juara satu lomba cipta karya lambang kabupaten. Ini dia, batin Lambang. 

Kening Lambang berkerut tanda berpikir keras. Analisisnya sebagai seorang guru Sejarah dan orang yang sangat menghargai sejarah tidak pernah meleset. Almarhum bapaknya adalah salah seorang pelaku sejarah tetapi namanya tenggelam seiring waktu. Ini tidak bisa dibiarkan. 

Bapak harus mendapatkan haknya sebagai salah satu warga yang berkontribusi untuk kabupaten. Minimal bidang kearsipan mencatat namanya. Lambang sudah mencari sekian lama tetapi tidak menjumpai nama bapaknya tercatat di buku sejarah kabupaten. 

Apalagi bapaknya adalah salah satu orang yang berjuang mengembangkan kabupaten ini. Dia bertekad untuk memperjuangkan nama bapaknya yang sudah mempersembahkan hasil karyanya untuk kemajuan kabupaten ini. Supaya masyarakat juga tidak melupakan sejarah. Meski dia belum tahu bagaimana caranya.

Baginya, pengakuan terhadap suatu hasil karya itu sangatlah penting. Banyak fenomena selama ini yang menunjukkan betapa pentingnya sebuah pengakuan. Tanpa pengakuan maka tak jelas kemana arah hidup. Mereka hidup, tapi seakan-akan mati. 

"Nduk!" panggil ibu Lambang dari arah pintu kamar yang terbuka.

"Ya, Bu?" Lambang berdiri dan menghampiri ibunya.

"Ibu ingin ke kuburan bapak, sudah lama tidak ke sana. Kebetulan juga malam ini malam Jumat, waktu yang tepat untuk berziarah." 

"Kalau begitu, aku mau mandi dulu, setelah itu, kita bersama-sama menemui bapak," kata Lambang dengan nada lembut. 

"Ibu tunggu di luar ya? Menunggu Nameera datang. Tadi ibu sudah mengabarinya." 

Lambang mengangguk. Berbicara mengenai bapak membuat hati Lambang mudah tersentuh. Dia bergegas mandi, tidak ingin membuat ibunya menunggu lama. 

Jam dinding menunjukkan pukul empat sore saat Lambang siap berangkat menuju pemakaman. Tangannya membawa buku kecil berisi Surat Yasin, Tahlil dan Doa Ziarah Kubur. Nameera sudah datang sejak Lambang masih mandi. Ibu juga membawa buku Surat Yasin dan sapu lidi yang akan dia gunakan untuk menyapu tempat di sekitar pusara bapak.

Jarak menuju pemakaman kampung tidak terlalu jauh, cukup berjalan kaki sepuluh menit saja sudah sampai. Hari Kamis biasanya orang ramai berziarah.  Di sekitar pemakaman banyak orang berjualan bunga mawar dan melati untuk ditaburkan di pusara kerabat yang meninggal. Lambang membeli dua bungkus plastik dan diserahkan pada Nameera.

Mereka memasuki pemakaman sambil membaca doa.

Setelah melewati beberapa batu nisan, mereka tiba di batu nisan yang bertuliskan Koeswadi bin Koesnein. Lambang bersama adik dan ibunya bersimpuh di dekat pusara. 

Membaca Surat Yasin dan bersama-sama melantunkan doa untuk pria yang sangat mereka cintai yang kini berada di alam yang berbeda. Berharap suatu saat berkumpul kembali di kehidupan yang sebenarnya. Karena hidup di dunia hanyalah sementara.

Seperti yang tertuang dalam firman Allah SWT :

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS Al-Ankabut : 64).

Matahari kian beranjak menuju peraduannya. Lambang mengajak ibu dan adiknya untuk segera meninggalkan pemakaman. Di pintu makam, mereka berpapasan dengan Bu Minah, tetangga sekaligus teman Bu Sumiyati di pengajian yang kebetulan juga sedang berziarah.

"Eh, Bu Sumiyati. Sudah mau pulang, Bu?" sapanya pada ibu Lambang dengan wajah ramah. 

Tangan kanannya mengusap jilbab bagian kanan yang sebenarnya baik-baik saja. Tampak tiga buah cincin emas bertengger di jari-jarinya. Pergelangan tangannya pun dipenuhi lingkaran emas yang berkilau.

"Iya, Bu. Sudah terlalu sore," jawab Bu Sumiyati. Sedangkan kedua anaknya hanya diam sambil tersenyum sopan pada Bu Minah.

"Ini anak Bu Sumiyati yang bernama Lambang yang janda itu, ya? Duh, tambah subur aja. Makanya susah cari laki," ceracaunya sambil tertawa terbahak-bahak. 

Wajah Lambang seketika pias. Ibunya yang mengetahui perubahan pada wajah anak pertamanya segera mengajak mereka bergegas tanpa mempedulikan Bu Minah. 

Nameera merasa tidak enak hati pada mbakyu yang sangat dia sayangi. Dirangkulnya perempuan tegar itu sambil berjalan mengikuti ibu mereka dengan langkah cepat. Sebab senja mulai muncul pertanda harus cepat pulang.

***

Setiap malam sebelum tidur, Lambang terbiasa menulis di buku catatan hariannya. Tentu saja setelah selesai menyiapkan materi pelajaran untuk diberikan pada muridnya esok hari. Dia teringat ucapan Bu Minah di pemakaman tadi. 

Sebenarnya, dia sudah terbiasa dan kebal di-bully siapapun. Justru dia mengkhawatirkan perasaan ibunya. Beliau gampang sensitif dan terbawa perasaan. Sama seperti Nameera yang lemah lembut. Sifat Lambang diperoleh dari bapaknya. Saudara-saudara pun banyak yang mengatakan bahwa Lambang hasil foto kopi sang bapak, baik ciri fisik maupun sifat.

Itulah sebabnya dia memiliki sifat percaya diri yang berlebihan dan tidak pernah cengeng seperti perempuan pada umumnya. Masa SD hingga SMA banyak teman yang menyukai karena keberanian Lambang. Hingga banyak anak laki-laki yang menjadi anak buahnya dengan sukarela. 

Hal inilah yang tidak disukai oleh tetangga-tetangga sekaligus ibu dari anak laki-laki yang menjadi anak buahnya. Mereka menganggap Lambang membawa pengaruh buruk pada anak mereka. Fisik yang tidak menarik pun membuat para ibu melarang anak laki-lakinya menjalin hubungan serius dengan Lambang. Sebab itu, dia tidak pernah mengenal yang namanya debar-debar cinta ketika berdekatan dengan lawan jenis.

***

Sore itu Lambang menjemput kawannya yang bernama Joni. Mereka sepakat berangkat bersama-sama untuk rapat OSIS di sekolah. Berhubung rumah Joni lebih dekat dengan sekolah, maka Lambang mampir ke rumahnya.

"Mau kemana, Jon?" tanya ibu Joni.

"Ada rapat OSIS di sekolah."

"Sini, bentar!" ibu Joni memanggil Joni masuk ke ruang tengah. Meski demikian, Lambang bisa mendengar percakapan mereka.

"Kamu jangan terlalu dekat sama perempuan itu!" tegas ibu Joni.

"Kenapa? Ia temanku yang paling baik, kok."

"Kalo berteman boleh. Tapi, awas kalo sampe naksir!" ancam ibunya.

"Apaan, sih, Bu." Joni hanya terkekeh sambil berlalu.

Lengan Joni dicekal oleh ibunya. "Kamu lihat perempuan itu! Gak ada satu pun yang menarik darinya. Gendut, hitam, pasti sifatnya juga kasar."

"Sudahlah, Bu. Lambang itu temanku yang paling baik. Aku tidak peduli bentuk fisik Lambang. Tidak ada teman yang sebaik dia meski dia itu perempuan. Dia juga paling pintar di kelas." Joni pergi meninggalkan ibunya.

"Ayo, segera berangkat! Dah telat, nih," ajak Joni.

Lambang mengikuti langkah Joni yang berjalan cepat. Jarak dari rumah Joni ke sekolah hanya sepuluh menit berjalan kaki.

"Ibumu tidak mengizinkan kamu berteman denganku, ya?" tanya Lambang mensejajari langkah Joni.

"Ah, sudahlah! Tidak usah dihiraukan dan jangan dengarkan ibuku!"

"Aku gak enak sama ibumu kalo kamu tetap berteman denganku," kata Lambang dengan pesimis.

"Aku yang berhak menentukan untuk berteman dengan siapapun, bukan ibuku! Aku tidak peduli bentuk fisikmu bagaimana, yang penting aku tahu sifat kamu. Bagi kami anak laki-laki, kamu adalah teman terbaik dan perempuan yang hebat," tegas Joni membuat Lambang terdiam dan tidak bertanya lagi. 

***

Suara jam dinding berdentang sepuluh kali. Lambang menutup catatan hariannya dan bergegas menuju pembaringan. Siap menyambut hari esok dengan lebih semangat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status