Share

Bab 6

Penulis: Dina Dwi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 02:11:28

"Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan. 

Bunyi sesuatu yang seperti ledakan terdengar, Fiona yakin itu seperti suara hancurnya dinding sebelumnya. 

"Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Vano menjawab pertanyaan Fiona. Keringat mengalir di wajahnya yang kusam namun karena yang paling muda wajahnya lebih terlihat seperti anak kecil. Imut sekali jika di perhatikan.

"Memangnya apa untungnya dia mengejar kita?" Fiona mengernyit.

"Kau benar-benar tidak tahu apa pun, ya?" Ema menimpali. Terdengar seperti Morgan yang menyindir karena nada datarnya.

Dalam hati Fiona cemberut. Aku kan lupa ingatan! Tapi entah kenapa Fiona tidak berani membalas Ema. Ia merasa segan. Lagipula Ema mungkin saja tidak berniat menyindirnya, Fiona mencoba berpikir positif karena tidak bisa menebak Ema.

"Sebelumnya, mutan inilah yang menyerang kami dan kau membantu kami karena kita bersama ke Sentral. Mutan Liar ini tidak sendirian, kami berhadapan dengan enam Mutan Liar lainnya." Sekali lagi Vano mengambil alih menjelaskan padaku.

"Lalu yang lainnya? Kemana keenam Mutan Liar lainnya itu?" tanya Fiona.

Fiona melihat Vano mengangkat alisnya dan tersenyum, hal yang mengejutkan untuk Fiona. Vano lebih sering ketakutan kali ini tersenyum? Tapi Fiona tidak bisa tersenyum membalasnya karena jawaban dari pertanyaannya.

"Kau membunuh mereka," jawab Vano.

Fiona membeku. Ia tidak bisa mengerti bagian mana, yang membuat Vano tersenyum. Sebaliknya Fiona merasa napasnya tertahan hingga akhirnya menarik napas dengan susah payah.

"Bohong, kan?" tanya Fiona pada Vano.

"Eh?" senyum di wajah Vano digantikan raut bingung.

"Aku membunuh?" gumam Fiona.

Vano dan Ema saling berpandangan. Lalu Ema kembali menatap Fiona yang menunduk dan akhirnya sadar. Sadar bahwa Fiona mendengar jawaban yang tidak menyenangkan. Mungkinkah Fiona merasa tertekan karena sudah pernah membunuh?

"Yah, jika kau tidak melakukannya mungkin kita semua tidak akan berada di sini." Ema menarik perhatian Fiona.

Benar, Fiona terguncang. Wajahnya bahkan memucat dan terlihat hampir sama dengan ekspresi Vano saat ketakutan.

"Karena Ter itu kuat dan Morgan itu pintar, mereka pasti bisa mengalahkan yang satu ini." Vano menimpali.

Ema memutar bola matanya mendengar itu. Vano tidak peka dengan yang terjadi pada Fiona.

"Hm, membunuh Mutan Liar adalah hal yang perlu dilakukan saat diincar oleh mereka. Itu untuk bertahan hidup. Berhadapan dengan mereka katakanlah kau membunuh atau terbunuh." Ema berkata lagi. Berniat meredakan rasa tertekan Fiona. Meski sebenarnya nada suara datarnya tidak membantu.

"Apa itu hal yang wajar?" Fiona bersuara.

Ema mengangkat sebelah alisnya, "Tergantung dirimu sendiri. Kau menyamakan ini seperti kebutuhan makan untuk bertahan hidup, itu terserah kau."

"Ya, menurutku ini sama seperti mengalahkan binatang buas yang menyerang kita saat berada di hutan lebat." Fiona mengerutkan keningnya dengan wajah yang masih tertekan.

Ema lagi-lagi mengangkat alisnya, "Kau bisa tahu tentang itu seolah pernah mengalaminya. Tidak, meski kau pernah mengalaminya, tapi saat ini kau 'kan lupa ingatan?"

Ah, yang dikatakan Ema memang benar-benar. Fiona bahkan kaget saat menyadari ini. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu seolah masih mengingat informasi tentang manusia. Ia juga bahkan merasa membunuh itu salah. Bagaimana bisa?

Tapi bukan itu masalahnya sekarang.

"Tapi, tetap saja. Mereka juga mahluk yang sama dengan kita."

Menurut Fiona, mereka sama-sama manusia. Atau sama-sama mutan?

*****

Morgan membantu Ter berdiri. Di depan mereka seorang pria menatap buas ke arah mereka. Di belakang, teman kelompoknya yang lain melarikan diri. Jadi apa kesimpulannya? 

Morgan balas menatap tajam ke depan. Di sampingnya, Ter juga ikutan menatap tak kalah tajamnya dengan Morgan. Sesaat mereka dan sang pria saling melempar tatapan tak bersahabat itu. Tapi ini bukanlah saatnya bermain siapa yang paling lama bertahan menatap tanpa berkedip.

Pria itu, mutan liar. Dan mereka berhadapan kembali. Morgan yakin, sebelumnya ia dan lainnya bisa melarikan diri tapi sekarang mereka harus berhadapan untuk yang kedua kalinya.

Dan kali ini ia dan Ter tidak akan melarikan diri. Yah, meski yang lainnya dengan seenaknya pergi meninggalkan ia dan Ter. Secara tak langsung mereka memberi pesan menyerahkan tugas untuk menghadapi si mutan liar.

"Aku bisa mengalahkannya hanya dalam beberapa detik." Morgan menggerakkan bibirnya mengatakan kalimat itu lalu tersenyum.

Di sebelahnya, Ter yang sudah melepaskan diri dari Morgan untuk berdiri sendiri tanpa bantuannya mendengus geli.

"Heh, tapi syaratnya kau harus menyentuhnya." Ter membalas.

"Ah, itu kekurangannya." Morgan masih tersenyum meski mengaku memiliki kelemahan.

"Jadi apa rencanamu?" Ter menyahut.

Morgan hendak menjawab tapi rupanya mereka tidak diberi kesempatan lebih oleh si mutan liar untuk mengobrol.

Sebenarnya mereka sudah melihat dengan jelas bahwa si mutan liar sedang bersiap menyerang sejak Ema melontarkan petirnya. Tapi mereka malah sedang menunggu serangan si mutan liar. Segera saja mutan itu mengirim anginnya untuk menghantam mereka seperti hembusan angin kecil tapi sangat kuat.

Kecepatan angin yang melesat hanya menyamai kedipan mata. Dengan sigap Ter mengerakkan tangannya ke depan lalu ke samping seolah mengibas kiriman angin si mutan liar yang datang.

Serangan angin si mutan liar menghilang. Bahkan angin di sekitar mereka berhembus pelan seperti tidak ada badai yang tadi hampir terjadi. Ter berhasil tepat waktu menahan serangan tadi.

"Meski aku petarung jarak dekat sedang berhadapan dengan petarung jarak jauh, tapi dengan adanya perisai sepertimu sudah dipastikan aku yang menang." Morgan berkata dengan halus seperti gumaman.

Ter mendengus lagi, "Bukan kau tapi kita."

Morgan mengangguk-angguk. "Yah, meski aku ingin melihat bagaimana angin melawan angin tapi saat ini perisai yang lebih dibutuhkan." 

Morgan menatap Ter yang menurut Ter sedang meremehkannya dan Morgan masih tersenyum kalem lalu melanjutkan, "Selagi aku berusaha mendekatinya yang harus kau lakukan adalah menahan serangannya. Itulah rencananya."

Ter geram, tak terima pada Morgan. Tapi ini bukan saatnya ia memukul kepala Morgan, meski sangat ingin itu bisa ia lakukan nanti. Bisa-bisanya Morgan memandang remeh padanya dan seenaknya menyuruh.

Sekarang mau tak mau ia mengikuti Morgan. Karena memang rencana itu sederhana sekali untuk genius seperti Morgan. Bersyukur rencana sederhana itu tidak seperti sebelumnya yang membuat Ter sering bertukar posisi dengan Gar karena rencana rumit dari genius Morgan.

"Artinya hanya kemampuanku saja yang diperlukan?" Ter memastikan. Morgan mengangguk sebagai jawaban, matanya kembali fokus ke depan.

Si mutan liar terlihat juga ikutan geram tapi jelas berbeda dengan Ter. Dia pasti merasa marah karena serangannya digagalkan.

Morgan bersuara, "Dia mendekat." 

Ter bergumam mengiyakan. Si mutan liar itu berjalan perlahan mendekat. Morgan dan Ter juga ikutan berjalan ke arah mutan liar itu. Perlahan langkah mereka berubah dari berjalan jadi berlari.

*****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Langit Merah   Bab 30

    "Ayah setuju jika saya pergi ke Pusat Pemberdayaan?" Vano menatap ayahnya tidak percaya.Padahal sebelumnya ayahnya sangat gigih tidak setuju jika Vano pergi. Dan Vano sudah berencana membuat dirinya pergi bahkan jika ayahnya tidak setuju. Tapi belum sempat Vano berbuat apa-apa ayahnya ternyata sudah berubah pikiran.Keesokan harinya orang-orang yang Vano duga sebagai orang dari Pusat Pemberdayaan datang ke rumah Vano. Mereka jumlahnya tiga orang sama seperti kemarin tapi orangnya tidaklah sama. Mereka berbeda dengan orang yang sebelumnya."Kami di beri tahu jika seharusnya anak anda dijemput kemarin. Tapi anda meminta waktu sehari untuk menundanya."Zack mengangguk saat salah satu tiga orang itu berbicara."Aku butuh waktu berpikir dan mempersiapkan segalanya. Karena tentu saja Vano butuh persiapan." Zack menaruh dua tangannya dibawah dagunya. Tatapannya sangat serius."Sebenarnya anda tidak perlu mempersiapkan apa-apa. Kami hanya diperintahkan untuk menjemput anaknya tanpa membawa b

  • Langit Merah   Bab 29

    Vano mencuri dengar dari balik pintu saat ayahnya berusaha keras untuk bernegosiasi pada orang-orang yang ingin membawaku. Aku tidak tahu harus merasakan apa, ayah bahkan mengatakan hal yang mustahil."Aku akan memilih penguji dan peneliti untuk anakku sendiri.""Maaf tuan Zack, anda tidak bisa melanggar aturan meski keluarga anda adalah keluarga besar. Ini adalah kewajiban semua masyarakat. Dan ini semua untuk kebaikan bersama. Bagaimana jika kemampuan anak anda muncul di saat yang tidak tepat? Maka sebelum itu terjadi kami harus membawanya. Tenang saja kami akan menjaga dan merawat mereka dengan baik. Anak anda akan kembali kepada anda lagi jika sudah mendapatkan perizinan. Dan itu biasanya tidak sampai bertahun-tahun. Bahkan ada yang hanya sebulan saja." Vano mendengar suara pria yang bersama ayahnya di ruang kerja ayahnya.Vano lalu pergi menjauh ketika merasa orang-orang berserta ayahnya hendak keluar ruangan. Tapi Vano tidak menjauh terlalu jauh. Ia bersembunyi di balik dinding

  • Langit Merah   Bab 28

    "Lalu.. bagaimana denganmu?" tanya Fiona dengan sedikit takut. Pandangannya kosong.Morgan tersenyum miring. Fiona mengeraskan wajahnya, "Kau benar-benar mau menjadi tawanan yang ditangkap?" sindir Fiona.Fiona mengepalkan tangannya. Ia yakin Ter dan Vano juga menegang saat ia mengatakan itu."Jangan bercanda. Kau ke Sentral untuk menjadi tawanan?!" ulangnya dengan marah. Fiona untuk pertama kalinya menampakkan wajah yang benar-benar murka. Morgan sampai terkejut melihat itu."Aku tidak punya tujuan, jadi.." Morgan mencoba menjelaskan."Jangan konyol," desis Ter menarik baju bagian atas Morgan hingga Morgan harus terpaksa melihat ekspresi Ter yang sama murkanya.Sedangkan Vano mengangkat wajahnya dan menatap Morgan yang sedang berdebat dengan temannya yang lain. Tarikan napas lebih keras dilakukan Vano. Saat Morgan menyinggung tujuannya ke Sentral. Tiba-tiba ingatan tentang masa lalu menyeruak di benak Vano.*****"Silakan," ucap seorang pria berumur tiga puluhan setelah menarik kursi

  • Langit Merah   Bab 27

    "Tidak perlu dilanjutkan lagi." Pemuda bermata biru itu menatap mereka berempat dan Viktoria dengan bergantian.Ia melewati Viktoria yang tidak bersuara. Viktoria hanya menatap dalam diam ketika ketua kelompoknya maju.Pemuda itu buka suara lagi. "Perkenalkan namaku Zayn. Dan yah, aku ketua dari kelompok ini. Pertarungan ini kita hentikan saja."Perkataan tiba-tiba seperti itu tentu saja mengejutkan. Morgan dan yang lainnya terkejut dengan permintaan Zayn. Bahkan Viktoria yang selalu tidak berekspresi menampakkan getaran di wajahnya."Kalian bisa pergi dan kami tidak akan mengganggu lagi." Zayn kembali melanjutkan.Fiona terkejut dengan mata sedikit melebar. Morgan menarik napas tiba-tiba tapi tidak langsung mengeluarkannya dan memilih menahan napas. Pikiran mereka saat ini mencoba menebak pikiran pemuda bermata biru itu.Pemuda itu tidak menampakkan ekspresi yang membuat mereka terancam. Itu ekspresi seperti mengalah. Tapi tetap saja tindakannya mengundang banyak pertanyaan."Jadi ka

  • Langit Merah   Bab 26

    "Aku tidak tahu ternyata kita bisa mengalahkan mereka dengan waktu secepat ini." Fiona buka suara di belakang Morgan."Sebelumnya kita kesusahan untuk menangkap mereka. Tapi kesempatan tidak terduga muncul. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada," balas Morgan."Tapi jika mereka punya kemampuan seperti itu, kenapa mereka tidak mengeluarkannya dari awal? Kenapa mereka tidak mengalahkan kita dari awal? Itu yang belum aku pahami." Morgan melanjutkan. Ia sedikit menebak alasannya tapi belum benar-benar yakin dengan tebakannya itu.Fiona meletakkan tangannya di bawah dagu tampak seolah sedang berpikir. "Apakah mereka butuh kekuatan lebih untuk melakukan itu? Dan mungkin itu akan menguras banyak energi mereka," tebak Fiona.Morgan mengangguk, "Itu juga yang aku pikirkan. Karena itu, saat mereka merasa sulit untuk mengalahkan kita maka saat itulah mereka harus mengeluarkan kemampuan itu." "Jadi mungkin saja mereka tidak akan menyerang dengan serangan yang melumpuhkan dalam sekej

  • Langit Merah   Bab 25

    Rino menyiapkan kedua telapak tangannya yang seketika mengeluarkan cahaya. Perlahan api mengumpul di telapak tangannya membentuk bola api yang semakin lama semakin membesar.Tak butuh peringatan, Rino melemparkan bola api dari kedua tangannya ke arah Helen. Helen tidak diam saja langsung mengeluarkan airnya.Aliran air muncul melindunginya dan Hans. Membentuk pusaran yang mengelilingi mereka dan mereka berdua berada di dalamnya. Rena melompat atau bisa dikatakan terbang ke atas pusaran dimana bagian atasnya terbuka dan menampakkan Hans dan Helen sedang berdiri diantara aliran air yang berputar.Yang membuat Fiona takjub adalah saat Rena melompat dengan kakinya yang mengeluarkan api. Rena terbang di udara dengan kaki yang terbakar. Dia mengingatkan Fiona dengan benda yang terbuat dari logam dan bisa terbang menembus udara menuju angkasa. Tapi Fiona tidak mau memikirkan itu sekarang. Ia terfokus dengan aksi mereka.Saat di atas udara, juga di atas pusaran air yang terbuka di tengahnya,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status