"Ter!" Morgan berseru begitu angin tornado dilontarkan si mutan liar ke arah mereka. Jarang sekali ia berteriak tidak seperti biasanya yang sering berkata lembut.
"Berisik! Aku disampingmu! Kau bisa membuatku tuli." Ter merentangkan tangan kedepan. Angin tornado itu seketika menghilang saat mendekati tangannya.
Mereka bisa berlari dengan sejajar karena Morgan butuh kemampuan Ter. Ter hanya bisa melindungi jika Morgan tidak jauh darinya.
Tapi si mutan liar tidak berhenti disitu saja, dia mengeluarkan banyak serangan berkali-kali. Hal itu membuat Ter juga berkali-kali menetralkan serangannya. Ia mulai kelelahan padahal jarak mereka sudah dekat. Beberapa serangan yang tidak mengarah ke mereka berdua mengenai bangunan di belakang. Akibatnya, dinding bangunan itu dihiasi lebih dari satu lubang.
Dan ketika Morgan dan Ter melompat ke arah mutan liar itu, seketika angin layaknya badai hurikan membentengi tubuh mutan liar itu.
Ter tak sempat bertindak mencegah karena tidak memperkirakan serangan ini. Ia mengira hanya tinggal Morgan berhasil menyentuh mutan liar itu semuanya selesai. Kenyataan mereka terlempar dan terombang-ambing ke dalam badai hurikan itu.
Teriakan mereka berdua tak salah lagi keluar dengan kencangnya.
"Ter!" teriak Morgan, kepalanya pusing seperti mau copot.
"Ukh!" Ter mengaduh ketika tubuhnya yang tadi baru saja memulihkan luka benturan kini terluka lagi karena terkena material alam yang juga berputar di angin sekitarnya.
BUGHH
"Aduh!" seru keduanya saat tubuh mereka berdua berbenturan. Hal itu membatalkan usaha Ter yang hampir berhasil menghentikan badai.
Tapi Ter tidak mau menyerah dan kembali berusaha, hingga akhirnya berhasil. Badai hurikan itu terhenti dan angin kembali normal tidak lagi membentengi mutan liar itu.
Tapi sepertinya ada hal yang penting mereka lupakan. Saat ini keadaan tubuh mereka berada di udara. Bayangkan apa yang terjadi jika angin kembali normal. Tentu saja mereka terjun bebas ke bawah.
BRUKK
"Aargh!" Hantaman rasa sakit mendera mereka berdua. Mereka telah meremehkan lawan dan terpaksa mengalami ini, karena mau bagaimana lagi mereka tentu harus berusaha menghentikan kemampuan mutan liar itu.
Ketika mereka masih sibuk mengerang karena sakit, si mutan liar berjalan mendekati mereka. Mereka berdua terlihat tidak berdaya dan hanya menatap si mutan liar dengan keadaan berbaring. Mungkin begitu yang terlihat di mata mutan liar itu juga. Mutan liar itu tidak mengeluarkan kemampuan angin jarak jauhnya lagi dan hanya berjalan mendekat. Mungkin mengira dirinya sudah menang.
TAP
Morgan menangkap kaki mutan liar itu ketika mutan liar itu sudah dekat dengan dirinya dan Ter. Sontak mutan liar itu menunduk untuk menatap Morgan yang tengah memandangnya dari bawah.
Tak disangka, Morgan perlahan menampilkan senyum.
"Kena kau," ucapnya hampir seperti bisikan, khas Morgan sekali.
Seketika tubuh mutan itu kaku. Tubuhnya seperti membeku karena Morgan mengacaukan suhu tubuhnya. Morgan mengatur suhu tubuhnya dibawah toleransi. Aliran darah dan semua aktivitas dalam tubuhnya terhenti.
BRUKK
Tubuh mutan liar itu akhirnya jatuh, ikuti terbaring dengan mereka berdua yang lebih dulu terbaring di tanah. Kini ada tiga tubuh yang berbaring di tanah. Morgan akhirnya melumpuhkan mutan liar itu.
Morgan dan Ter segera menghela napas karena berhasil mengalahkan mutan liar itu. Ia dan Ter tidak langsung beranjak dan memilih berbaring di tanah, menggunakan waktu sebentar untuk memulihkan tubuh mereka yang remuk.
"Ter," panggil Morgan pelan.
"Hm," gumam Ter menyahuti.
"Melihat kemampuannya, aku takut. Dia mungkin saja sekarang berhasil dilumpuhkan, tapi aku takut kemampuanku tidak cukup membunuhnya dan dia akan kembali hidup." Morgan menutup mata sejenak. Tumben sekarang ia tidak menyindir orang lain dan mengaku lemah, meski sebelumnya ia mengaku punya kekurangan tapi waktu itu ia masih percaya diri, berbeda dengan sekarang.
"Kau tahu, beberapa mutan hanya bisa mati jika jantung atau kepalanya terpisah dari tubuhnya. Dan dia sepertinya termasuk. Dia tidak mungkin termasuk mutan level rendah." Morgan membuka matanya setelah mengucapkan itu.
"Jadi apa yang kau ingin aku lakukan?" tanya Ter.
Morgan tersenyum, "Kau peka, ya?"
Tapi kemudian senyum itu hilang berganti ekspresi datar. Saat melanjutkan ucapannya, Morgan menutup matanya untuk kedua kalinya.
"Bisakah kau bertukar posisi dengan Gar lalu memisahkan kepala mutan liar itu tubuhnya dengan kemampuan angin miliknya?" tanya Morgan.
Hening sejenak, hingga akhirnya Morgan mendengar suara yang jadi balasan pertanyaannya.
"Baiklah," jawab Gar.
Hal yang terjadi sebelum kedua remaja itu kembali bergabung dengan teman kelompoknya adalah Morgan yang beranjak pergi tanpa menunggu Gar. Ia bahkan tidak punya niatan untuk menoleh ke belakang di mana Gar sedang melakukan hal yang disuruh olehnya.
Gar mengangkat telapak tangannya, melihat telapak tangannya sekilas lalu melipat jarinya kecuali jari tengah dan telunjuknya. Ia mengayunkan kedua jarinya, seolah gerakan itu seperti memotong sesuatu.
Gar berhasil menggunakan kemampuan anginnya bagaikan pedang tapi dengan syarat harus fokus dan tidak bisa jika jarak targetnya jauh. Ini sama seperti serangan jarak dekat tanpa menyentuh target. Ia masih kalah kuat dengan mutan liar ini jika berhadapan.
Tapi meski begitu Gar berhasil memutus kemungkinan mutan liar itu bangkit lagi bersamaan dengan ia memotong kepala mutan liar itu dengan kemampuannya. Setelah itu barulah ia mengikuti Morgan yang sudah jauh berjalan.
*****
"Memang, mereka mahluk yang dulunya sama seperti kita. Tapi tahukah kau, mereka yang mencapai usia tertentu akan kehilangan pikiran dan hati mereka. Mereka berubah. Bahkan mereka tidak bisa merasa kenyang bahkan setelah memakan mangsanya." Ema memberi tahu hal yang mengejutkan bagi Fiona.
"Kau tadi tidak mengatakan mereka akan memakan mangsanya, maksudku lawannya." Fiona berkata dengan rasa tidak percaya karena terkejut.
"Kan, sudah ku katakan. Mereka seperti binatang yang memburu mangsanya. Itu bukan hanya sekedar kata penggambaran. Karena kenyataannya memang seperti itu."
Fiona masih belum memperbaiki ekspresi tak percayanya. Jadi kata-kata itu berarti sebenarnya. Mereka bagai binatang yang memburu mangsanya lalu memakannya, Bahkan lebih mengerikan lagi dari binatang, mereka bahkan tidak pernah merasa kenyang.
"Jadi, kau sudah merasa lebih ringan atau malah sebaliknya?" tanya Ema.
Fiona tidak tahu harus menjawab apa, "Aku tidak tahu," gumamnya pelan sekali.
Ema tidak bertanya lagi dan pembicaraan mereka berhenti sampai disitu.
*****
Saat Morgan dan Gar berhasil menemukan tempat persembunyian Fiona dan lainnya mereka memutuskan untuk bermalam di bangunan itu. Tapi mereka tidak bisa bersantai, para lelaki harus mencari makanan untuk perut mereka semua. Fiona dan Ema diberi tugas mencari kayu yang rencananya akan dibakar untuk penerangan nanti saat matahari terbenam sepenuhnya ketika para lelaki kembali. Mereka berdua juga bertugas mencari air untuk diminum.
Dan semua tugas itu mengharuskan mereka keluar dari bangunan. Entah apa yang akan mereka hadapi nantinya. Karena itu mereka tidak boleh sendirian. Fiona dan Ema bersama-sama mencari kayu dan air, mereka tidak membagi tugas salah satu mencari kayu dan lainnya mencari air untuk mengurangi resiko.
Apalagi orang seperti Fiona tidak bisa dibiarkan sendirian. Karena mereka keluar sudah lewat tengah hari, mereka tidak punya banyak waktu.
"Biarkan aku yang bawa," ucap Fiona pada Ema yang baru saja mematahkan kayu panjang dengan kemampuan petirnya. Kenyataannya, sulit mencari kayu yang bisa langsung dibawa. Kebanyakan kayu perlu di patahkan agar lebih mudah di bawa. Mereka juga harus memilih kayu yang kering.
KREK... KREK...
Fiona dan Ema terdiam. Itu bukan suara kayu yang mereka patahkan. Suara itu seperti sesuatu menginjak ranting-ranting kecil dan daun kering di tanah. Mereka secara otomatis mencari sumber suara. Suara itu tidak terlalu jauh dengan mereka.
Lalu di sanalah mereka melihat pelaku yang membuat mereka was-was. Pelaku itu menampakkan dirinya membuat Fiona dan Ema terpaku.
*****
"Ayah setuju jika saya pergi ke Pusat Pemberdayaan?" Vano menatap ayahnya tidak percaya.Padahal sebelumnya ayahnya sangat gigih tidak setuju jika Vano pergi. Dan Vano sudah berencana membuat dirinya pergi bahkan jika ayahnya tidak setuju. Tapi belum sempat Vano berbuat apa-apa ayahnya ternyata sudah berubah pikiran.Keesokan harinya orang-orang yang Vano duga sebagai orang dari Pusat Pemberdayaan datang ke rumah Vano. Mereka jumlahnya tiga orang sama seperti kemarin tapi orangnya tidaklah sama. Mereka berbeda dengan orang yang sebelumnya."Kami di beri tahu jika seharusnya anak anda dijemput kemarin. Tapi anda meminta waktu sehari untuk menundanya."Zack mengangguk saat salah satu tiga orang itu berbicara."Aku butuh waktu berpikir dan mempersiapkan segalanya. Karena tentu saja Vano butuh persiapan." Zack menaruh dua tangannya dibawah dagunya. Tatapannya sangat serius."Sebenarnya anda tidak perlu mempersiapkan apa-apa. Kami hanya diperintahkan untuk menjemput anaknya tanpa membawa b
Vano mencuri dengar dari balik pintu saat ayahnya berusaha keras untuk bernegosiasi pada orang-orang yang ingin membawaku. Aku tidak tahu harus merasakan apa, ayah bahkan mengatakan hal yang mustahil."Aku akan memilih penguji dan peneliti untuk anakku sendiri.""Maaf tuan Zack, anda tidak bisa melanggar aturan meski keluarga anda adalah keluarga besar. Ini adalah kewajiban semua masyarakat. Dan ini semua untuk kebaikan bersama. Bagaimana jika kemampuan anak anda muncul di saat yang tidak tepat? Maka sebelum itu terjadi kami harus membawanya. Tenang saja kami akan menjaga dan merawat mereka dengan baik. Anak anda akan kembali kepada anda lagi jika sudah mendapatkan perizinan. Dan itu biasanya tidak sampai bertahun-tahun. Bahkan ada yang hanya sebulan saja." Vano mendengar suara pria yang bersama ayahnya di ruang kerja ayahnya.Vano lalu pergi menjauh ketika merasa orang-orang berserta ayahnya hendak keluar ruangan. Tapi Vano tidak menjauh terlalu jauh. Ia bersembunyi di balik dinding
"Lalu.. bagaimana denganmu?" tanya Fiona dengan sedikit takut. Pandangannya kosong.Morgan tersenyum miring. Fiona mengeraskan wajahnya, "Kau benar-benar mau menjadi tawanan yang ditangkap?" sindir Fiona.Fiona mengepalkan tangannya. Ia yakin Ter dan Vano juga menegang saat ia mengatakan itu."Jangan bercanda. Kau ke Sentral untuk menjadi tawanan?!" ulangnya dengan marah. Fiona untuk pertama kalinya menampakkan wajah yang benar-benar murka. Morgan sampai terkejut melihat itu."Aku tidak punya tujuan, jadi.." Morgan mencoba menjelaskan."Jangan konyol," desis Ter menarik baju bagian atas Morgan hingga Morgan harus terpaksa melihat ekspresi Ter yang sama murkanya.Sedangkan Vano mengangkat wajahnya dan menatap Morgan yang sedang berdebat dengan temannya yang lain. Tarikan napas lebih keras dilakukan Vano. Saat Morgan menyinggung tujuannya ke Sentral. Tiba-tiba ingatan tentang masa lalu menyeruak di benak Vano.*****"Silakan," ucap seorang pria berumur tiga puluhan setelah menarik kursi
"Tidak perlu dilanjutkan lagi." Pemuda bermata biru itu menatap mereka berempat dan Viktoria dengan bergantian.Ia melewati Viktoria yang tidak bersuara. Viktoria hanya menatap dalam diam ketika ketua kelompoknya maju.Pemuda itu buka suara lagi. "Perkenalkan namaku Zayn. Dan yah, aku ketua dari kelompok ini. Pertarungan ini kita hentikan saja."Perkataan tiba-tiba seperti itu tentu saja mengejutkan. Morgan dan yang lainnya terkejut dengan permintaan Zayn. Bahkan Viktoria yang selalu tidak berekspresi menampakkan getaran di wajahnya."Kalian bisa pergi dan kami tidak akan mengganggu lagi." Zayn kembali melanjutkan.Fiona terkejut dengan mata sedikit melebar. Morgan menarik napas tiba-tiba tapi tidak langsung mengeluarkannya dan memilih menahan napas. Pikiran mereka saat ini mencoba menebak pikiran pemuda bermata biru itu.Pemuda itu tidak menampakkan ekspresi yang membuat mereka terancam. Itu ekspresi seperti mengalah. Tapi tetap saja tindakannya mengundang banyak pertanyaan."Jadi ka
"Aku tidak tahu ternyata kita bisa mengalahkan mereka dengan waktu secepat ini." Fiona buka suara di belakang Morgan."Sebelumnya kita kesusahan untuk menangkap mereka. Tapi kesempatan tidak terduga muncul. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada," balas Morgan."Tapi jika mereka punya kemampuan seperti itu, kenapa mereka tidak mengeluarkannya dari awal? Kenapa mereka tidak mengalahkan kita dari awal? Itu yang belum aku pahami." Morgan melanjutkan. Ia sedikit menebak alasannya tapi belum benar-benar yakin dengan tebakannya itu.Fiona meletakkan tangannya di bawah dagu tampak seolah sedang berpikir. "Apakah mereka butuh kekuatan lebih untuk melakukan itu? Dan mungkin itu akan menguras banyak energi mereka," tebak Fiona.Morgan mengangguk, "Itu juga yang aku pikirkan. Karena itu, saat mereka merasa sulit untuk mengalahkan kita maka saat itulah mereka harus mengeluarkan kemampuan itu." "Jadi mungkin saja mereka tidak akan menyerang dengan serangan yang melumpuhkan dalam sekej
Rino menyiapkan kedua telapak tangannya yang seketika mengeluarkan cahaya. Perlahan api mengumpul di telapak tangannya membentuk bola api yang semakin lama semakin membesar.Tak butuh peringatan, Rino melemparkan bola api dari kedua tangannya ke arah Helen. Helen tidak diam saja langsung mengeluarkan airnya.Aliran air muncul melindunginya dan Hans. Membentuk pusaran yang mengelilingi mereka dan mereka berdua berada di dalamnya. Rena melompat atau bisa dikatakan terbang ke atas pusaran dimana bagian atasnya terbuka dan menampakkan Hans dan Helen sedang berdiri diantara aliran air yang berputar.Yang membuat Fiona takjub adalah saat Rena melompat dengan kakinya yang mengeluarkan api. Rena terbang di udara dengan kaki yang terbakar. Dia mengingatkan Fiona dengan benda yang terbuat dari logam dan bisa terbang menembus udara menuju angkasa. Tapi Fiona tidak mau memikirkan itu sekarang. Ia terfokus dengan aksi mereka.Saat di atas udara, juga di atas pusaran air yang terbuka di tengahnya,