Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari
Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***
Langkah-langkah kaki mereka menyusuri lereng batu yang kering. Liang Feng berjalan di barisan paling depan, Bai Zhen di sampingnya, sementara Mei Lin dan dua murid muda lain menyusul tak jauh di belakang. Udara pagi di kaki Gunung Fenghuang masih lembap, meninggalkan embun di setiap dedaunan yang mereka lewati.Liang Feng merasa sedikit lega. Setelah pertemuan dengan penjaga lembah dan penyerbuan singkat dari sekte bayangan, mereka akhirnya bisa keluar dari wilayah berbahaya. Kini tinggal kembali ke markas kecil tempat Bai Zhen mengajarkan dasar-dasar jurus nafas pedang.Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, sosok berjubah kelabu muncul dari balik dinding bebatuan. Gerakannya tenang, hampir seperti bayangan yang muncul tanpa suara. Wajahnya tua, dengan janggut putih yang menjuntai hingga ke dada.Liang Feng langsung menajamkan instingnya, tapi Bai Zhen memberi isyarat tenang. “Itu Tetua Yin.”Mei Lin berbisik, “Yang tinggal menyendiri di barat lembah? Katanya dia pernah ja
Keesokan harinya, cahaya pagi tampak lebih lembut, seperti menyambut kelahiran kembali jiwa-jiwa yang baru saja melewati ujian berat. Angin berhembus tenang, namun di dalam diri setiap peserta, rasa tenang itu hanya sementara—seperti riak di permukaan air yang tak lama akan menghilang.Liang Feng berjalan keluar dari tenda, matanya masih sedikit sayu, tapi pikirannya sudah jauh dari ketegangan semalam. Ia tahu, ini bukan akhir dari pelatihan mereka. Bahkan lebih dari itu—ini adalah permulaan dari sebuah perjalanan yang lebih panjang.Di pelataran, beberapa peserta sudah berkumpul. Mereka tampak lebih tenang, tetapi setiap langkah mereka mengungkapkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Perasaan yang sama ketika mereka pertama kali datang, di mana harapan mereka belum teruji. Kini, setelah melewati Gerbang Api, harapan itu terasa lebih rapuh. Tapi juga lebih jelas.Di ujung pelataran, Tetua Yin berdiri menunggu. Di sampingnya, ada Tetua utama yang baru saja tiba setelah sebelumnya t
Fajar menjilat langit seperti luka terbuka yang perlahan mengering. Cahaya keemasan membelah kabut, menyingkap bayangan hitam dari Gerbang terakhir—Gerbang Api.Gerbang itu berdiri seolah-olah tidak terbuat dari batu, tapi dari bara yang dibekukan dalam waktu. Dindingnya merah kehitaman, menghembuskan panas yang tak terasa di kulit tapi menekan dada seperti beban yang tak terlihat. Di puncaknya, ada ukiran kuno berbentuk pusaran api, dan di bawahnya, simbol: 心—“hati.”Liang Feng berdiri di barisan bersama para peserta yang tersisa. Jumlah mereka telah berkurang hampir sepertiga sejak awal pelatihan. Sebagian pergi karena cedera. Sebagian karena pilihan. Dan sebagian lagi... karena tak sanggup kembali dari keheningan.“Gerbang Api adalah yang terakhir,” suara Tetua Yin terdengar, tenang namun penuh makna. “Tapi bukan karena ia paling sulit. Melainkan karena ia tidak bisa dilewati oleh orang yang belum benar-benar mengenal dirinya.”Sebuah pernyataan sederhana—namun lebih menakutkan dar
Malam belum sepenuhnya berganti ketika kabut mulai turun dari sisi utara Gunung Empat Gerbang. Kabut itu berbeda dari biasanya—dinginnya bukan hanya menusuk kulit, tapi juga merambat ke dalam hati, seolah mencoba menggugah sesuatu yang sudah lama tertidur.Liang Feng terbangun lebih awal. Udara di sekeliling tenda seperti diselimuti diam yang mencekik. Tidak ada suara burung. Tidak ada desiran angin. Bahkan derak kayu dan langkah kecil pun terasa diserap oleh dunia.Hari ini adalah giliran Gerbang Keheningan.Di antara keempat gerbang, inilah yang paling jarang dibicarakan. Bahkan para tetua pun tak pernah menjelaskan dengan rinci. Hanya satu hal yang mereka ulangi berulang kali:“Keheningan tidak membohongi. Ia hanya memantulkan.”Saat para peserta berkumpul di kaki gerbang, mereka dibuat terdiam bukan karena aturan, tapi karena suasananya. Gerbang itu tidak menjulang tinggi seperti Gerbang Batu atau menyala seperti Gerbang Api. Ia hanyalah lengkung sederhana dari batu putih pucat, b
LGerbang Api menyala bahkan saat fajar masih malu-malu di balik pegunungan. Tidak seperti gerbang lain yang tampak kokoh dan tenang, gerbang ini berdiri dalam kobaran yang tidak pernah padam—nyala yang tidak menjilat, tidak menyambar, tapi membakar dari dalam. Tidak panas. Tidak hangus. Tapi menyesakkan.Liang Feng berdiri bersama para kandidat lain, matanya terpaku pada api yang membentuk lengkung tinggi itu. Uap tipis mengepul dari sekelilingnya, seolah udara sendiri enggan mendekat.Di antara peserta, beberapa mulai mundur. Ada yang bahkan tidak sanggup berdiri dekat gerbang itu terlalu lama.“Gerbang Api... menguji sesuatu yang tak bisa dilihat oleh mata,” ujar Tetua Yin dengan suara pelan, lebih pada dirinya sendiri. “Amarah, ambisi, dan tekad. Bila tidak seimbang, kau akan terbakar dari dalam.”Liang Feng hanya mendengarkan. Ia tahu ini akan menjadi ujian terberat. Bukan karena kekuatan yang dibutuhkan, tapi karena luka lama yang selama ini ia tahan—api yang tidak ia padamkan, h
Gelap.Bukan gelap seperti malam yang ditinggalkan Liang Feng di luar. Tapi gelap yang berat. Padat. Seperti udara yang berubah menjadi jelaga dan melapisi kulit serta paru-paru. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara. Bahkan detak jantung pun seperti ditelan diam.Liang Feng berdiri diam. Ia tidak mencoba melangkah, karena tidak yakin tanah masih ada di bawahnya. Tapi kakinya tetap kokoh. Tanpa tahu kenapa, ia merasa tidak jatuh. Tidak melayang. Hanya... ada.Lalu, perlahan, sesuatu mulai bergetar. Bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya. Sebuah tekanan halus yang menjalar dari dada, naik ke tenggorokan, lalu menyebar ke seluruh tubuh seperti suara yang ingin keluar tapi tertahan.Tiba-tiba, sebuah suara muncul. Pelan. Sangat akrab. Terlalu akrab.'Kau bilang akan pulang sebelum musim dingin.'Liang Feng tersentak. Itu suara adiknya—Lian’er.Dan seperti tirai ditarik perlahan, dunia di sekelilingnya berubah. Ia tidak lagi berdiri dalam gelap. Kini ia berdiri di tengah ladang gandum, di b
Langit malam menyelimuti Gunung Empat Gerbang seperti selimut sutra kelam yang meredam semua suara. Rembulan belum sepenuhnya membulat, tapi cahayanya menetes perlahan ke pelataran, menyorot wajah-wajah penuh bayang tanya. Di tengah-tengah kerumunan itu, Liang Feng duduk diam. Bahkan angin enggan menyentuhnya sekarang.Gerbang Angin telah tertutup kembali, menyisakan hanya pusaran debu di udara dan detak jantung yang masih belum stabil di dada para peserta lain. Tak satu pun dari mereka yang berani menyuarakan pendapat dengan keras, seolah-olah kata-kata bisa membangunkan sesuatu yang belum sepenuhnya pergi.Liang Feng sendiri menunduk, membiarkan rambutnya yang kusut menutupi sebagian wajah. Napasnya perlahan, teratur, tapi matanya tetap tajam seperti seseorang yang baru saja keluar dari pertarungan melawan dirinya sendiri. Ia belum benar-benar kembali ke dunia nyata.Di sekelilingnya, peserta-peserta lain mulai bergerak—ragu-ragu, berhati-hati. Ada yang menatapnya dengan kekaguman t