Sebagai yatim piatu, Liang Feng tidak terlalu dianggap di desanya. Namun, ia justru tak sengaja menemukan sebuah pedang kuno yang merupakan bagian dari senjata legendaris: Pedang Langit dan Pedang Bumi. Kekuatan luar biasa dari pedang itu membuat Liang Feng diburu sekte-sekte bela diri, para pendekar bayangan, serta penguasa yang serakah! Liang Feng pun harus memilih ... menggunakan kekuatan barunya itu untuk balas dendam atau menjadi pendekar sejati yang tak pernah ada sebelumnya!
view moreCatarina
They say desperate times require desperate measures. I felt like I could breathe freely for the first time in weeks. I stood at the port, letting the sun touch my face, breathing in the dry air that felt different from the dampness I had been used to on the ship. After almost a month on board, the land felt solid beneath my feet, I was finally on land again. I couldn’t leave Italy with my passport, It was too risky and if I had tried, I might have been caught and sent back, going back was not an option. That was why I boarded a cargo ship headed for California, it wasn’t the kind of journey I ever imagined for myself. It was rough, long, and uncomfortable. When I got on the ship in Genoa, I hadn’t thought about how hard the weeks ahead would be, I just knew I had to leave. Watching Italy’s coast fade into the horizon was one of the hardest moments of the trip. Deep down, I knew it would be the last time I would see my country; there was no turning back. Days dragged into nights, and every hour felt stretched, I made sure to hide who I was, cut my hair, wear oversized clothes, and used blue contact lenses. I spoke little, deepening my voice whenever I had to say something. I was determined not to look or sound like Catarina Marco. The crew mostly kept their distance, which was fine by me, the only person who broke through the silence was a young man I met on the ship. He struck up a conversation not long after we left Genoa. “You don’t talk much, do you?” he asked one evening, leaning against the railing. I kept my voice low and deep, “Not really.” He smiled as though he saw through me, “That’s alright, I talk enough for two people.” He did, he talked about his past, about the places he wanted to see, about how the world was bigger than anyone realized. I listened, careful not to reveal too much. Still, I felt uneasy, Somehow, he seemed to know I wasn’t what I pretended to be, though he never said it directly. Then, about a week into the trip, he grew sick, and it started with coughing, then fever. Soon, blood came when he coughed, and his strength faded fast. The crew couldn’t do much for him, and I could only sit nearby, unsure of what help I could give. One night, when his fever was high, he gripped my wrist weakly. “They poisoned I stared at him, unsure if he was delirious. “Poisoned you?” “Back in Italy, slow poison.” He struggled for breath before forcing a bundle into my hands. His ID, passport, and a flash drive. “Find my brother, give him these, he will know what to do.” I swallowed hard, not knowing what to say. “I don’t even know your name.” He gave a weak smile, “ Alexander Addison.” Two days later, he was gone, and the crew members lowered his body into the sea. I stood by, clutching the things he had given me, feeling the weight of his last request. When the ship finally docked in California, I carried my luggage and his stuff. At the busy port, I adjusted the strap on my bag and moved carefully through the crowd. Everything was unfamiliar the voices, the pace, the wide streets beyond the gate. I raised my hand, and a taxi screeched to a stop. The driver leaned out. “Where to, sir?” I lowered my voice, keeping it deep and steady. “Hotel, not too expensive and not too far.” The driver gave me a quick look in the mirror. “Got it, hop in.” The ride took about half an hour, and the city passed by in flashes, shops, traffic lights, and people rushing everywhere. Finally, the taxi stopped in front of a tall building, paint was peeling off the walls, and a buzzing neon sign above the door read “Harbor Inn.” “Is this good enough?” the driver asked. I studied the building, then nodded. “Yes, thank you.” I paid him, grabbed my luggage, and walked inside. The lobby smelled strongly of bleach. Behind the counter sat a tired-looking man who didn’t bother to smile when I approached. “Three nights,” I said, sliding the cash toward him. He barely looked up. “ID?” My chest tightened, I hadn’t expected the request to come so quickly. Slowly, I reached into my bag and pulled out Alexander’s ID. I slid it across the counter, keeping my face neutral. The receptionist opened it, glanced at the picture, and was about to type something on his computer when the phone rang. He answered, distracted, spoke briefly, then returned the ID without much interest. “Alexander Addison,” he read aloud. “Cash or transfer?” “Cash,” I said quickly. He took the money and counted it. “Second floor, room 109, no smoking, no noise after ten.” I nodded, picked up my key, and turned to leave. “Elevator’s broken,” he added without looking up. “Stairs are to your right.” “Thank you.” I carried my bag upstairs and found the room, it was small and plain, the wallpaper faded, and the bed was narrow. I shut the door firmly, dropped my bag, and kicked off my shoes before falling onto the mattress. I opened my bag and pulled out Alexander’s passport. His face looked back at me from the photo. Two years older than me, green eyes, average height. No family except for the friend he called a brother. He had told me once that he didn’t have a real family, he grew up in an orphanage. The man he called his brother was only a childhood friend. Maybe I could live as Alexander Addison, for now, at least. If my cover was blown, I would disappear again, find another identity. Anything was better than going back to Italy. For the moment, I was Alexander Addison, Catarina Marco no longer exists.Liang Feng melangkah meninggalkan rumah kecil di kaki Gunung Lingyan dengan perasaan yang belum sepenuhnya jelas. Langkah kakinya terasa ringan, namun ada rasa beban yang menggelayuti pikirannya. Pedang yang ia ukir—terbelah namun bersatu oleh akar pohon—berada di punggungnya. Itu bukan hanya simbol kekuatannya yang terbagi, tapi juga gambaran dari dirinya yang telah berubah.Hari mulai terik ketika Liang Feng melintasi jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat. Ia meninggalkan desa Luowen yang sederhana, menuju perjalanan panjang yang menantinya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu masih belum selesai. Kata-kata Yin He bergema dalam pikirannya, tentang bagaimana ia harus menghadapi bayangannya sendiri, bukan menebasnya."Aku masih tak tahu apa artinya itu," gumamnya pelan, mencoba mencari makna yang lebih dalam dari nasihat yang diberikan pria tua itu.Tak jauh dari tempatnya berjalan, di antara pepohonan yang rindang, sebuah bayangan melintas. Liang Feng menghentikan langkah, merasaka
Kabut tipis masih menyelimuti kaki Gunung Lingyan saat Liang Feng tiba di desa kecil bernama Luowen. Letaknya tersembunyi, dikelilingi sawah dan hutan lebat, jauh dari hiruk-pikuk dunia sekte atau arena pelatihan. Namun, di sanalah Bai Zhen mengarahkannya, dengan satu pesan: “Kau tak akan belajar jurus baru di sana, tapi kau akan mengenali hatimu sendiri.”Langkah Liang Feng berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar bambu. Dari dalam, terdengar suara ketukan halus—seperti palu kecil yang memukul besi. Ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Maka ia membuka pagar dan melangkah masuk perlahan.Di balik rumah, seorang pria tua duduk di bawah pohon zaitun tua. Rambutnya telah sepenuhnya putih, namun matanya menyala tajam saat menatap ke arah Liang Feng. Ia mengenakan jubah coklat sederhana dan memegang palu kecil, sedang memahat sesuatu dari batu.“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya pelan, tanpa menoleh dari karyanya.“Apakah Anda orang yang dim
Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Liang Feng berdiri di atas tebing yang menghadap lembah luas di bawah Sekte Pedang Langit. Angin membelai jubah putihnya, membawa serta aroma dedaunan dan bunga liar. Di hadapannya, Bai Zhen berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang namun matanya tajam seperti pedang yang belum disarungkan.“Hari ini,” ucap Bai Zhen, “kau akan berlatih dalam Formasi Bayangan Langit. Ini bukan sekadar teknik bertarung. Tapi juga ujian kedewasaan jiwa.”Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Latihan semalam telah mengajarinya satu hal penting—bahwa kekuatan sejati tak datang dari Chi semata, tapi dari pengendalian niat.Bai Zhen melangkah ke tengah lingkaran batu yang sudah disusun membentuk formasi rasi bintang. Di sekelilingnya, belasan pilar kecil terukir dengan pola-pola halus. Ketika ia menekan telapak tangan ke batu utama di tengah, formasi itu mulai menyala—garis cahaya biru keperakan merambat membentuk jaringan.“Masuklah
Cahaya pagi menyusup masuk dari celah-celah kecil di dinding ruang semadi. Udara masih dingin, namun tak sedingin malam sebelumnya. Liang Feng duduk bersila di atas lantai batu, matanya masih tertutup, napasnya teratur, dan tubuhnya dikelilingi sisa-sisa gelombang Chi yang belum sepenuhnya menyatu.Semalam, ia nyaris pingsan ketika pusaran Chi dari batu-batu itu menyerbu tubuhnya tanpa peringatan. Namun setelah beberapa siklus napas, ia mulai memahami irama kasar energi yang dipancarkan ruangan itu—seperti seorang murid yang perlahan memahami nada-nada dari alat musik asing.Di depan pintu, Tetua Yin berdiri diam. Jubah abu-abu tuanya nyaris menyatu dengan dinding, membuatnya seperti bayangan yang tak pernah bergerak. Ia mengamati Liang Feng dengan tatapan dalam, bukan sekadar mengawasi, tetapi seolah membaca sesuatu yang lebih dalam dari postur tubuh atau ekspresi wajah.“Dia menyatu dengan ruang ini lebih cepat dari dugaanku,” gumam Tetua Yin pelan.Suara itu cukup untuk membuat Lia
Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari
Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments