Sebagai yatim piatu, Liang Feng tidak terlalu dianggap di desanya. Namun, ia justru tak sengaja menemukan sebuah pedang kuno yang merupakan bagian dari senjata legendaris: Pedang Langit dan Pedang Bumi. Kekuatan luar biasa dari pedang itu membuat Liang Feng diburu sekte-sekte bela diri, para pendekar bayangan, serta penguasa yang serakah! Liang Feng pun harus memilih ... menggunakan kekuatan barunya itu untuk balas dendam atau menjadi pendekar sejati yang tak pernah ada sebelumnya!
Lihat lebih banyakHujan gerimis turun perlahan di atas desa Qinghe, menyelimuti atap-atap rumah kayu dengan lapisan embun tipis. Udara pagi terasa sejuk, dan aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh dari kedai-kedai yang mulai buka. Di sudut desa, seorang pemuda dengan rambut hitam berantakan duduk di bawah pohon besar, matanya menatap langit yang kelabu.
Liang Feng menghela napas panjang. Tangan kasarnya menggenggam sebilah pedang kayu yang ujungnya mulai tumpul akibat latihan bertahun-tahun. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi pendekar sejati seperti dalam kisah-kisah yang sering ia dengar dari para tetua desa. Namun, nasib seakan berkata lain—ia hanyalah anak seorang buruh biasa, tanpa kekayaan atau nama besar.
"Liang Feng!" suara seorang gadis memecah lamunannya.
Ia menoleh dan melihat Mei Lin, sahabat kecilnya, berlari ke arahnya dengan napas tersengal. Wajahnya tampak cemas.
"Apa yang terjadi?" tanya Liang Feng sambil bangkit berdiri.
"Orang-orang dari Sekte Seribu Bayangan datang ke desa! Mereka mencari sesuatu... atau seseorang," jawab Mei Lin dengan suara bergetar.
Liang Feng merasakan jantungnya berdegup kencang. Sekte Seribu Bayangan adalah kelompok yang ditakuti di dunia persilatan. Mereka dikenal sebagai organisasi bayangan yang memburu artefak langka dan ilmu silat terlarang. Mengapa mereka datang ke desa kecil ini?
Tak lama, suara teriakan dan denting senjata terdengar dari arah pusat desa. Liang Feng dan Mei Lin segera berlari ke sana, dan apa yang mereka lihat membuat darah mereka membeku.
Puluhan pendekar berpakaian hitam dengan lambang ular melingkar di bahu mereka mengacungkan senjata ke arah penduduk desa yang ketakutan. Di tengah mereka, berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan jubah hitam berlapis baja ringan. Yan Fei, tangan kanan pemimpin Sekte Seribu Bayangan.
"Di mana wanita bernama Li Xiu?!" suara Yan Fei menggema di seluruh desa.
Liang Feng terkejut. Itu adalah nama ibunya.
Dengan napas tersengal, ia menoleh ke arah rumahnya. Hatinya dipenuhi kecemasan. Jika sekte ini mengincar ibunya, maka bahaya besar telah datang ke desa mereka.
Tanpa berpikir panjang, Liang Feng berlari menuju rumahnya. Namun, sebelum ia bisa sampai, suara ledakan keras mengguncang tanah. Api membumbung tinggi, dan ia hanya bisa menyaksikan dengan mata terbelalak—rumahnya terbakar habis.
"Ibu!"
Tangannya gemetar, tubuhnya membeku. Namun, di balik api yang berkobar, sebuah suara lirih terdengar.
"Feng'er... lari..."
Dengan mata berkaca-kaca, Liang Feng melihat siluet ibunya berdiri di tengah kobaran api. Sebelum ia bisa berlari mendekat, sebuah pedang melesat ke arah ibunya.
Darah berceceran di atas lantai kayu yang terbakar.
Dunia Liang Feng seakan runtuh.
Di tengah jeritan dan tangisnya, Yan Fei menatapnya dengan dingin. "Tangkap bocah itu. Dia bisa berguna."
Saat dua pendekar hitam maju untuk menangkapnya, sesuatu dalam diri Liang Feng meledak. Amarah, kesedihan, dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Tanpa sadar, ia menggenggam pedang kayunya dengan erat, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda—getaran halus di dalam tubuhnya, seperti kekuatan yang menanti untuk dilepaskan.
Dan dengan itu, perjalanan takdirnya pun dimulai.
***
Angin malam berhembus kencang, membawa bau asap dan darah yang masih menyelimuti desa Qinghe. Liang Feng berdiri dengan napas tersengal di tengah reruntuhan rumahnya, tangannya masih menggenggam pedang kayu yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Di sekelilingnya, suara jeritan penduduk yang melarikan diri masih terdengar, sementara api yang berkobar menerangi kegelapan malam.
Yan Fei menatap pemuda itu dengan senyum tipis, penuh penghinaan. “Jadi ini anak dari Li Xiu? Aku berharap lebih dari ini.”
Tanpa memberi kesempatan, dua pendekar berpakaian hitam menerjang maju dengan pedang terhunus. Liang Feng, yang tubuhnya masih gemetar karena amarah dan duka, secara naluriah mengangkat pedang kayunya. Namun, sebelum ia sempat mengayunkan serangan, pukulan keras menghantam dadanya, membuatnya terhuyung ke belakang.
"Dengan pedang kayu? Hah! Bocah ini tak lebih dari kutu kecil!" salah satu pendekar mengejek sambil bersiap untuk serangan berikutnya.
Namun, saat mereka melangkah mendekat, sesuatu di dalam diri Liang Feng kembali bergetar. Amarah yang belum surut membangkitkan kekuatan yang bahkan ia sendiri tidak pahami. Tubuhnya bergerak lebih cepat dari yang bisa ia bayangkan—melompat ke samping, menghindari serangan pertama, lalu memutar tubuh dan menghantam pergelangan lawannya dengan pedang kayunya. Suara retakan terdengar, diiringi pekikan kesakitan pendekar tersebut.
Yan Fei mengangkat alis, matanya kini menyorotkan minat. “Menarik…”
Namun, Liang Feng tahu bahwa ia tidak mungkin menang melawan orang-orang ini. Dengan sisa tenaganya, ia berbalik dan berlari ke arah hutan di luar desa.
"Bodoh kalau kau pikir bisa melarikan diri!" salah satu pendekar berseru, lalu beberapa dari mereka segera mengejar.
Liang Feng berlari sekuat tenaga, melewati jalan setapak yang kini hanya diterangi oleh cahaya bulan. Rasa sakit di dadanya semakin menjadi, tetapi ia tidak bisa berhenti—jika tertangkap, ia akan mati, atau lebih buruk lagi, digunakan oleh sekte itu untuk tujuan yang tak terbayangkan.
Tiba-tiba, sebuah suara lirih memanggilnya dari balik pepohonan.
"Liang Feng! Sini!"
Ia menoleh dan melihat Mei Lin bersembunyi di balik semak belukar. Tanpa berpikir panjang, ia melesat ke arahnya, lalu bersembunyi di antara rerimbunan. Beberapa pendekar Seribu Bayangan berlari melewati mereka, tidak menyadari keberadaan mereka yang terperangkap dalam bayangan malam.
Mei Lin menggenggam tangan Liang Feng erat. "Kita harus pergi dari sini. Ada tempat persembunyian di balik bukit."
Liang Feng melangkah meninggalkan rumah kecil di kaki Gunung Lingyan dengan perasaan yang belum sepenuhnya jelas. Langkah kakinya terasa ringan, namun ada rasa beban yang menggelayuti pikirannya. Pedang yang ia ukir—terbelah namun bersatu oleh akar pohon—berada di punggungnya. Itu bukan hanya simbol kekuatannya yang terbagi, tapi juga gambaran dari dirinya yang telah berubah.Hari mulai terik ketika Liang Feng melintasi jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat. Ia meninggalkan desa Luowen yang sederhana, menuju perjalanan panjang yang menantinya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu masih belum selesai. Kata-kata Yin He bergema dalam pikirannya, tentang bagaimana ia harus menghadapi bayangannya sendiri, bukan menebasnya."Aku masih tak tahu apa artinya itu," gumamnya pelan, mencoba mencari makna yang lebih dalam dari nasihat yang diberikan pria tua itu.Tak jauh dari tempatnya berjalan, di antara pepohonan yang rindang, sebuah bayangan melintas. Liang Feng menghentikan langkah, merasaka
Kabut tipis masih menyelimuti kaki Gunung Lingyan saat Liang Feng tiba di desa kecil bernama Luowen. Letaknya tersembunyi, dikelilingi sawah dan hutan lebat, jauh dari hiruk-pikuk dunia sekte atau arena pelatihan. Namun, di sanalah Bai Zhen mengarahkannya, dengan satu pesan: “Kau tak akan belajar jurus baru di sana, tapi kau akan mengenali hatimu sendiri.”Langkah Liang Feng berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar bambu. Dari dalam, terdengar suara ketukan halus—seperti palu kecil yang memukul besi. Ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Maka ia membuka pagar dan melangkah masuk perlahan.Di balik rumah, seorang pria tua duduk di bawah pohon zaitun tua. Rambutnya telah sepenuhnya putih, namun matanya menyala tajam saat menatap ke arah Liang Feng. Ia mengenakan jubah coklat sederhana dan memegang palu kecil, sedang memahat sesuatu dari batu.“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya pelan, tanpa menoleh dari karyanya.“Apakah Anda orang yang dim
Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Liang Feng berdiri di atas tebing yang menghadap lembah luas di bawah Sekte Pedang Langit. Angin membelai jubah putihnya, membawa serta aroma dedaunan dan bunga liar. Di hadapannya, Bai Zhen berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang namun matanya tajam seperti pedang yang belum disarungkan.“Hari ini,” ucap Bai Zhen, “kau akan berlatih dalam Formasi Bayangan Langit. Ini bukan sekadar teknik bertarung. Tapi juga ujian kedewasaan jiwa.”Liang Feng mengangguk, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Latihan semalam telah mengajarinya satu hal penting—bahwa kekuatan sejati tak datang dari Chi semata, tapi dari pengendalian niat.Bai Zhen melangkah ke tengah lingkaran batu yang sudah disusun membentuk formasi rasi bintang. Di sekelilingnya, belasan pilar kecil terukir dengan pola-pola halus. Ketika ia menekan telapak tangan ke batu utama di tengah, formasi itu mulai menyala—garis cahaya biru keperakan merambat membentuk jaringan.“Masuklah
Cahaya pagi menyusup masuk dari celah-celah kecil di dinding ruang semadi. Udara masih dingin, namun tak sedingin malam sebelumnya. Liang Feng duduk bersila di atas lantai batu, matanya masih tertutup, napasnya teratur, dan tubuhnya dikelilingi sisa-sisa gelombang Chi yang belum sepenuhnya menyatu.Semalam, ia nyaris pingsan ketika pusaran Chi dari batu-batu itu menyerbu tubuhnya tanpa peringatan. Namun setelah beberapa siklus napas, ia mulai memahami irama kasar energi yang dipancarkan ruangan itu—seperti seorang murid yang perlahan memahami nada-nada dari alat musik asing.Di depan pintu, Tetua Yin berdiri diam. Jubah abu-abu tuanya nyaris menyatu dengan dinding, membuatnya seperti bayangan yang tak pernah bergerak. Ia mengamati Liang Feng dengan tatapan dalam, bukan sekadar mengawasi, tetapi seolah membaca sesuatu yang lebih dalam dari postur tubuh atau ekspresi wajah.“Dia menyatu dengan ruang ini lebih cepat dari dugaanku,” gumam Tetua Yin pelan.Suara itu cukup untuk membuat Lia
Udara pagi di kaki gunung terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum sempat diungkap. Liang Feng duduk bersila di tengah ruangan batu, tempat semedi yang bahkan tak bernama dalam catatan murid-murid Bai Zhen. Cahaya matahari belum mampu menembus masuk ke sela-sela dinding batu, hanya nyala lentera yang redup menjadi satu-satunya sumber cahaya, membentuk bayangan-bayangan panjang di wajahnya.Semenjak ia dipisahkan dari rombongan dan ditahan oleh Tetua Yin untuk menjalani pengujian diam-diam, Liang Feng lebih banyak diam. Bai Zhen tak protes, hanya mengangguk saat Tetua Yin membisikkan sesuatu di telinganya. Entah bentuk kepercayaan, atau karena sang guru tahu, perjalanan muridnya memang bukan untuk terus bersama.Sebuah pertanyaan terus bergema di kepala Liang Feng—bukan tentang pedang, bukan tentang Chi, tapi tentang dirinya sendiri."Mengapa aku terus maju?"Pertanyaan itu sepele bagi orang lain, tapi tidak untuk Liang Feng. Karena sejak langkah pertamanya keluar dari
Ruang Batu milik Tetua Yin bukan tempat yang mudah dimasuki. Dinding-dindingnya seolah bukan hanya terbuat dari batu, tapi juga dari waktu itu sendiri—diam, purba, dan penuh tekanan tak kasat mata.Liang Feng berdiri di tengah ruang itu. Cahaya lilin di sudut-sudut ruangan nyaris padam, seolah tak sanggup menyentuh udara yang berat. Tak ada suara. Tak ada langkah. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema, pelan namun mantap.Tetua Yin telah menguncinya dari luar. Bukan secara kasar, bukan pula sebagai hukuman, tapi sebagai ujian sunyi. “Jika hatimu goyah dalam kesunyian, maka langkahmu akan rapuh di tengah keramaian,” begitu kata Tetua Yin sebelum meninggalkannya.Liang Feng tahu ini bukan sekadar ruang. Ini adalah cermin. Cermin untuk seluruh luka yang pernah ia abaikan, seluruh kemarahan yang ia pendam, dan seluruh keraguan yang diam-diam terus menghantuinya.Ia duduk bersila. Mengatur napas.Malam telah jatuh di luar sana, tapi waktu di dalam ruang ini seperti tak berjalan.***
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen