Share

Bab. 2

Dewa terdiam sejenak sambil menatap sepasang mata Kalila. Lalu, dia tertawa. “Lucu. Benar-benar lucu. Hahaha…”

“Aku tidak bercanda, Dewa! Menikahlah denganku sepuluh tahun saja!” ujar Kalila dengan tegas dan menatap Dewa dengan tatapan tajam.

Dewa yang semula masih tertawa langsung terdiam saat melihat raut keseriusan di wajah Kalila.

“Jangan gila, Kalila!” jawab Dewa dengan keras.

“Apa kau tau siapa aku?” tanya Kalila dengan senyum miringnya.

“Aku tidak mengenalmu. Aku bahkan tidak memintamu membebaskanku!” Dewa dengan berani menatap Kalila, membalas tatapan sinis itu dengan tajamnya.

“Lelaki yang kau buat babak belur itu adalah mantan suamiku.”

Dewa terkejut mendengar pengakuan tersebut. Namun, lelaki itu berpikir, pilihannya menolak permintaan Kalila semakin benar karena alasan tersebut.

“Jadi, kau ingin membalas dendam dengan menikahiku lalu menyiksaku?”

Kalila mendengus. Bola mata wanita itu memutar, jengah. “Aku justru berharap kau memukulnya hingga mati, kalau perlu,” ujarnya dengan nada sadis. “Lagi pula, memangnya apa yang bisa kau lakukan dengan status sebagai mantan napi? Mengandalkan hidup dari ibumu menjual diri?”

Dewa meradang mendengar apa yang disampaikan oleh Kalila.

“Jangan pernah mengatakan ibuku seperti itu!”

“Memangnya aku harus mengatakan apa? Dia memang menjual tubuhnya hanya untuk mendapatkan uang,” jawab Kalila santai sambil tersenyum. “Dan kau bahkan memergoki mantanku tengah mencumbu ibu–”

Braaaak!

Dewa menerjang meja yang ada di hadapan Kalila, dan kemudian mendorong tubuh wanita itu hingga jatuh di atas sofa yang besar itu. Sekarang, tubuh tegapnya sudah berada di atas tubuh Kalila.

Melihat tubuh Kalila yang begitu menggairahkan membuat jiwa kelelakiannya bergejolak, bercampur menjadi satu dengan amarahnya. 

Tak ingin terbawa hasrat, Dewa kemudian menjauh dari tubuh Kalila. Sambil melengos lelaki itu bertanya, "Apa yang aku dapatkan jika menikahimu?"

"Kau begitu serakah, Dewa," ujar Kalila sambil tersenyum mengejek. “Apa kebebasanmu masih  belum cukup?”

"Aku rasa, itu hal yang wajar. Bukankah kebebasanku menguntungkanmu? Jadi, aku butuh penjelasan dan keuntungan juga dari pernikahan ini," jawab Dewa penuh penekanan. Kali ini tatapan matanya begitu tajam ke arah Kalila, seolah dia ingin mengatakan kalau dia tidak akan sembarangan menerima tawaran pernikahan itu.

Bagi Dewa, dia harus mendapatkan keuntungan yang lebih, karena dia harus menikahi perempuan yang jauh lebih tua darinya, bahkan hampir seumuran dengan ibunya.

"Tentu saja kamu dan ibumu akan mendapatkan kehidupan yang layak. Kalian tidak perlu lagi tinggal di kontrakan yang sempit itu. Kalian juga bisa meninggalkan lokalisasi itu, agar kamu merasakan nyamannya tinggal di lingkungan biasa," jawab Kalila santai.

Sejenak, Dewa berpikir. Kehidupan yang layak versinya terlalu murah jika ditukar dengan 10 tahun kontrak pernikahan tersebut. Untuk itu, dia mencoba menawar. "Berikan aku sebuah perusahaan!"

"Coba ulangi sekali lagi?" tanya Kalila yang seolah tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Dewa.

"Aku bekerja sebagai pemulung pun bisa memberikan kehidupan yang layak buat aku dan ibuku. Karena standar layak buat setiap orang itu berbeda. Dan aku tidak mau itu!"  jawab Dewa dengan suara yang lantang. "Anggap saja aku menjual diriku di sini, jadi ada harga yang harus kau bayarkan!"

"Dasar sampah! Kau mau memerasku?!" tanya Kalila marah.

"Aku tidak memeras, aku hanya mau bayaran yang sesuai. Bukankah aku harus menjadi suamimu?" tanya Dewa lagi.

"Kau benar-benar tidak malu dan tidak tahu diri! Seharusnya kau berterima kasih karena sudah aku bebaskan. Jika tidak, saat ini kau masih meringkuk dibalik jeruji besi menahan dinginnya lantai tanpa alas karena harus mempertanggungjawabkan kesalahan yang tidak seharusnya mendapatkan hukuman!" teriak Kalila marah.  "Sekali sampah tetaplah sampah! Begitulah dirimu, Dewa!" lanjut Kalila sarkas.

Mendengar hinaan dari Kalila yang tidak berkesudahan, emosi Dewa memuncak. Dia menatap Kalila dengan tatapan tajam, dengan kedua tangan mengepal kuat, memperlihatkan otot-ototnya yang terlatih.

Bibir Kalila tersenyum sinis. "Kenapa? Kau tidak terima dikatakan sampah? Terus, apa yang cocok untuk orang sepertimu?" 

Kalila sepertinya tidak memiliki rasa takut sedikitpun kepada Dewa yang memandangnya dengan tatapan yang tajam. "Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Kalila!" 

“Aku tahu semua tentangmu, Dewa,” jawab Kalila santai.

"Kau benar-benar ingin bermain denganku?" tanya Dewa yang kemudian mengangkat tangan kanannya seperti ingin menampar Kalila.

Namun, Kalila malah seperti menantang, dan menunggu tangan Dewa berlabuh di wajahnya.

Hal itu tentu tak akan terjadi, sebab Dewa tidak bisa melawan wanita. "Jangan memancingku berbuat kasar, Kalila!" teriak Dewa usai menurunkan kembali tangannya dan menyugar rambutnya dengan frustrasi. "Aku bahkan bisa membunuhmu.”

Kalila tersenyum sinis. "Kau yang mulai tidak tahu diri, dibebaskan malah semakin melunjak! Sekarang, silakan tinggalkan rumah ini! Kau benar-benar sampah tidak berguna!" ujar Kalila menarik tangan Dewa menuju pintu. 

"Kau yang tidak paham hukum jual beli, Kalila. Ada barang yang kau beli, harus ada harga yang dibayarkan! Jangan hanya mencari keuntungan secara sepihak!" jawab Dewa kesal.

Kalila sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, dia membuka pintu ruangannya lebar-lebar dan meminta Dewa segera meninggalkannya. "Pergilah, aku tidak butuh benalu sepertimu!"

Dewa keluar dari ruangan itu sambil menendang pintu dengan begitu keras, dia benar-benar marah. Karena dia merasa dia dibebaskan hanya untuk dihina oleh Kalila, padahal mereka baru saja saling mengenal.

Namun, baru saja beberapa langkah Dewa keluar dari ruangan Kalila langkahnya kembali terhenti. Dia baru ingat sesuatu, kemudian dia kembali lagi masuk ke ruangan itu.

Braaak!

Dewa membuka pintu dengan sangat keras. "Beri aku uang, aku tidak ada ongkos untuk pulang!"

Dia baru saja dibebaskan dari penjara dan langsung dibawa ke sini. Tanpa uang, dia tidak mungkin berjalan kaki untuk ke kontrakannya. Mengingat jarak yang cukup jauh, apalagi dia tidak beralas kaki.

"Benar-benar tidak punya harga diri!" ujar Kalila yang terkejut melihat kedatangan Dewa. Kalila kemudian mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya. "Pergilah segera!" perintah Kalila dan menyerahkan uang itu dengan kasar.

Dewa segera meraih uang tersebut, dia sudah tidak peduli makian yang keluar dari mulut busuk wanita itu. Karena baginya, Kalila hanya seorang janda paruh baya yang gatal akan daun muda, sehingga meminta dia menjadi suaminya.

Dewa akan pulang ke kontrakan yang selama ini dia dan ibunya tinggal. Ada rasa bahagia yang menyeruak, tatkala dia membayangkan ibunya akan sangat terkejut melihat dia sudah kembali.

Dengan memesan ojek online, Dewa bergegas pulang. Sebelumnya, lelaki itu menyempatkan untuk membeli oleh-oleh dari uang yang diberikan Kalila, untuk ibunya.

"Ibu, aku pulang," gumam Dewa saat dalam perjalanan.

Suasana sekitar kontrakannya sangat lengang, begitulah kondisi jika siang hari. Namun, jika malam tempat itu selalu semarak bahkan seperti ada sebuah pesta.

Namun, dia mengernyitkan keningnya ketika tiba di depan pintu kontrakan dan melihat ada sebuah sepatu lelaki. Perasaan Dewa mulai tidak enak.

Ceklek!

Perlahan Dewa meraih gagang pintu yang ternyata tidak dikunci itu, sehingga membuatnya bisa langsung masuk.

“Kau mau gaya seperti apa, baby?” tanya suara perempuan.

“Aku mau semua gaya,” jawab suara lelaki.

Terdengar suara tawa ibunya dari dalam kamar. Beberapa saat Dewa mencoba mendengar suara itu hingga akhirnya suara tawa berubah menjadi suara desahan, diiringi dengan suara berat seorang lelaki.

Dewa sudah dewasa, dia tahu apa yang sedang terjadi di dalam kamar tersebut. Dia mengepalkan tangannya, dan mendorong pintu kamar ibunya dengan kasar.

"Apa yang kalian lakukan?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status