Share

Bab. 3

“Bangsaaat!” teriak Dewa marah, matanya memerah menahan tangis dan juga amarah ketika melihat ibunya sedang bergumul dengan seorang pria tanpa mengenakan sehelai benangpun. "Keluar!"

Dewa marah bukan main. Bagaimana tidak? Selama ini dia sudah berusaha bekerja apapun demi mencukupi kebutuhan mereka agar ibunya tidak lagi menjual diri.

"Dewa? Kamu sudah pulang?" tanya Rasti, ibunya Dewa, dengan suara serak sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos.

"Kenapa? Ibu terkejut?!"

Dewa terduduk lemas. Belum sampai dua bulan dia di penjara, pemandangan yang paling menjijikkan kembali dia lihat, ibunya melayani para pria hidung belang demi mendapatkan uang untuk menyambung hidupnya.

Braaak!

Dewa memukul pintu kamar yang rapuh tersebut hingga membuatnya lepas dari engselnya.

"Maafkan Ibu, Dewa…." Rasti berucap dengan lirih.

"Diaaaaaaam!" teriak Dewa.

Bught! Bught!

"Kau mau mati, hah?!"

Dewa menghajar dengan tanpa ampun lelaki yang bersama ibunya tersebut, bahkan dia menghancurkan beberapa barang yang berada di dekatnya. 

Rasti bahkan tidak bisa menghentikannya.

“Ampun…,” ujar lelaki itu sambil mengelap darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya.

“Aku tidak akan mengampuni kau! Dasar lelaki gatal!” teriak Dewa marah dan berusaha kembali menghajar lelaki itu. Mata Dewa sudah gelap melihat lelaki yang tidak lagi muda, namun masih juga bermain ke tempat lokalisasi.

“Tapi, aku sudah membayar mahal!” teriaknya tidak terima dengan perlakuan Dewa.

Deg!

Dewa terdiam beberapa saat, kemudian menatap Rasti dan pria gemuk itu secara bergantian dengan mata yang melotot. Hatinya merasa tercubit mendengar apa yang dikatakan lelaki itu. Dan memang semua orang yang masuk ke tempat itu pastinya sudah membayar.

"Keluar!" teriak Dewa mendorong tubuh lelaki itu dengan kasar.

Rasti yang masih syok dengan keadaan itu hanya bisa terdiam, dia tidak menyangka bisa mengalami hal seperti ini. Rasti sudah kehabisan akal saat ditinggalkan Dewa, hingga akhirnya nekat menerima orderan lagi demi mendapatkan uang.

"Pergi dari sini! Jangan pernah kembali lagi ke tempat ini!” ujar Dewa menunjuk lelaki berperut buncit itu. "Dalam hitungan kelima masih disini, jangan salahkan aku akan membunuhmu!" 

Dewa kemudian mulai menghitung.

“Satu!”

“Dua!”

“Tiga!”

“Emp….!”

Belum sampai lima, lelaki gemuk itu tampak kelabakan, dia memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai dan mengenakannya kembali secara asal, bahkan bajunya terbalik. Dia tidak ingin mati dengan sia-sia di tangan anak seorang wanita penjual tubuh. Dan nanti apa yang akan dikatakan oleh orang-orang jika melihat berita seorang lelaki terhormat sepertinya dibunuh di lokalisasi. Lelaki itu segera meninggalkan kontrakan Dewa diiringi derai tawa dari orang-orang yang melihat kejadian itu.

Dewa terduduk lemah, kedua tangannya terkepal, hatinya begitu sakit saat mengetahui ibunya kembali ke jalan yang salah. Dia benar-benar merasa bersalah dengan keadaan ini. 

Melihat ibunya yang tidak lagi muda, namun harus melakukan pekerjaan yang paling menjijikkan itu membuat kepala Dewa terasa berdenyut. Dia merasa tidak berguna karena tidak mampu berbuat apa-apa saat ini. 

“Tuhan, beri aku kekuatan dan beri aku kekayaan,” gumam Dewa dengan bibir yang bergetar. Bahkan di saat seperti ini dia baru teringat akan Tuhan.

Dewa menyesali nasibnya yang tidak berdaya. Bahkan dia menyesali takdirnya yang hanya menjadi orang yang miskin. Takdir benar-benar mempermainkannya.

Rasti mendekat ke arah Dewa setelah mengenakan kembali pakaiannya. Rasa bersalah dan malu begitu terlihat di wajah Rasti.

“Dewa….” Rasti mencoba meraih tangannya, namun ditepis dengan kasar oleh Dewa.

“Apa yang harus Dewa lakukan agar ibu benar-benar berhenti, Bu? Katakan!!”

Dewa menangis sambil berteriak, harga dirinya terinjak-injak. Dia sudah tahu pekerjaan ibunya sedari kecil, meski belum paham pekerjaan tersebut sangatlah hina.

Namun, ketika di usia yang sebesar ini dia melihat dengan mata dan kepalanya sendiri pekerjaan yang ibunya lakoni … dia benar-benar tidak terima.

Rasti menangis, berkali-kali memohon maaf bahkan berlutut di kaki sang anak.

“Maafkan ibu, Nak. Ibu terpaksa, ibu berjanji tidak akan melakukannya lagi,” ujar Rasti dengan airmata yang terus mengalir di pipinya.

Dewa terkejut bukan main saat melihat ibunya sampai berlutut.

“Jangan lakukan, Bu. Berdirilah, bersihkan tubuh ibu,” ujarnya pelan sembari beringsut mundur menjauh dari ibunya, karena Dewa merasa dia tidaklah sesuci itu.

Dengan hati yang bergemuruh marah, Dewa duduk pada kursi reot yang berada di tengah ruangan itu. Dia menyalakan rokok dan menghisapnya dengan dalam.

Dia tidak peduli dengan ruangan yang sempit itu akan dipenuhi dengan asap rokok, yang bahkan membuatnya tersedak karena begitu banyak asap yang masuk ke kerongkongannya.

“Aarght!” teriaknya sembari menyugar kasar rambutnya. Entah sudah berapa banyak rokok yang dihabiskan oleh Dewa, bahkan puntung rokok berserakan di lantai. 

Di saat Dewa hampir saja tertidur tiba-tiba ponsel yang berada di saku celananya berdering. 

Kring! Kring!

“Berisik! Siapa yang berani menggangguku!” ujar Dewa marah sembari meraih ponsel butut tersebut.

Ponsel yang baru beberapa menit lalu dinyalakan setelah hampir dua bulan tidak pernah disentuhnya karena dia di penjara.

Dia mengernyitkan keningnya saat melihat nomor tidak dikenal yang memanggilnya. Bahkan selama ini tidak pernah ada yang meneleponnya, saking tidak berartinya hidup Dewa.

“Siapa?” tanya Dewa dengan malas setelah menggeser tombol hijau pada layar.

“Aku setuju dengan permintaan kamu, tapi dengan satu persyaratan!” jawab suara seorang perempuan di ujung telepon tanpa basa basi.

“Kalila?” tebak Dewa. Awalnya, dia ingin langsung menutup panggilan tersebut, tetapi ketika teringat apa yang baru saja dilakukan ibunya, dia berubah pikiran. Tetapi, dia masih penasaran alasan wanita itu berubah begitu cepatnya. “Kenapa?”

Bagaimana pun, ucapan Kalila sedikit banyak ada benarnya. Dia akan semakin sulit mencari pekerjaan, sebab dia adalah mantan narapidana. Dan hal itu tentu tidak akan bisa menopang kehidupan dia dan ibunya yang dia minta berhenti dari pekerjaan itu.

“Apanya yang kenapa?” tanya Kalila heran.

“Kenapa kamu berubah pikiran dan menyetujuinya?”

“Kamu tidak perlu tahu!” 

Dewa tahu Kalila bukanlah wanita yang mudah untuk memberikan sesuatu. Wanita manipulatif seperti Kalila pasti akan selalu melakukan berbagai cara untuk memperdaya orang yang lemah.

“Apa syaratnya?” tanya Dewa pelan.

“Aku berikan kamu waktu tiga tahun, kalau dalam waktu yang ditentukan kamu tidak bisa memberikan keuntungan perusahaan melebihi target, maka perusahaan itu kembali kepadaku!” ujar Kalila tegas.

Dewa terdiam beberapa saat. Benar dugaannya kalau Kalila tidaklah memberikan semua itu dengan mudah. Dia yakin kalau di balik semua ini pasti ada tujuan tertentu, apalagi waktu yang diberikan itu begitu singkat untuk seorang Dewa yang tidak berpengalaman memimpin perusahaan.

Dewa ingin menolak. Namun, lagi-lagi bayangan Rasti yang sedang melayani pria hidung belang kembali melintas. Selain itu, dia juga merasa ini adalah waktu yang tepat untuknya meraih impian, mempunyai perusahaan dan memiliki uang yang banyak.

Dia harus mengubah segalanya, dan inilah waktunya agar ibunya berhenti menjajakan tubuhnya demi mendapatkan uang.

“Kalau aku berhasil dalam kurun waktu itu, apa yang akan aku terima?” tanya Dewa lagi. 

Jeda sebentar, Kalila menjawab, “Perusahaan itu akan sepenuhnya menjadi milikmu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status