“Sayang, kamu masih di dalam?” tanya Amisha, mengetuk pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat.
Sudah hampir satu jam ia belum melihat Zain keluar dari kamar mandi. Ia mulai cemas. Tidak biasanya Zain menghabiskan waktu selama itu di dalam kamar mandi, apalagi ia tidak bermaksud untuk mengguyur sekujur tubuhnya dengan air. Hanya sekadar ingin mencuci tangan.Kekhawatiran mendorong tangan Amisha untuk memutar gagang pintu. Ternyata memang tidak dikunci.“Kapan dia keluar?” gumam Amisha, merasa heran saat mendapati ruangan penuh wangi aroma terapi itu kosong.Bak wastafel sudah mulai mengering. Pertanda Zain sudah lama meninggalkan tempat itu.Amisha merapatkan kembali daun pintu, beranjak meninggalkan kamar tidurnya. Ia berjalan menuju ruang kerja Zain. Mungkin suaminya sedang lembur di sana. Begitu yang terlintas dalam pikiran Amisha.Namun, roman mukanya berubah sendu ketika yang ditemuinya hanyalah ruangan kelam. Lampu di daObrolan serius tentang keputusan lamaran Gianna telah beralih rupa menjadi bincang-bincang santai seputar kehamilan Amisha.Gianna merasa bersyukur pertanyaan Harist tentang cucunya yang masih dikandung Amisha dapat menghentikan aksi usil Amisha dan Zain. Mereka berdua sedari tadi terus saja menggoda, membuatnya merasa jengah."Jadi, aku akan punya dua cucu sekaligus?" tanya Harist, berseru girang.Kebahagiaannya terasa makin sempurna. Sesaat lagi ia akan melepas tanggung jawabnya sebagai orang tua bagi Gianna dan menyerahkan tanggung jawab itu sepenuhnya pada suami Gianna nantinya.Menerima kehadiran dua cucu tentu akan membuat hari-harinya akan lebih berwarna. Gelak tawa dan tingkah lucu mereka akan menjadi pengobat sepi yang paling mujarab. Harist makin bersemangat untuk menjalani hari-hari yang akan datang."Iya, Pa. Dua cucu perempuan," bangga Zain."Alhamdulillah. Rasanya papa sudah tidak sabar ingin menimang bidadari kecil
"Wah, lucunya!" seru Zain, riang.Gerakan lincah yang terlihat dari layar monitor alat USG itu sungguh membuat hatinya diselimuti rasa bahagia yang tak terkira.Amisha yang masih terbaring menjalani pemeriksaan hanya bisa tersenyum, menyaksikan kegembiraan Zain. Suaminya tampak persis seperti anak kecil yang sedang menonton pertunjukan sirkus.Dokter yang memeriksa Amisha pun ikut tersenyum geli, melihat kehebohan Zain. Jarang-jarang ia menemukan seorang suami bersikap begitu terbuka, menunjukkan kebahagiaannya saat menemani sang istri memeriksakan diri."Mau tahu jenis kelaminnya?" tawar sang dokter.Ia sengaja tidak langsung memberitahu jenis kelamin anak yang dikandung pasiennya, karena terkadang sebagian dari mereka justru lebih memilih untuk menjadikan hal itu sebagai sebuah kejutan."Tentu, Dok!" sahut Zain, bersemangat.Dokter itu pun menggeser posisi ujung transduser USG yang dipegangnya untuk menemukan bagian tu
"Papa yakin lelaki ini yang melamar Gianna?" tanya Zain. Matanya terus menatap lembaran foto yang terselip di jarinya. Beberapa kali ia melirik Amisha, membuat Amisha penasaran, lalu merampas foto yang dipegang Zain. Amisha mengernyit, melihat foto lelaki yang berniat mempersunting saudara angkatnya. "Serius, Pa?" Amisha ikut bertanya. Ia melirik Gianna. Gadis itu sepertinya juga tertarik untuk mengetahui siapa calon suami yang ditawarkan papa angkatnya. Sayangnya, Harist lebih memilih merahasiakan jati diri lelaki itu dari Gianna. Harist bangkit dari duduknya, mengeluarkan sesuatu dari sebuah stoples yang tersimpan di dalam sebuah lemari kaca. "Ini. Lelaki itu meninggalkan benda ini. Ia meminta papa untuk menyerahkannya kepadamu." Harist menyodorkan sebuah kotak kecil kepada Gianna. Namun, Gianna tak langsung menyambut benda yang diulurk
"Kau tunggu di sini. Aku akan mengeceknya," pinta Zain pada Amisha. Ia membantu Amisha duduk, lalu segera berdiri."Tapi, aku juga pengin tahu," bantah Amisha.Zain membungkuk, meletakkan kedua tangannya di pundak Amisha. Sepasang netra gelapnya mengunci tatapan iris mata unik Amisha."Dengarkan aku, Sweetie! Kita belum tahu pasti keributan apa yang terjadi di luar sana. Jangan bahayakan dirimu dan anak kita. Aku akan memanggilmu kalau semuanya aman," jelas Zain, memberi pengertian pada istrinya yang gampang merajuk itu.Amisha berpikir sejenak, lalu mengangguk, menyetujui saran Zain."Baiklah. Hati-hati!" pesan Amisha, mengusap lembut lengan Zain."Good girl!" puji Zain, tersenyum lega. Ia pun melangkah menuju pintu.Di saat bersamaan, Yoshi juga meninggalkan meja kerjanya. Suara hingar-bingar yang baru saja terdengar di luar sana menggelitik rasa ingin tahunya."Hah!" kaget Gianna, tiba-tiba bangkit dengan mat
"Eit! Mau lari ke mana?"Zain menarik bagian belakang kerah baju Yoshi ketika adik sepupunya itu terlihat sedang berusaha melarikan diri.‘Akh, sial! Tertangkap lagi!’ pikir Yoshi, pasrah, tapi tak rela.Ia berjuang membebas diri dan berkilah, "Aku haus.”Kakak sepupunya itu telah menahan lehernya dengan kepitan lengan."Jangan cari alasan!" bisik Zain, dengan suara ditekan.Di ujung lorong menuju ruang kerjanya, Amisha dan Gianna berjalan mendekat dengan langkah santai. Zain terus berdiri menanti kedatangan Amisha tanpa membiarkan Yoshi lolos dari kunciannya.Ia tahu Yoshi sudah menyadari kemunculan Gianna di kantor mereka. Makanya ia berusaha kabur.Semenjak keceplosan kata di acara bakar jagung malam itu, ia memang selalu berupaya menghindari Gianna."Mau sampai kapan kau terus menghindar? Hadapi saja! Lagi pula, belum tentu Gianna mendengar ucapanmu malam itu," saran Zain.Namun, pandangann
Amisha dan Zain saling adu pelotot. Mereka juga melempar dagu ke depan, kemudian serentak mendecak."Masa aku?" protes Zain, keberatan.Mendadak Amisha menoleh kepada Yoshi. Yoshi, yang baru akan mengisi piringnya dengan nasi putih, bersikap seolah-olah tak mendengar perdebatan Amisha dan Zain sedari tadi."Yosh!" sergah Amisha dan Zain bersamaan.Yoshi menaruh piringnya. Sesaat ia membuang napas berat."Aku angkat tangan," pasrahnya. Kedua tangannya mengambang di udara tanda menyerah.Amisha pun terpaksa mengalah. Ia memutar tubuhnya menghadap ke ruang tengah."Kamu nggak ikut makan malam, Gi?" teriaknya dari ruang makan. Ia terlalu malas untuk menjemput Gianna.Gianna menutup bacaannya. "Ya. Sebentar," sahutnya, menaruh majalah di atas meja.Sejurus kemudian ia berdiri ragu, teringat Yoshi juga ikut makan bersama mereka."Aiiyyaa, aku lupa kutu kupret itu masih di sini," umpat Gianna, memaki