Terus dijodohkan dan didesak oleh orang tuanya untuk menikah, Amisha menjadikan office boy di kantornya sebagai kekasih kontrak. "Sebaiknya kalian menikah secepatnya!" "What?!"
View MoreDuduk bersandar lesu pada kursi penumpang di belakang sang sopir, Amisha menatap hampa ke luar jendela. Siluet lampu-lampu jalan tampak seperti jaring laba-laba dalam pandangan matanya, begitu suram dan menakutkan.
‘Aku sangat berharap saat ini ada portal waktu yang mampu menarikku ke dunia lain,’ gumam hati Amisha disertai desahan napas berat.
Gadis cantik yang sedang fokus menyetir mendengar desahan gundah Amisha. Ia mengintip dari kaca spion. Sorot matanya tak terbaca.
“Apa Nona ingin aku membatalkan pertemuannya?” tanya si sopir berwajah oval itu. Ia kembali melirik dari kaca spion.
“Tidak usah, Gianna. Aku tidak ingin menimbulkan masalah. Lagi pula, aku yakin dia akan mundur dengan sendirinya,” tolak Amisha, menyeringai licik. Si sopir cantik yang dipanggil Gianna itu ikut tersenyum.
“Kita sudah sampai, Nona.” Gianna mengingatkan Amisha.
Amisha membuka matanya yang sempat terpejam. Sejenak ia memeriksa penampilannya dan berkaca. Setelah yakin, ia tersenyum puas, lalu turun dari mobil.
“Kamu tunggu di mobil ya?” pinta Amisha.
“Siap, Nona.” Gianna menjawab cepat dan mendecak geli melihat penampilan Amisha.
Sejenak Amisha berdiri seraya menghela napas panjang di depan pintu sebuah restoran mewah yang akan dimasukinya.
Malam itu, entah untuk ke berapa kalinya ia terpaksa menuruti keinginan orang tuanya, menghadiri kencan buta dengan lelaki pilihan mereka. Amisha mengedarkan pandangan, mengamati meja-meja yang sebagian besar sudah terisi penuh.
“Yang mana lelaki itu?” bisik Amisha bimbang, ketika sepasang manik mata ungu miliknya menemukan dua meja yang dihuni seorang lelaki. Meja itu saling berdekatan dan berada agak di tengah ruangan.
Tak ingin salah target, Amisha mencoba menghubungi nomor ponsel lelaki yang akan ditemuinya. Begitu menerima balasan, ia melangkah masuk dengan senyuman licik.
Ia berhenti tepat di hadapan seorang lelaki berwajah tampan dengan setelan jas berwarna putih. Sekilas ia memperhatikan penampilan lelaki itu.
‘Lumayan keren,’ puji Amisha dalam hati.
“Ehem!” Amisha mendeham untuk mengalihkan perhatian lelaki itu dari daftar menu yang tengah dibacanya.
Lelaki itu mendongak. Ia ternganga melihat seorang wanita berpenampilan norak berdiri di depannya. Wanita itu memakai rok kembang dan tunik dengan perpaduan warna yang mencolok. Ditambah jilbab panjang dengan warna kontras.
Sepasang kacamata lebar dan sebuah tompel besar di pipi kirinya membuat penampilan wanita itu semakin terlihat aneh. Saat wanita itu mencoba tersenyum dan memperlihatkan sepasang gigi kelinci, lelaki itu tiba-tiba saja merasa mual. Namun, ia berjuang untuk menahannya.
‘Benarkah wanita yang berdiri di depanku ini Amisha Harist?’ Lelaki itu tak percaya dengan penglihatannya.
“M–ma–af. A–apa ... A–Anda … T–Tu–an … T–Taksa?” tanya wanita itu, terbata-bata. Ia masih berdiri pada posisi semula.
“Anda siapa?” Lelaki itu balik bertanya. Keringat kekesalan mulai berjatuhan di pelipisnya.
“Oh … s–sa–ya … A–mi–sha … H–Ha–rist,” jawab Amisha gagap sambil mendorong ke atas kacamatanya, yang melorot, dengan jari telunjuk.
‘Sial! Aku telah dibohongi! Katanya Amisha Harist cantik. Cuih! Amit-amit deh. Lebih baik aku pergi dari sini,’ maki Taksa dalam hati.
‘Buang-buang waktu saja!’ rutuknya, menyesali keputusannya untuk datang ke restoran itu. Ia meletakkan daftar menu di atas meja dan berdiri.
“Maaf, sepertinya Anda salah orang, Nona.” Taksa mencoba tersenyum, sekadar untuk berbasa-basi. Amisha memasang wajah pura-pura kecewa.
“T–tapi n–nomor m–mejanya s–su–dah b–be–tul.” Amisha menunjuk nomor di atas meja dan pura-pura protes. Taksa terkejut.
“Oh, maaf. Kalau begitu mungkin saya yang salah masuk restoran,” sahut Taksa agak kikuk sembari melirik ke tempat lain.
“Permisi, Nona.” Taksa pamit dan bergegas meninggalkan restoran itu sambil bergumam tak jelas.
Beberapa pengunjung wanita yang mendengar percakapan Amisha dan Taksa berbisik-bisik seraya melirik sinis ke arah Amisha. Akan tetapi, Amisha tak peduli dengan semua itu.
Di sebuah meja lain, seorang lelaki mengawasi Amisha dengan alis berkerut. Dari tempat duduknya, ia dapat melihat jelas sebuah seringai kemenangan terukir di bibir Amisha saat lelaki bernama Taksa itu pergi meninggalkannya.
‘Gadis aneh! Bukankah seharusnya ia merasa sedih karena telah dipermalukan?’ pikir lelaki itu, heran.
Setelah yakin Taksa benar-benar meninggalkan restoran, Amisha memutar tubuhnya dan melangkah menuju toilet.
Didorong oleh rasa penasaran, lelaki yang mengawasi Amisha perlahan bangkit, membuntuti gadis itu ke toilet. Ia bersembunyi di suatu tempat, di mana ia dapat memperhatikan setiap orang yang keluar masuk toilet dengan leluasa tanpa takut akan ketahuan.
Keikutsertaan Zaina dalam pameran lukisan di Bastille Design Center tergolong sukses. Gelombang pujian terus bergulir mengagumi bakat istimewa Zaina.Pagi ini, Zain dan keluarganya mengikuti Deanis ke Desa Mittelbergheim. Mereka ingin tahu seperti apa tempat tinggal Zaina selama lima tahun berpisah dari mereka.Amisha dan Zain terkagum-kagum menyaksikan keindahan desa tempat tinggal Zaina. Jajaran rumah bernuansa klasik dikelilingi hamparan kebun anggur sungguh sangat menyegarkan mata.Dengan bangga, Zaina membawa Amisha dan Kaina memasuki sanggar seninya dan Deanis. Ia berceloteh riang memamerkan hasil karyanya. Bahkan, ia menawarkan Amisha dan Kaina untuk menjadi model lukisannya.Sementara Deanis mengajak Zain berjalan menyusuri perkebunan anggur di dekat tempat tinggal mereka.“Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih atas jasamu merawat Zaina selama ini,” cetus Zain.“Aku malu mendengarnya,” balas Deanis.
Yoshi tengah duduk santai di sela jam kerjanya. Ia merilekskan otot-otot lehernya yang terasa kaku. Selang beberapa waktu, ia meraih tablet yang tergeletak di atas meja. Ia membawa tablet itu ke sofa dan berbaring di sana. Meluruskan otot pinggangnya yang terasa penat akibat duduk lama.Tangan Yoshi bergerak lincah, mencolak-colek layar tablet. Ia sibuk berselancar di dunia maya. Tiba-tiba matanya melotot, menyaksikan artikel sebuah berita. Ia pun langsung terlonjak duduk.“Mirip sekali!” desisnya.Ia memperbesar potret yang terpampang pada artikel berita itu. Ia juga mendekatkan wajah pada layar monitor agar dapat melihat dengan lebih jelas.“Tak salah lagi! Ini pasti dia!” teriaknya.Yoshi langsung bangkit berdiri, berlari menuju ruang kerja Zain. Ia merangsek masuk ke dalam ruangan bosnya tanpa mengetuk pintu. Tak ia pedulikan tatapan sinis Zain kepadanya.“Zain, lihat ini!” serunya, menyodorkan potret seorang gadis kecil dari
Di atas sebuah sofa, seorang gadis kecil usia tujuh tahun tertidur pulas sambil memeluk boneka kelinci.Sementara tidak jauh dari gadis kecil itu, seorang lelaki usia akhir tiga puluhan terlihat sibuk dengan tarian kuas di atas sebuah kanvas. Rupanya ia tengah mengabadikan pose gadis cilik itu. Sesekali ia menoleh pada gadis kecil itu dengan tatapan penuh kekaguman. Kejelian mata seninya merekam dengan teliti gurat-gurat ekspresi gadis kecil yang menjadi modelnya.Lelaki itu tersenyum dan meninggalkan tempat duduknya, beranjak mendekati gadis kecil itu untuk membetulkan posisi gaunnya yang sedikit tersingkap. Diusapnya kening gadis kecil itu penuh kasih, lalu kembali ke hadapan kanvasnya.Gadis kecil itu masih tertidur lelap. Namun, perlahan raut mukanya berubah. Sepertinya ia tengah bermimpi.Sesosok bocah perempuan usia dua tahun tengah berdiri di samping mamanya sembari mendekap sebuah buku gambar.Merasa bosan menunggu mamanya yang ma
Kabut pagi telah berlalu tersaput hangatnya sinar mentari. Zain dan keluarganya baru saja bersiap hendak mengikuti Kadir meninjau sawah yang lain ketika ponselnya berdering nyaring.“Ya?” sahut Zain, mengangkat panggilan teleponnya.Dadanya berdegup kencang ketika membaca nama salah seorang aparat polisi tertera di sana. Bayangan wajah Zaina langsung terlintas di benaknya.“Seseorang baru saja melaporkan penemuan anak hilang ke kantor kami, Pak. Usia dan ciri-cirinya mirip sekali dengan anak Bapak. Kami harap Bapak bisa segera datang untuk mengecek langsung,” beritahu aparat polisi itu dari seberang telepon.“Baik, Pak. Tunggu! Aku akan melesat ke sana,” sahut Zain, sigap.Detak jantungnya makin berpacu cepat. Ia sungguh memendam harap bahwa gadis kecil yang ditemukan itu benar-benar Zaina.“Sayang, Kai sama mama dan bibi ya. Papa pergi sebentar,” pamit Zaina pada Kaina yang tiba di sisinya. Ia berjongkok sembari mengusap lembut
“Ayo, Nona Cilik … habiskan sarapannya ya … biar cepat besar,” rayu Siti, membujuk Kaina agar mau membuka mulut.Alih-alih termakan rayuan Siti, Kaina malah membekap mulut dengan kedua tangan mungilnya. Kepalanya menggeleng kuat.“Sedikit lagi,” bujuk Siti.Kaina kembali menggeleng. Semenjak kembarannya menghilang, selera makan Kaina pun terbang. Saat Zaina masih ada, ia dan Zaina akan berlomba menghabiskan makanan mereka, disuapi Zain dan Amisha. Keduanya tampak bersemangat untuk menjadi pemenang.“Sudahlah, Bi. Tidak usah dipaksa kalau memang dia tidak mau,” ujar Amisha, menengahi Siti dan Kaina yang saling bersitegang dengan keinginan masing-masing.“Tapi, perjalanannya cukup jauh, Non. Nanti Non Kaina kelaparan,” kilah Siti.“Tidak apa-apa, Bi. Bawa bekal saja.”Siti tak lagi membantah. Ia meletakkan piring nasi yang dipegangnya di atas meja makan.Kaina menurunkan kedua tangan yang masih menutupi mulutnya.
"Aaargh! Zainaku mana? Zaina!" jerit Amisha histeris sambil menjambak rambut dengan kasar. Kedua bola matanya bergerak liar ke segala arah, mencari keberadaan sosok Zaina.Kaina yang baru muncul di kamar mamanya sontak berdiri dengan tubuh gemetar. Wajah imutnya seketika memucat. Kaki mungilnya spontan menapak mundur secara perlahan.Zain refleks menyambar tubuh Kaina dan mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya."Bawa Kaina bermain, Bi!" pinta Zain pada Siti.Asisten rumah tangganya itu juga sekonyong-konyong berlari ke lantai atas begitu mendengar jeritan Amisha.Zain menghampiri Amisha, mendekapnya dengan penuh kasih."Ini semua salahku. Aku yang membawanya ke mal itu. Aku yang membuat Zaina menghilang," racau Amisha dalam isak tangisnya.Sudah tiga bulan waktu berlalu. Namun, Amisha masih belum bisa menerima kenyataan hilangnya Zaina dengan lapang dada. Setelah melewati fase kehilangan yang membuatnya tampak li
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments