Share

Empat : Seorang Adik Kesayangan

Langkah Jasmine terhenti.

Seorang pemuda keluar dari lift. Menatapnya dengan salah tingkah. Dia Edie, sahabatnya. Ia sudah mengenal pemuda itu bertahun-tahun yang lalu dan sekarang juga bekerja di kantor yang sama dengannya.

Jasmine mengeluh lirih. Bagaimana ia bisa lupa semalam Edie mengirim pesan padanya, dan bilang akan datang pagi-pagi untuk mengantarnya. Tak perlu ditebak, Edie pasti mendengar apa yang baru saja ia teriakkan.

Pemuda itu tersenyum ragu dan menyapa, “Hai.”

Jasmine tersenyum kecut dan menghampiri pemuda itu, “Hai. Sudah kubilang aku akan nyetir sendiri.”

“Saya sudah berjanji akan menyetir pagi ini.”

Edie menyodorkan sebuah kantong kertas pada Jasmine. Jasmine memeriksanya.  Dua buah pastry hangat dan sebotol jus jeruk.

“Terima kasih,” guman Jasmine, masih tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. 

Jasmine menekan tombol lift. Saat itu pintu lift terbuka lagi dan mereka berdua masuk bersama.  Sementara Julia dan Jennifer hanya memandang mereka berdua.

“Kalian tidak akan masuk?”  tanya Jasmine.

Keduanya pun melangkah masuk. Julia melirik Edie dengan penuh selidik.

“Bukankah kita pernah bertemu?” Julia menatap Edie tajam.

Edie tersenyum dan mengangguk, “Ya.”

“Aku masih ingat kita bertemu dirumah Jasmine yang dulu. Waktu itu kau membantu memperbaiki  pompa air Jasmine yang rusak. Kalau tidak salah … kau bernama Edie?”

“Ya,” angguk Edie. “Apa kabar?”

“Aku mengingatmu karena kau anak yang tampan.” Julia mengernyit. Memandang keduanya bergantian. “Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Dan sekarang kau membawakan sarapan untuknya. Apa hubungan kalian sebaik itu?” 

Jennifer ikut melirik Edie dengan pandangan sedikit terpesona. Lelaki itu memang tampan. Posturnya tinggi, langsing namun tidak bisa dikatakan kurus. Dan daya tarik utama adalah kulitnya yang putih bersih dan wajahnya yang tampan dengan rambut yang dibiarkan sedikit berantakan.

“Kalian berkencan?” tanyanya tak bisa menahan diri.

Jasmine melotot menatap adiknya itu, “Kami bekerja ditempat yang sama dan kami berteman.”

Jennifer mengangkat kedua bahunya. “Sayang sekali,” bisiknya, dan ia mendapat senggolan dari Julia.

Selama beberapa detik, lift itu sunyi sebelum Jennifer mulai angkat bicara lagi.

“Katakan. Apa Akmal yang membuatmu begitu? Apa cintamu padanya begitu besarnya hingga tak tergantikan? Bahkan setelah ia mati?”

Jasmine memejamkan matanya. Wajahnya memanas. Sesaat tadi ia berharap dengan adanya orang lain didekat mereka akan membuat kedua saudaranya itu setidaknya menahan diri untuk tidak mengungkapkan masalah intern keluarga mereka. Seharusnya ia ingat Jennifer bukanlah tipe orang yang memiliki tenggang rasa sebesar itu.

“Kau tidak bisa memutuskan untuk menjadi perawan seumur hidupmu hanya gara-gara seorang lelaki saja.”

Jasmine mendengar sentakan nafas dan itu bukanlah berasal dari Julia maupun Jennifer. Tak terbayangkan lagi apa yang ada dipikiran pemuda itu.

 “Aku hanya melewatkan acara makan malam, Jenni,” desis Jasmine. “Itu tidak memberimu hak untuk mengumumkan pada dunia tentang kehidupan percintaanku.”

“Kalau saja kau tahu acara apa yang menunggumu selain pesta ulang tahunmu.. aw!”

Julia menginjak kaki adiknya yang tidak bisa menahan lidahnya.

Jasmine menatap kakak dan adiknya itu tajam. “Ada apa?”

“Ibu sudah bilang untuk tidak mengatakan itu padanya!”

Jennifer mengerang. “Memangnya kenapa? Pada akhirnya dia toh harus tahu juga kalau kita memang sedang berusaha mencarikan jodoh untuknya!”

Edie terbatuk-batuk kecil dan Jasmine merasa tidak mungkin bisa lebih malu dari ini.

“Kalian tidak bisa diam?” desis Jasmine nyaris kehilangan kesabaran.

Julia menatap Jennifer mencela, sementara Jennifer hanya melengos, jelas tidak puas dengan pembicaraan mereka.

“Kalau tidak mau dijodohkan, ya cari sendiri. Kau toh kerja ditempat yang penuh dengan lelaki. Masa satu saja tidak ada yang tertarik padamu,” celetuknya.

“Jenni!” Jasmine dan Julia berseru bersamaan.

“Baiklah, baiklah…” sungut Jennifer. “Aku akan diam.” Jennifer berdiri gelisah ditempatnya. “Yang mau kukatakan adalah, masih banyak lelaki diluar sana. Lagian, kalau kau cinta mati pada Akmal, seharusnya kau tidak lari meninggalkannya dulu dan membuat dia mengalami kecelakaan itu.”

Kata-kata itu menimbulkan gema diseluruh penjuru lift. Juga pada dinding-dinding kepala Jasmine. Selama bertahun-tahun, hanya ibunya yang terang-terangan mempersalahkan dirinya tentang musibah itu. Ia tak pernah berharap apapun tentang apa yang dipikirkan keempat saudaranya. Namun sepertinya itu tidak terlalu jauh berbeda dengan ibunya.

“Apa yang kau katakan?” desis Julia menyikut lengan adiknya. 

Lift berhenti di basement. Dengan tubuh sekaku papan Jasmine keluar diikuti Julia dan Jennifer.

“Jasmine…” Julia berusaha menghampiri Jasmine.

“Tolong jangan bicara lagi.”

Tanpa memperdulikan siapapun, Jasmine menekan remote mobilnya dan berjalan cepat kearah mobil berwarna biru ditempat parkir pribadinya.

Edie yang keluar belakangan, hanya mengamati Jasmine beberapa lama sebelum berlari menghampirinya.

“Tunggu dulu.”

Jasmine yang tengah membuka pintu kemudi berhenti namun tidak menatap pemuda itu sama sekali.

“Berikan kuncinya.”

Ada pertentangan batin diwajah wanita itu. Ia sedang ingin sendirian. Ia tidak ingin bersama orang lain saat ia sedang sangat marah. Ia tak pernah bergantung pada siapapun. Setidaknya selama beberapa tahun belakangan ini ia tak pernah mencoba menyandarkan diri pada siapapun. Bahkan Edie sekalipun.

Namun, menyadari anggapan ibu dan saudara-saudara tentang dirinya, membuatnya emosi dan memaksa pikirannya kembali pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Hanya kepahitan yang bisa diingatnya. Kepahitan yang tidak akan pernah mampu ia ungkapkan pada orang lain. Kecuali terapisnya, tentu saja.

“Akan sangat bahaya mengemudi sekarang,” kata Edie lagi, membaca keraguan diwajah wanita itu.

“Bisa-bisanya kau mengatakan itu?” terdengar suara Julia memarahi Jennifer.

Jasmine menghela nafas panjang dan memandang Edie. Setidaknya ia bisa mempercayai pemuda itu.

Jasmine menyerahkan kuncinya.

“Terima kasih. Maaf kau sampai mengetahui hal seperti ini.”

Edie tidak menyahut, hanya membukakan pintu penumpang untuk Jasmine dan berlari memutar kembali ke belakang kemudi. Mobil baru saja bergerak ketika tiba-tiba Julia dan Jennifer mengetuk pintu kaca mobilnya. Edie membuka sedikit kaca jendelanya.

“Hei, kami tadi kemari naik taksi dari terminal. Setidaknya kau harus mengantar kami sampai ke halte bus.”

Edie menatap Jasmine dengan mata bertanya. Jasmine sendiri hanya menatap kedua saudaranya itu dengan muram sebelum berkata.

“Kalian panggil taksi lagi saja.”

Jasmine menolak memandang kedua saudara perempuannya yang berteriak-teriak memanggilnya. Begitu mobil berjalan ia menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya.

Tiga puluh lima.

Diusia ini, bukankah seharusnya ia telah menjalani hidupnya dengan tenang? Tak perduli ia sendirian atau bersama pasangan. Ia merasa sudah melewati masa dimana ia masih harus dibingungkan oleh jodoh. Begitu juga dengan orang disekitarnya, seharusnya mereka menghargai pilihannya.

Beberapa tahun setelah meninggalnya Akmal, ibunya tidak begitu ribut menyuruhnya menikah. Namun setelah Jessica menikah, ibunya mulai resah dan bingung mencarikan jodoh untuknya. Pernikahan Jennifer dua tahun lalu hanya membuat ibunya semakin panik dan berusaha keras untuk mencarikan calon suami yang dianggapnya potensial untuknya. Nyaris sebulan sekali ibunya selalu memiliki calon yang dikirimkan lewat handphonenya, lengkap dengan semua kualifikasinya. Semuanya serba unggul, sukses, dan kaya.

Kadang ia berfikir bagaimana ibunya memiliki calon yang begitu banyak?  Dan apa mereka semua masih sendiri?

Kali ini rupanya ibunya ingin bergerak diam-diam dan langsung menjebaknya ditengah-tengah pertemuan dengan seorang lelaki setelah selama ini ia selalu menolak semua rencana perjodohannya. Ibunya sudah bosan dengan alasan basi belum ingin menikah dan ingin membina karir yang dulu sering ia lontarkan. 

Dulu, seperti gadis-gadis lain pada umumnya ia menginginkan sebuah pernikahan yang indah. Ia pernah bercita-cita menikah muda, menjadi ibu muda dengan dua orang anak lelaki perempuan yang lucu. Ia bahkan sudah merancang nama dan juga les-les yang akan ia peruntukkan bagi anak-anaknya kelak. Untuk anak lelaki, ia ingin memasukkannya pada sebuah perkumpulan tae kwon do dan renang. Sementara untuk putri kecilnya, ia akan memasukkan pada les balet dan piano.

Namun kini, diusia tiga puluh lima, ia telah kehilangan minat terhadap kehidupan yang dulu pernah ia idam-idamkan itu. Benar yang dikatakan saudara-saudaranya. Ia menjalani hidupnya dalam gersang. Tak ada lelaki dalam hidupnya, tak ada lelaki yang merengkuh dirinya dalam cinta. Tapi ia juga tidak percaya dirinya akan pernah tertarik lagi pada cinta untuk kedua kalinya. Ia pernah sangat mencintai Akmal dan itu sudah cukup untuknya.

Ironis memang. Ia bekerja bersama hampir tiga puluh orang dikantornya yang mayoritas berlabel lelaki. Hanya ada dua wanita dikantornya yaitu Maya dan Vita. Masing-masing sebagai kepala administrasi dan staff pembelian. Maya berumur tiga puluh tiga tahun, sudah menikah dengan seorang anak dan sekarang sedang mengandung anak keduanya.

Sementara Vita, gadis itu mungkin baru berumur dua puluhan dan baru bekerja disana sekitar sepuluh bulan. Tergila-gila pada Edie sejak pertama melihatnya. Ketampanannya membuatnya tergila-gila namun terkendala oleh gengsi yang kekeh dijaganya. Ia tidak bisa berkencan dengan Edie yang hanya seorang Officeboy.

Ia yang paling tua diantara mereka bertiga. Selama 7 tahun sejak ia mulai bekerja di perusahaan itu, beberapa pria dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikan padanya. Namun tak seorangpun diantara mereka yang mampu menggetarkan hatinya ataupun sekedar membuat jantungnya berdebar dua kali lebih cepat.

“Kita sudah sampai.”

Kata-kata Edie membuat Jasmine mengerjap, mengembalikan dirinya dari lamunannya. Ia membuka matanya dan bertatapan dengan Edie.

Edie?

Dia hanyalah seorang adik untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status