“Kamu dimana Nai..??”
Suara Tuan Satya terengah-engah diujung telepon genggamnya. Ia baru saja keluar dari ruang kerja Tuan Besar Sudarta.“Naaaiii... Kamu dimanaaa..?”“Apa sih Mas teriak-teriak..?? Pecah gendang telingaku..” Naira menyahut sambil bersungut.Ia memperlambat laju kendaraannya.“Gawat Nai... Aku keceplosan bilang sama Junara dan Papa kalau Mohzan itu putranya Desma..!” Teriak Tuan Satya sambil menepuk jidat. Ia mondar-mandir dihalaman parkir.“Haah..?? Alangkah bodohnya kamu Mas..! Goblok..!” Naira memaki suaminya dengan kesal.“Aku sedang menuju kerumah sakit Mas, tadi aku menyamar jadi pembeli diwarungnya Desma. Dan aku berhasil mendapatkan informasi disana kalau Desma sedang berada di rumah sakit. Aku harus selalu memantaunya.”“Nah kebetulan sekali Nai, sekarang Junara sedang menuju kesana mencari Desma untuk memastikan Mohzan anak siapa. Kamu tahIbu Aisyah sungguh tidak tega membohongi cucunya. Tapi itu terpaksa ia lakukan. Kalau seandainya ia memberi tahu Mohzan sekarang bahwa Tuan Junara benar ayah kandungnya, ia takut Mohzan tidak akan bisa menahan diri untuk tidak memeluk ayahnya yang ia rindukan selama ini. Dan itu sungguh berbahaya.“Lalu Mamamu bertemu dengan Danu. Mereka menikah dan lahirlah kamu Mohzan.” Ibu Aisyah meneruskan cerita bohongnya.“Jadi Bapak Junara itu bukan ayah kandungnya Mohzan ya Nek..?”Dengan terpaksa Ibu Aisyah menggelengkan kepalanya.Mohzan meragukan pengakuan Neneknya itu. Namun ia tidak mau mendesak. Ia memilih untuk menyelidikinya diam-diam. Dihati Mohzan sangat yakin kalau ibu dan neneknya sedang berbohong. Tapi ia tidak tahu apa alasan mereka membohonginya.“Baiklah Nek. Mohzan mau istirahat dulu.”Mohzan melangkah menuju kamarnya. Disana ia duduk disebuah kursi dan menghadap meja.“Kalau Bapak Junara buka
Mata Desma terbelalak membesar begitu ia melihat sosok seorang lelaki masuk ke warungnya dipagi itu. Lelaki itu berpenampilan dengan tidak seperti biasanya. Ia memakai celana jeans dan kaos oblong. Tidak ada embel-embel konglomerat atau bangsawan yang tersemat dipenampilannya yang sederhana.“Selamat pagi sayaaang..!” Begitu sampai ia menyapa Desma. Sapaannya yang manja kontan membuat aliran darah Desma tersumbat. Ia merasa terbang ke masa lalu yang indah.“Ada apa Mas pagi-pagi udah kesini..?” Desma mencoba menghilangkan rasa groginya.“Aku mau melamar pekerjaan disini Desma..!” Seru Junara tersenyum.“Kamu mau kan menerima aku sebagai karyawanmu.. Aku tidak minta gaji besar, dikasih makan saja sudah cukup.” Sambung Tuan Junara tersenyum nakal menggoda Desma.Desma kebingungan. Wajahnya memerah seketika.“Aduuuh istrikuuu.. Kamu makin cantik aja walaupun sudah di usia mulai tua.” Celutuk Tuan
“Hei pelayan...!! Mengapa diam saja...? Tolong segera siapkan pesanan kami..!” Dengan gaya memerintah Tuan Besar Sudarta berteriak kepada Tuan Junara yang nampak bengong disisi Mohzan.Tuan Junara tersenyum geli melihat gaya ayahnya. Ia tahu kedatangan ayahnya adalah untuk memberikan semangat kepadanya.Dengan sigap Tuan Junara mempersilahkan Tuan Besar Sudarta duduk disebuah kursi menghadap meja bundar.“Ooh, Silahkan Tuan Besar..! Saya akan segera mengantarkan pesanan Tuan..!”Desma yang tadi larut dalam kepiluan kini tersenyum geli melihat kelakuan suami dan Papa mertuanya itu. Tuan Besar Sudarta dan Tuan Junara memang selalu kompak disegala situasi.Tuan Junara dan Mohzan berjibaku melayani Tuan Besar Sudarta dan para tamu lainnya yang datang melimpah ruah. Dari dalam warung sampai kehalaman, ratusan orang sedang menikmati makan siang. Ada yang hanya bisa duduk bersila ditempat seadanya. Yang jelas suasana benar-
“Kemana kamu Alpan..?”“Jalanlah Kek..! masa Alpan dirumah terus..!” Dengan bersungut Alpan menjawab pertanyaan Tuan Besar Sudarta.“Apa yang kamu dapat dari perjalananmu selama ini.? Kakek tidak melihat adanya perubahan ke arah positif dari dirimu.”“Aah... Itu karena mata Kakek picek.. Kakek hanya melihat sisi burukku saja.!” Alpan semakin kurang ajar menjawab. Ia menghentakkan kakinya ke lantai.Tuan Besar Sudarta hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menghadapi cucunya yang keras kepala itu.“Ada apa nih pagi-pagi udah ribut..?” Astuti mulai membaur dimeja makan untuk sarapan.“Tau nih Kakek, makin tua makin cerewet..! Selalu saja ada yang salah dimatanya.”“Kenapa sih Pa..? kamu seperti tidak suka pada cucumu sendiri..?!” Astuti mengomel kepada suaminya. Sebagai istri dia bukannya melayani suaminya tapi Astuti selalu sibuk memprotes dan memulai per
Saat yang dinantikan banyak orang akhir tiba juga.Pagi itu Mohzan pamit kepada Desma dan ibu Aisyah. Ia sudah siap dengan memakai kemeja putih dan stelan bawah berwarna hitam. Sebuah paduan warna yang terlihat sangat formal.“Ma, Nek... Mohzan jalan dulu. Doain acara berjalan lancar.” Demikian Mohzan meminta restu kepada dua wanita yang dijulukinya malaikat tanpa sayap itu.Entah kenapa hati Desma dan ibu Aisyah terasa tidak tenang. Mereka berdua nampak keberatan melepas kepergian Mohzan.“Ada apa Ma..? kenapa Nek..? Kok Mama dan Nenek nampak sedih gitu.” Mohzan mencium pipi ibunya lalu neneknya juga. Memang begitulah kebiasaannya selalu jika ia mau pergi.“Hati-hati Nak..!” Suara Desma parau. Ia sulit mengungkapkan perasaannya saat itu.Sedangkan ibu Aisyah tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. Ia hanya memandangi cucu tersayangnya itu dengan rasa berat hati melepas. Tapi ia tidak tahu apa alasannya begitu berat mel
“Bang.. bee..beer taa taa haanlah.. Ba baa..ng..!”Pedro berusaha menginsut tubuhnya mendekati Mohzan yang terlihat mulai lemah. Ia terlalu banyak kehabisan darah. Pedro menggapai tangan Mohzan dan berusaha memberikan kekuatan walau ia sendiri sudah semakin tak berdaya.“Pedrooo..aa..aaba..abaaang.. su dah.. ttaak kuuu..kuuat lagiii..!” Mohzan menjawab terbata-bata. Nafasnya tersengal.“Tii..tidaak Baang.. Aa..abaang h. Haarus..beer ta.ttahan. Aaabang.. saangaat dibuutuhkan uu..untuk.. mmenyaatukaan raa..raasa peersauadaraan diii..didi neegaarra kiikiitaa..yaaang suu..sudaah muu..mulai puu..puudaaar..!Nafas Pedro makin terengah. Ia tahu bahwa ia tidak sanggup lagi untuk bertahan.Oh..Baapa..di syuurgaaa.. bebee..rriikakanlah..nyaawaaku uuntuk..Baang Moohzaan. Tuuhaaan. Yeesus..baa..baawaalaah aakuu peergiiii..!”Mohzan menggenggam tangan Pedro dengan sisa tenaganya. Tangan itu kini tiada bertenaga lagi. Pedro t
Halaman rumah sakit penuh sesak. Mereka menunggu kedatangan para korban penembakan yang terjadi distudio Patriot televisi sekitar satu jam yang lalu.Lautan kendaraan berderak perlahan menuju tujuan yang sama. Wajah resah dan sedih terlihat dimana-mana. Negeri di selimuti awan penuh duka.Adik-adik Mohzan terus berlari menuju studio. Namun dipertengahan jalan mereka berpapasan dengan rombongan ambulan yang membawa Mohzan dan korban lainnya menuju rumah sakit.Tanpa mengenal lelah serta merta mereka memutar arah mengikuti ambulan-ambulan itu. Mereka terus menangis dan memanggil nama Mohzan.Keringat yang bercucuran tidak sedikitpun mereka indahkan.Tak lama kemudian Mohzan dan korban lainnya sudah sampai dirumah sakit. Para dokter dan tenaga medis lainnya sudah dari tadi menunggu.Begitu para korban datang, mereka langsung memberikan pertolongan. Para korban langsung dibawa menuju ruang operasi.Begitu ruang operasi ditutup, bagian humas rumah sakit
Bab 51.Desma dan Junara mendapat kesempatan untuk masuk ke ruangan isolasi Mohzan. Desma memegang tangan Mohzan yang lemah.“Bangunlah Naak...! Katanya terdengar lirih dan setengah berbisik.Tuan Junara memperhatikan Layar monitor pendeteksi detak jantung atau yang disebut dengan Elektrokardiograf. Grafiknya terus bergerak dilevel yang sangat rendah.“Bertahanlah Mohzan... Bertahanlah demi kami.. berikan Papa waktu untuk bisa hidup bersamamu. Selama ini sudah banyak waktu yang telah terbuang..!” Tuan Junara meratap sedih.Desma mengangkat wajahnya mendengar ratapan Tuan Junara.“Apakah Mas Junara sudah tahu kalau Mohzan adalah anaknya..?” Desma bertanya di dalam hatinya.Selama ini Desma menyembunyikan kenyataan itu dari Tuan Junara agar Naira tidak mencelakai Mohzan. Tapi kini Mohzan telah dicelakai walaupun Desma telah menutup rapat-rapat rahasia itu.“Pasti ini perbuatan Kak Naira, aku harus member