Fajar mulai menyingsing, menyingkirkan sisa-sisa kegelapan malam. Sinar matahari pertama memantul di dedaunan hutan bambu, menciptakan kilauan yang indah namun tidak cukup untuk mengusir perasaan gelisah di hati Liu Feng. Ia terus memandangi tanda hitam yang kini menghiasi lengannya, merasakan denyutan aneh yang seolah memiliki kehidupan sendiri.
"Shen Tao," panggil Liu Feng dengan suara pelan, namun penuh kecemasan. "Apa sebenarnya tanda ini? Mengapa aku bisa merasakannya seperti darah yang mengalir di nadiku?" Shen Tao tidak langsung menjawab. Pria itu duduk di sebuah batu besar, matanya menatap kosong ke arah pepohonan. Sepertinya ia tengah bergulat dengan pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. "Tanda itu bukan hal yang seharusnya muncul begitu saja," ucap Shen Tao dengan nada serius. "Hanya mereka yang telah bersentuhan dengan energi kegelapan terdalam yang bisa memiliki tanda seperti itu." Liu Feng terkejut mendengarnya. "Energi kegelapan? Tapi aku tidak pernah—" "Kau mungkin tidak sadar," potong Shen Tao. "Tetapi saat kau melawan Penghancur Bayangan tadi malam, ada kemungkinan energi kegelapan itu mencoba menyatu denganmu. Ini bukan hal yang bisa dianggap remeh, Liu Feng." Liu Feng menatap tanda hitam itu lagi. Meskipun kecil, keberadaannya terasa seperti beban berat di pundaknya. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara menyingkirkan ini?" Shen Tao menghela napas panjang. "Aku tidak yakin apakah tanda itu bisa dihilangkan begitu saja. Namun, aku tahu satu tempat yang mungkin bisa memberikan jawaban." "Di mana?" tanya Liu Feng, nadanya penuh harapan. "Kuil Kuno Tian Xu," jawab Shen Tao. "Kuil itu adalah tempat di mana para leluhur kita menyimpan pengetahuan tentang dunia ini, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan energi kegelapan. Namun, perjalanan ke sana tidaklah mudah." "Berapa jauh tempat itu?" Liu Feng segera berdiri, semangatnya mengalahkan rasa takut yang sempat menyelimutinya. "Lebih dari sekadar jauh," kata Shen Tao. "Kuil itu terletak di Pegunungan Salju Abadi, tempat di mana hanya mereka yang benar-benar kuat dan bertekad yang bisa sampai di sana. Dan sebelum kau bertanya lagi, biarkan aku memperingatkanmu: perjalanan ini penuh dengan bahaya yang bahkan aku sendiri tidak bisa pastikan mampu kita lewati." Liu Feng mengangguk, meskipun hatinya penuh keraguan. "Jika itu satu-satunya cara untuk mencari tahu tentang tanda ini, maka aku akan melakukannya." Shen Tao memandangnya dengan mata penuh kehati-hatian. "Kau memang memiliki keberanian, Liu Feng. Namun, keberanian saja tidak cukup. Kita harus mempersiapkan segalanya sebelum berangkat. Kau perlu lebih banyak belajar dan memperkuat dirimu." Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan intensif. Shen Tao melatih Liu Feng dengan berbagai teknik baru, termasuk cara mengendalikan energi kegelapan yang mungkin telah merasukinya. "Jika kau tidak bisa mengendalikan energi itu, kau akan menjadi mangsa kegelapan sendiri," jelas Shen Tao. "Energi kegelapan bukan hanya tentang kekuatan. Ia juga bisa menghancurkan pikiran dan jiwamu jika kau tidak berhati-hati." Liu Feng mengangguk, mencoba menyerap setiap pelajaran yang diberikan Shen Tao. Ia belajar bagaimana menyalurkan energi api dan es, serta bagaimana menggabungkannya dengan energi kegelapan untuk menciptakan serangan yang lebih kuat. Meskipun latihan itu melelahkan, Liu Feng merasa bahwa ia semakin kuat setiap harinya. Namun, di balik kemajuan itu, ada sesuatu yang mengganggu. Tanda hitam di lengannya semakin besar, dan denyutannya semakin kuat. Kadang-kadang, ia bahkan mendengar bisikan aneh yang tidak bisa dijelaskan. "Apa kau mendengar itu?" tanya Liu Feng pada suatu malam, saat mereka sedang beristirahat setelah latihan. "Mendengar apa?" Shen Tao menatapnya dengan dahi berkerut. "Bisikan," jawab Liu Feng. "Seperti ada suara yang memanggilku, tetapi aku tidak tahu dari mana asalnya." Shen Tao mengerutkan alisnya. "Itu adalah tanda bahwa energi kegelapan mulai menguasaimu. Kita tidak punya banyak waktu lagi, Liu Feng. Jika ini terus berlanjut, kau mungkin kehilangan kendali atas dirimu sendiri." Malam itu, Liu Feng tidak bisa tidur. Ia duduk di luar rumah, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Apakah ia cukup kuat untuk menghadapi apa yang ada di depannya? Apakah ia benar-benar bisa mengendalikan tanda ini? Saat ia merenung, suara langkah kaki pelan terdengar dari balik pepohonan. Liu Feng segera berdiri, menghunus pedangnya. "Siapa di sana?" serunya. Dari kegelapan, muncul seorang wanita muda dengan rambut panjang berwarna perak. Matanya bersinar seperti bulan, dan ia mengenakan jubah putih yang membuatnya tampak seperti bayangan dari dunia lain. "Tenang," kata wanita itu dengan suara lembut. "Aku bukan musuhmu." "Siapa kau?" tanya Liu Feng, masih memegang pedangnya. "Namaku Yue Lan," jawab wanita itu. "Aku datang karena tanda yang ada di lenganmu." Liu Feng terkejut. "Kau tahu tentang tanda ini?" Yue Lan mengangguk. "Aku tahu lebih banyak daripada yang kau bayangkan. Tanda itu bukan hanya sebuah kutukan, tetapi juga sebuah kunci. Jika kau bisa menguasainya, kau akan memiliki kekuatan yang bahkan para dewa pun takuti. Namun, jika kau gagal... kau akan menjadi budak kegelapan selamanya." "Bagaimana kau tahu semua ini?" tanya Liu Feng. "Itu bukan hal yang bisa dijelaskan dengan mudah," kata Yue Lan. "Tetapi jika kau ingin bertahan, kau harus mendengarkan aku. Aku bisa membantumu mengendalikan tanda itu, tetapi kau harus percaya padaku." Shen Tao, yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, segera menghampiri mereka. "Siapa dia, Liu Feng?" "Namaku Yue Lan," kata wanita itu tanpa ragu. "Dan aku datang untuk membantu muridmu." Shen Tao memandangnya dengan mata tajam. "Mengapa aku harus percaya padamu?" "Karena tanpa bantuanku, muridmu tidak akan bertahan," jawab Yue Lan dengan tenang. Shen Tao dan Liu Feng saling bertukar pandang, penuh kebingungan dan keraguan. Namun, sebelum mereka bisa memutuskan apa pun, Yue Lan melangkah maju, menyentuh tanda hitam di lengan Liu Feng. Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka berubah. Langit menjadi gelap, dan suara gemuruh terdengar dari kejauhan. "Sekarang, kita akan memulai perjalanan ini," kata Yue Lan, suaranya menggema di tengah kehampaan.Di bawah langit yang tak berujung, di mana awan gelap dan sinar rembulan saling bertarung untuk menguasai cakrawala, terdapat sebuah lembah yang terlupakan oleh waktu. Lembah itu dipenuhi oleh sisa-sisa pertempuran kuno dan keheningan yang menyimpan rahasia masa lampau. Setiap sudutnya bercerita tentang perjuangan para penyihir, kesatria, dan makhluk ajaib yang pernah bertarung demi melindungi keseimbangan alam. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah, dedaunan yang layu, dan secercah harapan yang masih tersisa di antara reruntuhan zaman.Di tengah lembah itu, berdirilah sebuah danau kecil yang airnya berkilauan dengan cahaya aneh, seolah-olah memantulkan energi dari semesta yang jauh. Air danau itu tampak hidup, bergerak perlahan, menyatu dengan irama alam yang misterius. Di sekelilingnya, tumbuh pepohonan purba yang akarnya menembus batu, seakan menyimpan rahasia dari dalam bumi. Suasana itu begitu hening sehingga hanya ada suara gemericik air dan desir angin yang menemani
Langit di atas Kerajaan Lembah Elysia tampak seperti kanvas raksasa yang dihiasi warna-warna senja, namun di balik keindahan itu terselubung bayang-bayang misterius yang selalu mengancam. Angin malam yang sejuk mengalir lembut menyusuri lembah, membawa aroma bunga-bunga liar dan embun pagi yang masih menempel pada dedaunan. Di antara keheningan alam, terdengar suara gemericik sungai kecil yang mengalir di antara bebatuan, seolah-olah memberikan irama bagi kisah yang akan segera terungkap.Di sebuah dataran tinggi yang menghadap lembah, berdirilah sekelompok kesatria yang tampak kelelahan, namun matanya menyala dengan tekad yang membara. Di antara mereka, seorang pemuda bernama Armand, dengan rambut hitam legam dan mata biru yang tajam, memimpin barisan itu. Wajahnya, meski dipenuhi bekas luka pertempuran, memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. Ia mengenakan baju zirah berlapis perunggu yang berkilau samar di bawah sinar rembulan, dan di tangannya terhunus pedang pusaka yang tela
Di balik awan gelap yang menyelimuti langit, fajar perlahan mulai memecah kegelapan malam. Namun, sinar yang menyusup itu bukanlah cahayanya matahari yang hangat, melainkan kilauan magis yang datang dari dalam jiwa para pejuang yang telah lama terlupakan. Di tengah medan pertempuran yang hancur lebur, di antara reruntuhan dan debu yang menutupi tanah, para penyintas berkumpul dengan harapan yang tertinggal dari masa lalu. Suasana itu terasa seperti perisai terakhir yang memisahkan dunia dari kehancuran mutlak.Awan-awan berarak di langit dengan gerakan lambat namun pasti, seolah-olah menyaksikan sebuah pertunjukan yang telah ditentukan oleh takdir. Di antara debu dan sisa-sisa kehancuran, Armand berdiri tegak, meskipun tubuhnya dipenuhi luka dan kelelahan. Mata Armand yang dulunya menyala dengan semangat kini menunjukkan jejak penderitaan, namun tekadnya tetap menggelora. Di balik setiap luka, ada cerita tentang pertempuran, pengorbanan, dan janji untuk tidak pernah menyerah.Di sisi
Di antara reruntuhan sebuah dunia yang telah lama terpuruk dalam kegelapan, muncul secercah cahaya yang tak terduga. Langit yang dahulu suram kini mulai menunjukkan secercah fajar, meskipun bayang-bayang masa lalu masih menghantui setiap sudut. Di tengah medan pertempuran yang hancur, di mana batu-batu retak berserakan dan tanah basah oleh darah para pejuang, berdiri seorang pria dengan tatapan penuh tekad. Namanya adalah Rasyid, sang Penjaga, yang tak pernah mengingkari janjinya untuk melindungi sisa-sisa harapan dunia ini.Rasyid mengenakan baju zirah yang berkilauan meskipun sudah banyak goresan dan retak, tanda pertempuran yang tak terhitung jumlahnya. Di tangannya, tersandang pedang legendaris yang telah mengantar ribuan jiwa menuju keabadian atau kehancuran. Pedang itu, yang dikenal sebagai "Sinar Purnama", memancarkan cahaya lembut di tengah kegelapan, seolah menandakan bahwa meskipun dunia telah terbenam dalam kehancuran, masih ada secercah harapan yang takkan pernah padam.Da
Di suatu pagi yang kelabu, ketika embun masih menempel di dedaunan dan udara terasa dingin menyelinap ke dalam setiap celah, dunia seolah-olah sedang mengalami pergeseran. Di balik langit yang kelabu dan megah, terdapat sebuah kekosongan yang menggantung, seolah-olah alam semesta sedang menahan nafas. Di sinilah titik balik yang selama ini dinanti telah tiba, di mana segala sesuatu yang telah terjadi mulai menemukan maknanya dan jalan menuju keabadian mulai terbuka.Di tengah kekacauan itu, Armand berdiri di atas reruntuhan sebuah kota kuno yang pernah menjadi pusat peradaban. Tubuhnya yang penuh luka menandakan betapa pertempuran yang telah ia lalui sangatlah berat. Meski begitu, matanya yang tajam tetap menyala, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan untuk melanjutkan perjuangan. Di sekelilingnya, puing-puing bata, potongan-potongan kayu, dan debu-debu halus berterbangan, menorehkan gambaran dari kehancuran yang melanda dunia. Namun, di balik setiap reruntuhan itu tersimpan harapan—
Di ufuk timur, matahari perlahan muncul dari balik awan mendung, menyinari dunia yang telah lama didera kegelapan. Setiap sinar cahayanya seolah membawa harapan baru bagi tanah yang hancur dan jiwa-jiwa yang terluka. Angin pagi menyapa dengan lembut, membawa aroma bunga liar yang mulai mekar kembali di tengah reruntuhan zaman yang penuh penderitaan.Di sebuah lembah yang dulunya pernah dipenuhi kebahagiaan, kini tersisa hanya puing dan kenangan pahit. Armand, Aveline, dan beberapa penyintas lain berjalan perlahan melewati medan pertempuran yang sunyi. Langkah mereka berat, namun semangat mereka tetap menyala, seperti bara api yang tidak pernah padam. Setiap jejak kaki mereka menorehkan kisah perjuangan, sebuah bukti bahwa walaupun dunia ini telah dihantui oleh kegelapan, masih ada cahaya yang tak terpadamkan.Armand menatap jauh ke depan, ke arah cakrawala yang perlahan berubah warna. Ia teringat akan janji yang telah diikrarkannya kepada mereka yang ia cintai, janji untuk membebaskan