Hutan bambu yang awalnya terasa menenangkan kini berubah menjadi tempat yang penuh misteri. Suara angin yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi jeritan halus yang menggema di telinga Liu Feng. Malam semakin larut, dan kegelapan mulai melingkupi tempat itu. Liu Feng duduk di depan rumah tua, matanya menatap lurus ke arah pepohonan yang bergoyang tertiup angin.
"Apa yang kau pikirkan?" suara Shen Tao tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Pria itu berdiri di depan pintu, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya redup. Wajahnya terlihat serius, seolah ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. "Aku merasa... ada sesuatu yang salah," jawab Liu Feng. "Hutan ini terasa berbeda, seperti sedang memperhatikan kita." Shen Tao menghela napas panjang. "Kau tidak salah. Hutan ini memang memiliki kehidupan sendiri. Namun, yang membuatku khawatir adalah kehadiran energi asing yang aku rasakan sejak tadi sore." "Energi asing?" Liu Feng mengerutkan kening. "Apa itu berarti ada seseorang atau sesuatu di sini?" Shen Tao tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia melangkah keluar rumah dan mulai mengamati sekeliling. Matanya tajam, mencari tanda-tanda bahaya. Liu Feng berdiri dan mengikuti dari belakang, rasa penasaran bercampur ketakutan mulai menguasai pikirannya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup, membawa suara aneh yang membuat bulu kuduk Liu Feng meremang. Suara itu seperti bisikan, tetapi tidak jelas dari mana asalnya. Ia memandang Shen Tao, berharap mendapatkan penjelasan, tetapi wajah mentornya semakin tegang. "Siapkan dirimu," kata Shen Tao pelan. "Apa pun yang datang, kita harus siap menghadapinya." Liu Feng segera menghunus pedangnya. Meski ia belum sepenuhnya menguasai teknik yang diajarkan Shen Tao, ia merasa bahwa pedang adalah satu-satunya hal yang bisa diandalkan saat ini. Napasnya semakin cepat, jantungnya berdegup kencang, tetapi ia mencoba tetap tenang. Dari kegelapan, bayangan besar perlahan muncul. Sosok itu tinggi dan berbentuk seperti manusia, tetapi auranya sangat berbeda. Mata merah menyala tampak jelas di tengah malam, menatap langsung ke arah Liu Feng dan Shen Tao. Ketika sosok itu melangkah lebih dekat, Liu Feng bisa melihat bahwa kulit makhluk itu seperti terbakar, dengan asap tipis yang keluar dari tubuhnya. "Apa itu?" bisik Liu Feng, suaranya hampir tidak keluar. "Itu adalah Penghancur Bayangan," jawab Shen Tao. "Makhluk yang diciptakan dari kebencian dan dendam. Ia datang untuk menghancurkan apa saja yang dianggap menghalangi tujuannya." Makhluk itu menggeram rendah, suaranya seperti guntur yang bergemuruh di kejauhan. Tanpa peringatan, ia melompat ke arah mereka dengan kecepatan yang luar biasa. Shen Tao mendorong Liu Feng ke samping, menghindarkan muridnya dari serangan pertama. Ia sendiri langsung melancarkan serangan balik, tongkat kayunya berubah menjadi senjata mematikan yang dipenuhi energi. "Liu Feng! Ini saatnya kau menggunakan kekuatanmu!" teriak Shen Tao sambil menahan serangan makhluk itu. "Ingat apa yang telah kau pelajari tentang keseimbangan. Gunakan itu untuk melawan makhluk ini!" Liu Feng menggenggam pedangnya erat-erat. Ia mencoba mengingat pelajaran yang diberikan Shen Tao tentang mengendalikan energi Roh Api dan Es Jiwa. Dengan napas teratur, ia memusatkan pikirannya, mencoba memanggil kedua kekuatan itu sekaligus. Energi panas mulai mengalir dari pedangnya, diikuti oleh hawa dingin yang mengelilingi tubuhnya. Liu Feng melangkah maju, matanya fokus pada makhluk itu. Dengan teriakan keras, ia melancarkan serangan pertama, mengayunkan pedangnya dengan kombinasi kekuatan api dan es. Serangan itu berhasil mengenai makhluk tersebut, menciptakan ledakan kecil yang membuatnya mundur beberapa langkah. Namun, makhluk itu tidak menyerah. Ia kembali menyerang dengan kekuatan yang lebih besar, memaksa Liu Feng untuk terus bergerak. Shen Tao, yang masih bertarung di sisi lain, memperhatikan dengan bangga. "Kau melakukannya dengan baik, Liu Feng! Jangan takut! Seranganmu mulai membuatnya lemah!" Namun, pertempuran ini jauh dari selesai. Makhluk itu mengeluarkan suara melengking yang membuat telinga Liu Feng berdengung. Ia merasa keseimbangannya terganggu, tetapi ia tidak membiarkan dirinya terjatuh. Dengan tekad yang kuat, ia kembali melancarkan serangan demi serangan, menggabungkan api dan es untuk menciptakan kekuatan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Pertarungan itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya makhluk itu mulai kehilangan kekuatannya. Dengan serangan terakhir yang penuh energi, Liu Feng berhasil mengalahkan makhluk tersebut. Tubuh makhluk itu hancur menjadi debu, meninggalkan udara yang kembali tenang. Liu Feng terjatuh ke tanah, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya dipenuhi luka kecil, tetapi ia merasa bangga. Ia telah melewati ujian besar lainnya. Shen Tao menghampirinya dan meletakkan tangan di bahunya. "Kau telah membuktikan dirimu, Liu Feng. Namun, perjalanan ini masih panjang. Makhluk itu hanyalah awal dari apa yang akan kau hadapi di masa depan." Namun, saat Liu Feng mencoba berdiri, ia merasakan sesuatu yang aneh di lengannya. Sebuah tanda hitam kecil muncul di kulitnya, berdenyut seperti hidup. Shen Tao menatap tanda itu dengan wajah serius, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Hanya ada satu hal yang jelas: tanda itu membawa rahasia yang tidak diketahui, dan Liu Feng harus mencari tahu apa artinya sebelum terlambat.Di bawah langit yang tak berujung, di mana awan gelap dan sinar rembulan saling bertarung untuk menguasai cakrawala, terdapat sebuah lembah yang terlupakan oleh waktu. Lembah itu dipenuhi oleh sisa-sisa pertempuran kuno dan keheningan yang menyimpan rahasia masa lampau. Setiap sudutnya bercerita tentang perjuangan para penyihir, kesatria, dan makhluk ajaib yang pernah bertarung demi melindungi keseimbangan alam. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah, dedaunan yang layu, dan secercah harapan yang masih tersisa di antara reruntuhan zaman.Di tengah lembah itu, berdirilah sebuah danau kecil yang airnya berkilauan dengan cahaya aneh, seolah-olah memantulkan energi dari semesta yang jauh. Air danau itu tampak hidup, bergerak perlahan, menyatu dengan irama alam yang misterius. Di sekelilingnya, tumbuh pepohonan purba yang akarnya menembus batu, seakan menyimpan rahasia dari dalam bumi. Suasana itu begitu hening sehingga hanya ada suara gemericik air dan desir angin yang menemani
Langit di atas Kerajaan Lembah Elysia tampak seperti kanvas raksasa yang dihiasi warna-warna senja, namun di balik keindahan itu terselubung bayang-bayang misterius yang selalu mengancam. Angin malam yang sejuk mengalir lembut menyusuri lembah, membawa aroma bunga-bunga liar dan embun pagi yang masih menempel pada dedaunan. Di antara keheningan alam, terdengar suara gemericik sungai kecil yang mengalir di antara bebatuan, seolah-olah memberikan irama bagi kisah yang akan segera terungkap.Di sebuah dataran tinggi yang menghadap lembah, berdirilah sekelompok kesatria yang tampak kelelahan, namun matanya menyala dengan tekad yang membara. Di antara mereka, seorang pemuda bernama Armand, dengan rambut hitam legam dan mata biru yang tajam, memimpin barisan itu. Wajahnya, meski dipenuhi bekas luka pertempuran, memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. Ia mengenakan baju zirah berlapis perunggu yang berkilau samar di bawah sinar rembulan, dan di tangannya terhunus pedang pusaka yang tela
Di balik awan gelap yang menyelimuti langit, fajar perlahan mulai memecah kegelapan malam. Namun, sinar yang menyusup itu bukanlah cahayanya matahari yang hangat, melainkan kilauan magis yang datang dari dalam jiwa para pejuang yang telah lama terlupakan. Di tengah medan pertempuran yang hancur lebur, di antara reruntuhan dan debu yang menutupi tanah, para penyintas berkumpul dengan harapan yang tertinggal dari masa lalu. Suasana itu terasa seperti perisai terakhir yang memisahkan dunia dari kehancuran mutlak.Awan-awan berarak di langit dengan gerakan lambat namun pasti, seolah-olah menyaksikan sebuah pertunjukan yang telah ditentukan oleh takdir. Di antara debu dan sisa-sisa kehancuran, Armand berdiri tegak, meskipun tubuhnya dipenuhi luka dan kelelahan. Mata Armand yang dulunya menyala dengan semangat kini menunjukkan jejak penderitaan, namun tekadnya tetap menggelora. Di balik setiap luka, ada cerita tentang pertempuran, pengorbanan, dan janji untuk tidak pernah menyerah.Di sisi
Di antara reruntuhan sebuah dunia yang telah lama terpuruk dalam kegelapan, muncul secercah cahaya yang tak terduga. Langit yang dahulu suram kini mulai menunjukkan secercah fajar, meskipun bayang-bayang masa lalu masih menghantui setiap sudut. Di tengah medan pertempuran yang hancur, di mana batu-batu retak berserakan dan tanah basah oleh darah para pejuang, berdiri seorang pria dengan tatapan penuh tekad. Namanya adalah Rasyid, sang Penjaga, yang tak pernah mengingkari janjinya untuk melindungi sisa-sisa harapan dunia ini.Rasyid mengenakan baju zirah yang berkilauan meskipun sudah banyak goresan dan retak, tanda pertempuran yang tak terhitung jumlahnya. Di tangannya, tersandang pedang legendaris yang telah mengantar ribuan jiwa menuju keabadian atau kehancuran. Pedang itu, yang dikenal sebagai "Sinar Purnama", memancarkan cahaya lembut di tengah kegelapan, seolah menandakan bahwa meskipun dunia telah terbenam dalam kehancuran, masih ada secercah harapan yang takkan pernah padam.Da
Di suatu pagi yang kelabu, ketika embun masih menempel di dedaunan dan udara terasa dingin menyelinap ke dalam setiap celah, dunia seolah-olah sedang mengalami pergeseran. Di balik langit yang kelabu dan megah, terdapat sebuah kekosongan yang menggantung, seolah-olah alam semesta sedang menahan nafas. Di sinilah titik balik yang selama ini dinanti telah tiba, di mana segala sesuatu yang telah terjadi mulai menemukan maknanya dan jalan menuju keabadian mulai terbuka.Di tengah kekacauan itu, Armand berdiri di atas reruntuhan sebuah kota kuno yang pernah menjadi pusat peradaban. Tubuhnya yang penuh luka menandakan betapa pertempuran yang telah ia lalui sangatlah berat. Meski begitu, matanya yang tajam tetap menyala, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan untuk melanjutkan perjuangan. Di sekelilingnya, puing-puing bata, potongan-potongan kayu, dan debu-debu halus berterbangan, menorehkan gambaran dari kehancuran yang melanda dunia. Namun, di balik setiap reruntuhan itu tersimpan harapan—
Di ufuk timur, matahari perlahan muncul dari balik awan mendung, menyinari dunia yang telah lama didera kegelapan. Setiap sinar cahayanya seolah membawa harapan baru bagi tanah yang hancur dan jiwa-jiwa yang terluka. Angin pagi menyapa dengan lembut, membawa aroma bunga liar yang mulai mekar kembali di tengah reruntuhan zaman yang penuh penderitaan.Di sebuah lembah yang dulunya pernah dipenuhi kebahagiaan, kini tersisa hanya puing dan kenangan pahit. Armand, Aveline, dan beberapa penyintas lain berjalan perlahan melewati medan pertempuran yang sunyi. Langkah mereka berat, namun semangat mereka tetap menyala, seperti bara api yang tidak pernah padam. Setiap jejak kaki mereka menorehkan kisah perjuangan, sebuah bukti bahwa walaupun dunia ini telah dihantui oleh kegelapan, masih ada cahaya yang tak terpadamkan.Armand menatap jauh ke depan, ke arah cakrawala yang perlahan berubah warna. Ia teringat akan janji yang telah diikrarkannya kepada mereka yang ia cintai, janji untuk membebaskan