MasukBab 5.
"Tapi Tuan, anda salah orang. Aku bukan jalang dan aku bukan seorang pelacur, tapi merekalah yang menjadikan aku seorang pelacur. Tolong jangan sentuh aku, Tuan." "Banyak bacot, buruan tarik handukmu! Dan aku ingin kamu menari telanjang di hadapan ku!" Tanganku gemetar saat menggenggam erat ujung handuk ini. Dada sesak, seperti ada batu besar menindih. Ucapan pria itu barusan bukan hanya menusuk harga diriku tapi begitu menakutkan untukku. Apa yang akan terjadi setelah ini padaku? Di saat rasa perih di tengah selangkangan ku saja belum hilang. "Aku sudah cukup dihina, Tuan," suaraku keluar lirih, tapi jelas. Aku menatap langsung ke matanya, meskipun tubuhku menggigil ketakutan. "Kalau memang harga diriku serendah itu di matamu, biarkan saja aku mati malam ini." Dia terdiam. Sorot matanya tidak semenggila tadi. Mungkin karena aku bicara terlalu jujur, terlalu mentah. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku sudah kehilangan segalanya—keluarga, kebebasan, bahkan hakku untuk bermimpi. "Aku bukan pelacur," bisikku, lebih kepada diriku sendiri, mencoba meyakinkan sisa-sisa martabatku. "Aku cuma... dipaksa jadi seperti ini. Mereka yang menjebakku. Bukan aku yang memilih." Pria itu mendekat satu langkah. Suara sepatunya menghantam lantai marmer, dingin, seperti sorot matanya padaku. “Lucu sekali,” katanya, suaranya berat, kasar. “Kau pikir aku peduli dengan ceritamu?” Aku mundur setengah langkah, tubuhku menegang. Tapi dia tak berhenti bicara. “Aku sudah keluar uang. Tidak sedikit.” Ia menunjuk ke lantai, seolah membuktikan nilainya. “Dan untuk apa? Untuk melihatmu menangis dan berdrama?” Aku menahan napas. Ingin marah, ingin lari, tapi kaki ini seperti menancap di lantai. Tubuhku masih terbalut handuk, jantung berdetak tak beraturan. “Jadi berhenti mengiba,” lanjutnya dingin. “Aku tidak membayarmu untuk belas kasihan.” Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Semua rasa malu, marah, dan takut bercampur menjadi satu. Tapi yang paling kuat adalah satu hal. rasa jijik—bukan hanya pada dia, tapi pada dunia yang membuatku terperangkap di ruangan ini. "Apa yang masih kamu lakukan, hah? Ayo lepaskan handukmu dan mulailah menari di hadapanku, jalang!" "Aku bukan wanita jalang!" pekikku dengan bola mata tajam, yang membuatnya justru semakin marah. Ia tarik kasar rambutku, sakit dan sangat sakit. Setelah itu ia langsung ... Pakk Ia menamparku, membuat ujung bibirku berdarah. "Dasar jalang! Masih berani melawan!" ujarnya yang membentak, tatapan matanya begitu tajam sampai menembus ke hatiku. Membuatku sangat takut, sampai aku menangis. Ia tidak peduli sana sekali, ia tarik kasar handuk ku. Sehingga memperlihatkan bagian tubuhku yang tidak mengenakan sehelai benangpun, tapi aku masih mencoba menutupi nya dengan kedua tanganku. Menutupi bagian intim saja, aku tahu itu percuma. Karena selanjutnya ia mendorong ku cukup keras. Sampai membuat kepalaku terbentur ke sisi badan sofa yang terbuat dari kayu jati asli. "Ahhh, sakit ... Berdarah," kataku yang menangis.. "Sakitttt ... Berdarah," masih rintihku, tapi apa dia peduli? Jawabannya tidak. Baginya, aku miliknya malam ini. Sehingga ia bebas melakukan apapun ke tubuhku. Termasuk memperlakukanku dengan kasar seperti ini. "Jangan mencoba mengelabui ku! Ayo hisap!" Ia mengarahkan kemaluannya ke hadapanku, dengan posisiku yang terduduk di atas lantai, sementara ia yang sedang berdiri. "Apa yang kamu tunggu lagi, ha? Buka mulut mu!" "Aku tidak mau," bantahku, tapi tiba-tiba tangannya mendarat lalu ... Pakkk Untuk kesekian kalinya ia menamparku, sampai aku bingung harus bagaimana cara menggambarkan nya. Yang jelas ini sangat sakit, perih, denyut dan membuatku kian menangis, tapi tetap saja ia tidak peduli. Ia justru menarik kasar rambutku, membuatku yang berteriak justru membuka mulut, setelah itu. Ia memasukkan sendiri si Otong ke dalam mulutku, yang membuatku begitu sakit. Ketika ia menekannya begitu dalam, sampai mengenai leherku. Aku muntah akibat mual dengan apa yang ia lakukan, tapi ia justru marah dan menarik ku ke atas ranjang. "Jangan paksa aku berbuat kasar, karena sebenarnya aku orangnya tidak tegaan," katanya memperingati. Aku jadi teringat dengan ucapan kak Dina. "Jangan pernah melawan apa yang dikatakan oleh pelanggan, karena itu hanya akan membuat mereka semakin marah, dan kalau mereka marah. Yang ada mereka akan bermain kasar padamu, bahkan mereka tidak akan segan-segan menampar dan memukul mu." Mengingat ucapan kak Dina, membuatku sedikit mengerti. Kalau aku tidak boleh membatah ucapan pria itu, walaupun di mataku dia begitu brengsek, kejam dan tegaan. Bukankah tadi katanya aku seusia anaknya? Lantas bagaimana kalau nasib buruk ini menimpa anaknya? Apa otaknya tidak sampai situ? Entahlah, tapi satu hal yang pasti. Aku akan menandai mereka-mereka yang sudah memperlakukanku seperti ini, dan kelak ... "Eh jalang, aku membayar mu bukan untuk diam, tapi aku membayar mu untuk memuaskan ku!" katanya yang membuyarkan lamunan yang penuh dengan kebencian. Sehingga perlahan-lahan, aku mengangkat tanganku dan memberanikan diri memegang miliknya yang lumayan besar. Kalau sudah masuk otomatis mataku akan melotot menahan sakitnya. Dan ... Pria yang aku anggap seperti sugar Dady dalam versi kejam ini justru memintaku untuk kembali menghisap batangnya. Aku ingin menolak tapi tidak berani. Hingga akhirnya aku mengikuti kemauannya. Memasukkan permen yang tidak mau habis itu ke dalam mulutku, dan sialnya ketika ia menekan kepalaku. Membuat si Otong kembali masuk ke dalam tenggorokan. Kalau aku tidak cepet-cepet mengeluarkan si Otong dari dalam mulutku. Kemungkinan kecil aku bisa pingsan. Karena barang sebesar dan sepanjang gitu harus masuk ke dalam mulutku. Ini saja sudah penuh dan membuatku mual. "Jangan muntah!" titahnya, selanjutnya ia berkata, "Telan saja!" Di situ aku tidak tahan dan langsung berlari menuju arah kamar mandi, tapi sialnya dia mengikuti ku. Ia dorong badanku tersandar ke dinding tembok kamar mandi, lalu ia memaksa si Otong masuk lewat belakang. Lewat depan saja rasanya sakit, apalagi Lewat dari belakang. Tapi pria sugar Dady itu tidak peduli. Ia paksa masuk si Otong ke dalam, membuatku langsung merintih kesakitan, tapi ia marah saat aku berteriak. Sehingga dia memintaku untuk diam dan jangan sampai berteriak. Kalau katanya, "Ribut amat sih! Lagian tidak akan ada yang peduli padamu di sini, asal kamu tahu itu!' katanya penuh dengan nada peringatan. Tubuhku masih gemetar, napasku sesak, tapi ada bara yang mulai menyala di dalam dada. Bara itu bukan ketakutan. Tapi dendam. Dendam pada mereka yang memperlakukan aku seperti benda. Dendam pada dunia yang diam saat aku dipaksa tunduk. Ketika dia menarik rambutku lagi dan mengumpat, aku melirik sekilas ke meja kecil di sebelah ranjang. Ada vas bunga di sana. Berat. Terbuat dari kaca. Tanganku bergerak cepat. Brak! Aku menghantamkan vas itu ke kepala pria keparat itu sekuat tenaga. Ia terhuyung ke belakang sambil memegangi pelipisnya yang mulai mengucurkan darah. Matanya membelalak tak percaya. "Aku bukan boneka!" teriakku, suaraku pecah, penuh air mata. "Dan kau... bukan tuhan yang bisa memperlakukan aku semaumu!" Ia mengumpat lagi, mencoba bangkit dan menjangkauku. Tapi kali ini, aku tidak mundur. Aku menendangnya tepat di perut. Ia terbatuk keras dan terjatuh ke lantai, mengerang kesakitan. Aku ambil handukku, membungkus tubuhku sebisanya, lalu meraih ponsel yang tersembunyi di balik lipatan tirai kamar. Sinyalnya lemah, tapi cukup. Aku tekan nomor yang telah kupersiapkan sejak malam pertama aku masuk 'tempat neraka' ini. Nomor satu-satunya harapan. Tanganku gemetar, tapi aku bicara jelas saat sambungan tersambung. "Halo ...." BersambungBab 96 — Janji di Ujung Peluru.Angin malam menyusup dari celah jendela mobil tua yang kupacu tanpa arah. Jalanan basah oleh sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu kota yang berpendar seperti kenangan—redup, tapi tak mau padam. Aku tak tahu sudah berapa jauh aku pergi. Yang kutahu, darah di tanganku masih terasa hangat.Bukan darahku. Bukan juga darah yang asing. Itu darah dari masa laluku yang menjerat hidupku bertahun-tahun—darah Madam Sarah.Tanganku gemetar di atas setir. Setiap kali aku berkedip, wajahnya muncul—wanita yang dulu menjualku ke pria-pria kaya dengan alasan “demi masa depanmu, Key.”Aku masih ingat malam pertama kali ia mengikat tanganku di kursi, menyuruhku diam ketika aku menangis, menjanjikan uang dan keamanan yang tak pernah datang.Sekarang, semuanya sudah berakhir.Dia sudah mati.Dan aku... sebentar lagi menyusulnya.Mobil berguncang ketika aku membelok tajam ke jalan kecil di tepi kota. Sirene polisi terdengar samar di belakang. Aku tahu mereka mengejarku,
Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.Pagi itu terlalu tenang untuk menjadi akhir dari segalanya.Udara membawa aroma tanah basah, tapi di dalam dadaku, badai belum juga reda. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Ara yang masih terlelap di kursi. Matanya sembab, tubuhnya meringkuk dalam selimut yang tidak menutupi seluruh ketakutannya. Aku tahu ia tak benar-benar tidur—ia hanya menutup mata agar aku tak melihat sisa air mata yang belum kering.Aku menatap jam di dinding. Waktu sudah bergerak, dan aku tak punya banyak. Polisi pasti sudah mencium jejak. Revan bukan sekadar orang biasa; pembunuhannya akan membuat banyak pihak bergerak. Aku tahu mereka akan datang, cepat atau lambat. Tapi sebelum itu… aku harus menyelamatkan dua orang yang masih tersisa dari reruntuhan hidupku: Ara dan ayah.Langkahku berat ketika turun ke ruang tamu. Ayah duduk di kursi rotan, rambutnya mulai memutih, wajahnya kosong. Ia menatapku seperti menatap seseorang yang sudah setengah pergi.“Key…” suaranya ser
Bab 94Mobil mengantar kami pulang dalam sunyi yang tebal—sebuah tirai gelap setelah badai. Jarum spidometer berputar, lampu jalan membelah kabut malam seperti gagang-gagang tombak yang tak bernyawa. Di kursi penumpang, Ara menunduk, bibirnya gemetar, sesekali menarik napas panjang yang terdengar seperti desahan orang yang belum pulih dari mimpi buruk. Aku menatap ke luar jendela, menelan kepahitan yang masih menguar di mulut. Ada rasa lega—ya—namun lega itu tipis, seperti kertas yang tercecer di angin; di bawahnya ada lubang yang menganga.“Sudah benar, kan, Kak?” suara Ara kecil, seperti boneka yang remuk. “Kita nggak salah… kan?”Aku memalingkan wajah. Lampu jalan memantulkan bayanganku di kaca; wajah yang sama namun berbeda, seolah cermin menolak mengenali jiwa yang bersembunyi di baliknya. “Kita melakukan apa yang harus dilakukan, Dek,” jawabku, suaraku kering. “Dia sudah hancurkan hidup kita. Sekarang dia udah berhenti.”Ara mengangkat kepala, matanya basah masih bertahan. “Tapi
Bab 93.Aku ingat malam itu seperti mimpi yang dingin — setiap detik terasa padat, setiap napas diperas oleh tekad. Setelah Ara pergi tidur aku menatap cermin, melihat bayangan Key yang berbeda: bukan lagi gadis takut, melainkan perempuan yang punya rencana. Ponsel di tanganku bergetar, ada pesan dari akun palsu yang kubuat. Revan menjawab cepat, seperti biasanya: tidak pernah menolak pujian dan godaan.“Jam sepuluh malam di Hotel Chantika,” balasku.“Ok.” Balasannya singkat. Aku membaca satu kata itu berkali-kali seolah menyelami keangkuhan yang menipu.---Ara muncul di kamar tepat ketika aku hendak berangkat. Matanya merah, suaranya nyaris patah ketika ia memanggil, “Kak Key…”Aku menoleh, melemparkan senyum tipis karena tidak mau ia melihat kebekuan di dadaku. “Hmm?”“Aku tidak ingin kakak pergi.” Suaranya kecil, hampir memohon.Hatiku tercekat. Aku turun dari tempat tidur dan duduk di ujung. “Dek, ini harus kulakukan,” jawabku pelan. “Kita nggak bisa hidup terus seperti ini. Dia
bab 90."Kak, bagaimana ini kak?" isak tangis Ara. "Bangun kak Gery, bangun," lanjut Ara merintih, sementara suara bunyi sirene pihak berwajib mulai berdatangan, bersamaan dengan kedatangan ambulan. "Ayo angkat, angkat ke dalam!" kata seorang petugas. Mereka menaikkan tubuh Gery yang tidak bernyawa ke dalam mobil ambulans, aku dan Ara juga ikut naik ke dalam. Sementara mobil Gery diamankan oleh pihak berwajib, sebab aku juga tidak tahu cara mengendarai mobil itu. Lagian, aku tidak begitu memperdulikan sekitarku, yang ada aku hanya terdiam menahan rasa sedih, dan mungkin karena sedihnya sampai aku tidak bisa menangis lagi. Pikiran ku kacau, antara dendam yang semakin parah ke Revan, dan aku yang kian pusing memikirkan tentang kehidupanku dan Ara. Kalau begini, siapa lagi yang akan menolongku? Siapa lagi yang akan melindungi ku dan Ara? Siapa lagi yang peduli pada hidupku? Siapa lagi. Aku hanya punya ayah, yang kondisi nya entah bagaimana. Aku belum pernah bertemu dengan ayah sem
Bab 89"Ger, bagaimana ini?"Malam kian mencekam, tatkala mataku menangkap keluar jendela mobil, beberapa sepeda motor sedang membuntuti mobil yang di lakukan oleh Gery. Suara klakson motor mereka meminta Gery untuk berhenti, tapi aku, Gery dan Ara yang ketakutan justru memilih untuk kabur secepat mungkin. Aku bahkan refleks menoleh. Lampu-lampu motor menyorot tajam, menyilaukan mata. Suaranya semakin dekat, semakin keras, sampai bulu kudukku berdiri."Berhenti, aku bilang berhenti!"Tit tit tit ...."Berhenti!" sorak seseorang itu dari luar jendela mobil. "Kak Key, bagaimana ini?" kata Ara yang mulai ketakutan, sampai ku menoleh ke arah Gery yang fokus mengemudi mobil. Sebisa mungkin melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Ger…” panggilku pelan. Tapi suaraku tercekat.Gery memutar kepala, wajahnya langsung berubah tegang. “Pegangan, Key. Jangan panik.”Dalam hitungan detik, kami sudah terkepung. Sekitar sepuluh motor berhenti mengelilingi mobil kami. Para pengendara turun sat

![Memantai [Tamat]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)





