Namaku Key, aku sangat terobsesi ingin menjadi artis ibu kota. Sedari dulu. Aku memiliki mimpi untuk menjadi seorang artis terkenal. Namun, aku di jebak oleh sahabatku sendiri. Ia menjualku ke mucikari dan menjadikan aku sebagai bintang film dewasa. Dan bukan itu saja, aku juga di jual ke para pria hidung belang. Di jadikan simpanan oleh pejabat. Aku ingin kabur dan memulai hidup baru, tapi itu tidak bisa. Sebab ibuku butuh biaya untuk berobat. Alhasil aku memilih bertahan pada pekerjaan ku sebagai wanita malam. Tapi rasanya begitu hampa, terlebih saat aku ternyata ditipu oleh Revan sahabat ku sendiri. Ibuku ternyata tidak sakit dan itu hanya akal-akalannya saja untuk mendapatkan uang dari ku. Baca terus kisahku agar tau berapa beratnya ujian hidup yang aku jalani kini.
View MoreBab 83Gery membawa aku dan Ara menuju tempat makam ibu, makam yang masih basah dan kalau kata orang masih merah tanah kuburannya. Di makam itu aku menangis tersedu-sedu, melihat nisan yang bertulisan nama ibu. Sakit rasanya meratapi nisan itu, tidak ingin ibu pergi secepat itu. Tapi apa yang bisa ku perbuat? Karena sesungguhnya semua itu takdir Allah, tapi masalahnya. Kapan ujian hidup ini berakhir?"Ibuuu!!" pekik ku yang menangis kencang. "Kamu sabar Key," kata Gery dan Ara yang mengelus lembut pundak ku. "Kak key."Aku menoleh pelan ketika mendengar suara kecil itu. Ara menatapku dengan mata sembab, hidungnya memerah karena terlalu lama menangis.Tangannya yang kecil menggenggam ujung bajuku, seolah takut aku juga akan pergi seperti ibu.“Ara capek, Kak… Ara mau peluk Ibu…” suaranya lirih, patah-patah.Aku menelan ludah, berusaha menahan isak yang sudah naik lagi ke tenggorokan. “Ibu nggak pergi, Ra… Ibu cuma… istirahat.”Kalimat itu aku ucapkan sambil memeluk tubuh mungilnya
Bab 81Ku peluk kedua kakiku dengan iringan air mata yang tidak mau pupus dari pipi, setelah terngiang sejuta kenangan yang sulit untuk aku lupakan. Dan kini, di rumah yang penuh tawa, di rumah tempatku besar. Kini, ku tinggal sendiri. Kemana aku akan mencari ibu, kalau keberadaannya saja aku tidak tahu. Ditambah tatapan para warga yang menyorot kebencian saat menatapku. Suami, anak pria nya, bahkan para kakek tua di paksa masuk oleh para wanita yang ada di dalam rumah itu. Dengan ucapan mereka yang begitu menyakitkan. "Ayo masuk ke dalam, jangan sampai kamu digoda oleh jalang itu.""Ayo masuk!" seorang wanita paruh baya menarik tangan suaminya ke dalam. Pintu rumah,, mereka kunci rapat, takut kalau aku datang dan menggoda suami mereka. Padahal kepikiran saja aku tidak, tapi seakan-akan hal itu bisa terjadi. "Ayo masuk! Apa yang kamu lihat sih!" bentak seorang ibu ke anaknya. Satupun, tidak ada yang berani mendekat ke aku. Seakan aku ini penyakit menular, hanya anak kecil yang me
bab. 80 Tempat pertama kali yang ku datangi setelah berhasil lolos dari Revan adalah rumah ibu, aku berharap bisa melihat ibu, ayah dan Ara di rumah itu. Tapi belum sampai ku kesana, mataku langsung menangkap pemandangan yang mengiris hati. Saat itu, Udara pagi menusuk kulitku seperti jarum-jarum kecil. Langit masih kelabu, dan embun menetes dari dedaunan yang mulai menguning. Aku berdiri di depan reruntuhan rumahku — tempat yang dulu penuh tawa, kini tinggal puing dan debu. Kakiku tak sanggup melangkah lebih dekat. Semua yang kulihat seperti mimpi buruk yang tak mau berakhir. Dinding rumahku ambruk. Gentengnya berserakan di tanah, kaca jendela pecah, dan di antara sisa-sisa kayu yang gosong, masih ada sisa pakaian yang dulu milik Ibu — robek, kotor, dan setengah terbakar. Tanganku menutup mulut, menahan isak yang tiba-tiba pecah. “Ibu…” Aku berlutut, menyentuh tanah yang dingin dan lembap. Di sini dulu Ibu sering duduk sambil menenun tikar. Di sini dulu Ara bermain lomp
Bab 79Aku bahkan sudah berhenti menghitung berapa kali aku mencoba kabur dari tempat ini. Setiap percobaan selalu berakhir sama: aku ditangkap, diseret kembali ke kamar, dipaksa menatap wajah Revan yang entah kenapa selalu tenang setiap aku melawan. Seakan-akan ia tahu, aku memang tidak akan pernah berhasil.Tapi malam ini berbeda. Atau mungkin aku yang berbeda. Mungkin setelah pesan itu—pesan terakhir dari ibu—ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Bukan sekadar patah, tapi pecah seperti kaca dilempar dari atap gedung tinggi. Pecahan-pecahannya menyebar ke seluruh tubuhku, membuatku tak lagi peduli pada luka.Aku tidak peduli.Bahkan kalau aku harus mati di luar sana, aku lebih memilih mati sebagai orang yang mencoba melawan, daripada hidup sebagai sesuatu yang dimiliki Revan.Jam di dinding menunjukkan pukul **04:52**. Detiknya berjalan lambat, tapi di telingaku terdengar seperti dentuman bom. Setiap detik berarti aku semakin dekat dengan pukul lima—waktu di mana semua orang di ru
Bab 79Semalaman aku tidak tidur, memikirkan ucapan Revan yang memberitahu kalau ibuku sudah tiada, membuatku menangis semalam suntuk. Dalam hatiku disibukkan dengan ucapan yang berkata, "Aku harus keluar dari tempat ini, harus "Ku bulatkan tekad ku untuk pulang, untuk melihat ibu. Aku tidak peduli dengan resiko yang bisa saja datang padaku. Aku gak peduli, yang penting aku harus keluar dari tempat ini. Bahkan kalau aku harus mati di luar sana, aku lebih memilih mati sebagai orang yang mencoba melawan, daripada hidup sebagai sesuatu yang dimiliki Revan.Jam di dinding menunjukkan pukul 04:52. Detiknya berjalan lambat, tapi di telingaku terdengar seperti dentuman bom. Setiap detik berarti aku semakin dekat dengan pukul lima—waktu di mana semua orang di rumah ini biasanya tidur paling nyenyak, tenggelam dalam mimpi-mimpi kotor mereka.Aku duduk di lantai, punggungku bersandar ke ranjang. Selimut kusut menutupi sebagian kakiku. Aku tak berani bergerak terlalu cepat. Aku tahu setiap b
Bab 78Aku bahkan tak tahu sudah berapa lama duduk di tepi ranjang ini. Lampu kamar redup, dan udara terasa pengap seperti menekan dada. Setiap napas terasa berat, setiap detik seperti hukuman.Aku menatap kosong ke dinding. Dalam diam, aku terus berbisik dalam hati — kalau saja aku bisa pergi. Kalau saja aku bisa kabur dari tempat ini. Tapi pintu itu, selalu terkunci. Dan langkah-langkahnya, selalu kembali padaku.Suara itu terdengar lagi. Langkah Revan.Pelan. Teratur. Tapi cukup membuat jantungku mencelus ke dasar perut.Pintu terbuka tanpa suara, hanya dentingan halus dari gagangnya. Ia masuk seperti biasa — seolah tempat ini memang miliknya, dan aku cuma bagian dari perabot yang bisa ia gerakkan sesuka hati.“Masih di sini aja?” katanya datar, tanpa ekspresi. “Kupikir kamu udah kabur.”Aku menunduk, tidak menjawab. Suaraku hilang entah ke mana. Aku hanya menggenggam ujung baju, menahannya supaya tanganku yang gemetar tidak terlihat.Revan mendekat, duduk di kursi depan meja. Ia m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments