LOGINNamaku Key, aku sangat terobsesi ingin menjadi artis ibu kota. Sedari dulu. Aku memiliki mimpi untuk menjadi seorang artis terkenal. Namun, aku di jebak oleh sahabatku sendiri. Ia menjualku ke mucikari dan menjadikan aku sebagai bintang film dewasa. Dan bukan itu saja, aku juga di jual ke para pria hidung belang. Di jadikan simpanan oleh pejabat. Aku ingin kabur dan memulai hidup baru, tapi itu tidak bisa. Sebab ibuku butuh biaya untuk berobat. Alhasil aku memilih bertahan pada pekerjaan ku sebagai wanita malam. Tapi rasanya begitu hampa, terlebih saat aku ternyata ditipu oleh Revan sahabat ku sendiri. Ibuku ternyata tidak sakit dan itu hanya akal-akalannya saja untuk mendapatkan uang dari ku. Baca terus kisahku agar tau berapa beratnya ujian hidup yang aku jalani kini.
View MoreBab 1
“Key, Lo jadi gak jadi artis ibu kota. Lagi ada buka lowongan casting film nih.” “Seriusan, Rev?” “Hmmm, gak mungkin gue becanda. Lo mau kagak? Kalau Lo gak mau ya udah, kesempatan ini aku kasih ke yang lain aja.” “Eh-eh jangan, gue mau.” “Ok, besok siang aku jemput sekitar jam 1. Lo sudah harus siap dan kita langsung terbang ke Jakarta. Gimana, bisa tidak?” “Ok, bisa.” Panggilan telepon itu pun berakhir, aku yang mendapat tawaran main film begitu senang, sampai aku mencium ponsel ku sendiri karena rasa bahagia ku. Terlebih impian untuk menjadi artis ibu kota sudah menjadi impian ku sejak lama. “Tidak sabar aku menunggu hari esok.” _______ Keesokan harinya, Revan datang menjemput ku ke rumah, tepat pada jam satu siang. Hingga aku berpamitan ke kedua orang tuaku untuk mengikuti casting film di ibu kota. “Kamu baik-baik di sana, Nak. Jangan keluyuran kalau malam-malam, harus selalu ingat pada Tuhan, dan yang terpenting jangan pernah tinggalkan sholat,” pesan ibu sebelum aku berangkat. “Iya Bu, doakan Key yah. Doa kan Key agar bisa sukses di ibukota. Nanti kalau Key sudah sukses, Key berangkatkan ibu ke Mekkah untuk naik haji dengan ayah.” “Amin, semoga kamu sukses kelak di sana Nak.” Sambil tersenyum kecil aku menganggukkan kepala, tidak ketinggalan dengan aku yang memeluk erat ibu. “Aku sayang dengan ibu, Bu. Dengan ayah juga.” Ayah yang menahan tangis tersenyum padaku, ia menatapku dengan rasa haru. “Jaga diri baik-baik yah, Nak,” ujar ayah, hingga aku melepaskan pelukanku ke ibu, di lanjutkan dengan aku yang menyalam dan mencium punggung tangan ayah. “Ayah juga yah, ayah harus selalu jaga kesehatan dengan baik. Dan jangan sampai sakit yah, kalau sudah kerja itu jangan terlalu di paksa. Ingat badan tidak lagi muda yah, jadi tenaga jadinya berkurang. Iya kan, Yah.” “Iya Nak,” jawab ayah yang aku sambut dengan senyuman. “Ya sudah, Key berangkat yah. Kasihan si Dev menunggu terlalu lama di dalam mobil Yah, Bu.” “Hmmm, kamu jaga diri baik-baik, Nak,” kata ibu mengulang perkataan yang sama. “Jangan pernah tinggalkan sholat,” lanjut kata ayah yang aku jawab. “Iya yah, iya Bu.” Dan setelah hari itu, aku tidak lagi bisa melihat wajah kedua orang tuaku secara langsung seperti hari ini. Karena, impian yang aku dambakan menjadi seorang artis ibu kota, adalah bala terbesar padaku. Sebab, wajahku tidak muncul di layar televisi sebagai seorang artis. Melainkan wajahku muncul di situs-situs aplikasi dewasa sebagai bintang film porno. Iya, kamu tidak salah baca. Karena ternyata Rev yang aku kira sebagai seorang sahabat justru tega menjual ku ke seorang mucikari, dan saat itu pun aku di pekerjakan sebagai wanita komersial, dan kadang di jual ke pria hidung belang untuk memuaskan hasratnya. Pernah pula pelanggan yang aku layani seorang pria yang terbilang belum dewasa, ada juga nenek, om-om, sugar Dady yang parah nya saat aku mendapatkan pelanggan seorang lesbi. Seorang wanita cantik yang aku anggap normal dan ternyata ia seorang lesbi. Dan beginilah kisahku. "Kita sudah sampai, Key," kata Revan seraya ia menurunkan jendela mobil. Ku tatap keluar jendela, sebuah rumah mewah berpagar dan di sekelilingnya ada beberapa petak bangunan yang bisa di bilang seperti kos-kosan tapi lebih mewah dari kos-kosan. Aku tidak tahu tempat apa ini. Yang jelas mataku terpacu melihat sekitar ku. "Apa yang kamu tunggu lagu, Key? Ayo turun," lanjut kata Revan. "Rev, ini tempat apa? Apa ini sejenis asrama?" Revan tersenyum kecil, dilanjutkan dengan ia yang berkata, "Ayo turun, nanti juga kamu tahu." Di kejauhan, ku lihat seorang wanita berdiri dengan pakaiannya yang terbuka, dan di belakangnya ada dua pria berbadan kekar. "Rev, yang itu siapa?" ku menunjuk ke arah wanita itu. "Kamu tunggu sini yah." "Tapi Rev ...." Revan langsung keluar, ia menghampiri wanita yang aku ceritakan tadi, tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Tapi setelah itu Revan memanggil namaku dan memintaku segera turun dari dalam mobil, hingga aku menghampirinya dengan perasaan ragu. "Iya ada apa, Rev?" "Key, perkenalan ini madam Sarah. Dia yang akan memberikan mu pekerjaan," ujar Revan, hingga aku langsung mengulurkan tangan dan berniat ingin memperkenalkan diri. "Hai Madam, perkenalan aku Keyla, tapi panggil saja aku Key," kataku, seiring tanganku yang menunggu untuk ia sambut, tapi sayangnya ia tidak menyambut nya. Hingga aku menarik ulur tangan ku lagi. "Senang berkenalan dengan kamu, Madam,' lanjut ujar ku dengan perasaan jengkel. Di dalam hati ku berdecak kesal. "Sialan ini orang, sombong banget." "Revan, apa kamu bisa jamin kalau dia masih per**an?" tanyanya yang membuatku langsung terkejut. Desir darahku seakan berhenti, kenapa ucapan seperti itu harus di lontarkan? Terus, apa hubungannya dengan yang masih perawan dengan yang gak perawan? Memangnya kalau mau audisi film harus perawan dulu? Memangnya ngaruh? Entahlah, tapi satu hal yang pasti. Aku terkejut saat Revan kembali berkata, "Aku jamin dia masih perawan, Madam. Soalnya Key ini anak rumahan, tidak pernah pacaran setahuku. Iya kan, Key?" Aku yang tidak tahu apa-apa langsung menganggukkan kepala, walaupun aku pernah sekali pacaran. Mungkin soal itu Revan tidak tahu, karena aku dan pacarku diam-diam kalau ketemuan. Tapi ya sudahlah. Mungkin ini ngaruh pada pekerjaan ku. "Tuh kan, Madam. Key ini masih pe**wan. Jadi bisa mahal kan, Madam?" Deg Mataku langsung tertuju ke arah Revan. "Rev, mahal maksudnya?" Ucapan ku diabaikan oleh keduanya, sebab madam Sarah langsung berkata kembali, "Ok, aku akan cek sendiri, dia masih pe**wan atau tidak. Karena aku tidak bisa percaya dengan ucapan sepihak." "Rev, ini apa-apaan sih? Masak mau audisi film pakai cek keperawanan, kayak mau masuk kepolisian aja Rev." "Iya silahkan Madam," sahut Revan ke Madam Sarah, yang mana lagi-lagi ucapan ku tidak dihiraukan oleh keduanya. "Rev, jelaskan dulu ini maksudnya apa, Rev?" Masih tanyaku, tapi yang aku dengar madam Sarah justru memerintahkan kedua pria berbadan kekar itu untuk membawaku masuk ke dalam. Di sini aku mulai curiga dengan keduanya, terlebih pada Revan. Dia pasti sudah memanfaatkan aku ke jalan yang salah. "Rev, Revan!" aku memanggil Revan, tapi ia acuh. "Bawa dia ke dalam!" perintah Madam Sarah. "Aku tidak mau, aku gak mau. Jelaskan dulu kenapa harus periksa keperawanan segala?" tanyaku, dan sebisa mungkin aku berusaha memberontak, tapi sayangnya tenaga ku tidak mampu menepis kedua tangan pria kekar itu, mereka menyeret ku ke dalam secara tidak layak, sampai kakiku menyeret. Dan sekalipun aku berteriak lantang Revan tidak peduli. "Revan, Revan! Tolong aku Revan!! Revannnnn!!" pekikku sekencang mungkin, tapi tidak ada seorangpun yang menghiraukan nya. "Madam, ini bisa tembus satu M, kan?" "1 M, kagak ada. Cewek ini cuman bisa aku bayar 200jt." "Tapi Madam, Key kan masih muda, cantik dan yang terpenting. Dia masih perawan, Madam." Madam Sarah tidak menjawab, ia justru mengikuti dari belakang, hingga aku di tempatkan di sebuah ruangan yang memiliki satu kamar. "Apa yang kamu tunggu lagi, buka celana da**mmu!?" perintahnya dengan judes. "Aku buka celana dalam? Untuk apa?" jawabku. "Jangan ngeyel deh, buka!" Ia melotot dan berteriak. "Ikuti aja, Key. Lagian kamu butuh kerjaan kan?" sahut Revan yang akhirnya bicara padaku. "Kerjaan, kerjaan apa Revan? Lagian, bukankah tadi kamu bilang ada audisi film? Tapi kenapa kamu bawa aku ke tempat ini, Revan?" "Ahh, jangan bawel ah!" Revan jadi marah, bahkan ia berjalan ke arahku dan ingin membuka paksa celana dalam yang aku kenakan. "Ayo buka!" titahnya.. "Rev, kamu apa-apaan sih? Jangan lakukan ini ke aku, Rev," kataku dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca, selain itu. Aku juga malu padanya. Apalagi dia seorang cowok dan aku cewek, dan dia juga sahabatku. Masak iya dia membuka celana dalam ku. Kan gak lucu, tapi itulah yang terjadi kini. Dia dengan di bantu dua pria itu memaksaku untuk membuka celana dalam ku, aku sudah memberontak sebisa mungkin. Tapi apalah dayaku sebagai seorang wanita. Tidak bisa melakukan apapun, dan terpaksa aku menutupi selangkanganku dengan dua telapak tangan ku. Itupun Revan langsung menahan tangan ku ke belakang, dan membuatku menangis dan meminta Revan untuk tidak melakukan ini padaku. "Ayo Madam, periksa!" ujar Revan. "Rev, apa-apaan sih Lo? Lo sudah janji bakal jaga aku dengan baik, Rev. Tapi apa yang Lo lakukan, Rev. Tolong lepaskan tanganmu Rev. Aku malu, Rev." "Diam aja Lo, Key. Gue butuh uang." Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arahnya. "Itu artinya kamu menjual ku, Rev?" BersambungBab 96 — Janji di Ujung Peluru.Angin malam menyusup dari celah jendela mobil tua yang kupacu tanpa arah. Jalanan basah oleh sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu kota yang berpendar seperti kenangan—redup, tapi tak mau padam. Aku tak tahu sudah berapa jauh aku pergi. Yang kutahu, darah di tanganku masih terasa hangat.Bukan darahku. Bukan juga darah yang asing. Itu darah dari masa laluku yang menjerat hidupku bertahun-tahun—darah Madam Sarah.Tanganku gemetar di atas setir. Setiap kali aku berkedip, wajahnya muncul—wanita yang dulu menjualku ke pria-pria kaya dengan alasan “demi masa depanmu, Key.”Aku masih ingat malam pertama kali ia mengikat tanganku di kursi, menyuruhku diam ketika aku menangis, menjanjikan uang dan keamanan yang tak pernah datang.Sekarang, semuanya sudah berakhir.Dia sudah mati.Dan aku... sebentar lagi menyusulnya.Mobil berguncang ketika aku membelok tajam ke jalan kecil di tepi kota. Sirene polisi terdengar samar di belakang. Aku tahu mereka mengejarku,
Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.Pagi itu terlalu tenang untuk menjadi akhir dari segalanya.Udara membawa aroma tanah basah, tapi di dalam dadaku, badai belum juga reda. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Ara yang masih terlelap di kursi. Matanya sembab, tubuhnya meringkuk dalam selimut yang tidak menutupi seluruh ketakutannya. Aku tahu ia tak benar-benar tidur—ia hanya menutup mata agar aku tak melihat sisa air mata yang belum kering.Aku menatap jam di dinding. Waktu sudah bergerak, dan aku tak punya banyak. Polisi pasti sudah mencium jejak. Revan bukan sekadar orang biasa; pembunuhannya akan membuat banyak pihak bergerak. Aku tahu mereka akan datang, cepat atau lambat. Tapi sebelum itu… aku harus menyelamatkan dua orang yang masih tersisa dari reruntuhan hidupku: Ara dan ayah.Langkahku berat ketika turun ke ruang tamu. Ayah duduk di kursi rotan, rambutnya mulai memutih, wajahnya kosong. Ia menatapku seperti menatap seseorang yang sudah setengah pergi.“Key…” suaranya ser
Bab 94Mobil mengantar kami pulang dalam sunyi yang tebal—sebuah tirai gelap setelah badai. Jarum spidometer berputar, lampu jalan membelah kabut malam seperti gagang-gagang tombak yang tak bernyawa. Di kursi penumpang, Ara menunduk, bibirnya gemetar, sesekali menarik napas panjang yang terdengar seperti desahan orang yang belum pulih dari mimpi buruk. Aku menatap ke luar jendela, menelan kepahitan yang masih menguar di mulut. Ada rasa lega—ya—namun lega itu tipis, seperti kertas yang tercecer di angin; di bawahnya ada lubang yang menganga.“Sudah benar, kan, Kak?” suara Ara kecil, seperti boneka yang remuk. “Kita nggak salah… kan?”Aku memalingkan wajah. Lampu jalan memantulkan bayanganku di kaca; wajah yang sama namun berbeda, seolah cermin menolak mengenali jiwa yang bersembunyi di baliknya. “Kita melakukan apa yang harus dilakukan, Dek,” jawabku, suaraku kering. “Dia sudah hancurkan hidup kita. Sekarang dia udah berhenti.”Ara mengangkat kepala, matanya basah masih bertahan. “Tapi
Bab 93.Aku ingat malam itu seperti mimpi yang dingin — setiap detik terasa padat, setiap napas diperas oleh tekad. Setelah Ara pergi tidur aku menatap cermin, melihat bayangan Key yang berbeda: bukan lagi gadis takut, melainkan perempuan yang punya rencana. Ponsel di tanganku bergetar, ada pesan dari akun palsu yang kubuat. Revan menjawab cepat, seperti biasanya: tidak pernah menolak pujian dan godaan.“Jam sepuluh malam di Hotel Chantika,” balasku.“Ok.” Balasannya singkat. Aku membaca satu kata itu berkali-kali seolah menyelami keangkuhan yang menipu.---Ara muncul di kamar tepat ketika aku hendak berangkat. Matanya merah, suaranya nyaris patah ketika ia memanggil, “Kak Key…”Aku menoleh, melemparkan senyum tipis karena tidak mau ia melihat kebekuan di dadaku. “Hmm?”“Aku tidak ingin kakak pergi.” Suaranya kecil, hampir memohon.Hatiku tercekat. Aku turun dari tempat tidur dan duduk di ujung. “Dek, ini harus kulakukan,” jawabku pelan. “Kita nggak bisa hidup terus seperti ini. Dia
bab 90."Kak, bagaimana ini kak?" isak tangis Ara. "Bangun kak Gery, bangun," lanjut Ara merintih, sementara suara bunyi sirene pihak berwajib mulai berdatangan, bersamaan dengan kedatangan ambulan. "Ayo angkat, angkat ke dalam!" kata seorang petugas. Mereka menaikkan tubuh Gery yang tidak bernyawa ke dalam mobil ambulans, aku dan Ara juga ikut naik ke dalam. Sementara mobil Gery diamankan oleh pihak berwajib, sebab aku juga tidak tahu cara mengendarai mobil itu. Lagian, aku tidak begitu memperdulikan sekitarku, yang ada aku hanya terdiam menahan rasa sedih, dan mungkin karena sedihnya sampai aku tidak bisa menangis lagi. Pikiran ku kacau, antara dendam yang semakin parah ke Revan, dan aku yang kian pusing memikirkan tentang kehidupanku dan Ara. Kalau begini, siapa lagi yang akan menolongku? Siapa lagi yang akan melindungi ku dan Ara? Siapa lagi yang peduli pada hidupku? Siapa lagi. Aku hanya punya ayah, yang kondisi nya entah bagaimana. Aku belum pernah bertemu dengan ayah sem
Bab 89"Ger, bagaimana ini?"Malam kian mencekam, tatkala mataku menangkap keluar jendela mobil, beberapa sepeda motor sedang membuntuti mobil yang di lakukan oleh Gery. Suara klakson motor mereka meminta Gery untuk berhenti, tapi aku, Gery dan Ara yang ketakutan justru memilih untuk kabur secepat mungkin. Aku bahkan refleks menoleh. Lampu-lampu motor menyorot tajam, menyilaukan mata. Suaranya semakin dekat, semakin keras, sampai bulu kudukku berdiri."Berhenti, aku bilang berhenti!"Tit tit tit ...."Berhenti!" sorak seseorang itu dari luar jendela mobil. "Kak Key, bagaimana ini?" kata Ara yang mulai ketakutan, sampai ku menoleh ke arah Gery yang fokus mengemudi mobil. Sebisa mungkin melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Ger…” panggilku pelan. Tapi suaraku tercekat.Gery memutar kepala, wajahnya langsung berubah tegang. “Pegangan, Key. Jangan panik.”Dalam hitungan detik, kami sudah terkepung. Sekitar sepuluh motor berhenti mengelilingi mobil kami. Para pengendara turun sat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments