MasukBab 6
"Tolong hentikan Madam, sakit. Aku mohon ampun, Madam. Please ... Tolong hentikan ... Tolong hentikan ... Aku mohon...," ujar ku yang tengah menangis, merintih dan memohon belas kasihan dari Madam Sarah, ia menyiksaku. Memasukkan sesuatu ke dalam selangkanganku menggunakan sebuah alat dewasa yang dimasukkan ke dalam kemaluanku. Awalnya aku merasa kenikmatan, tapi lama kelamaan rasanya sakit, perih dan aku tidak kuat. Hingga aku merintih dan memohon ampun, tapi tidak ada seorangpun yang peduli. Aku dijadikan tontonan. Yang sialnya, sebuah kamera mengarah ke aku. Merekam setiap detail apa yang mereka lakukan padaku, tawa suara pria menggelegar di ruangan itu, dilanjutkan dengan dua orang pria yang justru berjalan ke arahku. Ia cabut alat itu, membuatku merasa sedikit enakkan, walaupun masih ada perih sedikit di area kemaluan. Tapi, yang awalnya aku pikir hukuman itu berhenti justru tidak, ternyata dua pria itu lebih kasar daripada alat yang mereka masukkan ke dalam kemaluanku. Mereka memaksaku untuk menghisap kemaluan mereka, dan yang satu menjilati kemaluanku. Di situ aku mengerang kenikmatan, ingin ia memasukkan si Otong ke dalam, tapi ia justru berhenti. Dan tertawa menatapku yang mulai ketagihan. "Tolong masukan, Om. Jangan berhenti," kataku dengan nada memohon, dan jari tanganku yang mencoba memuaskan diri sendiri. Aku tidak mengerti apa yang mereka inginkan sekarang, tadi mereka membuatku merintih menahan sakit, lantas sekarang mereka membuatku tergantung dan ingin merasakan penyatuan itu. Tapi dua orang pria itu tidak melakukan apapun. Hanya menatapku yang tengah telanjang bulat. Tapi tiba-tiba madam Sarah mendekat, ia langsung berkata ke aku, "Ini hukuman untuk kamu, Key. Karena sudah mengecewakan pelanggan." "Madam, maafkan aku. Tapi aku ...." Aku bingung dengan diriku sendiri kini, atau apa mungkin karena aku lagi terpancing pada hasrat yang tidak bisa aku kendalikan. Atau mereka memasukkan sesuatu ke dalam minuman ku. Entahlah, tapi yang aku ingat. Setelah aku mengacaukan malam panas dengan seorang CEO itu, lantas aku di seret ke dalam ruangan yang seisi ruangan itu terdapat kamera, dan banyak alat seks lainnya. Di dalam juga ada beberapa pria yang bertelanjang bulat, dan ada pula dua orang wanita yang sedang melakukan penyatuan dengan beberapa pria lain. Aku juga tidak sempat bertanya tempat apa ini, yang aku tahu aku di kasih minum dan mereka memaksaku untuk minum. Hingga sekarang aku tidak bisa mengembalikan diriku sendiri. Aku memohon ke kedua pria itu, agar menyetubuhi ku. Tapi madam Sarah justru tidak memberikan perintah, ia hanya berkata, "Aku memberikan mu pekerjaan yang enak, lalu kamu juga di bayar dengan harga mahal. Lantas sekarang kamu membuatku marah, sekarang rasakan apa yang terjadi ke kamu. Apa kamu membutuhkannya?" Aku tidak begitu paham dengan maksud ucapannya, yang jelas aku menganggukkan kepala dan berkata, "Suruh mereka segera memasukkannya Madam, aku kepengen Madam. Aku tidak tahan lagi.' "Boleh, tapi kamu harus bayar." "Bayar? Kenapa harus bayar?" Di sini aku benar-benar kebingungan, kenapa harus bayar? Bukankah mereka mendapatkan uang dan kenikmatan juga, tapi kenapa aku yang justru keluar uang. Ternyata kata madam Sarah. "Bagaimana rasanya, key? Sakit kan kalau tidak dapat? Begitu juga yang mereka rasakan, sakit ketika tidak dapat melakukan intim dengan mu. Padahal mereka sudah mengeluarkan uang, tapi kamu justru mengecewakan dan tidak memberikan pelayanan yang baik." Di situ aku terdiam, ternyata ini maksud Madam Sarah menghukumku seperti ini, ia membuatku terangsang, tapi disaat aku butuh pelampiasan. Ia justru memilih untuk membuat ku menahan sakit. Seakan ini yang dirasakan oleh pelanggan ketika aku tidak berhasil memuaskan nafsunya. "Ingat Key, kamu sudah aku bayar mahal di sini. Jadi aku tidak mau dengar lagi kalau ada pelanggan yang kecewa padamu, kalau hal itu masih terjadi Key. Maka aku akan menghukummu seharian tanpa henti!" Aku terdiam, tubuhku gemetar tak tertahankan. Mataku masih memandangi kamera yang menyala merah, merekam setiap detik kehancuran yang tak bisa kuhentikan. Nafasku tersengal, tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang hanya ilusi dari obat yang mereka masukkan ke dalam minumanku. Madam Sarah mendekat lagi, kali ini suaranya lebih pelan, seperti bisikan dari neraka. "Kamu pikir ini hanya soal kesenangan, Key? Ini bisnis. Kekecewaan pelanggan sama dengan kerugian. Dan kerugian adalah dosa di tempat ini." Aku menggigit bibir, mencoba menahan tangis. Tubuhku lelah, batinku remuk. Aku hanya ingin semuanya berhenti, tapi tidak ada yang peduli. Aku bukan lagi manusia di mata mereka, hanya komoditas. "Besok kamu akan tampil lagi. Kali ini pastikan kamu tidak mengecewakan," katanya dingin. "Atau hukumannya akan lebih lama." Tanganku mengepal di sisi tubuhku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan di tempat ini. Tapi satu hal yang pasti: jika aku ingin hidup... aku harus mencari jalan keluar. _____ Tubuhku gemetar saat dua pria membawa kembali tubuhku yang lemas ke dalam kamar sempit yang disebut "kamarku". Matras tua dan lampu redup menyambutku dengan dingin. Aku tidak tahu apakah ini tempat beristirahat atau penjara. Mereka meletakkanku di kasur, lalu meninggalkan kamar tanpa sepatah kata. Pintu tertutup rapat. Aku tidak bisa menahan tangis. Aku menarik lututku ke dada, tubuhku masih terasa nyeri, bukan hanya secara fisik… tapi batin ini seperti dicabik. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Dina masuk. Aku berharap ia akan menunjukkan sedikit rasa simpati, tapi harapan itu langsung padam saat mendengar suaranya yang dingin. "Aku sudah bilang ke kamu, Key..." ucapnya dengan nada datar, tapi penuh tekanan. "Jangan pernah mengecewakan pelanggan." Aku tidak menjawab, hanya menatapnya dengan mata sembab. "Aku serius," lanjutnya, kini ia berdiri tepat di hadapanku, tangannya bersedekap. "Kamu pikir hukuman barusan berat? Itu belum seberapa, Key. Itu masih ringan." "Aku... aku nggak sengaja, Dina... aku nggak tahu apa yang terjadi semalam..." suaraku tercekat, penuh sesal dan ketakutan. Dina mendekat, duduk di pinggir kasur, suaranya berubah pelan tapi lebih menusuk. "Kalau Madam Sarah mau, kamu bisa aja dijual keluar negeri. Diselundupin. Dijadikan barang di pasar gelap. Bahkan... ginjalmu bisa diambil, Key. Kamu bisa mati." Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. "Jangan bilang gitu, Dina... aku takut... aku nggak kuat..." Air mataku tumpah lagi. Tapi Dina tidak memelukku, tidak menenangkan. Ia hanya berdiri kembali, menatapku dengan mata penuh tekanan seperti orang yang sudah lama mati rasa. "Kamu harus tahu tempatmu di sini, Key. Jangan berharap ada yang peduli. Aku sudah melewati semua ini lebih lama dari kamu. Dan percaya padaku... tempat ini tidak menyisakan ruang untuk kesalahan." Dia berbalik, berjalan ke pintu. Tapi sebelum keluar, dia sempat menoleh dan berkata, "Istirahat lah, karena setelah ini kamu akan di minta untuk menjadi peran sebagai pemain film PO*no" "Apa, kak Dina." Kak Dina langsung menghilang di balik pintu, membuatku yang tengah bimbang ini justru bergumam pada diri. "Apa maksud dari kak Dina tadi?"Bab 96 — Janji di Ujung Peluru.Angin malam menyusup dari celah jendela mobil tua yang kupacu tanpa arah. Jalanan basah oleh sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu kota yang berpendar seperti kenangan—redup, tapi tak mau padam. Aku tak tahu sudah berapa jauh aku pergi. Yang kutahu, darah di tanganku masih terasa hangat.Bukan darahku. Bukan juga darah yang asing. Itu darah dari masa laluku yang menjerat hidupku bertahun-tahun—darah Madam Sarah.Tanganku gemetar di atas setir. Setiap kali aku berkedip, wajahnya muncul—wanita yang dulu menjualku ke pria-pria kaya dengan alasan “demi masa depanmu, Key.”Aku masih ingat malam pertama kali ia mengikat tanganku di kursi, menyuruhku diam ketika aku menangis, menjanjikan uang dan keamanan yang tak pernah datang.Sekarang, semuanya sudah berakhir.Dia sudah mati.Dan aku... sebentar lagi menyusulnya.Mobil berguncang ketika aku membelok tajam ke jalan kecil di tepi kota. Sirene polisi terdengar samar di belakang. Aku tahu mereka mengejarku,
Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.Pagi itu terlalu tenang untuk menjadi akhir dari segalanya.Udara membawa aroma tanah basah, tapi di dalam dadaku, badai belum juga reda. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Ara yang masih terlelap di kursi. Matanya sembab, tubuhnya meringkuk dalam selimut yang tidak menutupi seluruh ketakutannya. Aku tahu ia tak benar-benar tidur—ia hanya menutup mata agar aku tak melihat sisa air mata yang belum kering.Aku menatap jam di dinding. Waktu sudah bergerak, dan aku tak punya banyak. Polisi pasti sudah mencium jejak. Revan bukan sekadar orang biasa; pembunuhannya akan membuat banyak pihak bergerak. Aku tahu mereka akan datang, cepat atau lambat. Tapi sebelum itu… aku harus menyelamatkan dua orang yang masih tersisa dari reruntuhan hidupku: Ara dan ayah.Langkahku berat ketika turun ke ruang tamu. Ayah duduk di kursi rotan, rambutnya mulai memutih, wajahnya kosong. Ia menatapku seperti menatap seseorang yang sudah setengah pergi.“Key…” suaranya ser
Bab 94Mobil mengantar kami pulang dalam sunyi yang tebal—sebuah tirai gelap setelah badai. Jarum spidometer berputar, lampu jalan membelah kabut malam seperti gagang-gagang tombak yang tak bernyawa. Di kursi penumpang, Ara menunduk, bibirnya gemetar, sesekali menarik napas panjang yang terdengar seperti desahan orang yang belum pulih dari mimpi buruk. Aku menatap ke luar jendela, menelan kepahitan yang masih menguar di mulut. Ada rasa lega—ya—namun lega itu tipis, seperti kertas yang tercecer di angin; di bawahnya ada lubang yang menganga.“Sudah benar, kan, Kak?” suara Ara kecil, seperti boneka yang remuk. “Kita nggak salah… kan?”Aku memalingkan wajah. Lampu jalan memantulkan bayanganku di kaca; wajah yang sama namun berbeda, seolah cermin menolak mengenali jiwa yang bersembunyi di baliknya. “Kita melakukan apa yang harus dilakukan, Dek,” jawabku, suaraku kering. “Dia sudah hancurkan hidup kita. Sekarang dia udah berhenti.”Ara mengangkat kepala, matanya basah masih bertahan. “Tapi
Bab 93.Aku ingat malam itu seperti mimpi yang dingin — setiap detik terasa padat, setiap napas diperas oleh tekad. Setelah Ara pergi tidur aku menatap cermin, melihat bayangan Key yang berbeda: bukan lagi gadis takut, melainkan perempuan yang punya rencana. Ponsel di tanganku bergetar, ada pesan dari akun palsu yang kubuat. Revan menjawab cepat, seperti biasanya: tidak pernah menolak pujian dan godaan.“Jam sepuluh malam di Hotel Chantika,” balasku.“Ok.” Balasannya singkat. Aku membaca satu kata itu berkali-kali seolah menyelami keangkuhan yang menipu.---Ara muncul di kamar tepat ketika aku hendak berangkat. Matanya merah, suaranya nyaris patah ketika ia memanggil, “Kak Key…”Aku menoleh, melemparkan senyum tipis karena tidak mau ia melihat kebekuan di dadaku. “Hmm?”“Aku tidak ingin kakak pergi.” Suaranya kecil, hampir memohon.Hatiku tercekat. Aku turun dari tempat tidur dan duduk di ujung. “Dek, ini harus kulakukan,” jawabku pelan. “Kita nggak bisa hidup terus seperti ini. Dia
bab 90."Kak, bagaimana ini kak?" isak tangis Ara. "Bangun kak Gery, bangun," lanjut Ara merintih, sementara suara bunyi sirene pihak berwajib mulai berdatangan, bersamaan dengan kedatangan ambulan. "Ayo angkat, angkat ke dalam!" kata seorang petugas. Mereka menaikkan tubuh Gery yang tidak bernyawa ke dalam mobil ambulans, aku dan Ara juga ikut naik ke dalam. Sementara mobil Gery diamankan oleh pihak berwajib, sebab aku juga tidak tahu cara mengendarai mobil itu. Lagian, aku tidak begitu memperdulikan sekitarku, yang ada aku hanya terdiam menahan rasa sedih, dan mungkin karena sedihnya sampai aku tidak bisa menangis lagi. Pikiran ku kacau, antara dendam yang semakin parah ke Revan, dan aku yang kian pusing memikirkan tentang kehidupanku dan Ara. Kalau begini, siapa lagi yang akan menolongku? Siapa lagi yang akan melindungi ku dan Ara? Siapa lagi yang peduli pada hidupku? Siapa lagi. Aku hanya punya ayah, yang kondisi nya entah bagaimana. Aku belum pernah bertemu dengan ayah sem
Bab 89"Ger, bagaimana ini?"Malam kian mencekam, tatkala mataku menangkap keluar jendela mobil, beberapa sepeda motor sedang membuntuti mobil yang di lakukan oleh Gery. Suara klakson motor mereka meminta Gery untuk berhenti, tapi aku, Gery dan Ara yang ketakutan justru memilih untuk kabur secepat mungkin. Aku bahkan refleks menoleh. Lampu-lampu motor menyorot tajam, menyilaukan mata. Suaranya semakin dekat, semakin keras, sampai bulu kudukku berdiri."Berhenti, aku bilang berhenti!"Tit tit tit ...."Berhenti!" sorak seseorang itu dari luar jendela mobil. "Kak Key, bagaimana ini?" kata Ara yang mulai ketakutan, sampai ku menoleh ke arah Gery yang fokus mengemudi mobil. Sebisa mungkin melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Ger…” panggilku pelan. Tapi suaraku tercekat.Gery memutar kepala, wajahnya langsung berubah tegang. “Pegangan, Key. Jangan panik.”Dalam hitungan detik, kami sudah terkepung. Sekitar sepuluh motor berhenti mengelilingi mobil kami. Para pengendara turun sat







