Bab 4
Apa ini yang dinamakan kehilangan raga? Ketika aku merasa tubuhku hina dan tidak berarti lagi. Di bawah pancuran shower aku menangis, meratapi diri yang habis di genjot oleh kakek tua, dia memang meninggalkan uang untukku, katanya sebagai tips karena dia puas. Tapi masalahnya aku bukan pelacur, dan tidak ingin dijadikan sebagai pelacur. Tapi takdir berkata lain, rasa sakit di tengah selangkangan ku belum hilang. Aku sudah diminta kembali melayani tamu, yang katanya seorang bos perusahaan. Walaupun terkenal keren tapi itu menjijikan, kenapa aku harus melayaninya? Aku bukan istrinya, bukan juga kekasihnya, atau selingkuhannya. Sama sekali bukan, dan aku juga bukan seorang pelacur. Tapi madam Sarah justru memaksaku menjadi pelacur. "Bukankah pekerjaan ini enak? Kamu cukup ngangkang dan di kasih uang, iya, kan?" katanya dengan penuh keangkuhan, seakan-akan uang adalah segalanya, sampai bisa membeli tubuh wanita yang tidak tahu apa-apa. Aku hanya bisa diam mendengar ucapan Madam Sarah. Kata-katanya menusuk seperti belati tumpul yang dipaksa masuk ke hatiku perlahan-lahan—menyakitkan, tapi tidak membuatku mati. Tidak langsung. Aku ingin menjawab, ingin berteriak bahwa harga diriku tidak bisa dibeli dengan lembaran uang lusuh yang dilemparkan sembarangan. Tapi lidahku kelu. Mungkin karena aku takut. Atau mungkin... aku sudah terlalu lelah. “Cepat bersiap,” lanjutnya sambil menatapku seperti sampah yang harus segera dijual lagi sebelum busuk. Aku kembali ke kamar dengan tubuh terbungkus handuk tipis. Tubuh yang kini terasa asing. Dulu aku membanggakan diri sebagai gadis biasa yang bermimpi sederhana—menjadi seorang artis terkenal, lalu menikah dengan pria baik, hidup damai. Tapi kini? Yang kulihat di cermin hanyalah bayangan gadis yang tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Air mata kembali jatuh. Entah sudah berapa kali hari ini aku menangis. Tapi tak ada yang berubah. Dunia ini tidak berhenti hanya karena aku patah. Aku duduk di pinggir ranjang, tangan mengusap luka tak kasat mata yang terasa membara di dalam dada. "Key..." suara lirih Kak Dina membuatku menoleh. Dia berdiri di ambang pintu, matanya sembab, seperti habis menangis juga. "Maaf... aku nggak bisa berbuat apa-apa." Aku tak membalas. Bukan karena marah. Tapi karena aku tahu, di tempat ini, semua orang sudah kalah... bahkan sebelum sempat melawan. "Kamu jangan menangis lagi, Key. Karena... lambat laun kamu akan terbiasa." Ucapan Kak Dina menggantung seperti kabut yang menyesakkan. Terbiasa? Aku tidak ingin terbiasa dengan rasa sakit ini. Aku tidak ingin tubuhku menjadi objek yang bisa dinikmati siapa saja yang mampu membayar. Belum sempat aku menjawab, dua tangan kasar sudah menarik lenganku. Aku tahu siapa mereka—anak buah Madam Sarah. “Jangan banyak tingkah. Tamu udah nunggu.” Aku diseret keluar kamar. Handuk yang tadi membungkus tubuhku nyaris jatuh. Aku merapatkannya, tapi mereka tidak peduli. Dihadapkan dengan kekerasan dan kehinaan, aku hanya bisa berjalan mengikuti paksa. Langkahku terhenti di depan sebuah pintu kamar mewah. Satu dari mereka mengetuk, lalu membukanya dengan kasar. Madam Sarah sudah ada di dalam sana, berdiri di samping seorang pria bertubuh tegap, berjas, dan bermata tajam. Wajahnya seperti tak asing—aku pernah melihatnya di berita televisi, sebagai CEO dari perusahaan besar yang menggurita di banyak bidang. Dia menoleh ke arahku, lalu pandangannya langsung berubah. Mata elangnya mengernyit tajam. “Ini?” tanyanya pada Madam Sarah. “Apa nggak ada wanita lain? Ini... seumuran anak saya.” Madam Sarah tertawa kecil. Senyumnya manis, tapi penuh racun. “Pak Bos bercanda. Ini barang baru... masih segel. Baru sekali pakai.” Dia melirikku sekilas, lalu menambahkan, “Saya yakin Pak Bos bakal puas. Lihat saja, kulitnya masih mulus, nggak ada cacat. Dan dia... penurut.” Tubuhku membeku. Kata-kata mereka seperti cambuk di udara. Meninggalkan bekas yang tak terlihat, tapi menyayat dalam. Aku berdiri di sana, menjadi objek yang dibahas seolah aku hanya komoditas. Bukan manusia. Bukan perempuan yang punya hati dan perasaan. Bukan seseorang yang pernah bermimpi, tertawa, dan mencintai hidupnya. Aku ingin berteriak. Tapi tidak ada suara yang keluar. Pria itu menatapku lagi. Tatapannya berubah—bukan karena nafsu, tapi karena jijik. Entah jijik pada tempat ini, atau pada kenyataan bahwa dia nyaris ikut menjadi bagian dari lingkaran keji ini. “Bawa dia keluar. Saya nggak mau yang kayak begini,” katanya dingin. Tapi sebelum aku bisa merasa lega, Madam Sarah langsung menyeringai. “Kalau bukan Anda, ada orang lain yang menunggu. Anak buah Anda mungkin mau. Atau... klien baru dari Dubai itu.” Dia menoleh ke orang di belakangku. “Bawa dia ke kamar 12. Cepat!” Aku tersentak. “Tidak...! Tolong...!” Aku mencoba meronta, tapi dua tangan kuat kembali mencengkeramku. Aku menangis. Tapi tak satu pun peduli. Di tempat ini, air mata hanyalah pelengkap bisnis. Dan aku... hanyalah barang dagangan untuk mereka. "Tunggu, aku berubah pikiran," katanya secepat kilat, membuat madam Sarah langsung tertawa sarkasme. "Tinggalkan dia di sini," lanjut kata pria itu. "Tentu, selamat bersenang-senang tuan Andrew," Madam Sarah tertawa penuh kepuasan, ia meninggalkanku di dalam kamar itu. Aku ingin kabur tapi pintu itu segera terkunci, yang bisa aku lakukan kini adalah menahan agar handuk ku tidak lepas dari tubuhku, sebab. Kalau sampai handuk ini lepas. Yang ada aku akan langsung bertelanjang bulat di hadapannya. Mereka tadi tidak sempat membiarkan aku mengenakan pakaian, mereka langsung menyeret ku dari kamar mandi. Sehingga apa yang terjadi sekarang? Aku berdiri di hadapan pria tampan yang bisa di bilang sugar Dady. Apa sugar Dady ini akan baik padaku, aku berharap dia tidak sekasar yang tadi. Apalagi setelah mendengar ucapannya yang berkata kalau dia memiliki anak gadis seusia ku. Dan itu artinya, dia akan teringat dan akan merasa bersalah ke putrinya jika menyetubuhi ku. Semoga. "Apa yang kamu tunggu ha? Bukankah kamu ditugaskan untuk melayaniku?" Deg.. Desir darahku seakan berhenti, apa yang aku harapkan tidak sesuai dengan kenyataannya. "A-aku ... Tolong Tuan, tolong jangan setubuhi aku. Aku mohon, aku bukan seorang pelacur," aku mengiba di hadapannya, berharap ada belas kasihan darinya, tapi ternyata aku salah. Dia tersenyum menyeringai terhadapku, menatapku sebagai sosok yang hina. "Tuan, aku mohon ... Pliss ... Tolong lepaskan aku." "Oh ya, lalu apa yang aku dapat jika aku melepaskan mu, jalang!" Kata-kata jalang darinya sangat menyakitkan. "Tapi tuan, anda salah orang. Aku bukan jalang dan aku bukan seorang pelacur, tapi merekalah yang menjadikan aku seorang pelacur. Tolong jangan sentuh aku, Tuan." "Banyak bacot, buruan tarik handukmu! Dan aku ingin kamu menari telanjang di hadapan ku!" BersambungBab 8Lampu sorot menyorot wajahku. Rasanya hangat, menyilaukan. Tapi tidak ada kehangatan di dalam dadaku. Hanya kekosongan yang menggema.Seseorang memberiku naskah tipis. Tapi tak ada yang perlu dihafal, tak ada dialog penting. Semua hanya instruksi fisik. Aku menggenggamnya sejenak, lalu meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Tak sanggup membacanya."Aman, ya? Kalau siap, kita mulai," ujar seseorang dari belakang kamera. Suaranya datar, profesional. Seperti ini adalah hal biasa. Mungkin untuk mereka, memang sudah biasa.Aku mengangguk kecil, hampir tak terlihat. Tubuhku bergerak, tapi bukan karena keinginanku. Lebih seperti... sisa-sisa perintah dari otak yang sudah mati rasa.Aku berbaring perlahan. Kasur terasa dingin, bau ruangan ini pun berbeda. Ada campuran parfum murahan, keringat, dan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan—sesuatu yang membuat tenggorokanku tercekat.Lelaki itu masuk ke dalam frame. Aku bahkan tak sempat tahu namanya. Dia tersenyum sejenak, basa-b
Bab 7Aku terus-terusan kepikiran dengan ucapan kak Dina, yang berkata sebentar lagi aku akan di jadikan sebagai pemeran utama dalam film PO*no, apa aku harus bahagia atau malah sebaliknya.Untuk menjadi bintang film itu adalah impian ku semenjak kecil, tapi aku tidak pernah bermimpi akan menjadi bintang film dewasa. Tidak pernah sama sekali.Tapi ... Siang ini aku mendengar obrolan dari beberapa wanita yang mengatakan kalau aku termasuk beruntung. Karena baru pertama kali masuk ke tempat itu sudah dijadikan sebagai bintang utama dalam pembuatan film dewasa.Aku hanya bisa duduk diam di sudut ruangan itu, tangan mengepal di atas pangkuan. Kata-kata mereka terus berputar di kepalaku, seperti gema yang tak bisa dihentikan."Dia beruntung banget… baru masuk, langsung jadi pemeran utama.”Beruntung? Aku ingin tertawa, tapi suara itu terjebak di tenggorokan. Apa mereka tahu bagaimana rasanya saat impian masa kecil yang indah berubah jadi bayangan buram seperti ini?Aku tidak tahu harus mer
Bab 6"Tolong hentikan Madam, sakit. Aku mohon ampun, Madam. Please ... Tolong hentikan ... Tolong hentikan ... Aku mohon...," ujar ku yang tengah menangis, merintih dan memohon belas kasihan dari Madam Sarah, ia menyiksaku. Memasukkan sesuatu ke dalam selangkanganku menggunakan sebuah alat dewasa yang dimasukkan ke dalam kemaluanku.Awalnya aku merasa kenikmatan, tapi lama kelamaan rasanya sakit, perih dan aku tidak kuat.Hingga aku merintih dan memohon ampun, tapi tidak ada seorangpun yang peduli. Aku dijadikan tontonan. Yang sialnya, sebuah kamera mengarah ke aku.Merekam setiap detail apa yang mereka lakukan padaku, tawa suara pria menggelegar di ruangan itu, dilanjutkan dengan dua orang pria yang justru berjalan ke arahku.Ia cabut alat itu, membuatku merasa sedikit enakkan, walaupun masih ada perih sedikit di area kemaluan.Tapi, yang awalnya aku pikir hukuman itu berhenti justru tidak, ternyata dua pria itu lebih kasar daripada alat yang mereka masukkan ke dalam kemaluanku.Mer
Bab 5."Tapi Tuan, anda salah orang. Aku bukan jalang dan aku bukan seorang pelacur, tapi merekalah yang menjadikan aku seorang pelacur. Tolong jangan sentuh aku, Tuan.""Banyak bacot, buruan tarik handukmu! Dan aku ingin kamu menari telanjang di hadapan ku!"Tanganku gemetar saat menggenggam erat ujung handuk ini. Dada sesak, seperti ada batu besar menindih. Ucapan pria itu barusan bukan hanya menusuk harga diriku tapi begitu menakutkan untukku. Apa yang akan terjadi setelah ini padaku? Di saat rasa perih di tengah selangkangan ku saja belum hilang."Aku sudah cukup dihina, Tuan," suaraku keluar lirih, tapi jelas. Aku menatap langsung ke matanya, meskipun tubuhku menggigil ketakutan. "Kalau memang harga diriku serendah itu di matamu, biarkan saja aku mati malam ini."Dia terdiam. Sorot matanya tidak semenggila tadi. Mungkin karena aku bicara terlalu jujur, terlalu mentah. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku sudah kehilangan segalanya—keluarga, kebebasan, bahkan hakku untuk bermimpi."Aku
Bab 4Apa ini yang dinamakan kehilangan raga? Ketika aku merasa tubuhku hina dan tidak berarti lagi.Di bawah pancuran shower aku menangis, meratapi diri yang habis di genjot oleh kakek tua, dia memang meninggalkan uang untukku, katanya sebagai tips karena dia puas.Tapi masalahnya aku bukan pelacur, dan tidak ingin dijadikan sebagai pelacur. Tapi takdir berkata lain, rasa sakit di tengah selangkangan ku belum hilang.Aku sudah diminta kembali melayani tamu, yang katanya seorang bos perusahaan.Walaupun terkenal keren tapi itu menjijikan, kenapa aku harus melayaninya? Aku bukan istrinya, bukan juga kekasihnya, atau selingkuhannya. Sama sekali bukan, dan aku juga bukan seorang pelacur. Tapi madam Sarah justru memaksaku menjadi pelacur."Bukankah pekerjaan ini enak? Kamu cukup ngangkang dan di kasih uang, iya, kan?" katanya dengan penuh keangkuhan, seakan-akan uang adalah segalanya, sampai bisa membeli tubuh wanita yang tidak tahu apa-apa.Aku hanya bisa diam mendengar ucapan Madam Sara
Bab 3Sayangnya, aku tidak bisa berbincang lama dengan kak Dina, sebab seseorang langsung masuk ke dalam kamar. "Dina, kamu di panggil dengan Madam Sarah," ujar seorang wanita yang usianya sekitar 30 tahun ke atas."Key, aku pergi yah. Cepat habiskan makananmu sebelum terlambat.""Sebelum terlambat, maksudnya?" tanyaku yang sia-sia, sebab kak Dina pergi tanpa menjelaskan apapun kepadaku, mungkinkah ... Entahlah, bagaimana aku bisa selera makan. Kalau perasaanku dihantui rasa cemas gini. Sampai-sampai aku masih menatap pintu yang baru saja ditutup Kak Dina. Rasa-rasanya, dinding kamar ini makin menyempit, udara makin menekan dadaku. Aku mencoba menelan nasi yang tersisa di piring, tapi lidahku seakan menolak. Ada firasat aneh yang mengganggu pikiranku, apalagi setelah kalimat terakhir Kak Dina—*sebelum terlambat*.Apa maksudnya?Belum sempat aku berdamai dengan pikiranku sendiri, pintu kamar terbuka kembali. Kali ini bukan Kak Dina. Seorang perempuan tinggi, dingin, dengan rambut disan