Beranda / Young Adult / Lepaskan Aku, Om / Bab 4. Menari telanjang di hadapan ku

Share

Bab 4. Menari telanjang di hadapan ku

Penulis: Bulandari f
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 22:01:14

Bab 4

Apa ini yang dinamakan kehilangan raga? Ketika aku merasa tubuhku hina dan tidak berarti lagi.

Di bawah pancuran shower aku menangis, meratapi diri yang habis di genjot oleh kakek tua, dia memang meninggalkan uang untukku, katanya sebagai tips karena dia puas.

Tapi masalahnya aku bukan pelacur, dan tidak ingin dijadikan sebagai pelacur. Tapi takdir berkata lain, rasa sakit di tengah selangkangan ku belum hilang.

Aku sudah diminta kembali melayani tamu, yang katanya seorang bos perusahaan.

Walaupun terkenal keren tapi itu menjijikan, kenapa aku harus melayaninya? Aku bukan istrinya, bukan juga kekasihnya, atau selingkuhannya. Sama sekali bukan, dan aku juga bukan seorang pelacur. Tapi madam Sarah justru memaksaku menjadi pelacur.

"Bukankah pekerjaan ini enak? Kamu cukup ngangkang dan di kasih uang, iya, kan?" katanya dengan penuh keangkuhan, seakan-akan uang adalah segalanya, sampai bisa membeli tubuh wanita yang tidak tahu apa-apa.

Aku hanya bisa diam mendengar ucapan Madam Sarah. Kata-katanya menusuk seperti belati tumpul yang dipaksa masuk ke hatiku perlahan-lahan—menyakitkan, tapi tidak membuatku mati. Tidak langsung.

Aku ingin menjawab, ingin berteriak bahwa harga diriku tidak bisa dibeli dengan lembaran uang lusuh yang dilemparkan sembarangan. Tapi lidahku kelu. Mungkin karena aku takut. Atau mungkin... aku sudah terlalu lelah.

“Cepat bersiap,” lanjutnya sambil menatapku seperti sampah yang harus segera dijual lagi sebelum busuk.

Aku kembali ke kamar dengan tubuh terbungkus handuk tipis. Tubuh yang kini terasa asing. Dulu aku membanggakan diri sebagai gadis biasa yang bermimpi sederhana—menjadi seorang artis terkenal, lalu menikah dengan pria baik, hidup damai. Tapi kini? Yang kulihat di cermin hanyalah bayangan gadis yang tidak lagi mengenali dirinya sendiri.

Air mata kembali jatuh. Entah sudah berapa kali hari ini aku menangis. Tapi tak ada yang berubah. Dunia ini tidak berhenti hanya karena aku patah.

Aku duduk di pinggir ranjang, tangan mengusap luka tak kasat mata yang terasa membara di dalam dada.

"Key..." suara lirih Kak Dina membuatku menoleh.

Dia berdiri di ambang pintu, matanya sembab, seperti habis menangis juga.

"Maaf... aku nggak bisa berbuat apa-apa."

Aku tak membalas. Bukan karena marah. Tapi karena aku tahu, di tempat ini, semua orang sudah kalah... bahkan sebelum sempat melawan.

"Kamu jangan menangis lagi, Key. Karena... lambat laun kamu akan terbiasa."

Ucapan Kak Dina menggantung seperti kabut yang menyesakkan.

Terbiasa?

Aku tidak ingin terbiasa dengan rasa sakit ini. Aku tidak ingin tubuhku menjadi objek yang bisa dinikmati siapa saja yang mampu membayar.

Belum sempat aku menjawab, dua tangan kasar sudah menarik lenganku. Aku tahu siapa mereka—anak buah Madam Sarah.

“Jangan banyak tingkah. Tamu udah nunggu.”

Aku diseret keluar kamar. Handuk yang tadi membungkus tubuhku nyaris jatuh. Aku merapatkannya, tapi mereka tidak peduli. Dihadapkan dengan kekerasan dan kehinaan, aku hanya bisa berjalan mengikuti paksa.

Langkahku terhenti di depan sebuah pintu kamar mewah. Satu dari mereka mengetuk, lalu membukanya dengan kasar.

Madam Sarah sudah ada di dalam sana, berdiri di samping seorang pria bertubuh tegap, berjas, dan bermata tajam. Wajahnya seperti tak asing—aku pernah melihatnya di berita televisi, sebagai CEO dari perusahaan besar yang menggurita di banyak bidang.

Dia menoleh ke arahku, lalu pandangannya langsung berubah. Mata elangnya mengernyit tajam.

“Ini?” tanyanya pada Madam Sarah.

“Apa nggak ada wanita lain? Ini... seumuran anak saya.”

Madam Sarah tertawa kecil. Senyumnya manis, tapi penuh racun. “Pak Bos bercanda. Ini barang baru... masih segel. Baru sekali pakai.”

Dia melirikku sekilas, lalu menambahkan, “Saya yakin Pak Bos bakal puas. Lihat saja, kulitnya masih mulus, nggak ada cacat. Dan dia... penurut.”

Tubuhku membeku. Kata-kata mereka seperti cambuk di udara. Meninggalkan bekas yang tak terlihat, tapi menyayat dalam.

Aku berdiri di sana, menjadi objek yang dibahas seolah aku hanya komoditas. Bukan manusia. Bukan perempuan yang punya hati dan perasaan. Bukan seseorang yang pernah bermimpi, tertawa, dan mencintai hidupnya.

Aku ingin berteriak. Tapi tidak ada suara yang keluar.

Pria itu menatapku lagi. Tatapannya berubah—bukan karena nafsu, tapi karena jijik. Entah jijik pada tempat ini, atau pada kenyataan bahwa dia nyaris ikut menjadi bagian dari lingkaran keji ini.

“Bawa dia keluar. Saya nggak mau yang kayak begini,” katanya dingin.

Tapi sebelum aku bisa merasa lega, Madam Sarah langsung menyeringai.

“Kalau bukan Anda, ada orang lain yang menunggu. Anak buah Anda mungkin mau. Atau... klien baru dari Dubai itu.”

Dia menoleh ke orang di belakangku.

“Bawa dia ke kamar 12. Cepat!”

Aku tersentak.

“Tidak...! Tolong...!” Aku mencoba meronta, tapi dua tangan kuat kembali mencengkeramku.

Aku menangis. Tapi tak satu pun peduli.

Di tempat ini, air mata hanyalah pelengkap bisnis.

Dan aku... hanyalah barang dagangan untuk mereka.

"Tunggu, aku berubah pikiran," katanya secepat kilat, membuat madam Sarah langsung tertawa sarkasme.

"Tinggalkan dia di sini," lanjut kata pria itu.

"Tentu, selamat bersenang-senang tuan Andrew," Madam Sarah tertawa penuh kepuasan, ia meninggalkanku di dalam kamar itu.

Aku ingin kabur tapi pintu itu segera terkunci, yang bisa aku lakukan kini adalah menahan agar handuk ku tidak lepas dari tubuhku, sebab. Kalau sampai handuk ini lepas. Yang ada aku akan langsung bertelanjang bulat di hadapannya.

Mereka tadi tidak sempat membiarkan aku mengenakan pakaian, mereka langsung menyeret ku dari kamar mandi. Sehingga apa yang terjadi sekarang? Aku berdiri di hadapan pria tampan yang bisa di bilang sugar Dady.

Apa sugar Dady ini akan baik padaku, aku berharap dia tidak sekasar yang tadi. Apalagi setelah mendengar ucapannya yang berkata kalau dia memiliki anak gadis seusia ku. Dan itu artinya, dia akan teringat dan akan merasa bersalah ke putrinya jika menyetubuhi ku. Semoga.

"Apa yang kamu tunggu ha? Bukankah kamu ditugaskan untuk melayaniku?"

Deg..

Desir darahku seakan berhenti, apa yang aku harapkan tidak sesuai dengan kenyataannya.

"A-aku ... Tolong Tuan, tolong jangan setubuhi aku. Aku mohon, aku bukan seorang pelacur," aku mengiba di hadapannya, berharap ada belas kasihan darinya, tapi ternyata aku salah.

Dia tersenyum menyeringai terhadapku, menatapku sebagai sosok yang hina.

"Tuan, aku mohon ... Pliss ... Tolong lepaskan aku."

"Oh ya, lalu apa yang aku dapat jika aku melepaskan mu, jalang!"

Kata-kata jalang darinya sangat menyakitkan.

"Tapi tuan, anda salah orang. Aku bukan jalang dan aku bukan seorang pelacur, tapi merekalah yang menjadikan aku seorang pelacur. Tolong jangan sentuh aku, Tuan."

"Banyak bacot, buruan tarik handukmu! Dan aku ingin kamu menari telanjang di hadapan ku!"

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lepaskan Aku, Om   bab 96 tamat

    Bab 96 — Janji di Ujung Peluru.Angin malam menyusup dari celah jendela mobil tua yang kupacu tanpa arah. Jalanan basah oleh sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu kota yang berpendar seperti kenangan—redup, tapi tak mau padam. Aku tak tahu sudah berapa jauh aku pergi. Yang kutahu, darah di tanganku masih terasa hangat.Bukan darahku. Bukan juga darah yang asing. Itu darah dari masa laluku yang menjerat hidupku bertahun-tahun—darah Madam Sarah.Tanganku gemetar di atas setir. Setiap kali aku berkedip, wajahnya muncul—wanita yang dulu menjualku ke pria-pria kaya dengan alasan “demi masa depanmu, Key.”Aku masih ingat malam pertama kali ia mengikat tanganku di kursi, menyuruhku diam ketika aku menangis, menjanjikan uang dan keamanan yang tak pernah datang.Sekarang, semuanya sudah berakhir.Dia sudah mati.Dan aku... sebentar lagi menyusulnya.Mobil berguncang ketika aku membelok tajam ke jalan kecil di tepi kota. Sirene polisi terdengar samar di belakang. Aku tahu mereka mengejarku,

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.

    Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.Pagi itu terlalu tenang untuk menjadi akhir dari segalanya.Udara membawa aroma tanah basah, tapi di dalam dadaku, badai belum juga reda. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Ara yang masih terlelap di kursi. Matanya sembab, tubuhnya meringkuk dalam selimut yang tidak menutupi seluruh ketakutannya. Aku tahu ia tak benar-benar tidur—ia hanya menutup mata agar aku tak melihat sisa air mata yang belum kering.Aku menatap jam di dinding. Waktu sudah bergerak, dan aku tak punya banyak. Polisi pasti sudah mencium jejak. Revan bukan sekadar orang biasa; pembunuhannya akan membuat banyak pihak bergerak. Aku tahu mereka akan datang, cepat atau lambat. Tapi sebelum itu… aku harus menyelamatkan dua orang yang masih tersisa dari reruntuhan hidupku: Ara dan ayah.Langkahku berat ketika turun ke ruang tamu. Ayah duduk di kursi rotan, rambutnya mulai memutih, wajahnya kosong. Ia menatapku seperti menatap seseorang yang sudah setengah pergi.“Key…” suaranya ser

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 94

    Bab 94Mobil mengantar kami pulang dalam sunyi yang tebal—sebuah tirai gelap setelah badai. Jarum spidometer berputar, lampu jalan membelah kabut malam seperti gagang-gagang tombak yang tak bernyawa. Di kursi penumpang, Ara menunduk, bibirnya gemetar, sesekali menarik napas panjang yang terdengar seperti desahan orang yang belum pulih dari mimpi buruk. Aku menatap ke luar jendela, menelan kepahitan yang masih menguar di mulut. Ada rasa lega—ya—namun lega itu tipis, seperti kertas yang tercecer di angin; di bawahnya ada lubang yang menganga.“Sudah benar, kan, Kak?” suara Ara kecil, seperti boneka yang remuk. “Kita nggak salah… kan?”Aku memalingkan wajah. Lampu jalan memantulkan bayanganku di kaca; wajah yang sama namun berbeda, seolah cermin menolak mengenali jiwa yang bersembunyi di baliknya. “Kita melakukan apa yang harus dilakukan, Dek,” jawabku, suaraku kering. “Dia sudah hancurkan hidup kita. Sekarang dia udah berhenti.”Ara mengangkat kepala, matanya basah masih bertahan. “Tapi

  • Lepaskan Aku, Om   bab 93

    Bab 93.Aku ingat malam itu seperti mimpi yang dingin — setiap detik terasa padat, setiap napas diperas oleh tekad. Setelah Ara pergi tidur aku menatap cermin, melihat bayangan Key yang berbeda: bukan lagi gadis takut, melainkan perempuan yang punya rencana. Ponsel di tanganku bergetar, ada pesan dari akun palsu yang kubuat. Revan menjawab cepat, seperti biasanya: tidak pernah menolak pujian dan godaan.“Jam sepuluh malam di Hotel Chantika,” balasku.“Ok.” Balasannya singkat. Aku membaca satu kata itu berkali-kali seolah menyelami keangkuhan yang menipu.---Ara muncul di kamar tepat ketika aku hendak berangkat. Matanya merah, suaranya nyaris patah ketika ia memanggil, “Kak Key…”Aku menoleh, melemparkan senyum tipis karena tidak mau ia melihat kebekuan di dadaku. “Hmm?”“Aku tidak ingin kakak pergi.” Suaranya kecil, hampir memohon.Hatiku tercekat. Aku turun dari tempat tidur dan duduk di ujung. “Dek, ini harus kulakukan,” jawabku pelan. “Kita nggak bisa hidup terus seperti ini. Dia

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 90

    bab 90."Kak, bagaimana ini kak?" isak tangis Ara. "Bangun kak Gery, bangun," lanjut Ara merintih, sementara suara bunyi sirene pihak berwajib mulai berdatangan, bersamaan dengan kedatangan ambulan. "Ayo angkat, angkat ke dalam!" kata seorang petugas. Mereka menaikkan tubuh Gery yang tidak bernyawa ke dalam mobil ambulans, aku dan Ara juga ikut naik ke dalam. Sementara mobil Gery diamankan oleh pihak berwajib, sebab aku juga tidak tahu cara mengendarai mobil itu. Lagian, aku tidak begitu memperdulikan sekitarku, yang ada aku hanya terdiam menahan rasa sedih, dan mungkin karena sedihnya sampai aku tidak bisa menangis lagi. Pikiran ku kacau, antara dendam yang semakin parah ke Revan, dan aku yang kian pusing memikirkan tentang kehidupanku dan Ara. Kalau begini, siapa lagi yang akan menolongku? Siapa lagi yang akan melindungi ku dan Ara? Siapa lagi yang peduli pada hidupku? Siapa lagi. Aku hanya punya ayah, yang kondisi nya entah bagaimana. Aku belum pernah bertemu dengan ayah sem

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 89. Insiden di jalan raya

    Bab 89"Ger, bagaimana ini?"Malam kian mencekam, tatkala mataku menangkap keluar jendela mobil, beberapa sepeda motor sedang membuntuti mobil yang di lakukan oleh Gery. Suara klakson motor mereka meminta Gery untuk berhenti, tapi aku, Gery dan Ara yang ketakutan justru memilih untuk kabur secepat mungkin. Aku bahkan refleks menoleh. Lampu-lampu motor menyorot tajam, menyilaukan mata. Suaranya semakin dekat, semakin keras, sampai bulu kudukku berdiri."Berhenti, aku bilang berhenti!"Tit tit tit ...."Berhenti!" sorak seseorang itu dari luar jendela mobil. "Kak Key, bagaimana ini?" kata Ara yang mulai ketakutan, sampai ku menoleh ke arah Gery yang fokus mengemudi mobil. Sebisa mungkin melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Ger…” panggilku pelan. Tapi suaraku tercekat.Gery memutar kepala, wajahnya langsung berubah tegang. “Pegangan, Key. Jangan panik.”Dalam hitungan detik, kami sudah terkepung. Sekitar sepuluh motor berhenti mengelilingi mobil kami. Para pengendara turun sat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status