Bunyi peluit yang nyaring tertangkap oleh telingaku. Aku dan siswi-siswi lainnya pun berhenti bergerak dan menoleh ke arah sumber bunyi, guru PENJAS. Pria itu berdiri di tepi lapangan sambil melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya.
"Waktu habis! Pemenangnya adalah grup Christina dengan skor 8:4!" ujar pak guru.
Suara sorak sorai dari murid laki-laki mulai terdengar. Mereka bersorak kepada grup yang menang dan mengabaikan grup yang kalah. Christina, sebagai pemain yang mencetak paling banyak goal pun berselebrasi dengan meriah.
"Kamu hebat, Christie!" puji Celestine yang menyebut nama Christina dengan nama kecilnya.
Celestine dan anggota gengnya mengangkat tubuh Christina dan melemparnya ke atas berulang kali. Karena tubuh Christine yang kecil, dia jadi ringan untuk diangkat dan dilempar seperti itu.
Aku mengalihkan pandanganku dari kelima siswi itu lalu melangkahkan kakiku keluar dari lapangan dengan langkah lesu. Aku tida
Saat aku sedang menikmati bekalku sambil melihat pemandangan dari atap sekolah, tiba-tiba ada yang mendorong punggungku dari belakang. Kotak bekalku pun terlepas dari tanganku dan terjun bebas ke bawah.Terdengar bunyi benda jatuh saat kotak bekalku mendarat di atas permukaan datar yang keras. Sontak aku melihat ke bawah dan mendapti kotak bekalku terbalik di atas kanopi beton. Kuhela napas lega saat mengetahui kotak bekalku tidak langsung jatuh ke dasar.Kugenggam erat pagar beton yang tingginya hanya sepinggangku. 'Untung saja ada kanopi. Kalau tidak, kotak bekalku pasti akan pecah karena jatuh dari ketinggian 4 lantai.'Karena terlalu fokus pada keadaan kotak bekalku, aku jadi lupa dengan orang yang sudah mengagetkanku sehingga membuatku menjatuhkan kotak bekalku. Orang memanggil namaku untuk menarik perhatianku."Freya~ Kamu lagi melamunkan apa sih? Daritadi dipanggil tidak nyaut," tanyanya.Aku pun membalikkan badanku, menghadap ke arah lawan
Mendengar suara lelaki dewasa yang berteriak kepadaku, sontak aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arah sumber suara. Kulihat seorang guru berseragam cokelat berdiri di ambang pintu yang berjarak cukup jauh dari tempatku berdiri.Pria itu berlari ke arahku walaupun tubuhnya sudah tidak sebugar saat dia lebih muda. "Ayo naik ke sini! Di sana berbahaya, Nak!"Aku pun menuruti perintahnya. Aku memanjat tembok yang tingginya hanya sepinggangku dan beranjak dari atas kanopi. Pak guru yang mengkhawatirkanku pun membantuku turun dari tembok yang kupanjat dan bertanya kepadaku."Apa yang kamu lakukan di sana? Kamu tahu tidak seberapa kagetnya saya melihat kamu berdiri di atas kanopi? Itu berbahaya, tahu!" Dia memborbardir aku dengan pertanyaan-pertanyaan dan teguran."Maaf, Pak, saya hanya mau mengambil kotak bekal saya yang jatuh," jawabku sambil memperlihatkan kotak makan berbahan plastik di tanganku.Pak guru menggeleng-gelengkan kepalanya setelah
Aku duduk di sofa yang empuk, bersama dengan siswi-siswi lain yang ikut ke sini denganku. Seorang pria berkepala plontos berdiri di depan kami sambil menyilangkan tangannya di dada. Guru yang mengantar kami ke sini pun sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya."Jadi, kalian merundung Freya lagi?" tanya pak Yeremia kepada geng Celestine setelah mendengarkan detail kejadian yang terjadi di WC perempuan lantai 3."Iya, Pak," jawab Celestine sambil memperhatikan kukunya yang pendek.Kelima siswi itu sukses membuatku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mereka sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat kepada guru BK di depan kami. Mentang-mentang orang tua mereka menyogok pak Yeremia, mereka bisa bersikap seperti bos di hadapan guru itu.Kualihkan pandanganku ke arah pak Yeremia yang tampak tak masalah dengan sikap tidak sopan geng Celestine. Pria berkepala plontos itu hanya menatap mereka dalam diam dan tidak menegur mereka karena merundungku lagi.Aku
Aku menghentikan langkahku saat melihat geng Celestine berdiri menghalangi tangga turun. Kubalikkan badanku ke kanan dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan mereka. Untung saja bangunan ini memiliki dua pasang tangga yang bisa dipakai.Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju tangga turun yang berada tepat di samping kelas sebelah. 'Kalian pikir kalian bisa mencegatku? Seharusnya kalian menjaga kedua tangga supaya aku tidak bisa kabur ke tangga lain.'Sesekali aku menengok ke belakang untuk memeriksa apakah mereka mengejarku atau tidak. Kulihat kelima siswi itu berlari menerjang ke arahku. Aku pun berdecak kesal dan mempercepat tempo lariku agar tidak tertangkap oleh mereka.Kuturuni tangga dengan cepat dan berhati-hati agar tidak salah pijakan. Saat kupikir aku pasti akan berhasil kabur dari kejaran mereka, seseorang dari mereka berhasil mengejarku dan tanpa aba-aba menarik ranselku.Aku pun terjungkal ke belakang karena dia menariknya dengan kuat. Tu
Aku berjalan menuju gerbang sekolah dengan langkah lesu. Telapak tangan kananku menutupi pipiku yang perih, dengan harapan itu bisa meredakan rasa sakit ini. Sepertinya pukulan-pukulan yang kudapatkan dari Celestine meninggalkan bekas pada kulitku.Kulangkahkan kakiku melewati gedung sekolah dasar yang sunyi karena hampir semua murid-muridnya sudah pulang ke rumah. Beberapa anak yang masih belum pulang melihat ke arahku dengan pandangan heran.Mereka pasti heran melihatku yang berpenampilan berantakan seperti ini. Aku pun memalingkan mukaku dari mereka dan mempercepat langkah kakiku. Tatapan mereka yang memandangku seakan-akan melihat sebagai orang gila membuatku merasa tidak nyaman.Ringisan kesakitan keluar dari mulutku saat aku tidak sengaja menekan pipiku yang sakit. Sontak aku melepaskan telapak tanganku dari mukaku dan memperlambat ritme langkahku hingga kedua kakiku berhenti bergerak.Aku berdiri diam di dekat parkiran mobil para guru dan menundukk
Beberapa hari telah berlalu, tibalah hari Senin. Biasanya hari Senin diawali dengan upacara bendera, tetapi kali ini upacara bendera ditiadakan. Kegiatan yang dilaksanakan tiap sekali dalam seminggu itu diadakan karena ujian akhir semester sedang berlangsung.Kulangkahkan kakiku menuju gedung SMP. Aku menghembuskan napas panjang dan berusaha menenangkan diriku yang gugup. 'Bagaimana aku tidak gugup? Hari pertama UAS dimulai dengan pelajaran yang paling berat, yaitu Matematika.'"Tak terasa UAS sudah datang. Kuharap kali ini aku bisa mendapatkan banyak nilai sempurna," gumamku sambil memandang langit biru yang cerah.Kulangkahkan kakiku menaiki tangga dan mulai mencari dimana ruang ujianku berada. Kuperhatikan selembar kertas yang ditempel pada setiap pintu kelas yang kukunjungi. Tak satu pun dari kertas-kertas itu memuat namaku di dalamnya.Aku pun membalikkan badanku dan lanjut berjalan menuju tangga naik ke lantai 3. Saat aku akan menaiki anak-anak tang
Bunyi dering bel menggema ke sepenjuru gedung SMP, menandakan waktu mengerjakan soal UAS telah habis. Terdengar suara siswa-siswi yang mengeluh karena belum menyelesaikan semua soalnya, termasuk diriku.Aku memandang lembar jawabanku. Ada beberapa soal pilihan ganda yang tak kutemukan jawabannya walaupun aku sudah menghitungnya berkali-kali. Padahal menurutku tidak ada yang salah dengan rumus maupun hitunganku, tetapi jawabannya tidak ada di pilihan."Ayo dikumpul lembar jawabannya, Anak-anak," ujar guru yang ditugaskan untuk menjadi pengawas ujian."Sebentar, Bu!" sahut sebagian besar murid yang sibuk mengerjakan ujiannya.Di antara banyaknya yang masih sibuk mengerjakan ujiannya, ada beberapa orang siswa dan siswi bangkit dari kursinya dan berjalan menuju meja guru. Mereka mengumpulkan lembar jawabannya menurut kelasnya masing-masing."Ayo yang lainnya kumpul juga," ujar pengawas ujian setelah siswa-siswi itu mengumpulkan lembar ujiannya.
Aku duduk di bangku halte sambil menunggu jemputan datang. Kupandang kosong jalanan yang rata-rata dilalui oleh kendaraan beroda dua. Terkadang ada juga kendaraan beroda empat yang berlalu-lalang di jalanan. Aku merasa tidak bersemangat karena UAS hari ini berjalan dengan kurang baik. Aku sudah memperkirakan nilai Matematika dan Bahasa Indonesia ku; 70 dan 80. Bagi orang lain, mungkin nilai itu sudah bagus, tetapi bagiku itu tidak bagus. Siku tangan kananku bertumpu pada lutut kananku yang disilangkan di atas kaki kiriku. Aku menopang daguku dengan telapak tangan kananku. Sebuah hembusan napas berat keluar dari mulutku. "Kalau mama tahu nilaiku tidak 100, apalagi di bawah 90, siap-siap aku akan kena roti panggang darinya," gumamku dengan lesu. Roti panggang yang kumaksudkan bukan roti yang dipanggang untuk dimakan, melainkan pukulan rotan. Dulu kecil, aku dan kakak biasa menyebut pukulan rotan dari mama sebagai roti panggang. Jangan tanya aku kenapa k