'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
Pagi ini langit berwarna biru cerah dan sedikit berawan. Tanaman hijau yang asri menghiasi sekitar jalan setapak yang dilalui banyak orang dengan seragam sama persis. Mereka adalah murid SMP Bibit Kasih, termasuk aku.Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah tepukan yang tidak begitu keras pada ransel yang menggantung pada punggungku. Aku pun membalikkan badanku ke belakang untuk melihat siapa yang menepuk ranselku."Freya! Selamat pagi!" sapa seorang gadis seumuranku yang tingginya 10 cm lebih pendek dariku. Dia memiliki rambut hitam bergelombang dan memiliki kulit yang jauh lebih putih daripada aku. Senyuman lebar terpasang pada bibir merah mudanya."Vania~ Tumben hari ini kamu datang cepat," sahutku sambil membalas tepukannya pada ransel merah mudanya. Vania adalah sahabatku. Sudah 2 tahun kami bersahabat, yaitu sejak kelas 7."Ya, hari ini aku bangun lebih awal karena salah satu anak perempuannya mamaku mengamuk gara-gara ada yang memakan kuenya. Menyebalkan
Bel pulangan berdering, menggema ke seisi ruangan kelas. Semua murid berdiri dari kursinya dan mengucapkan terima kasih kepada guru yang baru saja mengajari mereka. Kelas yang tadinya hanya diisi dengan suara guru, kini kelas bising dengan suara siswa dan siswi yang kelelahan."Sumpah, tadi pak Mulyadi seram banget pas nunjuk aku buat kerjakan pertanyaannya di papan tulis," gerutu seseorang yang suaranya terdengar sangat dekat denganku.Sontak aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Jonathan berdiri di belakangku. Dia memegangi punggung kursiku dan membungkukkan badannya sehingga wajah kami berdekatan. Aku jadi salah tingkah dan menarik badanku menjauh darinya.Sekilas kulihat dia tersenyum kepadaku sebelum menjauhkan wajahnya dariku dan melanjutkan keluh kesahnya. "Padahal aku duduk hampir di paling belakang, bisa-bisanya dia melihatku dan menunjukku!"Vania menertawai Jonathan dan mengejeknya. "Kamu lagi apes kali. Aku sama Freya aja tidak ditunj
Kulangkahkan kakiku melalui lorong yang menghubungkan banyak kelas. Kulihat dekorasi warna-warni yang menghiasi semua kelas dengan tema yang berbeda-beda. Murid-murid mengenakan pakaian bebas, berlalu-lalang mengunjungi stand bazaar kelas lain.Kudengar seseorang memanggil namaku dengan suara nyaring. Kulihat sebuah tangan melambai-lambai di depan sana. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia tenggelam di antara siswa-siswi yang lebih tinggi daripada dia. Namun, aku tahu siapa yang memanggilku dari suaranya.Kuhampiri dia dan menyapanya. "Vania~ Selamat pagi~""Selamat pagi, Freya!" sahutnya sambil tersenyum lebar."Tumben kamu datang lebih cepat dariku," ujarku sambil melihat jam pada layar telepon pintarku yang menunjukkan pukul 07.11."Tentu saja aku harus datang cepat! Aku 'kan harus mendandani kamu untuk lomba fashion show mu!" balasnya sambil menyibakkan rambutnya yang bertengger pada bahunya ke belakang.Tanpa aba-aba, dia menarik
Semua orang berebutan ingin melihat jari kakiku yang 'unik'. Sesudah melihatnya, mereka langsung menatapku dengan jijik atau takut lalu saling berbisik kepada satu dengan yang lainnya.Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang mematung saking syoknya. Aku ingin kabur dari sini. Masa bodoh dengan lomba fashion show, lebih baik aku segera menghilang dari hadapan mereka. Kubalikkan badanku dan melangkah menuju balik panggung dengan cepat.Akan tetapi, aku tersandung di permukaan yang datar ini karena sangat panik. Aku ambruk di atas panggung yang dilapisi oleh karpet berwarna biru tua. Suara bisikan orang-orang yang menontonku semakin terdengar jelas di telingaku."Ternyata si Freya cacat, ya.""Ini pertama kalinya aku melihat orang berjari 11."Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Aku ingin keluar dari sini secepatnya. Namun, kedua kaki dan tanganku mengkhianatiku. Mereka sama sekali tidak dapat kugerakkan. Rasanya ada lem yang membuat lengan dan lutut
Rambutku semakin ditarik oleh Celestine. Rasanya rambutku akan tercabut sampai ke akar-akarnya. Aku tak kalah menarik rambut Celestine hingga membuatnya menjerit kesakitan. "Dasar cewek gila!" umpatnya kepadaku. "Guys, jangan nonton saja! Tolong aku melepaskan cewek gila ini!" Dia berteriak meminta tolong kepada anggota gengnya. Empat siswi yang tadi hanya menonton dan merekam aksi jambak-jambakkan kami mulai membantu Celestine. Mereka memisahkan aku dari pemimpin geng mereka. Aku didorong hingga terjungkal ke belakang. Punggungku menabrak kaki meja yang keras di belakangku. Aku merintih dan memegangi punggungku yang sakit. Kulihat di lantai ada bayangan besar bergerak mendekatiku. Aku mengangkat wajahku dan mendapati Celestine beserta kawan-kawannya berdiri di depanku bagaikan tembok yang sulit ditembus. Celestine berjongkok di depanku dan menyisir rambutnya yang berantakan ke belakang dengan jarinya. Celestine mengangkat tangan kanannya dan
Vania dan Jonathan masih tidak meresponsku. Mereka hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakan. Tak lama kemudian, Vania membalikkan badannya dan melangkah keluar dari ruangan ini. Melihatnya yang akan pergi meninggalkanku tanpa menolongku membuatku secara tanpa sadar berlari menghampirinya. Kedua kakiku bergerak dengan sendirinya menuju kemana Vania melangkah. Orang-orang yang menghalangi jalan langsung membukakan jalan untukku. "Tunggu, Vania ...!" panggilku dengan putus asa. Begitu aku berhasil mengejarnya, aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya dengan erat. Namun, dia menyibakkan tangannya dengan kasar sehingga genggamanku terlepas darinya. Harapan yang bersinar di depanku langsung lenyap saat dia melepaskan tanganku. Aku berdiri mematung di sampingnya. Tanganku yang disibakkan olehnya membeku di udara. Saat aku melihat tatapan matanya yang menatapku, jantungku terasa seperti berhenti berdetak selama sesaat. "Vania ... aku m
Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan c