Share

Bab 9

Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.

Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.

Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.

Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak terlihat lagi.

Tibalah aku di lantai 2. Aku berjalan lurus menyusuri lorong dan tak lepas dari bisikan serta tatapan sinis dari siswa-siswi lain. Aku berjalan melewati beberapa teman sekelasku yang berdiri di depan pintu kelas.

"Wah, lihat siapa yang baru saja datang~ Si Mutant sudah datang!" sambut seseorang.

Mendengarnya menyebut 'mutant', aku langsung tahu siapa yang menyambutku tanpa melihatnya. Kuangkat wajahku dan mendapati geng Celestine duduk di meja guru. Mereka menatapku dengan geli sambil cekikikan.

Kuabaikan sambutan mereka yang sama sekali tidak hangat. Aku mengayunkan kakiku menuju mejaku yang berhadapan dengan meja guru. Kuletakkan tasku di atas meja dan mendudukkan diriku di kursi. Aku melirik ke samping kiriku yang kursinya masih kosong.

Vania, sahabatku sekaligus teman sebangkuku masih belum datang. Aku jadi gugup, 'Bagaimana aku harus bersikap kepadanya setelah kejadian kemarin? Kami pasti akan canggung.'

Selagi merenung, aku mendengar suara bisikan dari teman-teman sekelasku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber suara. Para siswa yang mengomongi aku dari belakang sadar kalau aku memandang ke arah mereka.

"Duh, dia melihat ke sini."

"Yuk pergi."

Siswa-siswa itu beranjak dari tempat mereka duduk dan melangkah menuju pintu untuk keluar dari ruangan ini. Begitu mereka keluar, kulihat ada dua sosok yang sangat kukenal memasuki kelas; Vania dan Jonathan.

Mataku dan mereka saling bertemu. Vania mengernyitkan alisnya dan melangkah menghampiriku, sedangkan Jonathan mengalihkan pandangannya dariku dan melangkah ke mejanya di belakang.

"Pagi, Vania ...," sapaku sambil tersenyum canggung.

Tidak ada balasan yang kudapatkan darinya. Tanpa berkata apa-apa, Vania menarik mejanya sehingga terpisah dari mejaku. Aku pun melebarkan mataku terhadap apa yang baru saja kulihat. Aku tidak menyangka dia akan memisahkan meja kami.

Vania meletakkan tasnya di atas kursinya lalu berjalan meninggalkanku. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh hingga lenyap dari balik pintu. Tak lama kemudian, Jonathan menyusulnya sambil memandang ke arahku untuk sesaat sebelum lanjut mengejar Vania.

Aku terduduk mematung di kursiku dan memandang kosong ke pintu kelas yang terbuka lebar. 'Kenapa Vania memisahkan meja kami? Apa dia ... tidak mau semeja denganku?'

Sebuah suara menyadarkanku dari lamunanku. "Aduh, kasihannya~ Tak hanya dikacangi oleh sahabatnya, mejanya pun dipisah dong~"

Aku menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari depanku. Celestine dan anggota gengnya yang menongkrong di meja guru menertawaiku. Mereka terlihat terhibur dengan apa yang baru saja terjadi di antara aku dengan Vania.

"Kayaknya mereka sudah bukan sahabat lagi deh~" timpal Celestine sambil tersenyum menyeringai.

"Mending si Mutant dipindahkan saja tempat duduknya. Mengganggu pemandangan saja duduk di depan!" celetuk yang satunya.

Aku mengepalkan tanganku dengan erat dan menatap tajam mereka. Kulihat beberapa dari mereka bergidik ngeri karena mendapatkan tatapan tajam dariku, tetapi beberapa yang lainnya malah melemparkan senyuman menghina kepadaku.

Celestine bangkit dari kursi guru dan melangkah ke depan papan tulis. Dia menepuk tangannya satu kali untuk mendapatkan perhatian dari murid lain. Dia melirikku dengan mengejek dan tersenyum menyeringai sebelum berbicara.

"Guys, setuju tidak kalau kita pindahkan Freya ke paling belakang?" Celestine menanyakan pendapat dari teman sekelas.

Hening. Tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Selang beberapa detik kemudian, seorang siswa melompat dari atas meja yang didudukinya dan mengacungkan jari telunjuknya tinggi ke atas.

"Setuju!" serunya dengan bersemangat.

Aku tertegun melihatnya menyutujui usulan yang konyol itu. Tak lama kemudian, ada beberapa siswa dan siswi lain yang menyetujui usulan Celestine. Makin lama makin banyak yang menyetujuinya agar tempat dudukku dipindahkan ke paling belakang.

Mereka mulai berdiskusi dimana aku akan dipindahkan, di belakang siapa. Namun, semuanya menolak aku untuk duduk di belakangnya dengan alasan yang benar-benar menyakiti hatiku.

"Jangan pindahkan dia di belakangku! Aku takut tertular 'kutukannya'!"

"Jangan di belakangku deh. Dia bikin aku risih, nanti aku jadi tidak fokus belajar."

Aku menghembuskan napas berat dan menundukkan kepalaku. Kututup kedua telingaku karena tidak ingin mendengar lebih lanjut. Akan tetapi, usahaku sia-sia karena aku masih bisa mendengar suara mereka dengan jelas.

"Kalau dia di belakangmu gimana, Vict?"

"Aku tidak masalah."

Aku melebarkan mataku dan langsung mengangkat wajahku. Aku menoleh ke belakang, ke arah orang yang barusan menjawab bahwa dia tidak masalah kalau aku dipindahkan ke belakangnya.

Victor, itulah nama siswa berkulit putih yang duduk di deret paling belakang saat ini. Dia memandang lurus ke depan, tepat ke arahku yang duduk di paling depan. Ekspresinya terlihat serius tanpa adanya sedikit pun tanda-tanda bercanda.

"Kamu serius, Vict?" tanya siswa lain yang duduk tak jauh darinya.

Victor menganggukkan kepalanya dan bertanya balik kepada siswa itu. "Memangnya kenapa?"

"Kamu tidak takut ketularan 'kutukannya'?" tanya siswa lainnya.

"Tidak lah, kelainan itu bukan penyakit menular. Jadi, untuk apa takut?" jawab Victor.

Setelah mendengar jawaban darinya, seketika itu juga kelas menjadi hening. Tidak ada yang dapat membantah jawabannya yang terdengar sangat masuk akal. Di saat orang lain bingung dengan situasi ini, aku malah merasa lega karena akhirnya ada yang memihakku.

Meskipun begitu, aku masih bimbang. 'Haruskah aku pindah ke belakangnya Victor? Kalau aku tetap duduk di depan, aku dan Vania akan canggung. Sepertinya memang lebih baik kalau aku duduk di belakang Victor.'

Aku bangkit dari kursi dan menenteng ranselku. Tanpa berkata-kata, aku memindahkan meja dan kursiku tanpa dibantu oleh siapa-siapa. Semua orang terlalu terkejut sehingga tidak dapat melakukan apa pun.

Di samping itu, aku dapat merasakan tatapan tajam dari seseorang. Tatapan tajamnya membuatku tidak nyaman sehingga aku mengangkat wajahku. Aku mendapati Celestine yang berdiri di depan papan tulis menatapku dengan tajam. 'Kenapa dia melotot begitu?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status