Share

Bab 8

Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.

Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.

Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.

Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."

Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang.

"Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh geng Celestine lagi ... aku juga tidak sanggup untuk bertemu dengan Vania dan Jonathan," lirihku.

Entah sudah berapa menit aku berbaring dan merenung di ranjang, tiba-tiba terdengar bunyi gedoran pada pintu kamarku. Sontak aku terbangun dan mataku menjadi melek. 'Siapa yang barusan menggedor pintu kamarku?'

Terdengar suara seorang wanita berteriak dari balik pintu. "Frey, cepat bangun! Sekarang sudah jam setengah 7! Nanti kamu bisa telat ke sekolah!"

Ternyata mama yang menggedor pintu kamarku. Suaranya yang meneriakiku terdengar penuh dengan amarah. Sudah pasti dia marah karena aku tak kunjung keluar dari kamarku.

"Aku tidak mau ke sekolah, Ma ...!" sahutku dengan setengah berteriak.

"APA?!" teriaknya dengan suara yang ditinggikan.

"Freya, cepat keluar sekarang!" lanjutnya menyuruhku untuk keluar dari kamarku.

Aku pun menurunkan kakiku dari ranjangku dan melangkah menuju pintu kamar. Kuangkat tanganku dan memutar kunci pintu lalu membuka papan kayu yang memisahkan kami. Kudapati mama berdiri tepat di depanku dengan ekspresi wajah yang menyeramkan.

"Freya, kamu bilang apa tadi? Tidak mau ke sekolah?" tanyanya sambil mencengkeram bahuku dengan kuat.

Aku hanya menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya. Mendapatkan jawaban 'iya' dariku, mama menautkan alisnya dan menatap tajam kepadaku. Dia terlihat semakin marah terhadapku.

"Apa kamu tidak mau ke sekolah gara-gara dibuli?" tanyanya sambil menatap mataku dengan tajam.

Sekali lagi aku menganggukkan kepalaku. Kulihat dia tampak semakin marah. Wajahnya menjadi merah padam dan alisnya seakan-akan menyatu sehingga menimbulkan kerutan kasar pada dahinya. Mata sipitnya terbuka lebar memelototiku.

"Jangan manja deh! Kamu harus tetap ke sekolah! Apa kata guru dan orang tua murid lain kalau tahu kamu membolos hanya karena dibuli?!" bentaknya yang tidak mau mengerti dengan masalahku.

Aku pun menjadi kesal dan melawan perkataannya. " 'Hanya karena dibuli' kata Mama? Mama tidak tahu semenderita apa aku saat dibuli kemarin! Aku diolok-olok dan dihajar habis-habisan! Rasanya sakit, Ma! Sakit!"

Belum selesai aku berbicara, sebuah tamparan panas mendarat pada pipi kiriku. Mukaku langsung tertoleh ke kanan akibat tamparan itu. Rasa perih pada pipi kiriku membuatku berhenti berbicara dan mematung saking terkejutnya.

"Berani, ya, kamu melawan perkataan Mama! Dasar anak durhaka!" cerca mama setelah menamparku dengan keras.

"Mama 'kan sudah bilang kemarin, palingan mereka hanya main-main! Kamu cukup bertahan sebentar dan abaikan saja mereka! Mereka pasti akan bosan lalu berhenti dengan sendirinya!" lanjutnya dengan membentak-bentak aku.

Cairan bening mulai menggenangi mataku sehingga pandanganku jadi kabur. Perlahan air mataku mengalir menuruni pipiku. Keterkejutan ini membuatku menangis tanpa terisak dan masih mematung dengan wajah yang menghadap ke kanan.

"Sekarang cepat mandi lalu sarapan! Mama tidak mau kamu terlambat! Jadi anak suka melawan perkataan orang tua!" perintah mama tanpa mempedulikan perasaanku yang hancur berkeping-keping.

Mama berjalan melewatiku. Kutatap punggungnya yang menjauh hingga tak kulihat lagi karena terhalang tembok. Dia meninggalkan aku sendirian di ambang pintu kamarku, tanpa menghiburku yang sedang menangis ataupun menimbang ulang keputusannya.

Aku menggigit bibir bawahku dan mengepalkan tanganku yang bergetar, entah karena takut atau marah. Kutundukkan kepalaku sehingga air mataku terjun bebas ke lantai. Aku tidak dapat berhenti menangis, yang ada semakin deras menangisnya.

Kuangkat tangan kananku untuk menyeka air mataku yang tak kunjung berhenti mengalir. Telapak tanganku yang hangat berhenti pada pipi kiriku yang perih, bekas ditampar oleh ibu kandungku sendiri.

'Jahat ... mama jahat! Bisa-bisanya mama lebih memilih reputasinya daripada anaknya sendiri ...!' batinku yang tak tersampaikan kepada wanita yang tadi habis menamparku dan membentak-bentak aku.

Aku menyeka air mataku lagi sebelum membalikkan badanku dan mempersiapkan diriku sebelum sarapan. Tidak ada gunanya aku terus-terusan berdiam diri karena itu hanya akan membuat mama semakin murka.

Setelah mandi, berganti baju, dan menyiapkan buku pelajaranku, aku keluar dari kamar dan berjalan ke ruang makan. Kudapati papa dan kakak laki-lakiku sedang menyantap sarapannya di meja makan. Sekilas kakakku melirikku sebelum kembali sibuk dengan aktivitas mengisi perutnya.

"Kenapa berdiri saja? Ayo duduk dan makan, Nak," ajak papa. Dia tidak menanyakan kenapa pipiku berwarna merah, entah karena tidak menyadarinya atau karena memilih untuk mengabaikannya.

"Iya, Pa," sahutku sambil tersenyum simpul.

Aku pun menarik kursiku dan bergabung dengan mereka di meja makan. Sebelum memakan makanan yang sudah disediakan di depanku, aku berdoa terlebih dahulu. Sesudahnya, aku pun menyantap nasi goreng yang sedap ini.

Tiba-tiba kudengar suara kakakku bertanya kepadaku. "Kayaknya semua orang sudah tahu tentang jari kakimu, ya? Dari kemarin teman-temanku pada ngomongin itu."

Begitu mendengar pertanyaannya, aku langsung tersedak karena kaget. Papa memberikan segelas air putih kepadaku. Aku pun langsung mengambilnya dan meinum dengan terburu-buru. Setelah tenggorokanku terasa lebih baik, aku menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan kakakku.

Kupandang kakakku yang duduk di seberangku. Aku tidak menyangka dia akan membicarakan hal yang tidak mengenakan tanpa memperhatikan suasana. Berkat topik yang diangkatnya tadi, aku jadi kehilangan nafsu makanku karena teringat dengan kejadian kemarin.

Aku berhenti mengunyah makananku saat menyadari sesuatu. 'Tadi Kakak bilang teman-temannya mengomongi jari kakiku? Itu berarti kabar tentang jari kakiku sudah menyebar luas sapai ke murid SMA! Kupikir hanya murid SMP saja yang mengetahuinya.'

Mengetahui informasi yang tidak baik itu, aku jadi semakin takut untuk pergi ke sekolah. 'Bagaimana kalau nanti aku tidak hanya dibuli oleh geng Celestine, tetapi juga murid kelas lain atau bahkan murid SMA?'

Aku melirik ke arah papa yang duduk di sebelah kiriku. Dia menyadari diriku meliriknya dan melemparkan sebuah senyuman hangat kepadaku. Aku pun membalas senyumannya, tetapi senyumanku tidak bertahan lama di bibirku.

Aku memberanikan diriku untuk meminta izin kepada papa. "Pa, boleh tidak kalau hari ini aku tidak pergi ke sekolah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status