Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.
Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.
Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.
Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."
Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang.
"Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh geng Celestine lagi ... aku juga tidak sanggup untuk bertemu dengan Vania dan Jonathan," lirihku.
Entah sudah berapa menit aku berbaring dan merenung di ranjang, tiba-tiba terdengar bunyi gedoran pada pintu kamarku. Sontak aku terbangun dan mataku menjadi melek. 'Siapa yang barusan menggedor pintu kamarku?'
Terdengar suara seorang wanita berteriak dari balik pintu. "Frey, cepat bangun! Sekarang sudah jam setengah 7! Nanti kamu bisa telat ke sekolah!"
Ternyata mama yang menggedor pintu kamarku. Suaranya yang meneriakiku terdengar penuh dengan amarah. Sudah pasti dia marah karena aku tak kunjung keluar dari kamarku.
"Aku tidak mau ke sekolah, Ma ...!" sahutku dengan setengah berteriak.
"APA?!" teriaknya dengan suara yang ditinggikan.
"Freya, cepat keluar sekarang!" lanjutnya menyuruhku untuk keluar dari kamarku.
Aku pun menurunkan kakiku dari ranjangku dan melangkah menuju pintu kamar. Kuangkat tanganku dan memutar kunci pintu lalu membuka papan kayu yang memisahkan kami. Kudapati mama berdiri tepat di depanku dengan ekspresi wajah yang menyeramkan.
"Freya, kamu bilang apa tadi? Tidak mau ke sekolah?" tanyanya sambil mencengkeram bahuku dengan kuat.
Aku hanya menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya. Mendapatkan jawaban 'iya' dariku, mama menautkan alisnya dan menatap tajam kepadaku. Dia terlihat semakin marah terhadapku.
"Apa kamu tidak mau ke sekolah gara-gara dibuli?" tanyanya sambil menatap mataku dengan tajam.
Sekali lagi aku menganggukkan kepalaku. Kulihat dia tampak semakin marah. Wajahnya menjadi merah padam dan alisnya seakan-akan menyatu sehingga menimbulkan kerutan kasar pada dahinya. Mata sipitnya terbuka lebar memelototiku.
"Jangan manja deh! Kamu harus tetap ke sekolah! Apa kata guru dan orang tua murid lain kalau tahu kamu membolos hanya karena dibuli?!" bentaknya yang tidak mau mengerti dengan masalahku.
Aku pun menjadi kesal dan melawan perkataannya. " 'Hanya karena dibuli' kata Mama? Mama tidak tahu semenderita apa aku saat dibuli kemarin! Aku diolok-olok dan dihajar habis-habisan! Rasanya sakit, Ma! Sakit!"
Belum selesai aku berbicara, sebuah tamparan panas mendarat pada pipi kiriku. Mukaku langsung tertoleh ke kanan akibat tamparan itu. Rasa perih pada pipi kiriku membuatku berhenti berbicara dan mematung saking terkejutnya.
"Berani, ya, kamu melawan perkataan Mama! Dasar anak durhaka!" cerca mama setelah menamparku dengan keras.
"Mama 'kan sudah bilang kemarin, palingan mereka hanya main-main! Kamu cukup bertahan sebentar dan abaikan saja mereka! Mereka pasti akan bosan lalu berhenti dengan sendirinya!" lanjutnya dengan membentak-bentak aku.
Cairan bening mulai menggenangi mataku sehingga pandanganku jadi kabur. Perlahan air mataku mengalir menuruni pipiku. Keterkejutan ini membuatku menangis tanpa terisak dan masih mematung dengan wajah yang menghadap ke kanan.
"Sekarang cepat mandi lalu sarapan! Mama tidak mau kamu terlambat! Jadi anak suka melawan perkataan orang tua!" perintah mama tanpa mempedulikan perasaanku yang hancur berkeping-keping.
Mama berjalan melewatiku. Kutatap punggungnya yang menjauh hingga tak kulihat lagi karena terhalang tembok. Dia meninggalkan aku sendirian di ambang pintu kamarku, tanpa menghiburku yang sedang menangis ataupun menimbang ulang keputusannya.
Aku menggigit bibir bawahku dan mengepalkan tanganku yang bergetar, entah karena takut atau marah. Kutundukkan kepalaku sehingga air mataku terjun bebas ke lantai. Aku tidak dapat berhenti menangis, yang ada semakin deras menangisnya.
Kuangkat tangan kananku untuk menyeka air mataku yang tak kunjung berhenti mengalir. Telapak tanganku yang hangat berhenti pada pipi kiriku yang perih, bekas ditampar oleh ibu kandungku sendiri.
'Jahat ... mama jahat! Bisa-bisanya mama lebih memilih reputasinya daripada anaknya sendiri ...!' batinku yang tak tersampaikan kepada wanita yang tadi habis menamparku dan membentak-bentak aku.
Aku menyeka air mataku lagi sebelum membalikkan badanku dan mempersiapkan diriku sebelum sarapan. Tidak ada gunanya aku terus-terusan berdiam diri karena itu hanya akan membuat mama semakin murka.
Setelah mandi, berganti baju, dan menyiapkan buku pelajaranku, aku keluar dari kamar dan berjalan ke ruang makan. Kudapati papa dan kakak laki-lakiku sedang menyantap sarapannya di meja makan. Sekilas kakakku melirikku sebelum kembali sibuk dengan aktivitas mengisi perutnya.
"Kenapa berdiri saja? Ayo duduk dan makan, Nak," ajak papa. Dia tidak menanyakan kenapa pipiku berwarna merah, entah karena tidak menyadarinya atau karena memilih untuk mengabaikannya.
"Iya, Pa," sahutku sambil tersenyum simpul.
Aku pun menarik kursiku dan bergabung dengan mereka di meja makan. Sebelum memakan makanan yang sudah disediakan di depanku, aku berdoa terlebih dahulu. Sesudahnya, aku pun menyantap nasi goreng yang sedap ini.
Tiba-tiba kudengar suara kakakku bertanya kepadaku. "Kayaknya semua orang sudah tahu tentang jari kakimu, ya? Dari kemarin teman-temanku pada ngomongin itu."
Begitu mendengar pertanyaannya, aku langsung tersedak karena kaget. Papa memberikan segelas air putih kepadaku. Aku pun langsung mengambilnya dan meinum dengan terburu-buru. Setelah tenggorokanku terasa lebih baik, aku menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan kakakku.
Kupandang kakakku yang duduk di seberangku. Aku tidak menyangka dia akan membicarakan hal yang tidak mengenakan tanpa memperhatikan suasana. Berkat topik yang diangkatnya tadi, aku jadi kehilangan nafsu makanku karena teringat dengan kejadian kemarin.
Aku berhenti mengunyah makananku saat menyadari sesuatu. 'Tadi Kakak bilang teman-temannya mengomongi jari kakiku? Itu berarti kabar tentang jari kakiku sudah menyebar luas sapai ke murid SMA! Kupikir hanya murid SMP saja yang mengetahuinya.'
Mengetahui informasi yang tidak baik itu, aku jadi semakin takut untuk pergi ke sekolah. 'Bagaimana kalau nanti aku tidak hanya dibuli oleh geng Celestine, tetapi juga murid kelas lain atau bahkan murid SMA?'
Aku melirik ke arah papa yang duduk di sebelah kiriku. Dia menyadari diriku meliriknya dan melemparkan sebuah senyuman hangat kepadaku. Aku pun membalas senyumannya, tetapi senyumanku tidak bertahan lama di bibirku.
Aku memberanikan diriku untuk meminta izin kepada papa. "Pa, boleh tidak kalau hari ini aku tidak pergi ke sekolah?"
Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak
Bel masukan berbunyi. Semua murid yang berada di luar berbondong-bondong memasuki kelasnya. Kulihat Vania dan Jonathan memasuki ruangan ini bersama-sama dan duduk di kursinya masing-masing.Sebelum Vania duduk di kursinya, dia berdiri di tempat kosong yang berada di sisi kanan mejanya, yang tak lain adalah tempatku duduk sebelumnya. Dia terlihat bengong karena teman sebangkunya menghilang berserta dengan meja kursinya.Saat dia mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan, mata kami saling bertemu. Tampak jelas keterkejutan di dalam mata hitamnya. Sedetik kemudian, pandangan terkejut itu berubah menjadi pandangan kecewa.Kurasakan hatiku seperti ditusuk jarum saat melihat tatapannya yang seperti dikhianati oleh orang terpercayanya. Aku pun bangkit dari kursiku dan hendak menghampirinya untuk menjelaskan kenapa aku pindah ke sini, tetapi rencanaku hanya menjadi wacana."Berdiri," ucap seseorang sehingga semua siswa dan siswi yang tadinya duduk langsung ba
Bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak gembira karena pelajaran telah berakhir dan bisa istirahat selama setengah jam. Para siswa-siswi yang kelaparan beranjak dari kelas dan pergi ke kantin untuk makan, tak terkecuali diriku. Kali ini aku pergi ke kantin sendirian, padahal biasanya aku akan pergi bersama Vania dan Jonathan. Selama aku berjalan, aku mendapatkan tatapan sinis dan bisikan dari orang-orang di sekitar. Tak hanya murid SMP saja yang mengomongiku, murid SMA pun ikut mengomongiku. "Itu 'kan yang jari kakinya 11?" "Iya, kalau tidak salah itu adiknya Alexander." Aku merasa bersalah karena kakak jadi ikut diomongi. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di kantin. Begitu aku memasuki gedung kantin, puluhan pasang mata tertuju kepadaku, diikuti dengan bisikan yang tak mengenakan. Aku berusaha mengabaikan mereka dan memesan makananku. Setelah mendapatkan makanan dan minumanku, aku berjalan mencari meja kosong. Saat tengah menge
Aku berada di dalam sebuah ruangan berbentuk persegi panjang yang tidak begitu luas. Ruangan ini diisi oleh sebuah meja, 2 buah kursi, kabinet, rak buku, dan sebuah sofa yang empuk. Beberapa bingkai foto menghiasi dinding yang berwarna putih bersih. Pria berkepala setengah botak yang mengantar aku dan Maryam ke sini menarik dua kursi untuk kami. "Duduk!" Tanpa berkata apa-apa, kami berdua menuruti perintahnya dan duduk di kursi yang ditunjuk olehnya. Setelah kami duduk, pria yang merupakan guru BK itu pun duduk di depan kami. Aku jadi gugup karena duduk berhadapan dengan guru BK yang terkenal menyeramkan saat marah. "Kenapa tadi kalian bertengkar? Seperti anak kecil saja!" tanya guru BK sambil menunjuk aku dan Maryam secara bergantian. "Dia merobek buku saya, Pak!" Aku mengadu sambil menunjuk Maryam dengan jari telunjukku. "Hah? Mana ada!" sangkal Maryam. "Jahat kamu, ya, main tuduh saja!" Aku mengalihkan pandanganku dari gadis berkunc
Bunyi yang sudah lama dinanti-nantikan oleh para siswa dan siswi akhirnya terdengar. Bel pulangan berdering dan menggema ke sepenjuru gedung sekolah. Semua orang berhamburan pulang ke rumah, kecuali beberapa murid yang termasuk diriku sendiri. "Hizz, malasnya aku berduaan sama kamu lagi," desis seorang gadis berkuncir dua yang berjalan di depanku, yang tak lain adalah Maryam. "Kamu pikir kamu saja yang malas? Aku juga tidak mau berduaan sama kamu," balasku. Tiba-tiba Maryam menghentikan langkahnya sehingga aku pun menghentikan langkahku. Dia membalikkan badannya, menghadap ke arahku. Sebuah senyuman terpasang pada wajahnya, membuatku berprasangka buruk dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. "WC perempuan ada di lantai 1 dan 3, kan? Jadi, kamu bersihkan lantai 1, sedangkan aku bersihkan lantai 2 supaya kita tidak perlu berbarengan lagi," usulnya sambil menjentikkan jari. Kukira dia akan mengusulkan sesuatu yang akan merugikanku, t
Mama menghentikan motornya di depan teras rumah kami. Aku pun turun dari motor dan menunggu mama selesai memarkirkan motornya. Setelah mama memarkirkan motornya dengan rapi, kami masuk ke rumah bersama-sama.Mama duduk di sofa dan mengajakku untuk duduk bersamanya. "Duduk. Ayo kita lanjutkan obrolan kita tadi."Aku menganggukkan kepalaku lalu duduk di sofa lain karena tidak berani duduk di sofa yang sama dengan mama. Aku mengatupkan tanganku dan memainkan jemariku, berusaha menahan rasa gugup dan takutku."Kok bisa kamu dihukum membersihkan WC?" tanya mama menginterogasiku."Itu ... gara-gara aku berkelahi sama Maryam," jawabku dengan suara kecil."Apa?!" Mama melebarkan matanya setelah mendengar jawabanku. Dia melotot kepadaku. Matanya yang sipit terbuka lebar hingga terlihat seperti akan melompat keluar dari kantong matanya."Memangnya kamu anak kecil, ya, sampai berkelahi sama Maryam? Lagi pula, Maryam 'kan sepupumu, kok bisa sampai berke
Beberapa hari kemudian, aku memulai keseharianku seperti biasa; bangun tidur lalu mandi, ganti baju, menyiapkan buku pelajaran, sarapan, dan pergi ke sekolah. Papa menurunkan aku dan kakak di depan gerbang sekolah. Kami berdua berjalan menuju gedung sekolah masing-masing. Kakak tidak berjalan bersebelahan denganku karena tidak ingin ikut menjadi bahan omongan orang lain. Sampailah aku di ruang kelasku; kelas 9-B. Saat aku memasuki kelas, kudapati ada banyak teman sekelasku yang sudah lebih dulu datang sebelum aku. Mereka mengabaikan kehadiranku seakan-akan aku adalah angin yang tak terlihat oleh mata. Aku tiba di mejaku dan menyadari sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Permukaan mejaku yang biasanya bersih tanpa coretan apa pun, kini mendapatkan 'hiasan' berupa tulisan yang mengejek. -Cleaning service, maid, tukang bersih-bersih WC. Tanpa perlu melihat secara langsung siapa yang menulisnya, aku sudah tahu siapa pelaku dari tulisan-tulisan ini. Aku m
Di lapangan yang biasa digunakan untuk upacara bendera maupun olahraga, terlihat ada sekitar 30-an orang berseragam olahraga SMP berlari mengelilingi lapangan. Ada yang berlari dengan cepat seperti kejar-kejaran dengan yang lainnya, ada juga yang berlari santai atau bahkan berjalan.Aku mencoba mengejar gerombolan siswi yang berlari di depanku. Kupercepat ritme lariku agar tidak semakin terpisah dari mereka. Sebenarnya aku tertinggal jauh di belakang mereka bukan karena lariku lambat, melainkan karena staminaku yang sekarang tidak sekuat dulu.Padahal baru dua putaran yang kulalui, kakiku mulai terasa lemas dan napasku sudah ngos-ngosan. Semakin aku memaksakan diriku untuk berlari mengejar mereka, semakin napasku terasa berat sampai-sampai sulit bernapas.Perlahan kuperlambat ritme lariku hingga akhirnya berhenti berlari. Kini aku hanya berjalan sambil mengatur napasku yang berat. Akan tetapi, keadaanku tidak bertambah baik, malah sebaliknya.Aku kehilang