Share

Bab 7 - Gelisah

***

Irena mengecek jam tangannya. Hari kian sore, dan dia merasa melupakan sesuatu yang penting. Kemudian dia mendapat pesan singkat dari Zen. 'Sayang, malam ini kau akan hadir kan di acara reuni? Kayla juga akan ikut. Kita bertemu di basement jika kau setuju.' Sebuah ajakan yang menggiurkan bagi Irena. Sudah lama mereka tidak bertemu lagi setelah LDR itu. Irena merasa tak ingin menyianyiakan kesempatan. Lantas, tak mengulur waktu lagi, dia merapikan meja kerjanya. Jam kerja sudah berakhir di pukul lima sore. 

Menoleh ke samping, meja kerja Kayla berantakan. Wanita itu belum menandakan akan mengakhiri pekerjaannya. "Kudengar kau akan pergi malam ini," celetuk Irena. 

"Huh? Ya. Tapi mungkin aku akan datang terlambat karena harus menyelesaikan semua berkas ini. Tanggung sekali jika kutinggalkan," sahut Kayla sambil sibuk mengetik dengan cepat di keyboard. 

"Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di acara reuni," pamit Irena. Beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju basement dengan perasaan janggal. Irena tidak tahu apa yang dia lupakan setelah meninggalkan meja kerjanya. Ponsel dan dompet selalu dia bawa. Pikiran rumit itu segera teralihkan oleh punggung Zen di pintu keluar basement. Dia telah menunggu rupanya. 

Lelaki itu berbalik manakala mendengar suara stiletto menggema di lorong sepi. Zen tersenyum. Salah satu kelebihan Zen adalah pada senyumannya. Irena mengakui bahwa lelaki itu memiliki bibir yang sexy ditambah ketika tersenyum. Sewaktu dulu, Zen digemari banyak mahasiswi. Namun, diantara para wanita itu, Zen memilih dirinya -yang tak pernah menggoda lelaki mana pun. "Kenapa tidak menungguku di mobil saja?" ucap Irena. 

"Kau tidak tahu posisi parkir mobilku. Jadi aku menunggu di sini untuk mengantarmu agar tidak kebingungan," jelas Zen. Kemudian meraih pinggang ramping Irena saat berjalan bersama. Akan tetapi lengan Zen cepat disingkirkan oleh Irena. "Kita masih di kantor," desis Irena mengingatkan. Bisa repot jika nanti ada gosip tentang dirinya berpacaran dengan Zen di kantor. Irena tidak mau menjadi pusat perhatian. Hanya Kayla yang tahu hubungan mereka. 

Salah satu lampu mobil itu berkedip dengan suara khasnya ketika kunci dibuka. Audi putih milik Zen. Lelaki itu segera membukakan pintu untuk Irena. Irena menyelinap masuk dan duduk dengan nyaman di dalam. Sedangkan Zen berjalan setengah memutari kap depan mobil sebelum menduduki jok kemudi. Kurang dari semenit, Zen sudah melajukan kendaraannya keluar basement. 

***

Acara reuni kelas kampus selalu diadakan di tempat yang berbeda. Kali ini mereka berpesta di lantai dua sebuah klub yang telah di booking. Pasangan Zen dan Irena tampak baru datang dari pintu ruangan lantai dua. Suasana sudah ramai, teman-teman kelas hampir semua sudah berkumpul di sini. "Oh! Zen dan Irena! Akhirnya kalian datang!" teriak salah satu lelaki di sana. Mereka belum mengetahui Zen dan Irena menjalin hubungan khusus. Hanya tahu kalau mereka berdua adalah sahabat dekat. "Apa Kayla tidak bersama kalian?" Seorang wanita bertanya setelah menilik ke belakang mereka, dan tidak menemukan wanita itu. "Kayla akan datang terlambat katanya," sahut Irena. 

Irena menyapa teman-teman perempuannya. Begitupun dengan Zen yang beralih ke teman laki-laki. Sebuah wiski dituangkan ke dalam gelas kaca, Irena meneguknya singkat. "Apa kau berpacaran dengan Zen?" bisik temannya di samping. Irena mengerutkan bahunya sambil mendelik heran. "Kenapa kau bisa menanyakan hal itu?" Irena belum mengumumkan hubungannya dengan Zen kepada mereka. "Karena kalian terlihat cocok satu sama lain," jawab wanita bergincu merah itu. Irena mengulum senyum. Kalau bisa, ingin Zen saja yang mengumumkan, bukan dirinya. 

***

Yohan terus menerus mengecek ponselnya. Barangkali ada pesan atau panggilan masuk dari Irena. Akan tetapi sampai langit sudah gelap, ponselnya masih sepi. Ini sudah jam tujuh malam, dan Irena belum memintanya menjemput. Padahal Yohan menunggunya di depan kantor. Sesekali dia menengok ke dalam lobi yang terbatas oleh dinding kaca. Sayangnya tidak ada tanda-tanda Irena akan keluar dari dalam. 

Pesan darinya juga tidak dibalas, apalagi panggilan telepon, sama sekali tidak diangkat. Sedang apa sebenarnya wanita itu? Yohan mengecek ponselnya sekali lagi. Yohan tertegun menatap layar, sadar telah melewatkan sesuatu. Titik biru di peta layar itu tidak menunjukkan tempat ini. Melainkan berada dua kilometer dari gedung kantor ini. Astaga. 

***

Pintu itu kembali terbuka dari luar. Kayla datang, dan mengalihkan obrolan para wanita di sofa. "Hey, Kayla! Peserta terakhir telah datang!" Kemudian mereka saling cipika-cipiki sebelum duduk di seberang Irena. 

Di sisi para lelaki, mereka saling curhat mengenai bidup rumah tangga -bagi yang sudah menikah- hingga keluhan kaum jomblo. Zen meneguk anggurnya sekali lagi ketika teman di samping menyeletuk. "Apa kau dengan Irena berpacaran? Atau kau berpacaran dengan Kayla? Enaknya jadi dirimu dikelilingi dua wanita cantik!" 

"Memangnya kenapa kau bertanya hal itu?" kata Zen membalas dengan santai sambil menuangkan anggurnya lagi ke gelas kaca. 

"Tentu saja ingin mengajak salah satunya ke ranjang."

Zen geram tiba-tiba. "Mereka adalah sahabatku. Siapa pun yang berani membuat salah satunya terluka, aku takkan segan-segan menghajarnya sampai mampus!" tandas lelaki itu serius. Temannya jadi bungkam ngeri. Zen berlagak seperti seorang kakak saja. 

Di sofa, para wanita sedang berbincang-bincang, sesekali tertawa, dan sesekali juga lirikan mata Kayla tertuju pada punggung Zen di kursi bar. Irena memperhatikan gelagat Kayla dihadapannya. Hingga sebuah pertanyaan meluncur untuk Kayla. "Apa kau punya seseorang yang kau cintai?" Salah satu teman bertanya. Kayla jadi terkesiap. Dia memutar otaknya dengan cepat agar menemukan jawaban yang tepat. "Um... Sepertinya ada, tapi aku tak bisa mengatakan perasaanku karena dia sudah punya kekasih," ucap Kayla seakan memperjelas sesuatu yang hanya dirinya yang paham. Mungkin. Akan tetapi Irena merasakan hal janggal dari pernyataan tersebut. 

Perasaan Irena jadi khawatir. Pikiran negatif menyerangnya. Bisa dikatakan kalau yang dirasakannya ini adalah bagian dari insting seorang wanita. Intingnya mengatakan jika Kayla menyukai Zen. Tapi, benarkah seperti itu? Irena ragu. Tidak mungkin Kayla, sahabatnya, mengkhianatinya bukan? "Aku mau ke toilet dulu," pamit Irena bangkit dari sofa. 

Irena berdiri di depan cermin wastafel. Tetapi tidak lama, pintu di belakangnya terbuka, dan Irena dapat melihat dari pantulan cermin siapa yang masuk. Seketika Irena terkaget berbalik. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini toilet wanita!" desis Irena. Zen nekat masuk ke toilet wanita. Beruntung di toilet ini hanya ada mereka berdua. Zen langsung bergelayut memeluknya dari belakang. Melingkarkan kedua lengannya ke tubuh depan Irena. "Aku ingin bersamamu malam ini," bisik Zen seduktif di lehernya. 

Embusan napas Zen terasa panas di kulit leher. Irena tidak bereaksi berarti. Dia tampak tenang meski jantung berdegup cepat. "Zen, kau mabuk. Sudah berapa botol kau habiskan huh?" balas Irena. Bau napas Zen tercium dengan alkohol. Lelaki ini kelihatan setengah sadar ketika mengecup leher Irena beberapa kali. "Zen, hentikan. Bagaimana kalau ada yang masuk dan melihat kita?" Irena terus melakukan penolakan dengan halus. 

"Tidak ada yang akan masuk ke sini, karena sudah kuberi tanda di luar pintu kalau toilet ini rusak," ujar Zen. Ketika itu Irena mengeluarkan ponselnya dari tas. Seketika dia terkejut luar biasa. Irena mematung. Puluhan panggilan tak terjawab dari Yohan memenuhi layarnya. 'Yohan! Astaga! Aku lupa!' 

"Zen, maaf, aku telah melupakan janji dengan adikku, dia pasti menungguku sekarang," kata Irena sambil melepaskan dekapan Zen. Kemudian dia memutar tumit dan membuka pintu. Baru dua langkah keluar, dia langsung berhenti mendadak. Wajahnya tercengang melihat seseorang dihadapan. 

"Yohan?"

***

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status