Irena mengecek jam tangannya. Hari kian sore, dan dia merasa melupakan sesuatu yang penting. Kemudian dia mendapat pesan singkat dari Zen. 'Sayang, malam ini kau akan hadir kan di acara reuni? Kayla juga akan ikut. Kita bertemu di basement jika kau setuju.' Sebuah ajakan yang menggiurkan bagi Irena. Sudah lama mereka tidak bertemu lagi setelah LDR itu. Irena merasa tak ingin menyianyiakan kesempatan. Lantas, tak mengulur waktu lagi, dia merapikan meja kerjanya. Jam kerja sudah berakhir di pukul lima sore.
Menoleh ke samping, meja kerja Kayla berantakan. Wanita itu belum menandakan akan mengakhiri pekerjaannya. "Kudengar kau akan pergi malam ini," celetuk Irena.
"Huh? Ya. Tapi mungkin aku akan datang terlambat karena harus menyelesaikan semua berkas ini. Tanggung sekali jika kutinggalkan," sahut Kayla sambil sibuk mengetik dengan cepat di keyboard.
"Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di acara reuni," pamit Irena. Beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju basement dengan perasaan janggal. Irena tidak tahu apa yang dia lupakan setelah meninggalkan meja kerjanya. Ponsel dan dompet selalu dia bawa. Pikiran rumit itu segera teralihkan oleh punggung Zen di pintu keluar basement. Dia telah menunggu rupanya.
Lelaki itu berbalik manakala mendengar suara stiletto menggema di lorong sepi. Zen tersenyum. Salah satu kelebihan Zen adalah pada senyumannya. Irena mengakui bahwa lelaki itu memiliki bibir yang sexy ditambah ketika tersenyum. Sewaktu dulu, Zen digemari banyak mahasiswi. Namun, diantara para wanita itu, Zen memilih dirinya -yang tak pernah menggoda lelaki mana pun. "Kenapa tidak menungguku di mobil saja?" ucap Irena.
"Kau tidak tahu posisi parkir mobilku. Jadi aku menunggu di sini untuk mengantarmu agar tidak kebingungan," jelas Zen. Kemudian meraih pinggang ramping Irena saat berjalan bersama. Akan tetapi lengan Zen cepat disingkirkan oleh Irena. "Kita masih di kantor," desis Irena mengingatkan. Bisa repot jika nanti ada gosip tentang dirinya berpacaran dengan Zen di kantor. Irena tidak mau menjadi pusat perhatian. Hanya Kayla yang tahu hubungan mereka.
Salah satu lampu mobil itu berkedip dengan suara khasnya ketika kunci dibuka. Audi putih milik Zen. Lelaki itu segera membukakan pintu untuk Irena. Irena menyelinap masuk dan duduk dengan nyaman di dalam. Sedangkan Zen berjalan setengah memutari kap depan mobil sebelum menduduki jok kemudi. Kurang dari semenit, Zen sudah melajukan kendaraannya keluar basement.
***
Acara reuni kelas kampus selalu diadakan di tempat yang berbeda. Kali ini mereka berpesta di lantai dua sebuah klub yang telah di booking. Pasangan Zen dan Irena tampak baru datang dari pintu ruangan lantai dua. Suasana sudah ramai, teman-teman kelas hampir semua sudah berkumpul di sini. "Oh! Zen dan Irena! Akhirnya kalian datang!" teriak salah satu lelaki di sana. Mereka belum mengetahui Zen dan Irena menjalin hubungan khusus. Hanya tahu kalau mereka berdua adalah sahabat dekat. "Apa Kayla tidak bersama kalian?" Seorang wanita bertanya setelah menilik ke belakang mereka, dan tidak menemukan wanita itu. "Kayla akan datang terlambat katanya," sahut Irena.
Irena menyapa teman-teman perempuannya. Begitupun dengan Zen yang beralih ke teman laki-laki. Sebuah wiski dituangkan ke dalam gelas kaca, Irena meneguknya singkat. "Apa kau berpacaran dengan Zen?" bisik temannya di samping. Irena mengerutkan bahunya sambil mendelik heran. "Kenapa kau bisa menanyakan hal itu?" Irena belum mengumumkan hubungannya dengan Zen kepada mereka. "Karena kalian terlihat cocok satu sama lain," jawab wanita bergincu merah itu. Irena mengulum senyum. Kalau bisa, ingin Zen saja yang mengumumkan, bukan dirinya.
***
Yohan terus menerus mengecek ponselnya. Barangkali ada pesan atau panggilan masuk dari Irena. Akan tetapi sampai langit sudah gelap, ponselnya masih sepi. Ini sudah jam tujuh malam, dan Irena belum memintanya menjemput. Padahal Yohan menunggunya di depan kantor. Sesekali dia menengok ke dalam lobi yang terbatas oleh dinding kaca. Sayangnya tidak ada tanda-tanda Irena akan keluar dari dalam.
Pesan darinya juga tidak dibalas, apalagi panggilan telepon, sama sekali tidak diangkat. Sedang apa sebenarnya wanita itu? Yohan mengecek ponselnya sekali lagi. Yohan tertegun menatap layar, sadar telah melewatkan sesuatu. Titik biru di peta layar itu tidak menunjukkan tempat ini. Melainkan berada dua kilometer dari gedung kantor ini. Astaga.
***
Pintu itu kembali terbuka dari luar. Kayla datang, dan mengalihkan obrolan para wanita di sofa. "Hey, Kayla! Peserta terakhir telah datang!" Kemudian mereka saling cipika-cipiki sebelum duduk di seberang Irena.
Di sisi para lelaki, mereka saling curhat mengenai bidup rumah tangga -bagi yang sudah menikah- hingga keluhan kaum jomblo. Zen meneguk anggurnya sekali lagi ketika teman di samping menyeletuk. "Apa kau dengan Irena berpacaran? Atau kau berpacaran dengan Kayla? Enaknya jadi dirimu dikelilingi dua wanita cantik!"
"Memangnya kenapa kau bertanya hal itu?" kata Zen membalas dengan santai sambil menuangkan anggurnya lagi ke gelas kaca.
"Tentu saja ingin mengajak salah satunya ke ranjang."
Zen geram tiba-tiba. "Mereka adalah sahabatku. Siapa pun yang berani membuat salah satunya terluka, aku takkan segan-segan menghajarnya sampai mampus!" tandas lelaki itu serius. Temannya jadi bungkam ngeri. Zen berlagak seperti seorang kakak saja.
Di sofa, para wanita sedang berbincang-bincang, sesekali tertawa, dan sesekali juga lirikan mata Kayla tertuju pada punggung Zen di kursi bar. Irena memperhatikan gelagat Kayla dihadapannya. Hingga sebuah pertanyaan meluncur untuk Kayla. "Apa kau punya seseorang yang kau cintai?" Salah satu teman bertanya. Kayla jadi terkesiap. Dia memutar otaknya dengan cepat agar menemukan jawaban yang tepat. "Um... Sepertinya ada, tapi aku tak bisa mengatakan perasaanku karena dia sudah punya kekasih," ucap Kayla seakan memperjelas sesuatu yang hanya dirinya yang paham. Mungkin. Akan tetapi Irena merasakan hal janggal dari pernyataan tersebut.
Perasaan Irena jadi khawatir. Pikiran negatif menyerangnya. Bisa dikatakan kalau yang dirasakannya ini adalah bagian dari insting seorang wanita. Intingnya mengatakan jika Kayla menyukai Zen. Tapi, benarkah seperti itu? Irena ragu. Tidak mungkin Kayla, sahabatnya, mengkhianatinya bukan? "Aku mau ke toilet dulu," pamit Irena bangkit dari sofa.
Irena berdiri di depan cermin wastafel. Tetapi tidak lama, pintu di belakangnya terbuka, dan Irena dapat melihat dari pantulan cermin siapa yang masuk. Seketika Irena terkaget berbalik. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini toilet wanita!" desis Irena. Zen nekat masuk ke toilet wanita. Beruntung di toilet ini hanya ada mereka berdua. Zen langsung bergelayut memeluknya dari belakang. Melingkarkan kedua lengannya ke tubuh depan Irena. "Aku ingin bersamamu malam ini," bisik Zen seduktif di lehernya.
Embusan napas Zen terasa panas di kulit leher. Irena tidak bereaksi berarti. Dia tampak tenang meski jantung berdegup cepat. "Zen, kau mabuk. Sudah berapa botol kau habiskan huh?" balas Irena. Bau napas Zen tercium dengan alkohol. Lelaki ini kelihatan setengah sadar ketika mengecup leher Irena beberapa kali. "Zen, hentikan. Bagaimana kalau ada yang masuk dan melihat kita?" Irena terus melakukan penolakan dengan halus.
"Tidak ada yang akan masuk ke sini, karena sudah kuberi tanda di luar pintu kalau toilet ini rusak," ujar Zen. Ketika itu Irena mengeluarkan ponselnya dari tas. Seketika dia terkejut luar biasa. Irena mematung. Puluhan panggilan tak terjawab dari Yohan memenuhi layarnya. 'Yohan! Astaga! Aku lupa!'
"Zen, maaf, aku telah melupakan janji dengan adikku, dia pasti menungguku sekarang," kata Irena sambil melepaskan dekapan Zen. Kemudian dia memutar tumit dan membuka pintu. Baru dua langkah keluar, dia langsung berhenti mendadak. Wajahnya tercengang melihat seseorang dihadapan.
"Yohan?"
***
******Yohan berhenti di depan gedung klub. Dia memastikan sekali lagi arah GPS-nya. Benar, titik tempat Irena berada ada di dalam gedung ini. Kemudian dia masuk ke dalam klub tanpa hambatan karena sudah cukup umur. Di tengah hingar-bingar klub malam, mata Yohan harus mencari dengan jeli sosok Irena di sini. Menaiki tangga, Yohan pikir akan lebih mudah jika dia memperhatikan ke bawah dari lantai atas.Ketika baru saja dia tiba di anak tangga teratas, pintu di depan itu terbuka dan seorang pria yang tampak dikenalinya keluar, melengos ke jalur lain. Zen! Dengan penasaran Yohan mengikuti jejak Zen. Hingga dia dihadapkan oleh dua lorong remang-remang sementara Zen entah lewat jalur mana. Yohan jadi bingung, kehilangan jejaknya. Pada akhirnya dia memilih jalur kiri. Baru separuh jalan langkahnya terhenti seketika. Tepat di depannya pintu toilet wanita itu terbuka dan menampakkan Irena keluar dari sana. Sedetik setelahnya, Zen menyusul keluar dari tempat yang sa
***Acara sarapan pagi bersama di ruang makan terasa dingin. Yohan tidak membuka suara. Padahal biasanya ada saja yang diobrolkan bersama. Pasti gara-gara semalam. Untuk ke sekian kali Irena melanggar janjinya lagi. Yohan pasti marah. Bisa-bisanya dia melupakan janji Yohan untuk menjemputnya, bahkan tidak mengabari pula kalau akan pergi ke acara reuni! Irena merutuki sifat pelupanya. "Yohan..." buka Irena."Kenapa kau tidak mengabariku semalam?" balas Yohan dengan pertanyaan. Tidak ada nada keramahan dalam ucapannya. Yohan masih marah. Itu wajar, ini kesalahan Irena lagi. "Maafkan aku. Aku lupa sungguh. Di klub itu acara reuni teman-teman kampus," sanggah Irena mengatakan sejujurnya."Lalu, apa yang kau lakukan dengan Zen di toilet wanita?" Yohan menginterogasinya lagi."Zen sedang mabuk saat itu sehingga masuk ke toilet wanita," ucap Irena setengah tidak yakin. Sebabnya dia ingat dengan jelas Zen memeluknya erat dari belakang sam
***Kayla tampak suram di dapur. Dia menyisir rambutnya ke belakang. Tampak acak-acakan. Kemudian menuangkan anggurnya lagi ke gelas. Sudah dua botol anggur dia habiskan hari ini. Kayla stress. Dia merasa bersalah pada Irena. Ini adalah pilihannya sendiri. Untuk itulah Zen mengatakan agar tidak menyesalinya. Benar, menyesalinya, perasaan Kayla terbagi bagai dua mata pisau. Di satu sisi dia tidak dapat menahan diri kepada Zen. Di sisi lain dia sadar telah menusuk Irena dari belakang. Sahabat macam apa itu?Kayla menghela napas panjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Kayla meneguk cepat anggurnya lalu beranjak menuju pintu. Ketika memutar pegangan pintunya dan dia membukanya, Kayla tertegun kaget melihat seseorang berdiri di depan. "Zen? Kenapa kau ada di sini?" Kayla melontarkan pertanyaan dengan nada sengit. Gara-gara Zen yang memulai, Kayla jadi harus segalau ini memikirkan persahabatannya dengan Irena. Dasar penggoda berbahaya!"Aku cuma
***Flashback.Irena berlari di bandara disusul Yohan. Dia berhenti di depan papan pengumuman yang sudah didesaki orang-orang. Irena gelisah dan menyelinap paksa hingga tiba di depan papan. Daftar nama yang tertera di papan, dia mencari nama orang tuanya. Irena tercengang. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan. Tidak ingin percaya bahwa ini adalah kenyataan. Yohan baru tiba di sampingnya, dan cekatan menangkap Irena yang limbung. "Irena!" kagetnya."Yohan, ini tidak mungkin kan?" lirih Irena lemas. Yohan kemudian mengarahkan pandangan ke papan nama penumpang. Seperti yang ditakutkan Irena, nama orang tuanya terdaftar dalam peristiwa kecelakaan pesawat hari ini. Yohan lebih tegar dari Irena. Jadi dia menuntun Irena menjauh dari kerumunan dan didudukkan ke salah satu kursi tunggu. Memberikan Irena air mineral agar tenang. "Minumlah dulu," ujar Yohan menyodorkan botol mineral yang tutupnya sudah dibuka.Irena meraihnya dengan tanpa te
***Kedua kelopak mata Irena bergerak membuka. Seperti biasanya, pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur, Yohan. Irena terdiam sejenak. Sejak kapan Yohan tidur di sampingnya? Irena tak ingat semalam Yohan tidur bersamanya. Diperhatikannya sekali lagi. Wajah yang sering menampakan kecemburuan itu kelihatan tenang seperti bayi tidur. Irena tersenyum lembut. Dapat dia rasakan dekapan lengan kokoh Yohan di pinggang. Yohan memeluknya sambil berbaring miring.Tiba-tiba Irena teringat percakapan mereka semalam. Yohan menanyakan apakah dirinya sudah pernah tidur dengan Zen? Irena tentu saja menjawabnya dengan jujur. Bahwa dia belum pernah tidur bersama Zen. Setelahnya, Yohan bersemringah. Membuat Irena mengeryit heran melihat reaksinya.Diingatkan dengan jadwal kerja, Irena hendak bangun dengan memindahkan perlahan lengan Yohan dari pinggangnya. Pada saat yang sama suara lenguhan terdengar seiring mata Yohan terbuka pelan. "Kau sudah bangun?" s
***Liliana mengikuti diam-diam punggung Yohan dari kejauhan tiga meter. Dia ingin tahu mau ke mana lelaki itu akan pergi setiap selesai kelas. Liliana sadar kalau dirinya kurang kerjaan mengikuti orang lain seperti saat ini. Yah memang dia tidak punya kesibukan. Oleh sebab itu membuntutinya menjadi kegiatan sibuk baginya. Ketika tiba ditikungan, Liliana mengerjap kaget. "Hilang?" Lalu dia berlari kecil dan berhenti di perempatan tikungan gang perumahan. "Pergi ke arah mana dia?" gumam Liliana celingukan."Hey, wanita~" Suara pria terdengar dari arah belakang. Liliana tersentak berbalik. Dapat dia lihat lima pria dengan penampilan sangar membuat jantungnya berdetak takut. "Mau apa kalian?" kata Liliana waspada. Mereka bergerak maju, dan Liliana menarik langkah mundur. Siapa yang tahu niat mereka? Yang pasti dia harus pergi dari jangkauan mereka sekarang. Setidaknya berada di tempat yang ramai maka akan aman. Sementara tempat ini sep
***Menghela napas panjang, kepala mendongak lemas menatap plafon ruangan. Ruangan berkonsep minimalis modern tampak sepi. Lampu di atas menyala begitu terang. Namun, tidak menerangi hatinya yang sekarang. Wanita itu harus merasakan kekecewaan berulang kali. Bayangan tentang Yohan masih berputar di dalam benaknya. Dia mencintai lelaki itu. Tapi cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh usaha ekstra untuk mengalihkan dunia lelaki itu kepadanya. Bagaimana caranya?Suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar di keheningan ruangan. Disusul langkah sepatu berjalan mendekat. "Apa yang kau lamunkan?" kata Zen dengan jas di lengan kirinya sambil mengendurkan dasi di leher. Wanita itu tidak menoleh. Menatap langit-langit ruangan saat memikirkan Yohan. "Apa kau pernah merasa kecewa pada orang yang kau cintai?" tanyanya."Pernah. Kenapa? Kau sedang patah hati?" sahut Zen santai. Dia berjalan menuju dapur yang terhubung dengan ruang tengah."Pat
***Yohan menunggu antrean di rumah sakit. Dia menunduk menatap lantai dengan pandangan hampa. Poninya menjuntai menghalau pandangan. Yohan termenung. Dia bingung dan tidak mengerti dengan perasaan yang dialaminya sekarang. Haruskah rutin konsultasi ke psikiater seperti ini? Yohan merasa tidak membutuhkan psikiater untuk urusan kondisinya saat ini. Hingga kemudian namanya dipanggil, dan Yohan berdiri. Berjalan dengan langkah berat menuju pintu ruangan psikiater. Duduk dihadapan seorang pria baya yang sudah menjadi langganannya dalam untuk mengetahui perkembangan psikisnya tiap seminggu sekali. "Bagaimana perasaanmu selama seminggu ini?" tanya dokter. Papan tulisan bernama George tertera namanya. "Aku merasakan dengan jelas ada pergolakan dalam benakku. Aku seolah harus mendapatkannya, dan aku sangat takut dia pergi seperti kupu-kupu yang terbang jauh. Terkadang aku merasa sangat marah sampai tidak dapat mengendalikan diriku untuk melukai seseorang. Aku takut sampai rasanya menggigil