Irena keluar kamar. Suasana ruang tengah tidak berubah. Namun dia tidak mendapati tanda-tanda kehadiran Yohan di tengah keheningan ini. Irena mencoba membuka pintu kamarnya yang berada tepat di seberang. Kamar itu kosong. Jika benar kini Yohan pergi dari rumah, maka Irena tidak suka seperti ini. Ada rasa khawatir di dalam benak Irena sekarang. "Yohan!" teriaknya cemas.
Di sini Irena tahu dirinya sumber pertengkaran mereka semalam. Irena sadar bahwa dia salah. Merasa bersalah, dan dia perlu minta maaf pada Yohan lalu memintanya untuk tetap tinggal di rumah ini. Irena menyugar rambut acak-acakannya. Ini masih terlalu dini hari untuk berpusing-pusing ria! Tanpa berpikir panjang, dia langsung melesat keluar. Melupakan mantel yang seharusnya dipakai.
Dengan piyama berbahan tipis, dia berjalan resah di jalanan perumahan. Mengabaikan udara malam yang menusuk tulang. Irena mencari keberadaan Yohan sambil memindai pandangan ke sekeliling. Irena takut. Takut jika Yohan tidak dapat ditemukan. Bila orang tuanya tahu masalah mereka, pasti ibu akan memarahinya.
"Yohan!" teriak Irena. Jalanan perumahan sangat sepi. Tidak terlihat seorang pun lewat. Hanya lampu jalanan yang mengiringi langkah gusar Irena. "Yohan!" Irena tidak akan berhenti memanggil nama lelaki itu. Dia yakin sekali, benaknya mengatakan dapat menemukan Yohan segera.
"Yohan!" Irena menepi, memegang dahan pohon oak sambil terbungkuk saat hampir kehilangan kekuatan kakinya. Irena dapat merasakan dinginnya suhu malam ini bagai menusuk sampai ke tulang. Akan tetapi Irena tidak mau menyerah lalu pulang. Tidak.
Pada saat pandangan sayunya melihat ke sekitar dengan lemah, iris cokelat hazel Irena terpaku seketika pada satu objek. Dia melihat ke jalan setapak yang menuruni bukit ini. Sosok yang mirip dengan Yohan berdiri di sana. Irena bergegas menghampirinya.
"Yohan!" panggilnya. Lelaki itu menoleh. Tapi kemudian dia melempar wajahnya ke depan. Mengabaikan Irena yang mendekat. "Yohan, ayo kita pulang," pinta Irena. Yohan bergeming. Dia masih tidak mau menatapnya. Kemudian Irena menunduk sedih. "Aku tahu ini salahku. Aku minta maaf dan tidak akan kuulangi lagi," lirih Irena. Dia antara semua hal yang tidak disukai Irena, hanya diamnya Yohan yang sangat tidak Irena sukai. Sumpah, Irena tidak ingin Yohan pergi darinya. Apalagi ini karena kesalahan dirinya yang melanggar janji.
"Kau mengkhianatiku. Kau mengingkari janjimu sendiri," ucap Yohan tanpa menoleh. "Lalu kau akan pergi meninggalkanku jika saja aku tidak mengetahui hal itu." Baik Yohan maupun Irena sama putus asa. Yohan benci jika ditinggalkan. Trauma itu masih membekas di dalam diri Yohan. Sedangkan Irena mencoba sesuatu yang baik untuk Yohan walau harus menjalani jalan berduri ini. Namun, niat Irena seperti boomerang. Irena jadi sadar, bahwa dirinya pun mencemaskan Yohan jika lelaki itu pergi tiada kabar. Bukan begini yang Irena inginkan. Irena bimbang. Seakan tersesat.
"Aku melakukan hal ini agar kau terbebas dari ketakutan yang ada di dalam hatimu," ungkap Irena. "Aku tidak pernah berniat meninggalkanmu. Karena kaulah satu-satunya keluargaku yang kumiliki. Jika kau pergi seperti ini lagi, aku akan frustasi mencarimu." Irena mulai mengeluarkan unek-unek. Pernyataannya menggugah benak Yohan. Sehingga lelaki itu memutar tumitnya dan berdiri berhadapan dengan Irena. "Benarkah yang kau katakan itu?" tanya Yohan.
Irena mengangguk dengan air mata mengalir. "Maka dari itu jangan pergi dan hiduplah dengan normal," ujar Irena.
"Aku sudah hidup dengan normal berkat kehadiran dirimu. Akulah yang memintamu untuk tidak pergi dariku," ujar Yohan. Membuat wajah Irena mendongak. Wajahnya sedikit basah karena jejak air mata. Kata-kata Yohan barusan tidak pernah terpikirkan dirinya. Rupanya mereka saling bertentangan dengan cara masing-masing. Irena tertawa kecil. Menertawakan sikap mereka yang lucu. Ini bahkan seperti pertengkaran sepasang kekasih.
"Kenapa kau tertawa?" Yohan memiringkan sedikit kepalanya. Lalu Irena menatap lelaki itu lagi. "Kupikir kita membutuhkan satu sama lain. Itulah ikatan batin dari sebuah keluarga. Aku senang," desau Irena.
Yohan mengulurkan sebelah tangannya. Mengusap jejak air mata di pipi Irena dengan lembut. "Jangan pernah melakukan sesuatu semaumu. Cukup berada di sisiku dan tidak bersama pria lain, aku tidak akan pergi darimu," kata Yohan. Kedengaran manis. Dan senyuman Irena mengembang. Lalu Yohan melepas mantelnya. Memakaikan mantel cokelat itu ke pundak Irena. "Sekarang kita sudah baikan, ayo pulang," ajak Irena.
Senyum terbit di bibir Yohan. Digandenganya tangan Irena dengan erat seraya mereka berjalan perlahan menuju rumah. "Kenapa kau tidak memakai mantel saat keluar? Bagaimana kalau kau sakit nanti?" Dan di sepanjang jalan Yohan mengomeli Irena yang keluar rumah malam-malam dengan pakaian tipis. Sementara Irena terkekeh.
***
Irena terbangun lebih awal dari biasanya. Dia keluar kamar dan tidak mendapati Yohan di dapur. Kemana anak itu? Mencoba memerika ke kamarnya, juga tidak ada. Ketika itu, suara pintu terbuka langsung mengalihkan perhatian Irena. Dia mendengar suara langkah kaki berjalan masuk. Irena masih bergeming hingga seseorang muncul dari balik tembok itu. Seorang pemuda tinggi dengan mantel cokelat berbulu putih di bagian leher. "Yohan?" panggil Irena. Yohan datang menjinjing sekantung kresek sedang di tangan kanannya. "Kau habis dari mana pagi-pagi begini?" Irena terheran.
"Tentu saja aku belanja di pasar untuk stok di dapur," jelas Yohan enteng.
"Di jam sepagi ini?" Jam setengah tujuh adalah waktu paling pagi untuk beraktivitas. Jalanan masih sangat sepi, dan langit masih sedikit berawan biasanya disertai kabut tipis. Di jam segini orang-orang belum turun dari tempat tidur mereka. Namun Yohan, dia sudah bangun bahkan pulang membawa belanjaan dari pasar.
"Ya, aku biasanya belanja ke pasar di jam segini," kata Yohan memperjalan. Irena tercengang. Bertahun-tahun tinggal bersama, dia baru tahu hal itu.
"Lain kali bangunkan aku. Sesekali gantian aku yang belanja," ujar Irena ketika Yohan berjalan menuju dapur. Lelaki itu meletakkan kantungnya di meja dapur. Mengeluarkan satu per satu belanjaannya sambil menjawab. "Sudah kubilang kan, aku tidak mau kau kelelahan." Yohan cukup dewasa dalam menyikapi masalah di antara mereka. Irena jadi merasa lega.
Dia pikir Yohan akan merajuk dengan tidak bicara lagi padanya, atau yang paling tidak ingin Irena terjadi adalah pergi dari rumah tanpa pamit. Seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya saat Yohan remaja. Irena memaklumi usia itu.
"Aku akan menjemputmu ke kantor," kata Yohan.
"Mm, baiklah."
***
***Irena mengecek jam tangannya. Hari kian sore, dan dia merasa melupakan sesuatu yang penting. Kemudian dia mendapat pesan singkat dari Zen. 'Sayang, malam ini kau akan hadir kan di acara reuni? Kayla juga akan ikut. Kita bertemu di basement jika kau setuju.' Sebuah ajakan yang menggiurkan bagi Irena. Sudah lama mereka tidak bertemu lagi setelah LDR itu. Irena merasa tak ingin menyianyiakan kesempatan. Lantas, tak mengulur waktu lagi, dia merapikan meja kerjanya. Jam kerja sudah berakhir di pukul lima sore.Menoleh ke samping, meja kerja Kayla berantakan. Wanita itu belum menandakan akan mengakhiri pekerjaannya. "Kudengar kau akan pergi malam ini," celetuk Irena."Huh? Ya. Tapi mungkin aku akan datang terlambat karena harus menyelesaikan semua berkas ini. Tanggung sekali jika kutinggalkan," sahut Kayla sambil sibuk mengetik dengan cepat di keyboard."Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di acara reuni," pamit Irena. Beranjak dari tempat
***Yohan berhenti di depan gedung klub. Dia memastikan sekali lagi arah GPS-nya. Benar, titik tempat Irena berada ada di dalam gedung ini. Kemudian dia masuk ke dalam klub tanpa hambatan karena sudah cukup umur. Di tengah hingar-bingar klub malam, mata Yohan harus mencari dengan jeli sosok Irena di sini. Menaiki tangga, Yohan pikir akan lebih mudah jika dia memperhatikan ke bawah dari lantai atas.Ketika baru saja dia tiba di anak tangga teratas, pintu di depan itu terbuka dan seorang pria yang tampak dikenalinya keluar, melengos ke jalur lain. Zen! Dengan penasaran Yohan mengikuti jejak Zen. Hingga dia dihadapkan oleh dua lorong remang-remang sementara Zen entah lewat jalur mana. Yohan jadi bingung, kehilangan jejaknya. Pada akhirnya dia memilih jalur kiri. Baru separuh jalan langkahnya terhenti seketika. Tepat di depannya pintu toilet wanita itu terbuka dan menampakkan Irena keluar dari sana. Sedetik setelahnya, Zen menyusul keluar dari tempat yang sa
***Acara sarapan pagi bersama di ruang makan terasa dingin. Yohan tidak membuka suara. Padahal biasanya ada saja yang diobrolkan bersama. Pasti gara-gara semalam. Untuk ke sekian kali Irena melanggar janjinya lagi. Yohan pasti marah. Bisa-bisanya dia melupakan janji Yohan untuk menjemputnya, bahkan tidak mengabari pula kalau akan pergi ke acara reuni! Irena merutuki sifat pelupanya. "Yohan..." buka Irena."Kenapa kau tidak mengabariku semalam?" balas Yohan dengan pertanyaan. Tidak ada nada keramahan dalam ucapannya. Yohan masih marah. Itu wajar, ini kesalahan Irena lagi. "Maafkan aku. Aku lupa sungguh. Di klub itu acara reuni teman-teman kampus," sanggah Irena mengatakan sejujurnya."Lalu, apa yang kau lakukan dengan Zen di toilet wanita?" Yohan menginterogasinya lagi."Zen sedang mabuk saat itu sehingga masuk ke toilet wanita," ucap Irena setengah tidak yakin. Sebabnya dia ingat dengan jelas Zen memeluknya erat dari belakang sam
***Kayla tampak suram di dapur. Dia menyisir rambutnya ke belakang. Tampak acak-acakan. Kemudian menuangkan anggurnya lagi ke gelas. Sudah dua botol anggur dia habiskan hari ini. Kayla stress. Dia merasa bersalah pada Irena. Ini adalah pilihannya sendiri. Untuk itulah Zen mengatakan agar tidak menyesalinya. Benar, menyesalinya, perasaan Kayla terbagi bagai dua mata pisau. Di satu sisi dia tidak dapat menahan diri kepada Zen. Di sisi lain dia sadar telah menusuk Irena dari belakang. Sahabat macam apa itu?Kayla menghela napas panjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Kayla meneguk cepat anggurnya lalu beranjak menuju pintu. Ketika memutar pegangan pintunya dan dia membukanya, Kayla tertegun kaget melihat seseorang berdiri di depan. "Zen? Kenapa kau ada di sini?" Kayla melontarkan pertanyaan dengan nada sengit. Gara-gara Zen yang memulai, Kayla jadi harus segalau ini memikirkan persahabatannya dengan Irena. Dasar penggoda berbahaya!"Aku cuma
***Flashback.Irena berlari di bandara disusul Yohan. Dia berhenti di depan papan pengumuman yang sudah didesaki orang-orang. Irena gelisah dan menyelinap paksa hingga tiba di depan papan. Daftar nama yang tertera di papan, dia mencari nama orang tuanya. Irena tercengang. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan. Tidak ingin percaya bahwa ini adalah kenyataan. Yohan baru tiba di sampingnya, dan cekatan menangkap Irena yang limbung. "Irena!" kagetnya."Yohan, ini tidak mungkin kan?" lirih Irena lemas. Yohan kemudian mengarahkan pandangan ke papan nama penumpang. Seperti yang ditakutkan Irena, nama orang tuanya terdaftar dalam peristiwa kecelakaan pesawat hari ini. Yohan lebih tegar dari Irena. Jadi dia menuntun Irena menjauh dari kerumunan dan didudukkan ke salah satu kursi tunggu. Memberikan Irena air mineral agar tenang. "Minumlah dulu," ujar Yohan menyodorkan botol mineral yang tutupnya sudah dibuka.Irena meraihnya dengan tanpa te
***Kedua kelopak mata Irena bergerak membuka. Seperti biasanya, pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur, Yohan. Irena terdiam sejenak. Sejak kapan Yohan tidur di sampingnya? Irena tak ingat semalam Yohan tidur bersamanya. Diperhatikannya sekali lagi. Wajah yang sering menampakan kecemburuan itu kelihatan tenang seperti bayi tidur. Irena tersenyum lembut. Dapat dia rasakan dekapan lengan kokoh Yohan di pinggang. Yohan memeluknya sambil berbaring miring.Tiba-tiba Irena teringat percakapan mereka semalam. Yohan menanyakan apakah dirinya sudah pernah tidur dengan Zen? Irena tentu saja menjawabnya dengan jujur. Bahwa dia belum pernah tidur bersama Zen. Setelahnya, Yohan bersemringah. Membuat Irena mengeryit heran melihat reaksinya.Diingatkan dengan jadwal kerja, Irena hendak bangun dengan memindahkan perlahan lengan Yohan dari pinggangnya. Pada saat yang sama suara lenguhan terdengar seiring mata Yohan terbuka pelan. "Kau sudah bangun?" s
***Liliana mengikuti diam-diam punggung Yohan dari kejauhan tiga meter. Dia ingin tahu mau ke mana lelaki itu akan pergi setiap selesai kelas. Liliana sadar kalau dirinya kurang kerjaan mengikuti orang lain seperti saat ini. Yah memang dia tidak punya kesibukan. Oleh sebab itu membuntutinya menjadi kegiatan sibuk baginya. Ketika tiba ditikungan, Liliana mengerjap kaget. "Hilang?" Lalu dia berlari kecil dan berhenti di perempatan tikungan gang perumahan. "Pergi ke arah mana dia?" gumam Liliana celingukan."Hey, wanita~" Suara pria terdengar dari arah belakang. Liliana tersentak berbalik. Dapat dia lihat lima pria dengan penampilan sangar membuat jantungnya berdetak takut. "Mau apa kalian?" kata Liliana waspada. Mereka bergerak maju, dan Liliana menarik langkah mundur. Siapa yang tahu niat mereka? Yang pasti dia harus pergi dari jangkauan mereka sekarang. Setidaknya berada di tempat yang ramai maka akan aman. Sementara tempat ini sep
***Menghela napas panjang, kepala mendongak lemas menatap plafon ruangan. Ruangan berkonsep minimalis modern tampak sepi. Lampu di atas menyala begitu terang. Namun, tidak menerangi hatinya yang sekarang. Wanita itu harus merasakan kekecewaan berulang kali. Bayangan tentang Yohan masih berputar di dalam benaknya. Dia mencintai lelaki itu. Tapi cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh usaha ekstra untuk mengalihkan dunia lelaki itu kepadanya. Bagaimana caranya?Suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar di keheningan ruangan. Disusul langkah sepatu berjalan mendekat. "Apa yang kau lamunkan?" kata Zen dengan jas di lengan kirinya sambil mengendurkan dasi di leher. Wanita itu tidak menoleh. Menatap langit-langit ruangan saat memikirkan Yohan. "Apa kau pernah merasa kecewa pada orang yang kau cintai?" tanyanya."Pernah. Kenapa? Kau sedang patah hati?" sahut Zen santai. Dia berjalan menuju dapur yang terhubung dengan ruang tengah."Pat