Share

Bab 6 - Kecewa

Irena tidak bisa tidur dengan nyaman. Pertengkaran dengan Yohan tadi membuatnya gelisah. Rasa lelah bercampur khawatir telah melenyapkan kantuk di matanya. Irena melirik jam digital di atas nakas. Sudah pukul satu dini hari. Irena terkadang berganti posisi tidur, mencari posisi ternyaman, namun tidak juga membuatnya mengantuk. Sebal, Irena bangun. Dia merasa harus minta maaf dengan baik pada Yohan sekarang agar dapat tidur dengan nyenyak. 

Irena keluar kamar. Suasana ruang tengah tidak berubah. Namun dia tidak mendapati tanda-tanda kehadiran Yohan di tengah keheningan ini.  Irena mencoba membuka pintu kamarnya yang berada tepat di seberang. Kamar itu kosong. Jika benar kini Yohan pergi dari rumah, maka Irena tidak suka seperti ini. Ada rasa khawatir di dalam benak Irena sekarang. "Yohan!" teriaknya cemas. 

Di sini Irena tahu dirinya sumber pertengkaran mereka semalam. Irena sadar bahwa dia salah. Merasa bersalah, dan dia perlu minta maaf pada Yohan lalu memintanya untuk tetap tinggal di rumah ini. Irena menyugar rambut acak-acakannya. Ini masih terlalu dini hari untuk berpusing-pusing ria! Tanpa berpikir panjang, dia langsung melesat keluar. Melupakan mantel yang seharusnya dipakai. 

Dengan piyama berbahan tipis, dia berjalan resah di jalanan perumahan. Mengabaikan udara malam yang menusuk tulang. Irena mencari keberadaan Yohan sambil memindai pandangan ke sekeliling. Irena takut. Takut jika Yohan tidak dapat ditemukan. Bila orang tuanya tahu masalah mereka, pasti ibu akan memarahinya. 

"Yohan!" teriak Irena. Jalanan perumahan sangat sepi. Tidak terlihat seorang pun lewat. Hanya lampu jalanan yang mengiringi langkah gusar Irena. "Yohan!" Irena tidak akan berhenti memanggil nama lelaki itu. Dia yakin sekali, benaknya mengatakan dapat menemukan Yohan segera. 

"Yohan!" Irena menepi, memegang dahan pohon oak sambil terbungkuk saat hampir kehilangan kekuatan kakinya. Irena dapat merasakan dinginnya suhu malam ini bagai menusuk sampai ke tulang. Akan tetapi Irena tidak mau menyerah lalu pulang. Tidak. 

Pada saat pandangan sayunya melihat ke sekitar dengan lemah, iris cokelat hazel Irena terpaku seketika pada satu objek. Dia melihat ke jalan setapak yang menuruni bukit ini. Sosok yang mirip dengan Yohan berdiri di sana. Irena bergegas menghampirinya. 

"Yohan!" panggilnya. Lelaki itu menoleh. Tapi kemudian dia melempar wajahnya ke depan. Mengabaikan Irena yang mendekat. "Yohan, ayo kita pulang," pinta Irena. Yohan bergeming. Dia masih tidak mau menatapnya. Kemudian Irena menunduk sedih. "Aku tahu ini salahku. Aku minta maaf dan tidak akan kuulangi lagi," lirih Irena. Dia antara semua hal yang tidak disukai Irena, hanya diamnya Yohan yang sangat tidak Irena sukai. Sumpah, Irena tidak ingin Yohan pergi darinya. Apalagi ini karena kesalahan dirinya yang melanggar janji. 

"Kau mengkhianatiku. Kau mengingkari janjimu sendiri," ucap Yohan tanpa menoleh. "Lalu kau akan pergi meninggalkanku jika saja aku tidak mengetahui hal itu." Baik Yohan maupun Irena sama putus asa. Yohan benci jika ditinggalkan. Trauma itu masih membekas di dalam diri Yohan. Sedangkan Irena mencoba sesuatu yang baik untuk Yohan walau harus menjalani jalan berduri ini. Namun, niat Irena seperti boomerang. Irena jadi sadar, bahwa dirinya pun mencemaskan Yohan jika lelaki itu pergi tiada kabar. Bukan begini yang Irena inginkan. Irena bimbang. Seakan tersesat. 

"Aku melakukan hal ini agar kau terbebas dari ketakutan yang ada di dalam hatimu," ungkap Irena. "Aku tidak pernah berniat meninggalkanmu. Karena kaulah satu-satunya keluargaku yang kumiliki. Jika kau pergi seperti ini lagi, aku akan frustasi mencarimu." Irena mulai mengeluarkan unek-unek. Pernyataannya menggugah benak Yohan. Sehingga lelaki itu memutar tumitnya dan berdiri berhadapan dengan Irena. "Benarkah yang kau katakan itu?" tanya Yohan. 

Irena mengangguk dengan air mata mengalir. "Maka dari itu jangan pergi dan hiduplah dengan normal," ujar Irena. 

"Aku sudah hidup dengan normal berkat kehadiran dirimu. Akulah yang memintamu untuk tidak pergi dariku," ujar Yohan. Membuat wajah Irena mendongak. Wajahnya sedikit basah karena jejak air mata. Kata-kata Yohan barusan tidak pernah terpikirkan dirinya. Rupanya mereka saling bertentangan dengan cara masing-masing. Irena tertawa kecil. Menertawakan sikap mereka yang lucu. Ini bahkan seperti pertengkaran sepasang kekasih. 

"Kenapa kau tertawa?" Yohan memiringkan sedikit kepalanya. Lalu Irena menatap lelaki itu lagi. "Kupikir kita membutuhkan satu sama lain. Itulah ikatan batin dari sebuah keluarga. Aku senang," desau Irena. 

Yohan mengulurkan sebelah tangannya. Mengusap jejak air mata di pipi Irena dengan lembut. "Jangan pernah melakukan sesuatu semaumu. Cukup berada di sisiku dan tidak bersama pria lain, aku tidak akan pergi darimu," kata Yohan. Kedengaran manis. Dan senyuman Irena mengembang. Lalu Yohan melepas mantelnya. Memakaikan mantel cokelat itu ke pundak Irena. "Sekarang kita sudah baikan, ayo pulang," ajak Irena. 

Senyum terbit di bibir Yohan. Digandenganya tangan Irena dengan erat seraya mereka berjalan perlahan menuju rumah. "Kenapa kau tidak memakai mantel saat keluar? Bagaimana kalau kau sakit nanti?" Dan di sepanjang jalan Yohan mengomeli Irena yang keluar rumah malam-malam dengan pakaian tipis. Sementara Irena terkekeh. 

*** 

Irena terbangun lebih awal dari biasanya. Dia keluar kamar dan tidak mendapati Yohan di dapur. Kemana anak itu? Mencoba memerika ke kamarnya, juga tidak ada. Ketika itu, suara pintu terbuka langsung mengalihkan perhatian Irena. Dia mendengar suara langkah kaki berjalan masuk. Irena masih bergeming hingga seseorang muncul dari balik tembok itu. Seorang pemuda tinggi dengan mantel cokelat berbulu putih di bagian leher. "Yohan?" panggil Irena. Yohan datang menjinjing sekantung kresek sedang di tangan kanannya. "Kau habis dari mana pagi-pagi begini?" Irena terheran. 

"Tentu saja aku belanja di pasar untuk stok di dapur," jelas Yohan enteng. 

"Di jam sepagi ini?" Jam setengah tujuh adalah waktu paling pagi untuk beraktivitas. Jalanan masih sangat sepi, dan langit masih sedikit berawan biasanya disertai kabut tipis. Di jam segini orang-orang belum turun dari tempat tidur mereka. Namun Yohan, dia sudah bangun bahkan pulang membawa belanjaan dari pasar. 

"Ya, aku biasanya belanja ke pasar di jam segini," kata Yohan memperjalan. Irena tercengang. Bertahun-tahun tinggal bersama, dia baru tahu hal itu. 

"Lain kali bangunkan aku. Sesekali gantian aku yang belanja," ujar Irena ketika Yohan berjalan menuju dapur. Lelaki itu meletakkan kantungnya di meja dapur. Mengeluarkan satu per satu belanjaannya sambil menjawab. "Sudah kubilang kan, aku tidak mau kau kelelahan." Yohan cukup dewasa dalam menyikapi masalah di antara mereka. Irena jadi merasa lega. 

Dia pikir Yohan akan merajuk dengan tidak bicara lagi padanya, atau yang paling tidak ingin Irena terjadi adalah pergi dari rumah tanpa pamit. Seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya saat Yohan remaja. Irena memaklumi usia itu. 

"Aku akan menjemputmu ke kantor," kata Yohan. 

"Mm, baiklah."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status