Share

5 | Dia Bermimpi Tentang Aku

Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah sosok Dylan yang sedang mengganti kantung cairan infusku. Jas putih khas dokternya menyadarkanku bahwa Dylan memiliki profesi yang sama dengan Lia. Jariku pun bergerak, seiring aku mengerang merasakan kepalaku kembali berdenyut nyeri.

"Akhirnya kau sadar, Brittany." Dylan buka suara selagi menarik kursi di pinggir ranjang tidurku. "Kau berada di rumah sakit. Tenang saja."

"Apa kau yang menemukanku?" Lirihku. Saat Dylan membenarkan, ada rasa kecewa menyusup batinku. Bukan dia yang ku harapkan.

"Terima kasih." Tuturku.

"Tidak perlu sungkan. Tak ku kira pertemuan kedua kita akan seperti ini." Ia mengusap pangkal hidungnya, tersenyum. "Apa yang kau lakukan tadi di jalanan tadi? Itu berbahaya, Brittany. Terlebih fisikmu sedang tidak memungkinkan."

Pertanyaan Dylan hanya bisa ku balas senyuman tipis, tanda aku tidak berkenan menceritakan permasalahanku. Ia pun mengangguk, memaklumi.

"Lia tadi sempat kemari sebelum pamit karena Ben menangis." Lanjutnya lagi.

"Sudah berapa lama aku pingsan?"

Dylan menggerakan matanya ke atas, berpikir. "Sekitar tiga jam. Tidak terlalu lama memang, tapi cukup membuat Lia panik."

"Lia adalah dewi penolongku." Ujarku, dan Dylan tertawa hingga pupilnya menyipit.

"Kalau begitu aku adalah dewa penolongmu. Benar, kan?" Aku memutarkan bola mataku. "Hey, berbaiklah sedikit dengan teman barumu ini."

Diseretnya pintu ruang rawat inapku menghentikan tawaku dan Dylan. Seorang pria dengan raut wajah panik berlari mendekat. Perubahannya kentara saat pandangannya yang setajam elang diarahkan kepada Dylan. Dylan pun menikam balik. Atomosfer di ruang ini dalam sekejap berubah menjadi tegang.

"Get out from here." Ucap Harry dingin pada Dylan. "Aku ingin bersama Brittanyku."

Brittanyku?

"Brittanymu juga Brittanyku. Dia adalah pasienku, dan wajar demi kesehatannya aku ingin ada di dekatnya."

Harry tergelak. "Pasienmu tidak hanya satu, bung. Dan kemungkinan besar pasien lain sedang membutuhkan pertolonganmu. Sementara kau lebih memilih mendekam di sini sambil melontarkan rayuan aneh. Kau itu seorang dokter atau atau bajingan?"

"Harry!" Aku berteriak, cukup kesal. Apa-apaan ini sebenarnya?

"Tak apa, biar yang berotak waras yang mengalah." Dylan memaksakan seulas senyuman seraya menyentuh pundakku. "Cepat sembuh, Brittany."

"Brengsek!" Untungnya aku sempat menahan siku Harry sebelum dirinya berbalik dengan tangan yang terkepal. Ia lantas terduduk di kursi yang sebelumnya di tempati Dylan. Membisu.

"Kenapa kau kemari?" Tanyaku memecah keheningan.

Harry menilikku, kebingungannya tersirat jelas. "Kau adalah tanggungjawabku." Kalimatnya sempat menggetarkan hatiku sebelum ia memberikan penjelasan. "Kau tinggal di rumahku, kau membersihkan rumahku. Sudah seharusnya aku datang ke sini ketika Lia menghubungiku."

Oh jadi karena alasan itukah? Apa Harry sungguh hanya menganggapku sebagai pembantunya?

"Mengapa kau berniat pergi dariku ? Maksudku... kau sangatlah bodoh. Mengapa kau lakukan hal itu di malam hari?"

"Kalau begitu aku akan pergi besok pagi." Balasku cepat.

"Whatever."

Beberapa menit berselang seorang suster datang membawakan nampan berisi potongan buah segar. Snack time di rumah sakit terkadang diberikan di jam yang tidak terduga, tidak terkecuali di tengah malam seperti ini.

"Maaf, apa anda suami dari Nyonya Brittany?" Tanya si suster selagi Harry berusaha memejamkan mata. Aku dan Harry saling berpandangan, namun tidak satupun dari kami yang mencoba membantah. "Silakan selesaikan mengenai perihal administrasi. Ada prosedur terlampir yang perlu diisi terlebih dahulu."

"Di mana?" Tanya Harry santai yang tentu membuatku terkejut.

"Di koridor depan, Tuan."

Dengan memasukkan kedua tangan disaku celananya ia berlalu meninggalkanku yang menganga. Sementara si suster sembari menyuntikan jarum suntik, ia bergumam betapa beruntungnya aku yang memiliki suami sebaik dan setampan Harry.

Suami?

Suami, my ass!

---

Suara dengkuran keras membangunkanku dari tidur. Aku tidak tahu darimana sumber suara tersebut berasal, lantaran ruangan ini gelap, hanya menyisakan cahaya yang masuk melalui celah ventilasi. Tangan kananku pun terasa berat seakan ada yang menindihku.

"Brittany..."

Harry?

"Tetaplah bersamaku, Brittany. Jangan pergi..."

Hatiku berdesir akan gumamannya. Benarkah ia menginginkanku untuk tidak pergi? Apa yang ia impikan hingga ia bisa mengatakan demikian?

Dalam minimnya pencahayaan aku dapat melihat bagaimana kepala Harry ia rebahkan di pinggiran ranjang. Jemarinya yang bertautan denganku sesekali bergerak. Dengan nekat, aku memberanikan diri menyentuh rambutnya.

"Britt, kumohon..."

"Tenanglah, Harry."

Aku merutuki ucapan sekaligus tingkahku. Berusaha melepaskan genggamannya, aku tersentak ketika Harry terbangun. Ia langsung bergerak terburu-buru guna menyalakan lampu kamar.

"Kau mau kemana?" Ia mendekat, mendapatiku meraih kantung infus seraya berusaha turun dari ranjang. "Mengapa kau keras kepala sekali? Kau masih drop. Kau tidak bisa kabur dariku... tidak malam ini."

"Apa yang kau bicarakan? Aku hanya ingin ke toilet."

Melepaskan tangannya dari bahuku, Harry lantas menggaruk tengkuknya yang ku yakin tidak gatal. Setelahnya ku dapati raut wajahnya memerah seperti salah tingkah. Sekembalinya dari toilet, Harry menghilang dari ruanganku. Saat ku tengok ke arah balkon yang terbuka, aku langsung menarik kesimpulan bahwa ia berada di sana.

"Kau nampak mengenaskan." Celetukku.

Bagaimana tidak, ia mendongak memandangi langit. Jika bukan pria putus asa, pasti pria yang tidak memiliki kekasih yang akan berbuat hal semacam dirinya. Tapi faktanya ia tidak termasuk ke dalam kedua pilihan tersebut.

"Apa pedulimu?" Sarkasnya.

"Tentu aku peduli." Jawabku, membuat alis Harry bertautan. "Aku tinggal di rumahmu, aku membersihkan isi rumahmu. Sudah seharusnya aku peduli ketika kau terlihat muram." Tiruku akan kata-kata yang sempat ia ocehkan.

Tidak ku duga Harry tertawa. Aku menundukkan kepala, namun Harry tiba-tiba saja mengangkat daguku. "Kau cantik, Britt. Jangan sembunyikan wajahmu dariku."

"Okay." Sahutku.

"Okay?"

"Okay."

"Okay?"

"Hentikan."

Lantas kami tertawa bersama. Dari balik bulu mataku, aku diam-diam memperhatikannya. Aku selalu menyukai bagaimana sudut mata dan sudut bibirnya tertarik secara bersamaan. Menghasilkan tawa yang membuat lesung pipinya meminta untuk dicubit.

Oke! Ku rasa aku perlu mengendalikan diriku sekarang!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status