Share

Bagian 5

last update Last Updated: 2021-11-06 10:31:10

Part 5. Ilham

“Mas.”

“Hmm?”

“Jadi ngantar aku ke sekolah hari ini?” tanyaku sambil duduk di sisi ranjang. Memperhatikannya yang sibuk merapikan lipatan lengan baju lorengnya pagi itu. Dia benar-benar gagah dengan seragamnya. Jujur aku benar-benar terpesona memandangnya. Terpesona memandang suami sendiri boleh ‘kan?

“Jadi! Saya akan ijin sehabis apel pagi,” sahutnya tetap sibuk merapikan seragam. Kali ini berganti lengan baju yang lain. Kemudian mematut diri di cermin untuk memasang baret di kepala.

“Mmm, pagi ini aku mau belanja,” ucapku. Dia menoleh sejenak.

“Bisa sendiri?”

“Bisa.” Aku mengangguk.

“Tapi ….”

“Apa?” Dia mengernyitkan kening.

“Ini kemarin, PIN-nya lupa.” Aku menunjukkan dua kartu debit yang dia berikan semalam.

“Lalu kemarin bayar catering bagaimana?” Dia berpindah dari posisi berdiri, beringsut duduk di sampingku.

“Kemarin pakai uangku dulu. Tapi sekarang saldonya udah abis.”

Dia menatapku sebentar kemudian tersenyum tipis. Senyum terindah yang dia miliki. Senyum pelit tapi menggigit.

“Kemarin kenapa gak nanya?”

Aku menggeleng, “ Takut ganggu. ‘kan kemarin katanya Mas sibuk.”

“Ya, kalau sekedar w******p-an bisa,” ucapnya sambil sok sibuk menepuk-nepuk bagian tubuh, bermaksud merapikan baju yang memang sudah rapi.

“ATM kamu PIN-nya berapa?”

Aku menatapnya bingung. Kenapa justru menanyakan PIN ATM-ku? Aku mengernyitkan kening.

“Hmm?” tanyanya ketika melihatku bergeming.

“290896,” jawabku masih dalam bingung. Pin-ku, ya, aku tahu. Itu adalah hari kelahiranku. Yang aku tanyakan adalah Pin kartu ATM yang dia beri.

“Nah, itu.”

“Hahh?”

“Itu Pin-nya.”

“Hahh?”

“Itu pin-nya … sama.”

“Hahh? Kok bisa sama?”

Dia mengubah posisi dari menyamping kemudian duduk berhadapan denganku. Membingkai wajahku sejenak dengan mata elangnya. Kemudian perlahan meraih tanganku, menggenggamnya erat dengan bibir setia menyungging senyum tipis khas miliknya.

“Selamat hari lahir. Jadi istri sholehah untukku. Selalu mencintaiku dan anak-anak. Setia dan bersedia mendampingiku dalam keadaan apapun.” Dia mengeratkan genggamannya.

Aku ulang tahun hari ini?

Aku mengusap wajah pelan. Benar ini hari lahirku. Sesuai angka yang terdapat pada pin kartu debit itu. Ya Tuhan, aku saja lupa. Perayaan ulang tahun Nadin yang hanya beda satu hari bahkan tak mampu mengingatkanku pada hari bersejarah ini. Mungkin karena selama ini tidak pernah dirayakan atau tidak pernah ada orang spesial yang memberi ucapan selamat.

Aku tersenyum. Senangnya punya suami. Sebahagia ini rasanya ketika diberi perhatian berupa ucapan selamat ulang tahun olehnya.

Lelakiku ini memang memiliki sikap tak tertebak. Selama ini kesannya arogan, dingin, cuek, tapi ternyata perhatian. Dia tahu ulang tahunku. Sedangkan aku? Hingga hari ini bahkan tidak tahu berapa umurnya.

Wait! Dia mungkin saja tahu ulang tahunku. Misalnya dengan diam-diam mengintip KTP. Namun, bagaimana ceritanya pin ATM itu adalah hari lahirku? Kami baru menikah pada malam sebelum kartu itu dia berikan? Sebelumnya tidak ada proses pacaran yang menjadi pertanda bahwa aku spesial di hatinya. Lantas, kapan PIN itu dibuat? Apa benar bahwa aku telah lama spesial di hatinya? Seperti kata Ibu bahwa dia telah lama berencana menikahiku?

“Terima kasih,” jawabku masih dalam bingung, tapi rona bahagia mampu menutupinya

“Bagaimana, Mas tahu?” tanyaku kemudian. Dia tersenyum.

“Saya memang belum banyak mengenalmu. Tapi, untuk hal seperti ini pasti tahu lah.” Dia masih menggenggam tanganku.

“Mmm ….” Aku ingin melanjutkan tanya. Namun, susah sekali bibir terucap.

Apa Mas sudah mencintaiku sejak lama sehingga hari lahirku dianggap penting dan dijadikan pin kartu debitmu? Sejak kapan?

Menanyakan dua kalimat itu saja berat sekali. Takut dianggap ge-er. Bagaimana mungkin dia mencintaiku sejak lama? Jika selama ini dia selalu tak acuh bin cuek bin dingin. Akhirnya kubiarkan saja kalimat itu menggantung di benak.

“Minta hadiah apa?” Duh …. Kalau ini aku yakin dia mencintaiku. Bicaranya begitu lembut. Sangat berbeda ketika dia melamar. Andai saja waktu melamarnya begini, aku tidak perlu merasa ragu menerima. Semoga dia akan tetap seperti ini sampai selamanya.

“Enggak ada,” jawabku mulai salah tingkah karena perhatiannya.

“Bilang saja. Saya tidak banyak tahu tentangmu. Saya juga bukan laki-laki romantis yang pandai memberi kejutan,” ucapnya tetap terus membingkaiku dengan mata elangnya. Kejutan ini saja sudah membuatku seakan melayang.

“Emang gak minta apa-apa, cuma ….”

“Cuma apa?” Dia menatapku intens. Ya Robbi … mata elangnya, rahang kokohnya, senyum tipisnya … bisa-bisa aku mati kehabisan napas karena semua itu.

“Ah, enggak … gak jadi ….” Aku menggeleng sambil menunduk.

Cuma aku minta cinta yang tulus darimu. Itu yang mau aku ucapkan. Malu ‘kan mau ngomong begitu?

“Hey ….” Dia menganggkat wajahku.

“Udah siang, Mas. Nanti terlambat.” Aku mengalihkan pembicaraan. Dia mengangkat tangan melihat jam.

“Iya, sudah mau jam tujuh. Nadin sudah siap?”

“Sudah,” sahutku sembari mengangguk.

“Ayo!” Dia beranjak melangkah keluar dan aku mengekor di belakang.

“Akhir minggu nanti kita ketemu orang tuamu,” ucapnya sambil jalan.

“Setelah itu kita langsung urus nikah kantor,” lanjutnya. Aku cuma menanggapi dengan anggukan.

“Kamu langsung ke pasar?”

“Iya,” jawabku sambil mengangguk kembali.

“Hati-hati.”

“Iya.” Aku kembali menganggu. Entahlah, mengapa di depannya aku selalu tak berkutik. Selalu merasa takluk. Selalu mengangguk dan iya … iya … saja.

Kami segera menuju teras depan. Terlihat Nadin telah siap bersama Ibu dengan tas di punggung.

“Nadin, mau diantar Mama.” Ia menggelayut manja ketika aku dan Mas Kusuma tiba di sana.

“Mulai besok saja, ya, diantar Mama. Hari ini Mama ada keperluan,” bujuk laki-laki itu sambil menggendong gadis kecil berseragam hijau putih itu dan membawanya ke sepeda motor. Kalau berangkat dinas, dia jarang menggunakan mobil kecuali jika ada hal penting.

Setelah mencium punggung tangannya, dan menunggu tubuhnya hilang di ujung jalan, aku menyiapkan diri untuk ke pasar. Hari berikutnya setelah kemarin, aku memulai lembaran baru menjadi seorang istri. Mencari ridho suami dengan mengurus rumah tangga. Diantaranya, menyediakan makan dari racikan tangan sendiri demi melukis senyum di bibirnya.

====================

[Siang saja, ya, kita ke sekolahnya. Saya belum bisa ijin]

Dia mengirim pesan sekitar pukul Sembilan ketika aku masih sibuk di dapur.

[Iya, tidak apa] Balasku.

[Kamu bisa jemput Nadin?]

[Bisa, biasa Nadin pulang jam berapa?]

[Jam sebelas]

[Oke]

[Terima kasih]

Kembali ia mengirimkan gift jantung yang berdetak di akhir pesannya. Apakah jantungnya sekarang memang berdetak untukku? Memikirkannya aku jadi tersenyum ge-er. Sulitnya menjalin hubungan dengan orang tak tertebak. Sibuk ge-er sendiri dengan perhatiannya kemudian menciut karena kecuekannya.

Tepat azan zuhur, sepeda motor yang ia kendarai terdengar di halaman rumah. Beberapa saat setelah aku pulang dari menjemput Nadin.

“Sholat dulu, Mas. Setelah itu makan baru berangkat,” ucapku setelah dia melepas kopel dan drahrimnya, kemudian menyerahkannya padaku. Aku menyambut benda itu untuk menggantungnya di tempat khusus pada dinding kamar.

“Iya. Sekalian Nadin,” sahutnya sambil berlalu ke kamar. Setelah turut sebentar menyimpan drahrimnya, aku segera keluar kamar, meminta Nadin membersihkan diri dan membimbingnya wudu. Kemudian bersuci untuk diri sendiri.

“Masak apa?” tanyanya sambil menuju meja makan ketika kami selesai sholat.

“Masak apa adanya. Aku gak pinter masak,” jawabku malu. Terus terang kurang pede dan takut tidak cocok dengan lidahnya. Dia saja pintar masak. Nasi goreng buatannya pada malam pertama kami terasa enak.

“Asal disertai cinta, yang apa adanya akan jadi luar biasa,” ujarnya sambil melirik ke arahku. Membuatku senyum tersipu.

=============

“Bu Anin, sudah menikah?” tanya kepala sekolah ketika kusampaikan alasan pengunduran diri.

“Sudah, Pak,” jawabku singkat.

“Kenapa gak ngundang?”

“Mmm.” Aku menoleh pada Mas Kusuma yang tadi berkeras untuk ikut menghadap.

“Nanti ketika resepsi Insya Allah kita undang, Pak,” timpalnya.

“O ….” Beliau mengangguk-angguk.

“Kami masih sangat membutuhkan tenaga, Bu Anin. Apalagi prestasi Ibu cukup baik dengan mengantar siswa kita menang olimpiade sains tahun ini. Profesionalisme dan kompetensi Ibu tidak diragukan lagi,” tutur beliau menanggapi pengunduran diriku.

“Kapan saja, Bu Anin berubah pikiran, kami akan senang menerima Ibu kembali,” lanjutnya.

“Terima kasih, Pak,” ucapku sebelum meninggalkan ruangan itu.

“Sama-sama. Ilham pasti sangat terluka dan patah hati mendengar berita pernikahan Bu Anin ini,” sahutnya sambil terkekeh menggoda. Aku melirik wajah Mas Kusuma yang tetiba menjadi datar. Kami meninggalkan ruangan kepala sekolah dalam diam. Perasaanku menjadi tidak nyaman. Semoga hanya perasaanku saja.

Melintasi ruang guru, seorang lelaki muda berpakaian seragam warna kaki menatap kami dengan diam.

“Dia Ilham? Pacar kamu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
wah ada yg cemburu nih
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
lagi manis²nya nih pengantin baru
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Waaah....PIN ATM nya aja bisa sama.... Jangan jangan benar yg ibu bilang,Kusuma telah lsma menyukai Anindya....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 60. Ekstra

    "Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 59. End

    "Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 58. PoV Farel (Perjuangan Hanum)

    "Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 57. PoV Farel (Ngidam)

    PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 56. Pertanyaan Absurd

    "Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 55. Bad Mood 2

    Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status