Stela duduk manis setelah menyiapkan sarapan untuk suami dan ayah mertuanya. Ketiga orang tersebut menikmati sarapan dengan nyaman dan juga tenang. Axelle sesekali melirik ke arah sang istri. Betapa manisnya ia kini, mengenakan dress motif sabrina setinggi di bawah lutut, berwarna kuning. Terlihat cerah ceria, sangat kontras dengan kulit putih mulus dan juga rambutnya yang tergerai panjang, indah. Bando warna putih menghias pucuk kepalanya. Axelle seolah melihat putri raja. Rasanya Axelle sudah kenyang hanya dengan menatap sang istri. Leher jenjang dan juga dadanya yang terekspos membuat Axelle menelan saliva. Baru beberapa jam lalu ia merengkuh tubuh mungil itu. Namun, hasrat untuk menyentuhnya kembali lagi.
Zeroun menatap sang putra sembari tersenyum simpul. Yah, lelaki tua itu seperti menatap dirinya di masa lalu, masa mudanya dulu. Sikap egois, arogan dan
Mobil mewah itu berhenti tepat di depan sebuah kantor penerbitan. Axelle memberi kode lewat lirikan mata pada Roland. Pemuda yang paham dengan kode tersebut tersenyum. Dia berpamitan keluar dengan berbohong membeli kopi panas di sebuah cafe seberang. Stela tersenyum, wanita muda lugu yang tidak tahu apa-apa itu mengangguk sembari merapikan tas jinjing. Dia mengecek sekali lagi, apakah naskahnya komplit atau ada yang salah. Naskah mentah dari lembaran kertas hvs tersebut, nantinya akan ia berikan pada Arsen atasannya. Axelle mengamati dengan sesekali membelai rambut panjang itu, rasanya bergairah sekali. Meski tidak rela Stela keluar rumah namun, setelah di pikirkan lagi berangkat ke kantor bersama seperti ini sangat menyenangkan. Tangan nakal Axelle meraba dada dan pundak yang tidak tertutup kain. Stela menerimanya dengan senyum, ia kemudian melempar tasnya ke arah samping. Stela merangkul ke leher Axelle. Lelaki itu terkekeh,
Stela tidak pernah membayangkan mendapati dirinya duduk manis di ruangan yang di sebut sebagai kantor. Dia bersama dengan dua orang lainnya di suatu ruangan khusus para ilustrator. Sambutan unik menyapanya. Seorang wanita yang mungkin berusia lebih dari tiga puluh tahu itu menyambut Rere, memberikan bando dengan telinga kelinci, sangat lucu, wanita tersebut bernama Laras. Seorang wanita lagi bertubuh gempal, rambutnya di gelung di belakang. Dia membawakan kue, yang dia kata buatannya sendiri, wanita tersebut bernama Marlin."Selamat datang anak manis, kami yang biasnya menangani dna meneliti naskah komik. Tidak di sangka kami akan kedatangan salah satu komikusnya, cantik lagi," tutur Bu Marlin.Ketiganya bercakap-cakap santai sebelum kembali sibuk ke mejanya sendiri-sendiri. Berkutat dengan
Tatapan mata lelaki itu tidak hentinya mengamati koran lawas yang telah usang. Sudah bertahun-tahun lamanya. Dia beringsut membenarkan duduk yang terasa tidak nyaman. Napas dihela dengan kasar dan berat. Dia meneguk gelas kecil berisi wine di meja kerjanya. Sakit kepala membuat dirinya pening, lelaki tersebut masih melirik sebentar sebelum beralih bangkit dari duduk. Tangannya masih memegang erat gelas wine tersebut. Koran usang itu memberitakan tentang kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa sepasang suami istri. Itulah yang menjadi perhatiannya. Ketukan pintu membuat dia menoleh sebentar. Seorang lelaki menyembul masuk ke dalam ruangan. Lelaki paruh baya, dengan set jas warna hitam, dan rambutnya sudah banyak yang beruban. Dia berjalan ke arah meja kerja kemudian meletakkan beberapa dokumen. "Anda masih memikirkan kejadian itu Tuan Zayn?" tanya lelaki itu
Axelle beserta Zeroun tengah berada di ruang kerja Zeroun. Mereka tengah membahas hal penting tentang Zayn dan kemungkinan terburuk, juga mengenai pesta keluarga Marvel untuk menyambut Mirza di keluarga besar Marvel. Pintu di ketuk dari luar, tidak lama kemudian Roland menyembul masuk. Zeroun beserta Axelle menatap keduanya beraamaan. "Tuan," sapa Roland. "Dia sudah datang? Suruh masuk," ucap Zeroun. Roland mengangguk. Dia kembali membuka pintu. Seorang wanita yang Roland temui di lobi kantor tadi dipersilahkan masuk. Zeroun dan Axelle menyambut dengan senyum sumringah, lebih tepatnya terkekeh kecil. "Kalian puas, aku sudah lama tidak berdandan, bagaimana masih Ok?" tanya wanita bertubuh gempal tersebut.
Beberapa tahun silam.Siapa yang akan berani mengganggu ketenangan Olivia, dia akan mati. Bahkan suami yang ia cintai juga dibunuh karena penghianatan. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya tidak termaafkan. Dia tidak menyukai pengkhianatan sekecil apapun. Olivia lebih bengis dari yang terlihat. Pembunuh berdarah dingin, seorang wanita kepala gangster kota B. Sosok misterius dunia hitam sebagai Miss. Olf. Pemikiran keji itu sempat goyah kala berhadapan dengan Zeroun. Keduanya bekerja sama di bidang yang berbeda. Perbedaan yang begitu erat menyatukan. Zeroun bersua dengannya di sebuah bar. Dengan kabar burung yang beredar. Zeroun mencari sosok Miss. Olf, tujuannya satu. Ingin menjadi penguasa yang tidak terkalahkan. Harta berlimpah membuat Zeroun lebih berhati-hati, dia ingin memiliki pengawal untuk kenyamanannya. Sempat Zeroun pasrah,sekian banyak uang yang dilontarkan keluar namun keber
Terkejut, sudah pasti Stela masih terbatuk meninggalkan kerumunan para penggosip tersebut. Dia berjalan ke ruangannya kemudian menyambar tas selempang miliknya. Diatur napas berulang kali dengan menghela dan mengembuskan. Stela nampak menyisir rambut panjanhnya. Lalu merapikan meja kerja. Setelah di rasa rapi, wanita muda tersebut mengecek seluruh barang bawaan di dalam tas. Semua sudah komplit, dia beranjak keluar. Saat bersamaan dari arah luar Laras dam juga Marlin masuk ke dalam ruangan."Kau sudah hendak pulang, Sayang?" tanya Laras."Iya Bu Laras, saya sudah hayis pulang," jawab Stela."Hati-hati di jalan Nak," ujar Marlin. Stela mengangguk.Dia bergegas
Langkah kakinya mantap, menapaki lantai yang penuh sesak. Hiruk pikuk dan kerumunan orang seolah tidak menjadi penghalang. Dengan keren dia menarik tubuh Stela ke dalam dekap pelukan. Langkah panjangnya mantap menghindar, menyeret tubuh mungil Stela untuk menjauh tanpa kendala. Lampu hias gantung dengan kaki enam, dimana ada kristal yang menjuntai-juntai dengan indah besar dan elegan bergaya klasik. Brak! Praang! Lampu mewah tersebut jatuh tepat di samping Stela dan pria tersebut. Semua yang berada di pesta berteriak histeris. Kegaduhan pun terjadi. Stela yang hampir saja celaka, tubuh rapuhnya bergemetar hebat. Terkejut, sudah pasti, jantungnya meletup-letup berdebar. Wajahnya memerah seketika, bukan lantaran jatuh cinta pada si penolong. Namun, dia sungguh ketakutan dengan insiden yang baru saja hampir mencelakainya
Melihat situasi Stela yang masih bergetar. Axelle mencium bibir istrinya lembut. Aroma yang menyeruak dari tubuh Stela benar-benar memabukkan. Axelle mulai menarik lepas jas yang dia kenakan dengan bibir masih terpaut. Saat hasratnya sedang naik, Stela mendorong tubuh Axelle agar menjauh. Nampaknya Axelle harus menelan kekecewaan untuk menyentuh sang istri lebih jauh, melihat wajah Stela yang kini nampak muram."Kenapa, Sayang?" tanya Axelle kecewa."Kita tidak seharusnya demikian Om, saya khawatir pada Tante Freya," ucap Stela cemas. "Bagaimana kalau kita ke rumah sakit menemui Tante," rengek Stela.Axelle merangkum wajah Stela, "Sudah ada keluarga yang menjaganya, Sayang. Khawatir boleh tapi itu bukan lagi kawasan kita