“Ini enggak seperti yang kamu duga Dil, untuk apa Mas melakukan ini di luaran, padahal di rumah masih ada kamu.”
“Mana aku tahu, seharusnya aku yang tanya hal itu. Mas yang melakukan dosanya, sekarang Mas minta aku buat merawat kamu, sedangkan setiap kali aku melihatmu. Aku mulai membayangkan bagaimana kalian melakukan hal itu …, sakit Mas!” ucap Dilra dengan pandangan kosong, lalu setelahnya dia kembali menenggelamkan kepalanya di antara ke dua lutut. Bahunya berguncang hebat. Namun, begitu lenganku melingkar di pundaknya, Dilra justru menggeser tubuhnya ke ujung ranjang.
“Kita masih tidur satu ranjang Mas, kenapa kamu harus melakukannya dengan orang lain?” lirihnya tanpa menatapku. Kali ini pandangannya lurus ke arah jendela rumah kami yang terbuka lebar. Semilir angin seketika menerpa wajahku. Seolah menampar, kemudian mengembalikan kesadaranku yang lari entah ke mana. Berkali-kali aku mencoba mengingat detail kejadian saat
.“Enggak usah ngikutin gue, punya harga diri dikit kek jadi cewek. Masih bini orang ‘kan?” sentakku kasar. Aku bisa melihat Sekar yang biasanya tak pantang menyerah. Kali ini wanita itu hanya diam. Seharusnya kalau tahu begini, sudah kulakukan sejak dulu. Hilang sudah rasa simpatiku padanya, sepertinya dia golongan orang yang tidak mempan diajak bicara baik-baik. Apakah mungkin karena selama ini terbiasa diperlakukan kasar oleh suaminya? Ah, siapa yang mau peduli. Bukankah dia hanya wanita serakah yang tidak pandai menempatkan diri.~Aku pulang ke rumah. Rupanya Dilra sudah menunggu, terlihat begitu aku pulang Dilra sedang duduk di taman, padahal tidak ada anak-anak di sana.“Aku baik-baik saja kok Dil, kamu enggak usah khawatir,” ucapku seraya mengulurkan lenganku, lantas istriku menyambutnya dengan takzim. Seperti kebiasaan kami Dilra akan menunduk setelah mencium tanganku, tetapi kali ini rupanya dia sengaja menjauhkan k
“Enggak usah ngikutin gue, punya harga diri dikit kek jadi cewek. Masih bini orang ‘kan?” sentakku kasar. Aku bisa melihat Sekar yang biasanya tak pantang menyerah. Kali ini wanita itu hanya diam. Seharusnya kalau tahu begini, sudah kulakukan sejak dulu. Hilang sudah rasa simpatiku padanya, sepertinya dia golongan orang yang tidak mempan diajak bicara baik-baik. Apakah mungkin karena selama ini terbiasa diperlakukan kasar oleh suaminya? Ah, siapa yang mau peduli. Bukankah dia hanya wanita serakah yang tidak pandai menempatkan diri.~Aku pulang ke rumah. Rupanya Dilra sudah menunggu, terlihat begitu aku pulang Dilra sedang duduk di taman, padahal tidak ada anak-anak di sana.“Aku baik-baik saja kok Dil, kamu enggak usah khawatir,” ucapku seraya mengulurkan lenganku, lantas istriku menyambutnya dengan takzim. Seperti kebiasaan kami Dilra akan menunduk setelah mencium tanganku, tetapi kali ini rupanya dia sengaja menjauhkan
“Pak, di luar ada tamu yang tanyain Bapak, anu Pak …,” kata Mbak Rina tampak raut ketakutan di wajahnya.“Siapa sih?”“Rombongan gitu loh Pak, saya jadi takut mereka malah bikin onar, habisnya tampilannya itu kayak Pereman,” kata Mbak Rina seraya begidik ngeri. Kami semua saling menatap. Aku bisa menangkap raut Dilra yang juga berubah khawatir dalam sekejap. Kami semua sedang sarapan, siapa gerangan yang bertamu sepagi ini?“Biar Mas yang buka, kamu sama Mbak Rina bawa anak-anak ke kamar dan langsung kunci aja. Kalau dirasa ada sesuatu yang membahayakan kalian telepon satpam kompleks.”“Sebaiknya enggak usah dibuka, toh sepertinya kita juga enggak kenal.”“Kita enggak bakal tahu tujuan mereka apa, kalau enggak ditemuin.”“Aku khawatir kesalamatan kamu, Mas.”“Iya Pak, dari pada nantinya bikin onar. Mending turutin kata Ibu saja, soalnya di
“Temui anak-anak Mas, mereka pasti ketakutan juga. Aku baik-baik saja. Alhamdulillah Allah masih kasih kita kesempatan.” Setelahnya kau pergi ke tempat anak-anak bersembunyi. Untuk sampai ke sana sebenarnya sangat mudah kalau menggunakan tangga tetapi karena tangganya kebetulan sekali sedang berada di depan, entah dengan cara apa mereka bisa sampai sana. Kemungkinan dilra membiarkan mereka naik ke pundaknya. Mbak Rina tampak memeluk ke dua anakku erat. Dia bahkan tak berani melihat ke arahku. Sepertinya dia berpikir kalau kami ini penjahat. Aku “Sayang, ini Papah Nak, kita semua selamat.” Anak-anak sepertinya mengenali suaraku, mereka lantas berhamburan memelukku. Kami di bantu Pak Polisi untuk turun. Rumah kami sangat ramai, beberapa orang mulai berkerumun karena suara sirine polisi. Tempat tinggal seperti apa yang kutempati. Sampai-sampai mereka begitu abai dengan lingkungan sekitar. ~ Hari ini kondisi kami masih shock, jadi polisi menyarankan
“Enggak ada, Mas. Murni karena aku jenuh.”“Ini terlalu mendadak Dil, Mas belum bisa kasih keputusan.”“Kalau pun kamu merasa jenuh. Kita bisa pergi liburan. Tinggal pilih kamu mau pergi ke mana?”“Tolong dipertimbangkan ya Mas,” kata Dilra lemah. Wajahnya penuh harap. Sampai-sampai dia tidak merespons ajakanku untuk pergi liburan.“Ayo, ikut Mas. Kita ngobrol di balkon!” Aku mengulurkan tangan lantas Dilra dengan cepat menerimanya.“Bagus ‘kan bulannya?” tanyaku“Hmm.” Dilra mulai memejamkan matanya membiarkan angin malam menerpa wajahnya.“Dingin enggak?” tanyaku.“Enggak kok,” katanya masih dengan mata terpejam.“Kapan terakhir kita bisa mengobrol sesantai ini, Dil?”“Sudah lama sekali, sepertinya terlalu banyak masalah membuat kita lupa menikmati hidup,” kata Dilra, kali ini
Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m
Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari
“Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku