Share

Bab 5 Test Tingkat Stress

Bab 5

Renna memandangi kertas yang baru saja dirinya ambil dari Kantor Administrasi Akademik. Sebuah form panjang untuk pengajuan cuti kuliah selama dua semester. Setelah berkonsultasi pada Kaprodi tentang kondisi kesehatannya yang menurun beberapa hari—dia berbohong agar diizinkan.

Semalam dia sudah memikirkan strategi pengajuan cuti ini. Dirinya ingin mengambil beberapa jeda waktu untuk fokus mengumpulkan uang. Banyak hal yang menjadi bahan perenungan sebelum memilih untuk cuti kuliah termasuk kondisi keuangan orang tua dan dirinya sendiri. Krisis sangat terasa sekarang untuk Renna.

Tak ada penghasilan pasti ditambah dengan kiriman uang yang mungkin dikurangi hingga beberapa bulan ke depan.

Mungkin ini adalah salah satu bentuk karma atas perbuatannya yang mengkhianati kepercayaan kedua orang tua. Tentang kesanggupan menjaga diri padahal nyatanya tidak. Dia merusak diri baik secara fisik dan mentalnya.

"Ren!" panggilan dari seseorang yang sedang berjalan ke arah Rennata dengan sedikit teriakan. Kedua temannya yang seperti perangko—Sasa dan Lea.

Renna melihat dari arah parkiran ke dua temannya yang mendekat. Dirinya sedang duduk  di kursi taman fakultas. Sebuah tempat yang dilindungi pohon akasia. Tempat tersebut cukup menyejukkan serta teduh pada siang yang terik seperti sekarang.

Ketika kedua temannya semakin mendekat, Renna memasukkan kembali form tersebut ke dalam tas ranselnya sebelum banyak pertanyaan yang datang dari mereka. Pertanyaan tak penting dan nasihat-nasihat yang tak ingin dia dengar—teruntuk sekarang.

"Ren!" Sapaan dari Sasa terdengar lagi. Dia duduk tepat di samping Renna yang menyingkir sedikit agar kedua orang itu mendapat tempat duduk.

"Iya, ada apa?" Renna melihat Sasa yang duduk di sampingnya. Perempuan berambut keriting itu tersenyum lebar seolah ada kabar bahagia yang baru saja ia dengar.

"Kamu beneran putus sama Dion?"

Pertanyaan pertama muncul dari Sasa dengan nada penasarannya. Dia menebak Lea—sosok yang kini duduk terhalang olah Sasa dari tempatnya. Temannya itu menunduk, sudah pasti dia menceritakan kejadian kemarin dengan bumbu tambahan.

"Ya, seperti yang kamu dengar." Renna menjawab dengan apa adanya. Berharap Sasa paham apapun yang didengarnya dari Lea sudah cukup untuk informasi baginya.

Renna tak ingin ambil pusing dengan pertanyaan selanjutnya dan tak mengharpakan percakapan tentang lelaki itu lebih banyak.

"Sejak kapan?"

Ah, Sasa ternyata memang tak paham apa maksud jawaban Renna tadi. "Senin malam."

"Jadi beneran? Kamu juga bertengkar dengannnya di depan umum?" Renna melirik ke arah temannya itu. Benar-benar orang yang tak paham akan jawaban pertamanya tadi.

"Iya, seperti yang kau dengar. Apapun cerita Lea yang kau dengar itu benar adanya."

Renna menjabarkan semuanya. Kali ini berharap Sasa lebih paham maksudnya—sudah cukup jelas ucapannya kali ini.

"Ah, pasti seru. Kalo tahu seperti itu, aku pasti datang membantu." ocehnya seperti orang membayangkan jika pertengkaran itu seperti adu tinju.

Memang apa yang ingin ia bantu, mengoceh tak jelas dan memaki Dion?

Sasa mulai mengoceh, tentang Dion yang begitu toxic dan banyak hal lainnya. Sesuatu yang tak ingin Renna dengar. Jika saja Sasa memang mengenal baik Dion maka memang sah mengatakan hal-hal yang sesuai fakta itu. Tapi Sasa tak mengenalnya dengan dekat, bagaimana seseorang bisa begitu sok tahu dalam menilai orang lain. Yang paling tak dia sukai dari kedua temannya ini adalah suka membicarakan orang lain yang jelas mereka belum tentu mengenal baik. Bahkan orang yang cukup dikenal mereka tak sungkan membicarakan keburukannya.

"Hah, kamu itu loh Renn. Kalo begitu, harusnya membandingkan tingkat stress saat sama dia dan setelah putus." Sasa masih asyik mengoceh tanpa peduli Renna yang benar tak minat akan topik tentang Dion.

Renna hanya menunduk dan mulai menilai sendiri. Membandingkan tingkat stress dua keadaan yang sama-sama ia hadapi baik lampau maupun sekarang, baginya sama saja keadaannya untuk sekarang. Dia memang lepas dari Dion tapi hutang lelaki itu tak mau lepas dari dirinya.

"Lebih baik kapan-kapan kamu test tingkat stress biar tahu bahwa setelah lepas dari Dion kamu tuh lebih tenang. Lebih waras tentunya."

Sasa tertawa kencang setelah mengucapkan hal yang bagi Renna memang tak ada lucunya. Sebuah tindakan bagi Renna hanya hinaan. Dia ingin undurkan diri dari mereka. Tak ingin memperpanjang masalah yang ada atau Sasa akan menceritakan banyak hal yang tak ingin Renna dengar lagi.

"Aku pamit ya. Sebentar lagi ada kelas siang." Renna segera pergi dari sana. Tak ingin banyak hal yang didengarnya lagi. Sudah cukup baginya, dia muak dengan mereka.

Bahkan saat mereka tahu Renna baru saja bertengkar tak ada yang menghubungi dirinya. Lea yang bahkan ada disana tak mempertanyakan keadaannya setelah pulang dari tempat kemarin.

Renna meninggalkan kedua orang yang duduk bersebelahan itu berbisik seusai kepergiannya. Dia melihatnya dengan jelas.

Kebiasaan!

Renna mulai belajar tak ingin peduli dengan mereka yang dianggapnya sebagai benteng pergaulan sosial. Agar dirinya dianggap memiliki teman meski kenyatannya dia kesepian.

Kekasih yang tak benar kekasih dan teman yang tak sebenarnya teman.

****

Kafe tempatnya bekerja hari ini cukup ramai, tak sedikit pengunjung membuat kehebohan hingga beberapa saat. Renna sibuk mengantarkan pesanan orang-orang tersebut. Semakin malam keadaan mulai berangsur sepi, hanya tinggal beberapa pengunjung yang datang.

Termasuk Dimas yang baru saja masuk di sana menemui boss kafenya. Lelaki itu memesan secangkir espreso dengan sepotong wafel yang dituangi sirup maple—lelaki dengan selera yang aneh pada malam hari.

Beberapa karyawan di belakang mulai membicarakan sosok Dimas. Renna mulai penasaran. Dia mencuri dengar apa yang mereka katakan, barang kali ada info disana. Mereka sedang membicarakan sosok Dimas yang merupakan dokter muda yang sukses dan rendah hati.

Renna membenarkan dalam hati, memang lelaki itu baik.

Tak banyak info selanjutnya sebab mereka kembali sibuk dengan kegiatan sebelum kafe tutup. Renna maju ke depan untuk membersihkan meja. Mencari keberadaan Dimas, ingin mengembalikan payung yang sempat ia pinjam.

Dimas masih disana, duduk santai dekat dinding kaca sambil sesekali memandangi laptopnya. Menikmati espresso di malam hari untuk menghilangkan kantuk. Lelaki dengan kemeja kuning pucat dan celana putih—sangat cocok dengan parasnya yang nampak teduh dalam keseriusan. Tas ransel besar yang dibawanya saat masuk tadi kini berada di kursi depannya—sudah seperti orang yang berkencan dengan tas.

Renna kembali mengerjakan tugasnya untuk mengelap meja yang sudah kosong. Beberapa pengunjung masih ada disana menanti larutnya malam dan menikmati musik langsung dari band yang tersedia.

Band yang ada disana membawakan lagu jazz yang menenangkan. Simponinya membuat orang-orang yang bergurau nampak bahagia. Aura positif mulai menyebar dalam penjuru kafe. Termasuk Renna yang tersihir dengan alunan tersebut. Merasakan aura positif yang masuk ke indra pendengarannya. Membuat benaknya merasa ringan sesaat.

Dia melihat kembali ke meja lelaki itu. Kosong. Dimas tak ada disana. Renna mengedarkan penglihatan, ternyata Dimas sudah ada di depan kafe sambil berdiri menatap jalanan yang lengang.

Ini kesempatannya!

Renna mengambil payung lelaki itu dalam tas ranselnya yang berada di bawah meja kasir. Dia menghampiri lelaki yang berada di dekat pintu kafe. Renna tersenyum kikuk. Menyapa dengan lambaian tangan.

"Hai!" sapanya. Renna memperhatikan Dimas yang sedang berdiri disana dengan rokok yang menyala. Asap mengepul sesekali dari bibir lelaki itu.

"Ada apa?" tanya Dimas pada Renna yang hanya diam memperhatikan kegiatannya merokok.

"Kau merokok?" Renna bertanya dengan nada retoris. Sudah jelas dirinya melihat hal itu.

"Seperti yang kamu lihat." Dimas menjawabnya santai. Kembali merokok dan mengepulkan asap.

"Aku tak suka asapnya." kritiknya pada Dimas. Renna sangat membenci asap rokok karena menyebabkan sesak nafas dan dapat menganggu orang sekitar.

Dimas bereaksi dengan alisnya, bertanya tanpa repot berbicara. Renna tetap diam melihatnya. Lelaki itu mengerti, ia mengalah. Mematikan ujung puntung rokoknya dan membuang ke tempat sampah. Tak ingin mengganggu Renna dengan asap rokoknya.

"Ternyata seorang dokter juga merokok." Renna mendekat pada Dimas yang memperhatikannya. Dia menunduk lalu mengulurkan payung milik Dimas.

"Terima kasih." ucapnya dengan nada pelan nan lembut.

"Kenapa menunduk?" Renna menegakkan kepalanya. Melihat ke arah Dimas, menilai pandangan lelaki itu yang sangat datar hari ini.

"Ada apa?" tanya Renna pada Dimas. Mempertanyakan pada ekspresi wajah lelaki itu yang tak seperti dua hari kemarin. Wajah ceria dengan senyuman dan tak sekosong hari ini.

"Tak apa-apa. Berdiri di sini dulu. Nikmati pemandangan jalanan sebentar."

Renna melirik ke dalam melalui jendela kaca. Karyawan sudah selesai bersih-bersih bagian depan mungkin mereka membantu bagian dapur, sekarang tinggal menunggu beberapa pengunjung pulang. Dia melihat ke arah Dimas lagi.

"Baiklah lima menit saja, nanti bosku marah." ujarnya yang ikut melihat jalanan kota yang lengang. Beberapa mobil pengunjung terparkir di pinggir jalan.

"Hari ini, aku melakukan operasi jantung yang pertama dalam karirku." Dimas memulai percakapannya. Dimas memperhatikan beberapa kendaraan yang lalu lalang sambil mengingat hari panjangnya.

"Itu pertama kalinya aku juga sebagai asisten dokter dalam operasi jantung. Aku sangat gugup, takut jika melakukan kesalahan." Dimas mengambil nafas lalu mengeluarkannya— menyiapkan lanjutan ceritanya.

"Aku takut jika aku gagal." lanjutnya.

"Lalu?" Renna melihat ke sosok lelaki berkemeja kuning pucat itu. Sosok yang memandang jalanan lengang untuk pelarian rasa takut dan stressnya.

"Aku beneran stress. Bahkan merasa gugup sepanjang operasi. Tapi, diakhir setelah berhasil.  Aku sangat lemas. Kakiku beneran lemas duduk di ruanganku." sambungnya lagi. Dia menatap Renna dengan sama datarnya.

"Kau sudah hebat." Renna menjawab apa adanya.

Bagi Renna, menurut apa yang ia dengar dari cerita Dimas. Lelaki itu melakukan operasinya dengan baik meski harus melalui kegugupan panjang. Rasa takut yang menyergap. Ia menyelesaikan tugas dengan baik.

"Benarkah?" Dimas bertanya kembali.

Perempuan itu tersenyum lebar. Meyakinkan apa yang barusan ia ucapkan tidaklah sebuah kebohongan. Tulus dari hatinya. Bagi Renna yang awam akan ilmu kedokteran, Dimas melaksanakan tugasnya dengan baik.

"Benar."

"Kau sedang memujiku?"

"Yaps."

Dimas tersenyum melihat Renna. Perempuan yang kemarin terlihat rapuh, hari ini tersenyum padanya tanpa merasa ada beban yang menumpuk.

"Bagaimana harimu?" tanya Dimas membuang pandangan kembali pada jalanan yang lengang.

"Baik, uangmu sudah kugunakan dengan baik." jawab Renna.

Mengingat harinya yang dilalui cukup baik. Dari bangun pagi hingga tak terlambat. Membayar para penagih ketika mereka datang saat Renna siap berangkat kuliah. Pelajaran hari ini pun Renna terima dengan baik. Yang kurang baik hanyalah sedikit dibanding rasa syukurnya untuk hari yang lancar dan tanpa merasa adanya gangguan.

"Ren, tolong bantuin beresin botol pecah di dalam."

Panggil salah seorang teman kerjanya. Renna berbalik mengikuti temannya. Pamit kepada Dimas saat sampai di depan pintu kaca. "Aku kerja dulu, 5 menitmu sudah habis."

Dimas mengangguk paham. Renna mengikuti ke arah mana temannya itu, menunjukkan sebuah pecahan botol kaca di pojokkan kafe yang masih ada beberapa pengunjung menyaksikan musik jazz dari band.

Renna mulai mengambil beberapa potongan kaca yang ada, memasukkannya ke dalam kantong plastik. Perasaan sakit menyusup dalam benaknya saat mengambil kepingan tersebut.

Kepingan kaca tersebut layaknya kepingan masa lalunya. Masa lampau yang ia lalui bersama Dion setahun belakangan. Kondisi mabuk Dion selalu ia hadapi selama setahun terakhir. Lelaki yang kadang tanpa sungkan membawa botol kaca berisi sisa minuman keras ke tempatnya tinggal.

Sekelebat ingatan muncul dalam benaknya. Ingatan dimana dirinya menghadapi ancaman. Ancaman yang terus mengikutinya, Dion hari itu pulang membawa sebuah botol minuman keras yang isinya telah berkurang separuh.

Melihat Renna yang tertidur dan tak membukakan pintu membuat lelaki itu marah. Memakinya dalam kondisi mabuk. Bahkan ketika Renna menjawab padahal Dion membawa kunci juga.

Lelaki itu marah, memecahkan botol kaca berisi minuman keras dengan dibenturkan pada tembok. Suaranya memekakkan telinga. Teriakan dan makian Dion mulai terdengar samar dalam ingatan. Renna merasa terlempar dalam ingatan itu. Menyaksikan Dion yang hampir melukai wajahnya jika tak ada telepon masuk pada ponsel milik lelaki brengsek itu.

Renna merasa tangannya gemetar. Ia mengepalkan tangan. Suasana riuh kafe tak mampu dia dengar. Suara orang yang sedang mengerubunginya.

"Aaaaarrrrrrgggghhh..." teriak seorang perempuan dengan histeris. Menyaksikan Renna yang tetap diam tak bergeming.

"Rennnaaaa!!!!" panggil seseorang membawanya ke alam sadar. Dimas telah ada di sampingnya dan menepuk pundaknya dengan wajah yang menunjukkan raut khawatir. Belum sadar sepenuhnya ia bertanya pada Dimas.

"Ada apa?"  Lirihnya—sangat pelan seolah hanya boleh ada Dimas yang mendengar.

Sengatan rasa sakit mulai terasa pada telapak tangannya. Renna melihat ke arah kepalan tangan kanannya. Sebuah pecahan kaca  berukuran kecil berada dalam genggaman telah melukainya.

Darah mulai menetes ke lantai kayu yang berwarna cokelat pastel. Dia melihatnya hampir melotot.

Mempertanyakan ada apa dengan dirinya?

Dia samar mengingat perkataan Sasa tadi pagi. Tentang tes tingkat stress yang mungkin mengacu pada kecemasan seseorang menurut bacaan sebuah forum internet.

Renna memandangi tangannya, apakah ia perlu melakukan tes tersebut?

Dia memperhatikan sekitar.Telinganya berdenging. Dia melihat orang-orang berbicara sambil melihat dirinya namun tak ada yang mampu ia tangkap apa yang dibicarakan. Suara dengingan itu sangat nyaring lama kelamaan.

"Renn!" panggil Dimas lagi, membawanya ke alam sadar. Suara dengingan itu tinggal sayup-sayup hingga akhirnya hilang sepenuhnya.

"Aku obatin dulu." Lelaki itu membantunya berdiri dan membawanya menjauh dari orang-orang yang mengerubunginya.

Apa yang terjadi barusan. Renna menelisik, dia hanya mengingat ancaman Dion yang membuatnya marah. Kenapa tiba-tiba tangannya berdarah?

Dimas membawanya ke ruangan bos kafe. Menyuruhnya duduk di sofa yang tersedia. Dimas mengambil sekotak pertolongan pertama. Ia juga mengambil sebuah baskom alumunium kecil dan sebotol air mineral. Membersihkan luka Renna dengan air mengalir yang Dimas tuang dengan wadah di bawahnya baskom.

Lelaki di depannya mulai merawatnya, memastikan tak ada luka yang dalam akibat pecahan kaca tadi atau kaca yang ada di telapaknya.

"Ada apa sebenarnya?" tanya lelaki itu sambil merawat lukanya.

Renna tak memiliki jawaban pasti, dia juga ikut terkejut dengan yang terjadi barusan.

"Renn!"

***

Ana De

Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian terhibur dengan isinya. Ini adalah karya pertama saya di goodnovel. Selamat membaca

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status