Share

Bab 4 Patah Hati Itu Butuh Energi

Bab 4

Gelap!

Kepalanya terasa pening!

Dia membuka mata perlahan, samar-samar melihat lampu berwarna putih terang dengan langit-langit ruangan yang sewarna—cukup menyilaukan. Tercium pula bau obat-obatan.

Tangannya terasa kebas. Tak lama setelahnya—ketika dirinya telah sadar sepenuhnya. Dia menyadari sudah tertidur di suatu tempat dengan tirai yang membingkai kanan kiri dan depannya.

Tangan kirinya telah terpasang infus. Renna sudah bisa menebak dimana dirinya tanpa bertanya dan diberitahu—rumah sakit. Dia memandang sekitar tempatnya tidur. Tak ada orang yang menunggu. Keadaan diluar tirai begitu ramai orang mengobrol berbanding terbalik dengan tempat yang hanya ada dirinya seorang.

Dia mengingat apa yang terjadi hingga berakhir di rumah sakit. Renna hanya ingat bagian ucapan tentang meminta uang 700 ribu pada Dimas dan setelahnya hanya gelap yang diingat.

Renna menegok ke bawah selimut yang menutup tubuhnya hingga di bawah dagu. Hoodie yang dipakainya tadi pagi telah terlepas padahal ada beberapa barang seperti kunci kamar, dompet dan ponsel tersimpan di saku. Kini hanya ada kaos oblong dan celana tidur merah yang ia pakai sedari kemarin malam.

Renna melihat ke nakas sampingnya, ponselnya ternyata ada disana. Dia meraih ponsel tersebut lalu menekan tombol buka kunci untuk melihat jam berapa sekarang.

Pukul 8 malam.

Terdengar suara tirai yang disingkap. Disana Dimas berdiri membawa sebuah paperbag berukuran besar dengan merek fashion yang tercetak.

Renna bisa menebak jika Dimas-lah yang membawanya kemari.

"Kau sudah sadar?" tanya Dimas yang segera mendekat padanya. Menaruh paperbag di atas nakas.

"Seperti yang kau lihat."

"Aku panggilkan dokter dulu."

Dimas keluar dari sana mencari dokter yang merawat. Tirai yang terbuka membuat Renna mampu melihat keadaan di luar tempatnya, suasana riuh dari pasien dan keluarganya. Tak berselang lama Dimas kembali bersama seorang dokter perempuan serta perawat yang segera memeriksa kondisi tubuh Renna.

"Kamu mengalami dehidrasi yang cukup parah hingga demam. Untung segera ditangani dengan baik." ucap dokter tersebut pada Renna. "Tolong jaga kondisimu. Tetap minum air secukupnya. Kamu diijinkan pulang setelah infus ini habis." Lanjutnya.

Dokter perempuan itu berbincang dengan Dimas sesaat sebelum pergi. Renna ingin mencuri dengar namun dirinya tak mampu mendengar apa yang mereka bicarakan—barangkali ada pesan untuk sakitnya kali ini.

"Kamu terakhir makan kapan?" tanya Dimas setelah dokter pergi dari tempat ini.

"Mungkin kemarin pagi atau siang. Aku lupa."

"Makan dan minum itu prinsip bertahan hidup paling dasar." ujar Dimas membantu mengatur posisi tempat tidur Renna dengan posisi fowler 45°. Lalu membuka laci nakas untuk mengambil sekotak kurma.

"Makanlah ini beberapa biji, bisa mengembalikan asupanmu." Dimas memberikan sekotak kurma tersebut serta sebotol air mineral yang telah dibukakan.

Renna menerimanya dengan senang hati—setelah dirasa-rasa memang dirinya sedikit lapar. Dia memakannya dengan pelan satu per satu sambil menikmatinya. Tanpa peduli pandangan Dimas padanya yang terlihat seperti tatapan miris.

"Aku merobek hoodie-mu tadi." Dimas menunjukkan paperbag yang ia bawa tadi. "Pakailah ini, udara agak dingin malam ini. Semenjak tadi hujan belum reda."

"Kau merobeknya?" Renna meyakinkan apa yang didengarnya.

"Tidak, lebih tepat dikatakan jika aku mengguntingnya agar kau tak terlalu gerah dan sesak. Ternyata kau juga demam." Dimas menginfokan keadaan Renna sebelum dibawa ke Rumah Sakit.

Sesaat setelah Renna pingsan Dimas memang langsung memberikan beberapa pertolongan pertama. Tapi perempuan itu tak kunjung sadarkan diri dan mulai meracau. Tubuh Renna demam dan berkeringat maka dari itu Dimas menggunting hoodie-nya untuk mengurangi kegerahan dan sesak yang dirasakan perempuan ini lalu memanggil ambulans dan membawanya untuk mendapat perawatan.

"Kau seperti dokter saja." ucap Renna mengambil hoodie yang ada dalam paperbag tersebut. "Terima kasih."

Dia melihat merek dari hoodie barunya yang membuat tercengang. Merek dengan harga cukup mahal bagi kantong Renna sekitar lima ratus ribu hingga satu juta. Padahal jika dibanding hoodie miliknya tadi maka yang ini jauh terlalu mahal.

"Memang aku dokter. Apa kau punya keluarga disini?" tanyanya

"Tidak aku sendirian." Renna menggeleng pelan. Tak ada keluarga ataupun walinya di kota ini. Dia hanya mahasiswa perantauan.

Renna menundukkan pandangannya. Memang seberapa besar kesepiannya? Hingga di kota orang lain dirinya tetap sendirian di tengah keramaian. Orang-orang yang ia pikir akan tetap bersamanya adalah orang yang membawanya dalam ketakutan bukan rasa nyaman.

Rasa takut akan tindakannya yang mungkin salah. Rasa takut akan ditinggalkan. Dan rasa takut akan dibicarakan saat tak ada dirinya. Perasaan takut karena dirinya memang tak percaya diri.

"Berapa lama lagi infus ini habis?" celetuk Renna membuka kebungkaman yang sesaat tercipta akibat jawabannya.

"Dengan kecepatan ini mungkin 25 menit lagi akan habis. Kamu akan pulang, aku antarkan saja."

"Aku naik bus trans kota saja." tolaknya halus. Dia tak ingin merepotkan Dimas lebih banyak lagi.

Dimas melihatnya. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya, "Baiklah terserah kamu saja, aku akan menemanimu."

Renna mengangguk berpura telah paham, tak ingin melanjutkan percakapan. Mungkin lelaki ini juga searah dengannya. Dia kembali menikmati kurma dengan tenang. Tak ada yang ingin ia ketahui lebih dari lelaki asing yang baru dikenalnya—setidaknya memang seperti itu Dimas bagi Renna.

Renna dan Dimas saling diam. Membiarkan putaran waktu dengan kosong. Renna asik makan kurma sedang Dimas melihat ponsel semenjak tadi.

"Aku ke administrasi ngurus dulu. Sebentar lagi perawat ke sini buat lepas infus." Dimas pamit setelah melihat jamnya.

Seperti ucapan Dimas beberapa saat setelahnya seorang perawat masuk untuk meminta izin melepas infus Renna. Prosedur tesebut cukup singkat dan tak menyebabkan rasa sakit.

"Sudah selesai? Ayo pulang sudah malam." ajak Dimas yang telah kembali.

"Ayo." Renna yang segera memakai hoodie barunya lalu memasukkan hoodie lama yang tergeletak di lantai pada paper bag.

"Kita makan dulu ya, ada warung lamongan yang enak di depan."

"Baiklah."

Renna bangkit dari tempatnya tidur dengan bantuan Dimas.

***

"Ini makan." Dimas memberikan sepiring nasi dengan lauknya—ikan bakar.

"Terima kasih."

Renna menikmati makanan yang ada. Makanan berat pertamanya setelah kemarin siang. Dia merasa begitu lapar hingga menyuap dengan tergesa. Dimas yang memperhatikannya makan mulai memberi tisu dan menambah lalapan pada piring Rennata.

"Apa kau menyukaiku?" tanya Renna setelah selesai makan. Dia bertanya sambil minum teh panas dengan nada santainya. Bagi Renna perhatian Dimas sudah melebihi sikap wajar.

"Kamu? Kenapa berpikir seperti itu?" Dimas terkekeh mendengar pertanyaan yang baginya konyol.

"Kau memperhatikanku dengan baik bahkan menolongku berkali-kali."

Dimas meminum tehnya sambil menahan tawa. Pernyataan Renna terasa sangat konyol baginya. Bahkan wajah Renna tampak serius ketika bertanya.

"Aku membantumu karena kau perlu dibantu. Kemarin kau kehujanan maka dari itu memberimu payungku lagipula aku naik bus. Tadi siang kau bertengkar, coba tak ku pisah kamu akan kehabisan nafas. Dan terakhir kamu pingsan di depanku bagaimana bisa aku tak peduli padahal diriku dokter."

Renna mengangguk menahan rasa malunya, berpura paham untuk pernyataan Dimas yang cukup logis.

"Kamu malu?"

"Tidak." Renna menanggapinya dengan tolakan dan mengalihkan perhatian dengan mencuci tangannya pada air kobokan yang tersedia di mangkuk.

Dimas mengangguk dan memilih melanjutkan makanannya, suapan yang sangat tenang—jauh dari kesan tergesa. Sedang disisi lain, Renna menyebar pandangan yang kini terpaku pada suasana di luar warung lamongan. Hujan baru saja mengguyur kota beberapa menit lalu—sebelum Renna keluar dari rumah sakit. Suara klakson motor saling terdengar kencang—mungkin jalanan lengang dan suasana malam membuat kecepatan suara terdengar cukup keras.

Suasana masih penuh rintikan sisa hujan. Tak jarang air menetes dari genteng membasahi halaman yang berlapis semen tersebut. Renna mulai mengenang kejadian beberapa bulan lalu. Saat Dion kembali setelah seminggu tak pulang.

Dalam keadaan mabuk, Dion memakinya yang sedang makan. Tak membiarkan perempuan itu makan dengan tenang. Bahkan menumpahkan nasi goreng yang baru disantap beberapa suap.

Kenangan yang membuatnya semakin perih adalah ucapan tentang mengapa dia makan dan minum sedang Dion sibuk bekerja paruh waktu. Renna yang merasa tak bersalah menanggapinya dengan perkataan bahwa dirinya juga baru pulang bekerja dan mampir membeli makanan karena lapar.

Namun Dion tetaplah orang kasar. Ia langsung memakinya dengan perkataan kasar dengan mengatakan bahwa Renna tetap saja salah. Semenjak saat itu dia tak berani makan sebelum lelakinya pulang. Bahkan terkadang harus menahan lapar menyisihkan makanan yang dibeli meski pada akhirnya terbuang sebab Dion tak pulang.

Renna menjadi terbiasa tak makan pagi dan malam karena menunggu Dion—hanya sesekali ketika Dion ada di tempat mereka tinggal maka Renna dengan hati senang menyantap makanan bersama kekasihnya. Tapi kini berbeda, ia bisa makan enak tanpa takut adanya gangguan makian dari mantan kekasihnya.

Renna mengalihkan perhatian pada piring dari anyaman bambu beralas kertas minyak itu dengan seksama. Ia baru saja melewatkan makan malam di luar dengan tenang. Seperti ketika masih mengalami fase percintaan awal bersama kekasihnya. Tak jarang Dion mengajaknya jalan pada malam hari untuk sekedar makan di pinggir jalan.

Momen itu kian terebut kala, mereka mulai berjuang melunasi hutang. Tak ada uang sisa untuk melakukan kencan seperti pasangan lain. Maka dari itu mereka mulai berkencan dalam kamar tempatnya tinggal. Mengikis sedikit demi sedikit kewarasan Renna yang kian lama semakin menjadi cemas.

Renna menghela nafasnya, merasakan sesak kembali merundung jiwanya yang beberapa saat lalu tenang. Memang seharusnya dia tak mengingat mantan kekasihnya itu.

"Kau melamun?" tanya Dimas membuyarkan segala lamunan Renna. Perempuan itu diam menatap lelaki di depannya.

Tampan, baik dan berpendidikan—penilaian Renna pada Dimas. Pikirannya mulai berpendar tentang tebakannya tadi. Mana mungkin lelaki seperti Dimas akan menyukai perempuan yang baru ditemuinya. Apalagi dia menjadi sebab Dimas ikut konflik tak mengenakkan—bertengkar dengan Dion di depan umum.

Mana ada lelaki yang akan menyukai perempuan yang seperti kata Dion bahawa Renna murahan. Tangannya kali ini bergemetar di bawah meja. Energi negatif mulai terasa dalam dirinya. Sedikit sesak yang terasa mulai ditahan dengan menunduk dan menggigit bibirnya.

"Kau benar melamun?" panggil Dion kembali. Renna sepenuhnya sadar dari lamunan. Perempuan itu mennggeleng pelan dan tersenyum kaku—sangat formal.

"Tidak." elaknya.

Dimas memandang ke arah tempat dimana Renna tadi melamun. Melihat beberapa air yang berkumpul dan menggenang di halaman warung.

"Kadang hidup seperti air sungai mengalir banyak rintangan yang dilalui untuk sampai ke muara. Tapi kurasa beberapa waktu dalam fase kehidupan akan seperti air hujan yang jatuh lalu menggenang. Kita berhenti pada titik membosankan. Aku tak tahu masalah seperti apa yang menimpamu hingga sebesar apa dan sedang difase mana kau berada. Tapi aku akan membantumu." ucap Dimas.

Renna melihat ke arah lelaki di hadapannya dengan baik. Tatapan lelaki itu tak kosong, tatapannya seperti orang yang tulus. Tak ada pemikiran buruk ketika melihat tatapan Dimas padanya.

"Ini uang yang kau bilang akan membantumu. Terimalah."

Renna melihat amplop yang disodorkan Dimas. Mengingat kalimat tentang memberi uang sebelum dirinya pingsan.

Sekarang ia merasa sangat tak tahu diri. Dimas orang asing yang baru dikenalnya akan membantu untuk ucapan kurang sopannya tadi.

"Tidak perlu." tolaknya sopan, mendorong amplop kembali ke sisi Dimas.

Meski dirinya butuh, tapi lelaki di depan ini masih abu-abu bagi Renna. Meski niatnya membantu, Renna takut akan menjadi beban atau dirinya akan diperolok lagi oleh lelaki karena uang.

"Aku suka membantu. Jika kau merasa tak enak. Terimalah sebagai pinjaman untukmu."

"Kau orang asing mengapa begitu baik padaku. Jangan terlalu baik, kamu akan menyesal."

Renna masih berusaha menolaknya. Baginya Dimas lelaki asing yang abu-abu. Ia tak tahu pasti akan niat Dimas meski tatapan lelaki di depannya ini tampak tulus.

Tak ada salahnya menduga dan waspada.

"Anggap kita sudah berteman. Terima saja, ini hanya pinjaman. Kamu bisa mengembalikan ketika mampu."

Renna menimang sesaat, ingin sekali ia menolak lagi. Tapi Dimas masih berusaha membujuknya dengan keyakinan, terutama esok adalah hari untuk memberi uang pada debt collector—seperti janjinya tadi siang.

"Aku ambil sebagai pinjaman. Akan segera ku kembalikan." Renna mengambil amplop tersebut tanpa mengecek nominal yang ada di dalamnya. Memasukkannya pada saku hoodie.

"Begitu kan baik." Dimas tersenyum begitu lebar.

Dia membantu karena disisa kesadarannya sebelum pingsan, Renna menyampaikan hal tersebut. Dalam benak Dimas meyakini memang hal itu yang sedang dibutuhkan perempuan ini

Tubuh perempuan di depannya bisa dikatakan kurus dengan wajah lesu yang nampak sendu. Dimas merasa iba pada Renna.

"Kau tahu apa yang dibutuhkan orang patah hati?" celetuk Dimas tiba-tiba. Renna mengalihkan pandangan kepada Dimas.

"Apa?"

"Patah hati itu butuh energi, maka makan dan minumlah yang baik. Jika kamu ingin membalas dendam maka jadilah orang yang kuat dan sehat. Jangan tunjukkan lemahmu pada lelaki, terkadang yang tak mencintaimu akan menganggap sakitmu sebagai hal remeh."

Renna mengerjapkan matanya. Hatinya terasa perih mendengar ucapan Dimas. Lelaki yang tak mencintainya akan menganggap sakitnya adalah hal remeh. Jadi apakah selama ini Renna tak pernah dicintai oleh Dion.

Benarkah Dion tak mencintainya? Benak Renna mulai bekerja keras kembali. Membandingkan pernyataan Dimas dengan perlakuan Dion selama ini. Kasar dan tak perhatian meskipun sesekali bersikap amat manis hingga lupa akan ada pahit yang menanti.

Benarkah seperti itu?

Perasaan cinta. Apakah Dion memilikinya semenjak mulai menyiksanya pelan-pelan?

Apakah ia adalah boneka mainan mantan kekasihnya?

Renna menghela nafasnya panjang. Pemikirannya dan dugaan buruk terus ada. Tangannya mulai bergemetar dan berkeringat—cemasnya mulai hinggap. Merasa tak berharga karena kenangan akan tindakan Dion selama ini mulai menyusup dalam benaknya.

Ucapan Dimas memang ada benarnya, jika seseorang mencintaimu dia akan berusaha tak menyakitimu dengan tindakan buruk. Dia akan menegurmu ketika kau salah, bukan memaki hingga merusak mentalmu.

Apakah salahnya? Adalah hal yang sering dia pikirkan ketika Dion memaki dirinya.

Bagaimana menyelesaikannya bahkan ketika mereka kembali tidur bersama tanpa ucapan apapun akan baik sendiri pada keesokan harinya. Tak pernah ada solusi pasti atas pertengkaran mereka. Tak ada obrolan saling meminta maaf. Hanya Renna yang mulai lebih dulu untuk meminta maaf karena disalahkan atas tindakan remeh.

Apakah selama ini tindakannya salah?

"Ayo pulang, sudah jam segini. Bus trans kota akan segera tak beroperasi." ajaknya.

Renna tersentak kaget, ajakan Dimas membuyarkan lamunannya. Melihat Dimas yang sedang membayar. Renna segera mengikuti langkah lelaki itu.

Pulang dan beristirahat, merupakan hal yang Renna nanti. Dia ingin merebahkan diri dari satu hari panjang yang ia lewati sekali lagi.

***

Renna duduk di atas dipan kasurnya sambil memandangi amplop berisi uang beserta sebungkus lauk yang dibelikan Dimas padanya.

Sepulang mereka dari warung lamongan. Dimas tetap mengikutinya naik bus dengan duduk di sampingnya hingga di luar gedung tempatnya tinggal. Lelaki itu beralasan untuk berjaga-jaga jika Renna pingsan.

Lelaki keras kepala yang sudah Renna beritahu berulang kali jika dirinya mampu pulang sendiri. Tapi tetap membujuk Renna dengan beragam alasan—menyebalkan memang tipe orang seperti ini.

Renna kembali mengambil nafasnya panjang mulai menghitung kejadian hari ini yang menjadi salah satu hari terpanjang yang dia lalui dengan sangat tak terduga.

Dari datangnya debt collector menagih hutang yang tak dia ketahui lalu bertengkar dengan Dion dan terakhir pingsan di depan orang asing yang baik padanya. Memang tak ada salahnya bersikap baik tetapi lelaki tadi telah melewati batas baik untuk orang asing—menurut Renna.

Bahkan berani meminjamkan uang pada perempuan semacam dirinya yang banyak menanggung hutang. Bagi Renna itu sudah tak wajar, sikap baik yang berlebihan menurutnya.

Dan terakhir hoodie yang diberikan untuk mengganti hoodie miliknya yang digunting juga tak main harganya. Renna sudah mencari harganya melalui internet dan cukup tercengang ketika tahu harga pastinya.

Apakah lelaki ini memang suka menghamburkan uang untuk hal semacam ini? Maksudnya untuk orang baru yang ia temui.

Apakah Dimas adalah orang yang suka menggoda perempuan?

Renna menggeleng pelan, pikirannya sudah penuh dugaan buruk pada orang asing yang telah tulus membantunya.

Suara denting notifikasi tanda pesan masuk terdengar. Renna segera membuka pesan yang masuk. Sebuah pesan dari nomor lelaki asing yang belum sempat dia simpan.

'Selamat malam, jangan lupa makan dan beristirahat. Ingatlah bahwa patah hati itu butuh energi.'

Pesan itu ia baca seksama dengan menyunggingkan senyum singkat. Bagi Renna ucapan Dimas memang ada benarnya. Dia butuh energi untuk balas dendam pada Dion.

Renna mengetikkan balasan pesannya.

'Terima kasih'

Setelah membalas pesan tersebut, dia menyimpan nomor Dimas. Untuk hari yang panjang ini, Renna berterima kasih dengan adanya Dimas. Dia merasa sedikit terbantu dengan kehadirannya.

Tak lama berselang pesan lain masuk. Pesan dari kakak lelakinya di kampung.

'Dek, uangnya sudah ditransfer. Kata ibu maaf karena kali ini agak kurang sebab kami disini gagal panen.'

Hati Renna miris. Dia mulai meraba seberapa besar kesalahan yang dia perbuat hingga merasa sangat bersalah pada ibunya sekarang.

Ya, ternyata sangat. Uang pemberian orang tuanya lebih sering digunakan untuk lelaki tak tahu diri itu dibanding mengejar pendidikan seperti yang orang tuanya harapkan.

"Hah!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status