Park Hye Jin seorang wartawan yang tanpa sengaja bertemu dengan para gadis muda yang bertarung dengan dunia hitam. Seolah-olah memperjuangkan mimpi, tetapi berakhir menjadi boneka para pejabat untuk kesenangan. Ketika Hye Jin harus mencari adiknya yang hilang, serta memperjuangkan cita-citanya, ia harus berbagi pikiran dengan gadis-gadis muda tersebut. Dunianya campur aduk, menyatu dengan kisah kehidupan orang lain. Ini adalah kisah seorang gadis dengan dunia pers yang (ternyata) kejam. Terinspirasi dari kisah-kisah yang disembunyikan oleh media, hingga kisah anak-anak broken home yang bingung mencari jalan untuk meraih mimpi.
View MoreSeorang gadis bertubuh tinggi, menatap dirinya di depan kaca besar. Helaan napas yang berat terdengar menyedihkan setiap kali bertemu dengan pantulan wajahnya di kaca. Tangannya bertumpu pada wastafel setelah membasuh wajah berkali-kali untuk menjernihkan pikirannya yang kalut. Gadis itu menunduk, dan membasuh lagi, sudah tidak terhitung berapa kali dia melakukan hal yang sama.
Park Hye Jin, perempuan dengan warna kulit medium—pertengahan antara cokelat, warna kulit terang dan zaitun—itu berdiri di toilet sejak 15 menit yang lalu. Kedua matanya tak berpaling dari pantulan dirinya sendiri di depan kaca, di waktu yang sama otaknya pun masih bekerja keras. Berkali-kali ponselnya berdering keras, tetapi ia tak menghiraukannya.
Aroma pengharum lantai terasa menyejukkan, toilet yang bersih dan nyaman. Namun, bukan hal tersebut yang membuat perempuan berdarah Korea Selatan-Indonesia itu berlama-lama di sana. Ia sedang menghindari seseorang yang sedari tadi menunggu dan menyerangnya dengan berpuluh-puluh panggilan.
“Kau sedang apa sih?” Pesan masuk membuat ponselnya menyala terang. Notifikasi lain pun datang bersamaan, dari orang yang berbeda. “Kau harus kembali dengan berita yang aku inginkan!” Pesan lain yang datang dari sosok yang lebih menyebalkan dari seseorang yang tengah menunggunya di depan toilet.
Tatapan kosong kedua matanya yang terbingkai bulu mata lentik, mengarah pada sebuah tanda pengenal yang beberapa menit lalu dilemparkan dengan santai ke pojok wastafel. Tulisan PERS dengan tinta merah yang jelas, dan nama Hye Jin Park tertulis di bawahnya. Dia menghela napas kasar, sambil menyambar benda itu lagi. Hye Jin ingin kabur dan menghindari tugas-tugas menguntit yang menyebalkan, tetapi rasa cinta pada pekerjaan tersebut membuatnya kembali lagi.
Perempuan itu memasukkan tanda pengenalnya ke dalam tas berikut dengan ponsel yang tidak mau berhenti berdering sejak tadi. Setelah mengikat rambut panjang berwarna hitam kecokelatan miliknya, dia melangkah dengan pasti meninggalkan aroma parfum yang segar di dalam ruangan itu.
Hye Jin terhenti sejenak, menatap kedua sepatu kets putih yang menutupi kedua kakinya. “Apa aku harus percaya padanya?” ragunya sambil memegangi knop pintu.
Hye Jin menyampirkan ranselnya di bahu sebelah kanan, sambil melangkah keluar dari toilet tersebut. Dalam hitungan detik, seseorang langsung menyerangnya dari arah kanan dengan tatapan kesal, wajahnya mengkerut, dan bibir merah mudanya mengerucut.
“Seonbae[1]! Kenapa lama sekali sih? Aku menunggumu hampir satu jam!” cecar seorang pria yang kini mengekor di belakang Hye Jin.
Hye Jin pun tak menggubris keluhan pria itu, ia malah celingak-celinguk mencari tempat duduk kosong. “Jangan banyak bicara!” ucapnya ketus sambil menoleh sejenak, “Kalau dia tidak muncul, maka aku tidak akan percaya lagi denganmu,” sambungnya sambil menjatuhkan tubuhnya di sebuah kursi kosong, tepat mengarah pada pintu keluar penumpang.
Suara seorang wanita di bagian informasi menggema ke seluruh penjuru, mengumandangkan nomor penerbangan untuk memberi tahu pada setiap penumpang yang menunggu. Hye Jin terdiam mendengarkan suara tersebut, layaknya menikmati sebuah lagu. Suara para penumpang tidak mau kalah, mereka saling berbincang-bincang, bertukar pikiran tentang tujuan kepergiannya.
Bandara Incheon-Korea Selatan memang tidak pernah sepi dari para pengunjung. Sejak tadi tidak henti orang-orang bermunculan dan berlalu lalang sambil menarik koper mereka. Ada pula orang-orang asing yang muncul dari pintu keluar, bersama Tour Guide yang tak berhenti menjelaskan dengan suara yang lantang. Wajah asing selalu menghiasi penjuru Korea Selatan, terlebih saat ini sedang musim dingin. Waktu yang tepat untuk berlibur, walau tubuh harus menggigil karena suhu yang mencapai sebelas derajat celcius.
Hye Jin akui bahwa Korea Selatan merupakan tempat wisata yang cukup baik untuk menghabiskan liburan panjang dan menikmati hari demi hari yang indah. Sekadar minum kopi di pinggir Sungai Han atau mengelilingi Myeongdong untuk menghabiskan uang, sudah menjadi ide terbaik saat menghabiskan waktu di Negeri Ginseng itu.
Hye Jin mendongakkan kepalanya, menatap pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya dengan mata yang tidak berhenti menjelajahi setiap penjuru bandara. Ia menggelengkan kepala saat melihat kegigihan pria itu. Hye Jin melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar santai di kursi. “Ya[2]! Dia tidak akan muncul!” serunya.
“Tidak, Seonbae! Aku yakin dia pasti muncul,” jawabnya berani.
“Tidak akan, Dong Joon-a!” seru Hye Jin lagi. Gadis itu bangkit dan meninggalkan pria itu di sana.
Pria dengan nama lengkap Park Dong Joon itu merungut sedih, ia berusaha mensejajarkan langkahnya dengan sang senior, walau langkah gadis di depannya itu terlalu cepat. “Seonbae! Kenapa kau tidak percaya padaku?” tanyanya kesal, kedua kakinya mulai kesulitan mengejar gadis itu.
Hye Jin hanya melirik sejenak pada pria yang berjalan setengah berlari itu lewat ekor matanya yang tajam. Ia tak henti menghela napas mendengar keluhan-keluhan junior yang baru dua bulan bekerja dengannya itu. Ia hanya berjalan lebih cepat, menuju lantai B1 untuk ke stasiun kereta.
Seorang pria berdiri tepat setelah Hye Jin melangkahkan kakinya, dengan gerakan seribu bayangan tubuhnya sudah berada di kursi kosong tersebut. Sedangkan Dong Joon berdiri tidak jauh dari tempat Hye Jin, bertumpu pada handle grip untuk menjaga keseimbangan.
Tidak ada yang bisa dilihat di sekelilingnya, semua orang sibuk dengan ponsel mereka. Bahkan seorang wanita dengan perkiraan usia 40-an di sampingnya pun sibuk dengan ponsel canggih keluaran terbaru. Masyarakat telah hanyut dalam kenikmatan teknologi yang semakin canggih.
Saat ini, bukan lagi musimnya berlangganan koran harian yang dikirim ke rumah-rumah. Namun, masyarakat lebih memilih untuk membaca berita lewat ponsel mereka. Keberadaan Hye Jin termasuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan berita-berita di dunia.
Hye Jin mengangkat kepalanya setelah melihat dua orang di sisi kanan dan kirinya. Tepat saat itu sorot mata Dong Joon menembak ke arahnya, membuat gadis itu memusatka kedua matanya ke ponsel canggih merek Samsung yang baru dibelinya tiga bulan lalu. “Menakutkan!” gumamnya bergidik. Dia kini sibuk menjelejahi Siber perusahaannya.
HanNews adalah salah satu perusahaan Pers terbesar di Seoul-Korea Selatan. Perusahaan itu sudah berdiri sejak tahun 2010 dengan perkembangan yang begitu pesat setiap tahunnya. Setiap anggota Pers di sana memiliki latar belakang Pendidikan yang sempurna, termasuk dengan Hye Jin.
Seleksi untuk bergabung dengan perusahaan tersebut cukup sulit, otak yang cerdas tentu menjadi andalan utama. Jadi tak ada istilah “nepotisme” di sana, walau Hye Jin sempat meragukan hal tersebut setelah Dong Joon bergabung dan menjadi rekan kerjanya.
Dengan latar belakang seorang traveler, tanpa mengetahui dasar-dasar seputar PERS, pria berkulit cokelat—eksotis—itu telah mematahkan kepercayaan Hye Jin selama ini, bahwa perusahaannya juga memberlakukan sistem “Nepotisme”.
[1] Senior – Bahasa Korea, biasa dipakai sebagai panggilan formal.
[2] Hei- dalam bahasa Korea
Duka yang mendalam terasa menyelimuti hati setiap orang yang mengantarnya, air mata jadi sesuatu yang sulit terbendung. Nuansa hitam menjadi latar utama, berbagai macam doa di dalam hati dipanjatkan untuknya menuju peristirahatan terakhir. Isak tangis beradu dari sisi kanan dan kiri, sangat kuat, menambah kesan sendu yang mendalam.Hye Jin dan Dong Joon, berdiri berdampingan sembari menundukkan kepala seraya memanjatkan doa bersama. Gadis itu berusaha menahan tangisnya saat abu seorang gadis muda dikuburkan di dalam tanah. Setelah dikremasi, selesai sudah kehidupannya, Song Mi Ah telah meninggalkan dunia yang fana. Gadis yang baru berusia 19 tahun, harus tewas dengan cara yang mengenaskan. Siapa yang tidak sakit hatinya melihat nasib gadis malang itu?Dari balik kaca mata hitamnya, sepasang netra milik Hye Jin mulai berkaca-kaca. Sekelebat bayang sang adik melintas di benaknya yang berantakan. Secepat mungkin dia menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu, sebelum memancing kesedihannya s
“Wow! Wow!” teriak Dong Joon sambil menggebrak meja dengan keras. Ia berdiri dengan tingkah heboh, sambil memegangi kepalanya. Seketika pria itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di kafe tersebut.“Kau kenapa?” tanya Hye Jin heran, kepalanya mendongak untuk melihat pria itu.“Aku baru ingat! Gadis yang tadi masuk ke ruangan korban. Dia … dia gadis yang bersama Jae Ha, Kan? Iya, Kan? Ingatanku tidak salah, Kan?” ucapnya heboh. Beberapa orang yang duduk di dekat mereka mulai membicarakan tingkah pria itu.Hye Jin menghela napas panjang, menyangga dagunya dengan sebelah tangan sambil menatap jalanan di depan kafe yang hingar bingar, penuh dengan kendaraan. “Benar!” serunya singkat. “Dia, Song Ri Jin.”“Kau ingat, Kan? Waktu kita membuntuti Jae Ha, dan ternyata pria itu bertemu dengan seseorang di sudut gang?” Hye Jin menatap serius pada Dong Joon.Pria itu hanya mengangguk cepat, tak sabar mendengar cerita Hye Jin lebih lanjut.“Jae Ha menyuruh pria-pria itu untuk menculik d
Hye Jin terpaku menatap kopi susu yang tersuguh di cangkir kecil terbuat dari keramik mahal. Matanya tak bergeming melihat minuman berkafein itu, belum ada niatan untuk menikmatinya walau aroma kopi itu terus menggodanya.Sebelum duduk di sofa mahal berbahan polyester berwarna cokelat tua itu, dirinya harus berhadapan dengan Ha Ra yang menyerangnya dengan tatapan heran sekaligus iri. Bagaimana tidak? Saat ini Hye Jin berada di sebuah ruangan besar yang digunakan untuk pertemuan para investor perusahaan tersebut. Ha Ra tidak pernah berada di sana, tentu saja jiwanya memanas saat tahu Hye Jin dipanggil ke sana.Gadis itu termenung bersama orang-orang yang jarang ia lihat sebelumnya, entah siapa yang sedang mereka tunggu di sana. Ia hanya terdiam tanpa alasan yang jelas. Berkali-kali diliriknya arloji hitam yang melingkar di pergelangan sebelah kanan, 20 menit terbuang percuma dan gadis itu menyesalinya.Saat dirasa waktu berharganya terbuang percuma, gadis itu memutuskan untuk bangkit da
Tubuh yang lelah memaksa untuk segera diistirahatkan, kedua mata harus dipejamkan, langkah semakin tidak karuan, rasa kantuk melumpuhkan segalanya. Dari kejauhan cahaya terang yang menerangi teras rumah terlihat jelas, tetapi semua lampu di dalam rumah padam. Hye Jin membuka daun pintu perlahan, tanpa menimbulkan suara.Gadis itu melirik ke arah sofa saat kedua kakinya sampai di ruang tamu yang gelap gulita. Lampu-lampu yang padam itu sengaja dibiarkan mati, hanya sorot cahaya bulan dari jendela yang menerangi beberapa titik di dalam rumah tersebut.Seseorang tengah tertidur di atas sofa, begitu lelap sampai dengkurannya menggelitik telinga. Kedua tangannya menyangga kepala, sebagai alas tidurnya di sofa. Kerutan-kerutan tampak jelas di wajahnya, begitupun rasa lelah.Hye Jin melangkah perlahan mendekati sofa, ia duduk di lantai sambil menatap sosok yang terlelap di sana. Dengkuran yang keras membuatnya terenyuh, wajah pucat dan kerutan yang jelas membuatnya tidak bergeming dari sana.
Cokelat panas tersuguh di atas meja bercat putih, kepulan panas terlihat jelas di udara. Cokelat cair adalah minuman yang tepat untuk dinikmati saat rintikan hujan mengguyur kota. Namun, pemiliknya belum ingin menikmati. Ia membiarkan cokelat hangat itu tidak tersentuh.Hye Jin menatap rintikan hujan lewat jendela yang terbuka lebar, udara dingin menyapa kulit wajahnya dengan lembut. Air hujan yang segar membasahi aspal. Suara hujan menjadi melodi penenang untuk pikiran gadis itu, seketika ia terhipnotis ke dalam suasananya. Tubuhnya terbalut kaus tipis berlengan pendek, membiarkan hawa dingin dari luar bersatu dengan dingin AC menembus kulit halusnya hingga ke tulang. Hawa dingin tidak terasa berlebihan, seakan kulitnya sudah kebal.Hujan selalu menjadi hal yang istimewa, orang-orang menangis saat hujan tidak kunjung turun. Kebanyakan orang sering menanti kehadiran hujan. Pada zaman kerajaan Georyeo, orang-orang di sana melakukan upacara untuk meminta hujan. Mereka berbaris di jalanan
Park Hye Jin berjalan di lobi dengan mulut yang tak berhenti menguap, kedua matanya berkaca-kaca setiap kali selesai menguap lebar seperti kuda nil. Sepasang netra yang masih dipenuhi kotoran di sudut-sudutnya, wajah kusam berkerut, serta kantung mata yang membesar hasil dari begadang tadi malam.Ia mengikat rambut panjangnya yang kusut agar tidak menghalangi pemandangan, tetapi hal itu malah membuat sepasang telinganya mendengar ujaran-ujaran mengusik di pagi hari. Tatapan-tatapan yang dapat didengar, bisikan-bisikan yang mengarah padanya, seketika membuat gadis itu tidak nyaman.Suara bisikan saling bersahutan, bertukar kata dan hujatan. Mereka membicarakan, seakan sudah paling benar, mereka menatap seakan pendapatnya sudah terbukti oleh fakta-fakta yang ada. Dalam pikiran mereka, hanyalah sebuah informasi dari satu sisi yang tak mereka ketahui kebenarannya.Hye Jin menatap kosong ke arah angka berwarna merah yang terteras di atas lift. Ia menyunggingkan sebelah bibirnya, mentertawa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments