“Hey, bengong! Ada yang nyusul, tuh!” Imelda mengulangkan tangannya ke depan wajahku. Aku gelagapan. Seraya menoleh ke arah yang ditunjuk Imelda dan sukses membuat hidupku terasa makin sesak. “Astaghfirulloh … dosa apa aku, Mel?”Aku mengusap wajah ketika ternyata A Andi yang hari ini tumben tak terlihat di gerbang sekolah, bisa-bisanya ada di sini. Dandanannya bukan lagi, semakin hari makin aneh saja. Rambutnya kini berubah warna lagi, sedikit ungu dan ada peraknya. Selain anting yang dipakai, kini juga memakai kalung emas. Entah emas asli atau bukan, ukurannya tampak sangat besar dan membuat mencolok karena kontras dengan kulitnya yang hitam. “Energi negatif,” kekeh Imelda seraya mengipasi bakso dalam mangkuk dengan tangannya. “Hai, boleh gabung?” serunya basa-basi sambil tersenyum yang gak ada manis-manisnya. Lalu tanpa bicara lagi, ikutan duduk di bangku panjang dan duduk di sampingku. “Aa mau ngebakso juga?” Imelda yang bertanya duluan. Aku hanya melirik sekilas, malas. “Bo
[Hai, Jingga. Aku yang tempo hari kirim pesan di FB. Kok gak balas lagi, sih? Bisakah kita berteman?] Orang dunia maya yang aku cuekkan, kini punya nomor whatsappku. Sebetulnya siapa dia? Apa kublokir saja? Sebaiknya cari tahu dulu, kalau dia ngelantur, fix blokir. [Siapa kamu? Dari mana dapat nomor aku?] Pesan terkirim, tak berapa lama berubah centang dua warna biru. Lalu tampak orang yang tengah mengetik di sana. [Aku hanya ingin berteman denganmu. Senang sekali kamu mengajakku bertemu. Aku sangat bisa. Kapan kamu ada waktu?] Rupanya dia tak main-main. Mau pun kuajak bertemu. Sebetulnya dia siapa? Aku bergeming, berpikir sejenak karena sebetulnya malas untuk mengurus orang-orang gak jelas seperti ini. Namun, dia terus menerus menggangguku. “Mel! Orang iseng itu punya nomorku. Lihat ini! Gimana, ya?” Aku menyodorkan ponselku pada Imelda. “Cuekin saja!” jawabnya ringan. “Sudah aku cuekkan yang di sosial media, ini ganggu ke WA! Kalau diblokir saja gimana, ya? Aku tantangin bua
Di sebuah restoran sunda di dekat pintu tol karawang barat, kini aku berada. Duduk saling berhadapan dengan perempuan yang pada pertemuan pertama kemarin sudah tak menyenangkan. Setelah beberapa saat lalu dia memperkenalkan dirinya padaku. Aku baru ingat kalau kami pernah bertemu. Dia yang mengataiku pelakor malam itu. “Aku Santika Maharani, bisa dipanggil Rani. Kita pernah ketemu di Jakarta.” Dia mengulang kalimat penjelasan yang aku sendiri gak minta. “Silakan, Mbak!” Seorang pramusaji meletakkan dua gelas jus yang sudah dipesan tadi. Belum ada makanan yang dipesan. Jujur, aku malas memenuhi undangannya andai tak ada keperluan. Kini, dialah pemilik rumah yang baru, rumah yang kutinggali sekarang. “Makasih ….” Rani berucap lembut. Jika kuperhatikan gaya dan cara bicaranya sebelas dua belas dengan mantannya Pak Banyu. Ya, bagaimanapun mereka adalah saudara. Meski aku tak tahu saudara sedekat apa. “Ayo diminum, Jingga. Aku dan Bara sangat suka tempat ini. Kami sering ke sini setiap
“Maaf, Rani … kenapa aku semua ini jadi gara-gara aku? Bahkan, di sini … aku adalah korban, Bara menikahimu dan meninggalkanku. Lalu, setelah semua yang kalian lakukan, kenapa ini menjadi salahku?” Aku menjeda. Menarik napas sejenak. Kuatur ritme jantung yang kini berpacu lebih cepat. Perasaanku terasa diinjak-injak. “Kamu jangan marah padaku, Jingga. Aku hanya berbicara fakta. Menjauhlah dari hati Bara, Jingga. Demi pertemanan kita.” Cih! Jadi ini rupanya maksud di balik kalimat bisakah kita berteman? Dia hanya ingin memanfaatkan status itu untuk melancarkan keinginannya. Dia ingin mencampuri hidupku. “Menikahi Bara adalah pilihanmu. Adapun aku mau menikah kapan dan dengan siapa, itu urusanku. Tolong jangan rusak hariku dengan urusan rumah tanggamu, Rani. Aku tak mau mencampuri urusanmu. Jadi, tolong, jangan campuri urusanku.” Dia mengangkat wajahnya. Air mata yang mengalir pada pipi, disekanya. “Aku sudah memberimu kebaikan, Jingga. Kamu masih bisa menempati rumah yang sudah ku
Sederet kejadian menyebalkan berlarian. Bara, Rani, Tante Vamela, semuanya menyebalkan. Aku menghela napas berat, lalu menatap Ibu dengan nanar, “Baiklah, Bu … katakan pada Bu Fera, aku … mau hanya saja dengan syarat.” Senyum terbit pada bibir Ibu sekilas, lalu dia menatapku lekat, “Apa syaratnya? Ibu nanti bicara sama Bu Fera.” “Aku belum mau nikah sampai hatiku yakin. Kalau nanti kurasa gak cocok sama Pak Banyu, aku gak mau memaksakan.” “InsyaAllah nanti juga hati kamu yakin, nanti Ibu sampaikan pada Bu Fera, apa kamu mau bilang sendiri, hmmm?” Wajahku rasanya memanas. Bilang sendiri? Duh, malu rasanya. Lalu tanpa menunggu lama, aku menjawab cepat, “Ibu saja.” Senyum pada bibir perempuan paruh baya itu mengembang.Ah, semoga saja ini bukan sebuah kesalahan. Aku lelah dan capek dengan orang-orang di sekitar Bara. Meski sebetulnya aku belum siap. Aku hanya ingin terlepas dari bayang-bayang Bara dan orang-orang di sekitarnya.***Mobil yang membawa perabotan sudah berangkat duluan
“Bismillah … move on, Jingga!” Ayunan langkahku akhirnya membawaku ke hadapan pria itu. Pak Banyu tampak tengah duduk sambil menatap layar gawai. Jika dulu, Bara menungguku sambil merokok, maka berbeda dengan dia. Pak Banyu, sepertinya bukan seorang perokok. Bahkan tak pernah aku menemukan sebatang rokokpun ketika aku mengajar less di rumahnya.“Sudah siap?” Dia mendongak. Aku tersenyum kikuk sambil mengangguk. Pahatan wajahnya yang dewasa dan tampan, jujur aku akui memiliki pesonanya sendiri.Pak Banyu berdiri. Dia berjalan mendekat ke arah pintu. Aku mengernyitkan dahi. Mau apa dia? Namun akhirnya paham ketika dia memanggil Ibu dan bicara padanya. “Bu, saya mohon izin ajak Jingga jalan dulu.” Aku menatap punggung lebarnya yang membelakangiku. Dulu Bara yang selalu begitu. Ah, Tuhan tolong … hapuskan dia dari ingatanku. “Iya, Pak Banyu. Hati-hati di jalan!” Ibu tersenyum dan mengangguk. Dia tampak segan dan hormat juga pada Pak Banyu yang usianya terpaut cukup jauh dariku. Aku t
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih tertaut dengan seraut wajah dalam bingkai foto itu. Nama dan wajahnya sama. Apakah berarti itu adalah orang yang sama? “Hay, Lisa … kenalin, aku Miss Jingga. Sudah siap belajarnya?” tanyaku seraya tersenyum dan menatap wajah gadis kecil yang baru saja keluar dari dalam. “Hay, Miss! My Name Is Lisa.” “WoW! Lisa sudah pintar bahasa Inggrisnya? Kereeen!” Aku bertepuk tangan dan memujinya. Begitulah sifatnya anak-anak, jika dipuji pasti senang. Kuharap dia akan senang dan belajarnya nanti akan menyenangkan. “Iya, Miss. Diajarin Papa.” Senyum pada bibirnya merekah. “Wah hebat Papanya Lisa. What is your father’s name?” Aku mencoba mengetes bahasa inggrisnya. “My father’s name is Putra.” *** Tin! Tin! Tin! Suara klakson kencang terdengar bersama dengan satu mobil yang melaju agak kencang, aku tak terlalu memperhatikan mobil jenis apa yang hampir menyenggolku barusan. Hanya saja sekilas kulihat, mobilnya berwarna merah. Bunyi klakson yang
POV BaraKuinjak gas dengan kecepatan tinggi. Tekanan dari Mama atas pengaduan Rani---istriku, membuatku sakit kepala. Perempuan pilihan Mama tersebut benar-benar cemburuan dan dominan. Bayangan kejadian demi kejadian yang akhir-akhir ini mendominasi hidupku terbayang silih bergantian, bersatu menjadi satu kata, mumet. “Bara! Apa benar kamu masih sering pergi ke rumah perempuan itu diam-diam? Apa kamu mau sakit jantung Mama ini kambuh?" tegas kalimat yang Mama keluarkan. Aku yang baru saja pulang kerja, mendongak menatap Mama. Dari mana dia tahu? Rasanya aku hanya mampir sebentar saja setiap pulang kerja. Itu pun hanya beberapa kali dalam sepekan.Lagian di sana pun, aku hanya duduk diam menunggu. Jujur, gak ngapa-ngapain, cuma buat lihat sekilas wajahnya dari kejauhan. Apa begitupun gak boleh?“Aku baru pulang kerja, Ma.” Berusaha abaikan atas pertanyaannya dan mengalihkan jawaban. “Itu bukan jawaban dari pertanyaan Mama, Bara. Apa kamu masih sering pergi menemuinya?! Apa kamu ing