“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.Ya Tuhaaan … jujur, aku merasa kesal. Kenapa harus berbohong sejak awal? Apa Bu Fera pikir aku ini apa?Eh bentar? Berbohong? Rasanya memang tak ada kebohongan yang Bu Fera sampaikan. Dia hanya bilang Una yang mengundangku. Hanya akunya saja yang terlalu, ah, entah. Masa iya aku percaya kalau ada perayaan gigi tanggal versinya Una.“Maafin Ibu, Jingga. Kamu hanya perlu berada di tengah-tengah kami tanpa mengakui apapun, tanpa menjelaskan apapun pada siapapun. Itu saja.” Bu Fera menatapku dengan tatapan memelas. Baru kali ini aku melihat dia begitu lemah. Biasanya apa-apa selalu terlihat bersemangat, sigap dan sat set.Kupeja
“Banyu, di sini kamu rupanya! Mau dansa gak?” Pertanyaan itu membuat kami semua mendongak. Seketika Bu Fera yang mengambil alih jawaban.“Banyu memang akan berdansa, tapi sama Jingga … ini sebentar lagi juga mau maju ke depan. Iya ‘kan Banyu?” Bu Fera memasang senyuman dan menatap tajam pada perempuan itu.Eh, kenapa? Aku lagi?Seketika perempuan tersebut mendongakkan wajah dan menatap ke arahku. Dia menatap lekat sambil menyipitkan mata sekilas dengan alis saling bertaut seolah mengingat-ingat. Namun tak ada kalimat apapun yang dia ucapkan hanya tersenyum dan mengangguk lalu menoleh pada Pak Banyu.“Ya sudah, aku balik ke tempatku dulu kalau kamu sudah ada pasangan!” tukasnya. Tak tersirat rasa kesal maupun kecewa, dia pun mengangguk ke arahku dan berkata, “Titip Banyu, ya!”Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya nyengir kuda. Emangnya dia barang yang bisa dititip-titipin?Seperginya wanita itu, Pak Banyu melirik ke arah Bu Fera dengan tatapan yang sepertinya mengatakan, mama apa-apaan,
Setelah merasa lebih baik. Aku pun beranjak dari dalam toilet dengan perasaan yang lebih ringan. Namun, baru saja kubuka pintu toilet perempuan, aku mendapati sosok yang tengah berdiri tak jauh dari sini sambil bersandar pada dinding di lorong toilet dengan tangan bersedekap. Sepasang netra kami pun bertemu. “B--Bara?” Aku mengucap nama itu hampir tanpa suara. Bara mengulas senyum, lalu menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Gaya coolnya masih sama seperti dulu. “Hai! Gimana kabarnya, Jingga?” Dia bertanya dengan wajah penuh senyuman. Sorot mata itu, menatapku lekat dan masih sama seperti dulu.Awalnya aku sudah hendak berlari dan menghindar. Malas rasanya sekadar menjawab sapaan dari dia. Lelaki pengecut yang bersembunyi di balik ketiak ibunya itu kini datang. “Baik … permisi! Saya duluan!” Aku menjawab setelah meredam degub jantung yang sudah seperti genderang perang. Ada rasa cinta, benci, sakit hati dan … rindu. Ah, menyebalkan
“Banyu, arahnya ke rumah Jingga dulu saja, baru ke rumah kita!” titahnya. “Ahm, gak usah, Bu! Ke rumah Ibu saja. Saya bisa naik mobil online nanti.” Aku yang terpaksa duduk di depan, menoleh ke arah Bu Fera yang bersuara di kursi penumpang. “Gak apa, Jingga. Ibu sekalian mau silaturahmi dengan Ibu kamu. Kalau kami mampir, boleh ‘kan?” Bu Fera menatapku dan kalimat yang mengandung tanya itu, kini tengah menunggu jawaban. Jujur, hatiku agak was-was kalau sudah berurusan dengan Bu Fera. Pikirannya suka gak bisa ditebak dan juga … dari siang tadi memberiku banyak kejutan juga. Takutnya kedatangannya ke rumahku, memberiku kejutan berikutnya.“Hmmm … tapi sudah malam, Bu. Apa Unanya gak capek?” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya pada kondisi Una. “Gak apa, Jingga. Mampir sebentar doang. Una juga sudah tidur, kok.” Hmmm … ya sudahlah, aku pasrah. Hanya mengangguk untuk menjawabnya. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya kami tiba. Ibu tampak sudah berada di teras. Aku tahu, dia
“Oke pelajaran kita kali ini sudah selesai! Silakan ditutup bukunya dan bersiap pulang!” Aku menutup pelajaran hari ini. Rasa kantuk membuat mataku terasa berat dan berulang kali menguap. Beruntung masih bisa menyelesaikan pelajaran bahasa Inggris di jam terakhir mengajarku. “Silakan dipimpin doa!” Aku mempersilakan ketua kelas dari siswa kelas empat yang kuajar hari ini untuk memimpin doa sebelum pulang. “Baik, Bu!" Garda menjawab tangkas. Mereka pun sibuk membereskan tas dan perlengkapan lainnya. Garda tampak menoleh dan memastikan semua anggota kelas sudah siap. "Sebelum kita pulang, marilah kita berdoa terlebih dulu agar diberikan keselamatan di perjalanan! Siap berdoa, mulai!”Lantang suara Garda---anak lelaki berdarah jawa yang kulihat jiwa leadershipnya sejak kecil ini. Tubuh mungilnya tak serta merta membuatnya lembek. Justru, dia paling aktif, kreatif dan bertanggung jawab dari pada anak lelaki seusianya di kelas ini. Aku pun setuju ketika dia terpilih jadi wali kelasnya.
“Hey, bengong! Ada yang nyusul, tuh!” Imelda mengulangkan tangannya ke depan wajahku. Aku gelagapan. Seraya menoleh ke arah yang ditunjuk Imelda dan sukses membuat hidupku terasa makin sesak. “Astaghfirulloh … dosa apa aku, Mel?”Aku mengusap wajah ketika ternyata A Andi yang hari ini tumben tak terlihat di gerbang sekolah, bisa-bisanya ada di sini. Dandanannya bukan lagi, semakin hari makin aneh saja. Rambutnya kini berubah warna lagi, sedikit ungu dan ada peraknya. Selain anting yang dipakai, kini juga memakai kalung emas. Entah emas asli atau bukan, ukurannya tampak sangat besar dan membuat mencolok karena kontras dengan kulitnya yang hitam. “Energi negatif,” kekeh Imelda seraya mengipasi bakso dalam mangkuk dengan tangannya. “Hai, boleh gabung?” serunya basa-basi sambil tersenyum yang gak ada manis-manisnya. Lalu tanpa bicara lagi, ikutan duduk di bangku panjang dan duduk di sampingku. “Aa mau ngebakso juga?” Imelda yang bertanya duluan. Aku hanya melirik sekilas, malas. “Bo
[Hai, Jingga. Aku yang tempo hari kirim pesan di FB. Kok gak balas lagi, sih? Bisakah kita berteman?] Orang dunia maya yang aku cuekkan, kini punya nomor whatsappku. Sebetulnya siapa dia? Apa kublokir saja? Sebaiknya cari tahu dulu, kalau dia ngelantur, fix blokir. [Siapa kamu? Dari mana dapat nomor aku?] Pesan terkirim, tak berapa lama berubah centang dua warna biru. Lalu tampak orang yang tengah mengetik di sana. [Aku hanya ingin berteman denganmu. Senang sekali kamu mengajakku bertemu. Aku sangat bisa. Kapan kamu ada waktu?] Rupanya dia tak main-main. Mau pun kuajak bertemu. Sebetulnya dia siapa? Aku bergeming, berpikir sejenak karena sebetulnya malas untuk mengurus orang-orang gak jelas seperti ini. Namun, dia terus menerus menggangguku. “Mel! Orang iseng itu punya nomorku. Lihat ini! Gimana, ya?” Aku menyodorkan ponselku pada Imelda. “Cuekin saja!” jawabnya ringan. “Sudah aku cuekkan yang di sosial media, ini ganggu ke WA! Kalau diblokir saja gimana, ya? Aku tantangin bua
Di sebuah restoran sunda di dekat pintu tol karawang barat, kini aku berada. Duduk saling berhadapan dengan perempuan yang pada pertemuan pertama kemarin sudah tak menyenangkan. Setelah beberapa saat lalu dia memperkenalkan dirinya padaku. Aku baru ingat kalau kami pernah bertemu. Dia yang mengataiku pelakor malam itu. “Aku Santika Maharani, bisa dipanggil Rani. Kita pernah ketemu di Jakarta.” Dia mengulang kalimat penjelasan yang aku sendiri gak minta. “Silakan, Mbak!” Seorang pramusaji meletakkan dua gelas jus yang sudah dipesan tadi. Belum ada makanan yang dipesan. Jujur, aku malas memenuhi undangannya andai tak ada keperluan. Kini, dialah pemilik rumah yang baru, rumah yang kutinggali sekarang. “Makasih ….” Rani berucap lembut. Jika kuperhatikan gaya dan cara bicaranya sebelas dua belas dengan mantannya Pak Banyu. Ya, bagaimanapun mereka adalah saudara. Meski aku tak tahu saudara sedekat apa. “Ayo diminum, Jingga. Aku dan Bara sangat suka tempat ini. Kami sering ke sini setiap