Namun, saat dirinya memarkir kendaraan di halaman, motor Huda juga ikut berhenti. Rasti berusaha bersikap biasa. Ia juga bingung mengartikan apa perilaku Huda terhadapnya.Rasti mengulurkan kunci. Merasa lega karena Huda menunggu di luar. Ia masih diam tak mau menyapa.“Masih jalan bersama? Sudah diselidiki latar belakang lelaki itu? Jangan sampai salah langkah lagi. Aku tidak mau mendengar ada masalah lagi kalau kamu menikah lagi. Dan aku tidak mau jika Nadine dan Raline mendapatkan ayah yang tidak sayang sama mereka.” Sambil menerima kunci mobil, Huda berkata demikian.“Apa urusan kamu berkata seperti itu?” Kesal, Rasti bertanya dengan nada ketus.Huda adalah tipe lelaki yang terlihat ingin selalu memimpin dan mengatur orang lain. Itu yang Rasti lihat selama beberapa kali berinteraksi. Tidak hanya saat berbicara dengannya, tapi, pada orang lain pun demikian. Meski begitu, Rasti tetap saja tidak suka jika urusan pribadinya dicampuri.“Kalau ada orang yang mengingatkan, itu tandanya d
“Jangan mengajak anak-anak pergi bersama dulu,” ucap Rasti kala sudah berhadapan dengan Hanung. Mereka berdua bertemu di sebuah pantai. Memilih tempat yang benar-benar sepi dan leluasa untuk berbincang.“Kenapa?” tanya Hanung heran.“Belum waktunya. Hubungan kita, maksudnya kedekatan kita juga hanya sebatas teman.” Rasti menunduk. Teringat anak-anaknya yang jelas akan menolak bila ada sosok laki-laki lain hadir dalam hidup mereka secara tiba-tiba.“Aku ingin lebih dari sekadar teman. Makanya aku ingin anak-anak kita dekat. Agar suatu ketika, saat jodoh mempertemukan kita, mereka sudah siap menjadi keluarga.”Rasti mengatupkan bibir rapat. Pikirannya berusaha menyusun kata-kata yang pasa untuk dapat mengungkapkan isi hati dan gundahnya, tanpa menyakiti perasaan Hanung.Hanya ada suara ombak yang berdebur diantara keduanya. Hanung masih sabar menunggu wanita yang ada di hadapannya menjawab pertanyaan.“Tidak semua anak seperti Alea yang mudah menerima orang baru dalam kehidupan mereka.
“Aku sudah cerita sama Maryam. Jadi, sia-sia saja kalau kamu mau melakukannya,” jawab Huda enteng. Ia melanjutkan kembali aktivitasnya. Dan tidak peduli jika Rasti berteriak-teriak. Toh, suara wanita itu tidak bisa melebihi kerasnya suara pemotong rumput. Begitu pikir Huda.Kesal tidak mendapat tanggapan, Rasti masuk ke dalam rumah. Setengah jam kemudian, suara mesin berhenti. Rasti bernapas lega. Karena berpikir, Huda akan segera pergi dari rumahnya.Namun, perkiraannya salah. Huda malah mencuci mobil Rasti. Menyapu bekas potongan rumput dan membersihkan seluruh halaman rumah Rasti. Saat ia keluar, halaman sudah bersih, dan Huda tengah mengelap mobilnya. “Apa-apaan kamu, Huda?” tanyanya bengis.“Baru kali ini, ada orang dibantu malah protes,” sahut Huda asal.“Kamu sudah keterlaluan, Huda. Kamu racuni pikiran anak-anakku, dan kini, kamu bersikap dan melakukan sesuatu seolah apa yang ada di rumahku ini milik kamu,” ucap Rasti kesal.“Ambil kontak mobil, akan aku panaskan,” perintah Hu
Refleks, Rasti tersenyum. Menarik bibirnya panjang. Kejutan semacam itu dulu selalu Danang dan anak-anaknya berikan. Kini, hal itu dilakukan oleh Hanung. Tidak dipungkiri Rasti, Danang pria yang sangat baik dan menyayanginya.“Tiup lilin, Tante,” perintah Alea. Mata Rasti memanas. Berbagai rasa bercampur menjadi satu dalam hati.‘Ucapkan doa dulu!” titah Hanung.Rasti yang sebenarnya tidak pernah melakukan hal itu, hanya menambah senyumnya menjadi lebar, lalu meniup lilin.“Selamat ulang tahun, Tante Sayang. Semoga Tante bahagia selalu,” ucap Alea sambil memberikan buket bunga.“Terima kasih,” balas Rasti. Ia merentangkan tangan dan memeluk Alea.Gadis remaja itu menyambutnya dengan bahagia. Ia mendekap Rasti sangat lama. Menikmati aroma tubuh wanita yang ia anggap bisa menggantikan sosok ibu. Melepas semua kerinduan yang selama ini dipendam. Sekilas, mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang bahagia. Karyawan Rasti tersenyum dan saling bisik. Mereka lalu mengucapkan permintaan maa
“Enak jalan sama lelaki kaya?” tanya Huda yang tiba-tiba datang ke butik Rasti, setelah memastikan Hanung pergi.“Mau enak mau enggak, itu bukan urusan kamu.” Rasti tersulut emosi.“Jelas urusan aku. Saat kamu berada dalam kesempitan dan membutuhkan bantuan, aku dan bapak yang menolong. Kamu meminta lelaki itu jadi pengacara kamu, itu karena dia dibayar makanya mau menolong kamu. Coba kalau dia tidak dibayar, pasti tidak akan pernah mau menolong kamu secara sukarela seperti kami. Dan seenaknya setelah itu, ia mendekatimu. Jangan bodoh, Rasti!”“Huda!” bentak Rasti. Tidak peduli seluruh karyawan butik memperhatikan mereka. “Kamu sudah keterlaluan. Aku meminta tolong, bukankah kamu bilang, bapak kamu mencariku? Bukankah kamu bilang, kamu tidak rela bila harta peninggalan orang tuaku dikuasai oleh keluarga mantan suamiku, haha? Apa kamu lupa itu? Mengapa diungkit? Masalah bayaran, aku memberikan kamu upah yang banyak saat kamu menjual mobil showroom. Itu sepadan dengan keringat yang kamu
Maryam datang ke rumah Rasti dengan mata sembab. “Mbak, apa yang Mbak ucapkan tadi benar? Mas Huda memberikan Mbak Rasti kado?” tanyanya setelah dibukakan pintu dan disuruh masuk.“Kakak, Adek, main di kamar kalian, ya? Mama mau ada bicara penting,” seru rasti pada Nadine dan Raline yang berada di ruangan dekat dengannya. Kedua anaknya sudah paham, bila sang ibu berkata demikian, itu artinya ada sesuatu yang tidak boleh mereka dengar.“Iya. Benar.”“Isi kado itu apa, Mbak? Kenapa Mas Huda tidak bilang sama aku?” tanya Maryam sambil terisak.“Tunggu sebentar.” Rasti berlalu masuk, kembali lagi dengan membawa sbuah kotak yang sudah robek sampul kadonya.Dengan tangan bergetar, Maryam menerima benda itu dari tangan Rasti. Membukanya dengan pelan-pelan lalu matanya membelalak. Beberapa detik kemudian ia menangis. “Mbak, ini gaun yang aku inginkan waktu kami jalan-jalan ke mall. Baju tidur yang aku kinta dia membelikannya. Kenapa dia membelikan untuk Mbak Rasti?” tanyanya sambil menangis.
Setelah hari itu berlalu, beberapa kali Alea datang ke butik dengan alasan kangen pada Rasti. Ia yang sudah menyimpan nomor salah satu karyawan, tentu tahu kapan Rasti berada di sana. Ia datang dengan membawakan banyak makanan. Karena ingin makan bersama Rasti.Awal mulanya rasti menganggap biasa, tapi lama kelamaan, ia merasa takut bila ketahuan kedua anaknya. Rasti lalu meminta Hanung untuk menasehati Alea.“Kita akan pergi bersama, hari libur besok. Aku akan memesan sebuah hotel di Bandungan Semarang, kita akan piknik ke sana bersama. Alea akan tidur bersamaku. Dan kamu tidur bersama Nadine dan Raline,.” Hanung membuat sebuah keputusan sebelum mengajak Alea pulang.***Sikap Hanung yang selalu perhatian saat mengirim pesan, membuat Rasti sudah mulai memiliki rasa terhadap lelaki itu. Namun, ia masih begitu berhati-hati saat membalas pesannya, agar tidak terlihat jika ia sudah mulai jatuh hati. Bagaimanapun, Rasti masih menyadari jika anak-anaknya tidak bisa menerima lelaki baru dal
Kamar yang dipesan berada berdampingan. Berada di lantai dua. Ada balkon yang berisi kursi yang bisa digunakan untuk duduk memandang indahnya kota Semarang.“Aku takut, Kaka,” teriak raline saat berada di atas balkon.Mereka saling menjerit senang. Hanung dan Alea yang berada di balkon kamarnya, tentu saja mendengar. Namun, tidak ada satupun dari keduanya yang menanggapi celotehan anak-anak Rasti.Selepas Ashar, Hanung mengajak Rasti keluar untuk minum kopi di cafe hotel. Anak-anak mereka tentu saja ikut. Sepanjang kebersamaan, Hanung bersikap cuek pada kedua anak Rasti. Hanya sesekali saja menyapa, saat terpaksa bertanya. Perhatiannya tertuju pada Alea seorang.“Aku nanti malam pengen tidur bareng Tante,” rengek Alea.“Tantenya mau apa tidak, coba ditanya,” sahut Hanung.“Tante ….”Nadine dan Raline saling sikut.“Kamarnya sempit. Kami tidur bertiga,” jawab Rasti.“Pesan kamar Papa, khusus buat aku sama Tante.”Nadine dan Raline mulai melihat sifat asli Alea lagi. Namun, mereka hanya