Part 2
"Bagaimana malam pertama dengan adikku?" tanyanya mencemooh Safira."Lepaskan Mas, bukan urusanmu!"Tetiba Abiyya muncul dari balik pintu, melihat mereka tengah berseteru. "Mas Adit, tolong lepasin tangan istriku!"Keduanya menoleh, Safira langsung mengibaskan tangan. Adit menatap tajam apalagi saat melihat adiknya hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang disampirkan ke lehernya. Rambutnya pun terlihat basah. Abiyya berjalan mendekat, langsung merangkul pundak Safira."Mas, kenapa kamu menanyakan malam pertama kami? Itu privasi pengantin baru, Mas gak perlu kepo."Abiyya tersenyum melihat ekspresi kekesalan kakaknya. "Bagaimana Sayang, semalam aku tidak mengecewakanmu kan?" ucap Abiyya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya.Tangan Adit mengepal sambil menggertakkan giginya. Kesal."Abi, aku gak percaya kalau kamu melakukannya dengan baik. Safira itu hanya mencintaiku!""Dulu mungkin Mbak Safira pacar Mas Adit. Tapi, Mas harus sadar diri, sekarang Mbak Safira adalah istriku. Jadi mulai sekarang lupakanlah masa lalu!"Merasa tersulut emosi, Aditya langsung mencengkeram handuk yang tersampir di leher adiknya dan mendorong tubuh kurus itu hingga terpentok ke dinding."Mas, tolong hentikan!" teriak Safira panik.Adit hendak melayangkan tinju ke wajah adiknya."Ada apa ini ribut-ribut?" tukas Pak Wirasena yang mendengar keributan di ruang tengah. Ia melerai kedua anaknya."Adit apa yang kamu lakukan? Lepaskan adikmu! Subuh-subuh kalian dah mau bertengkar? Tuh dengar udah adzan. Cepat sana ambil air wudhu! Sholat dulu biar hati kalian adem!"Adit langsung melepaskan cengkraman tangannya meskipun masih merasa kesal. Ia pun langsung berlalu ke kamar."Abi, pakai bajumu. Lalu ajak Safira sholat subuh berjamaah!" titah Pak Wirasena."Siap, Ayah!"Abiyya langsung menggandeng tangan Safira. Sementara perempuan itu mendelik kesal."Gak apa-apa kan? Kan kita udah sah!" ujar pemuda itu sambil nyengir memperlihatkan deretan giginya yang putih.***Beberapa jam sebelumnyaSafira yang pingsan segera dibawa masuk oleh Abiyya. Semua mata tertuju padanya termasuk Adit. Ia hendak melangkah masuk tapi Kayla menghalangi langkahnya."Mas, kamu gak boleh menikah dengan dia. Lihat aku, Mas!" pekiknya dengan mata berkaca-kaca.Adit menatapnya kesal. Sangat kesal. Tak menghiraukan Kayla, Adit melangkah mendekat. Tapi rupanya Kayla justru seperti orang yang kesetanan. Berteriak tak jelas sudah seperti orang gila. Bahkan dia menendang kursi dan meja hajatan yang berisi makanan."Mas! Maaaaaasss ...!" teriaknya lagi sambil menangis seperti histeris.Adit hendak masuk di ambang pintu, tapi Pak Hakiki--ayah Safira, segera menghalanginya."Urus saja perempuan itu. Jangan sampai dia merusak acara ini!" tegasnya dengan amarah tertahan."Pak, saya minta maaf. Saya bisa jelaskan semuanya. Saya ingin menikah dengan Safira."Tangan Pak Hakiki melayang di udara. "Tidak ada satupun orang tua yang sudi menyerahkan putrinya pada lelaki pembohong sepertimu. Tidak ada satupun orang tua yang sudi melihat putrinya disakiti.""Tapi Pak, saya bisa jelaskan semuanya."Bersamaan hal itu, Pak Wirasena keluar. Wajahnya memerah menahan malu dan amarah karena putra sulungnya. Dia menepuk pundak calon besannya itu. Sementara matanya menatap nyalang putra sulungnya."Maaaaaasss ...! Maaaaaasss ...!" teriak Kayla, kini mereka tengah menjadi pusat perhatian warga."Adit, kau urus dulu wanita itu. Pergilah! Jangan kacaukan acara ini!""Tapi, Yah--""Ayah setuju dengan Pak Hakiki. Ayah sangat kecewa padamu! Pergi ...!"Seketika Adit menjadi lesu. Ia diusir di hari pernikahannya sendiri.Adit menoleh, Kayla masih menangis sambil berteriak-teriak tak jelas. Terpaksa ia menghampirinya dan membawanya pergi dari lokasi hajat.Pak Hakiki dan Pak Wirasena serta sang istri saling duduk berhadapan. Banyak ketegangan tercipta di sana."Maafkan putra kami, Pak Haki. Kami juga tidak tahu kalau Adit ternyata hanyalah seorang pecundang. Kami malu, sungguh sangat malu. Kami akan mengganti semua kerugian anda, Pak.""Kerugian harta itu tak ada apanya dibandingkan dengan kondisi mental putri saya! Coba anda pikir, dia akan dikucilkan, dihina, direndahkan!""Kami benar-benar minta maaf Pak Haki. Kami minta maaf. Kami akan memberikan uang ga tidak rugi yang layak--""Jadi, apa kalian pikir pernikahan ini akan bubar begitu saja? Keluargaku yang dirugikan di sini. Keluargaku harus menanggung malu, keluargaku juga yang nantinya menjadi bulan-bulanan warga!" Pak Hakiki meraup wajahnya dengan kasar, sedangkan yang lain hanya terdiam."Calon pengantinnya pergi, mau bagaimana lagi Pak. Bapak juga gak mau kan kalau Adit tetap menikahi Safira?""Saya yang akan menggantikan Mas Adit menjadi suaminya Mbak Safira," celetuk pemuda itu tiba-tiba saja datang menimbrung obrolan mereka.Semua mata tertuju padanya. Speechless, mereka bahkan shock, bocah lulusan SMA itu terlalu percaya diri."Hah? Bocah, tahu apa kau tentang pernikahan?""Pak, aku bukan bocah lagi. Umurku hampir sembilan belas tahun, aku juga sudah punya KTP," sahutnya santai."Abi, jangan bercanda!" pungkas Pak Wirasena."Aku serius, Pak, Ayah. Aku akan bertanggung jawab pada Mbak Safira. Dari pada kalian malu kayak gini, mending Mbak Safira menikah sama aku. Aku janji akan membuat Mbak Safira bahagia."Pak Hakiki justru tertawa."Pak, saya serius mengenai hal ini. Saya janji akan berusaha jadi imam yang baik untuk Mbak Safira.""Maafkan keusilan putra bungsu saya, Pak Haki. Saya malu, benar-benar malu dengan tingkah putra-putra saya. Tapi memamg kalau si Abi lebih peka terhadap keadaan.""Ayah, aku serius mengenai hal ini. Aku ingin menikahi Mbak Safira. Aku janji akan berubah jadi lebih baik, aku akan cari kerja buat menafkahi Mbak Safira."Hei, Nak, apa yang membuatmu ingin menikah dengan putriku?""Mbak Safira cantik ..."Tak pelak, seisi ruangan jadi tertawa melihat kekonyolan Abiyya. Entah kenapa, Pak Hakiki merasa cocok dengan pemuda ini."Duh, maafkan kami Pak Haki, atas kekonyolan putra saya. Saya malu, double-double atas kejadian ini.""Tapi saya suka dia. Anakmu yang ini humoris. Safira pasti akan merasa terhibur dengannya. Siapa tahu luka hatinya cepat terobati.""Jadi? Maksudnya kita tetap besanan Pak Haki?""Iya.""Jadi aku diterima jadi menantu bapak?" pungkas Abiyya."Iya.""Yess! Yess! Yess!" Abiyya berjingkrak kegirangan, membuat orang-orang itu kembali tertawa."Pak, Ayah, Ibu, aku janji akan tetap setia menemani Mbak Safira dan melindunginya serta membahagiakannya dengan caraku. Saya minta doa dan restunya Pak, Bu, Ayah."Safira mulai membuka mata melihat beberapa orang berkumpul mengelilinginya. Ia terlonjak, menoleh ke kiri dan kanan."Akhirnya kamu sadar juga Safira," ucap sang ibunda seraya menyeka air mata yang terjatuh.Tetiba seorang tetangganya masuk dan memberi tahu informasi penting."Pak, Bu, kata Pak Penghulu kalau tidak ada kepastian beliau izin pulang, masih ada akad nikah di tempat yang lain.""Jangan, suruh tunggu sebentar lagi!" ujar Pak Hakiki."Baik, Pak."Mereka saling berpandangan dan mengangguk ragu."Safira, ada yang mau kami bicarakan sama kamu.""Iya, ayah, ada apa? Mana Mas Adit?""Adit sudah pergi, dia tak pantas jadi suamimu. Tapi hari ini kau akan tetap menikah.""Maksud ayah?""Kau akan menikah dengan Abiyya."Safira melirik pemuda di samping ayahnya. "Apaa? Menikah dengan bocah?"Safira tersenyum, merasakan hangat pelukan Abiyya. “Aku senang kamu bisa menemukan jalan yang kamu cintai. Kita bisa menjalani ini bersama.” Abiyya melepaskan pelukannya, masih terlihat bersemangat. “Aku harus segera membalas pesan ini. Mereka ingin bertemu untuk membahas detailnya. Rasanya seperti mimpi, sayang!” Dengan semangat baru, Abiyya mulai mengetik balasan. Sementara itu, Safira mengamati suaminya, bangga dan penuh harapan. “Jangan lupa, kita juga harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelahiran si kecil. Tapi, aku yakin kamu bisa membagi waktu.” “Pasti! Kita akan atur semuanya,” jawab Abiyya. “Setelah kontrak ini, aku berencana untuk lebih fokus, sehingga bisa memberi yang terbaik untuk kita nanti.” Keesokan harinya, Abiyya bertemu dengan produser yang menghubunginya. Ketika produser itu tiba, Abiyya langsung menyapa. “Hai, Pak! Senang bertemu denganmu.” “Senang juga, Abiyya. Say
Ibu Safira tersenyum lebar, tetapi wajahnya tiba-tiba berubah khawatir saat melihat ekspresi Safira. "Kamu tidak enak badan ya, sayang?"Safira menggeleng, meski wajahnya sedikit pucat. "Iya, Bu. Sebenarnya aku ingin ngomong sesuatu.""Ngomong saja, Nak," jawab ibunya sambil memimpin mereka ke ruang tamu.Setelah duduk, Safira menarik napas dalam-dalam. "Bu, ada kabar baik. Sekarang, aku sedang hamil." "Hamil? Serius, Nak? Alhamdulillah!" Ia segera memeluk Safira dengan erat.Abiyya juga ikut tersenyum, merasa lega melihat reaksi positif dari ibu Safira. "Iya, Bu. Jadi Safira resign dari kerjaan. Kami ingin fokus pada kesehatanku dan si kecil."Ibu Safira melepaskan pelukan dan menatap mereka dengan penuh kasih. "Kalian sudah mengambil langkah yang tepat. Kesehatanmu dan bayimu lebih penting. Kami akan mendukung kalian sepenuhnya.""Iya Bu, sudah beberapa hari ini aku mual-mual terus, rasanya pengin muntah."
Part 46Pagi itu, Abiyya dan Safira berdiri di depan pintu kafe tempat mereka bekerja. Cafe itu sudah ramai dengan rekan-rekan kerja Safira yang sedang memulai aktivitas pagi. Abiyya menggenggam tangan Safira erat, memberinya senyuman penyemangat.“Siap?” tanya Abiyya pelan.Safira mengangguk, meski ada sedikit kegugupan di wajahnya. “Siap, Abii.”Mereka melangkah masuk, dan suasana kafe yang semarak langsung berubah saat rekan-rekan kerja melihat Safira. Beberapa dari mereka melambai dan menyapa.“Hai, Safira! Dari mana saja kamu, baru berangkat sekarang? Kamu sakit ya?” sapa Lita, rekan kerjanya yang ceria.Safira tersenyum tipis. “Iya, Lita. Hari ini ada sesuatu yang mau aku omongin sama Bos Elang.”"Seperti biasa Mas Bos ada di ruangannya."Safira dan Abiyya mengangguk mereka langsung menuju ruangan Bos.“Safira, Abiyya, ada apa? Tumben pagi-pagi sudah barengan ke sini?"Safira menarik napa
“Kamu gimana, sayang? Masih mual?” tanya Abiyya, tangannya memegang tangan Safira erat. Safira mengangguk kecil, senyumnya masih mengembang. “Iya, masih mual, tapi rasanya beda. Ada perasaan senang yang nggak bisa dijelasin.” Abiyya terkekeh pelan. “Aku masih kayak mimpi, tahu nggak? Aku bakal jadi ayah dan kamu akan jadi ibu. Aku janji, aku bakal jadi suami yang lebih perhatian dan ayah yang paling keren buat anak kita.” Safira tertawa, matanya berkaca-kaca lagi. “Kamu udah cukup keren, Bi. Cuma, nanti kalau aku ngidam yang aneh-aneh, jangan protes ya,” candanya sambil menahan senyum. “Waduh, siap-siap deh aku! Makan mangga muda jam tiga pagi? Beli es krim di tengah hujan? Apa aja, aku siap!” Abiyya berlagak dramatis, membuat Safira tergelak. Matahari mulai mengintip di balik jendela, menandakan pagi sudah mulai menyapa. Keduanya saling pandang, merasakan detik-detik perubahan besar dalam hidup mereka. Pagi
Part 45Safira terbangun di pagi buta dengan perasaan mual yang tiba-tiba menyerang. Ia bergegas menuju kamar mandi, mencoba menenangkan perutnya yang bergejolak. "Hueeek .... hueeekk ...."Abiyya, yang masih tertidur lelap di sampingnya, tersentak bangun mendengar suara lirih istrinya.“Sayang? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, setengah mengantuk dan khawatir.Safira keluar dari kamar mandi, wajahnya pucat namun matanya berbinar aneh. “Aku nggak tahu, Bi. Perutku mual banget, rasanya pengen muntah.""Semalam kamu makan apa? Jangan makan terlalu pedas lho!""Enggak kok, aku gak makan yang aneh-aneh. Mungkin aku masuk angin doang.""Kamu jangan kecapekan ya kerjanya. Aku gak tega kalau kamu sakit kayak gini."Safira mengangguk pelan. "Ayo kita sholat dulu, Bi. Kamu mandi dulu gih!""Okey, Sayang ...."Sembari menunggu sang suami selesai mandi, Safira memasak nasi di magiccom. Se
***Hari-hari berlalu .... Pagi itu tampak cerah, sinar matahari menyinari bumi dengan lembut, menciptakan suasana hangat yang menyenangkan. Burung-burung berkicau riang di pepohonan, seolah merayakan hari baru. Safira membuka jendela rumah kontrakannya, menghirup udara segar yang penuh aroma bunga dari taman di seberang jalan. Hari ini adalah hari liburnya, dan dia merasa bersemangat."Sayang, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini? Cuacanya enak banget!” Tiba-tiba Abiyya muncul dari belakang sembari tersenyum.Senyum merekah di wajah Safira. Dia membalas dengan cepat, “Tentu! Mau kemana?”Abiyya menjawab, “Bagaimana kalau ke taman? Kita bisa refreshing sambil menikmati suasana pagi.”"Iya, Bi. Aku siap-siap dulu."Abiyya tertawa kecil melihat istrinya yang tampak begitu antusias ketika diajak jalan.Safira cepat-cepat bersiap, memilih pakaian yang nyaman dan menyenangkan. Ia juga memoles wajahnya tipis-tipis