Gadis itu meraih handuk. Shila mengeringkan badan. Karena lupa tidak membawa pakaian ganti, dirinya terpaksa memakai bajunya yang tadi. Shila pun lekas membuka pintu kamar mandi.
"Non Shila ditunggu teman-temannya di meja makan," kata Bibik begitu Shila keluar.
"Eum ... antarkan saja makanannya ke kamar aku ya, Bik!" suruh Shila pelan.
"Baik." Bibik mengangguk.
Shila menderap langkah menuju kamar. Di meja makan dia melihat Rain tampak sibuk menyuruh sang istri untuk makan. Sementara Nathan langsung melambai padanya.
Shila tidak menggubris lambaian itu. Dirinya terus mengarah ke kamarnya sendiri. Begitu masuk ternyata ponselnya tengah berdering. Ada nama Tama terpampang di layar. Pemuda itu melakukan panggilan video.
"Hai ... Sayang." Di seberang sana Tama langsung melambai begitu Shila mengangkat teleponnya.
Shila se
"Mencintai suami orang itu dosanya besar. Sedangkan mencintai lajang seperti aku, halal," ujar Nathan tampak begitu serius.Sementara bagi Shila, pernyataan Nathan seperti tamparan keras baginya. Dia merasa terlalu menuruti keinginan hati yang salah, yakni memaksakan cinta dari suami orang. Bahkan statusnya suami kawan sendiri."Kenapa bengong? Lagi membenarkan omongan aku?"Tebakan jitu dari Nathan membuyarkan lamunan Shila. Gadis itu menipiskan bibir. Sedikit tersipu karena isi pikirannya mampu diterka oleh Nathan."Gaklah! Kamu ngomong apa sih?" Shila pura-pura sewot untuk mengalihkan perhatian."Kalo hati kecil kamu ngebenerin omongan aku, itu tandanya hati nuranimu masih hidup, Shil." Nathan berbicara dengan serius, "karena seorang wanita pasti tahu rasanya sakit hati jika suaminya direbut orang. Apalagi oleh orang yang dekat dengan kita."Sindiran telak dari Nathan membuat Shila terbungkam."Andai juga kamu berhasil memaks
Keduanya menghabiskan makanan tanpa bicara lagi. Hanya saling menyuap secara bergantian. Setelah habis, Nathan pamit keluar.Pemuda itu membawa nampan berisi piring kotor tersebut dengan hati yang semringah. Dia menaruhnya di bak cucian piring. Setelah itu kakinya menderap ke belakang vila.Pasangan suami istri tersebut memang tinggal di sebuah paviliun di belakang vila. Tampak Mamang tengah duduk di hadapan api unggun. Sementara tangannya menaruh jagung manis pada api tersebut.Udara malam memang cukup menusuk tulang. Pria itu tampak kedinginan walau pun sudah mengenakan pakaian tebal. Nathan datang mendekat. Dengan cekatan Mamang langsung menyodorkan jagung hasil bakarannya."Makasih, Mang. Bibik mana?" tanya Nathan semringah menerima jagung bakar tersebut. Pemuda itu lekas menikmati penganan tersebut."Kecapekan. Sudah tidur sekarang," jawab Mamang sembari membakar jagung yang lain.Tidak lama Rain datang. Kembali Mamang langsung me
Kirani dan sang suami telah tiba di markas. Kepulangan mereka sudah ditunggu oleh anak buah Rain. Terutama Iqbal.Tentu saja bukan Rain yang ia rindukan, melainkan Kirani. Walau pun lisannya sudah berjanji untuk tidak memikirkan wanita itu. Namun, hati kecilnya tetap saja tidak mudah menghilangkan nama Kirani.Pemuda itu diam menyaksikan wanita pujaannya dibimbing oleh suaminya menaiki tangga. Menurut Iqbal, tiga hari tidak bertemu Kirani tubuh wanita itu terlihat lebih mengecil."Harusnya Kiran bahagia bisa menikah dengan orang yang dicintainya. Ini kok malah jadi tambah kurus," sungut Iqbal terlihat julid. Pemuda tengah asyik bermain game pada gadgetnya."Lu ngomong apa, Bal?" sahut Bang Tigor yang sedang bermain biliar bersama Ijong."Ahhh ... enggak." Iqbal menangkis. Dirinya lumayan kaget karena sungutannya di dengar oleh Bang Tigor."Siapa yang jadi kurus? Elu?" Bang Tigor kembali mencecar."Iya, gue," sahut Iqbal bo
Tanpa menunggu lagi, Ibu Sakina meminta ponsel Gadis. Wanita itu lekas memesan taksi. Dirinya dan Bintang bersiap sembari menunggu taksi.Sekitar sepuluh menit taksi yang dipesan tiba. Iqbal yang susah berjalan terpaksa dipapah sopir taksi hingga masuk ke mobil. Sementara Ibu Sakina membimbing Gadis dan duduk di bangku belakang. Bintang sengaja tidak diajak karena harus menunggu rumah.Sopir taksi lekas melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Di perjalanan Iqbal menghubungi Rain. Pemuda itu mengabarkan keadaannya dan juga Gadis pada bosnya. Sehingga kemungkinan telat membawa karedok pesanan Kiran."Ya udah elu berobat dulu. Tar biar si Ayon gue suruh buat jemput elu," kata Rain di telepon."Ya, Bang, makasih," balas Iqbal kalem. Pemuda itu memutuskan sambungan telepon.Sampai di rumah sakit Iqbal dan Gadis diperiksa oleh dokter yang sama. Hanya saja
"Mau lu apa? Jangan buat keributan di sini!" tantang Tama berusaha tenang."Gue mau lihat keadaan Shila," jawab Rain tidak kalah santai."Gak ada Shila di sini," sela Ingga cepat.Rain tersenyum miring. Dia mendekat ke pintu. Ketika dirinya hendak masuk tangan Tama menghalangi."Jangan buat gara-gara di sini atau mau gue teriakin lu maling?" ancam Tama dingin.Rain balas tersenyum dingin. "Teriakin saja. Yang ada akan gue bongkar siapa elu yang sebenarnya," tantang Rain tenang."Gak yang bakal percaya." Ingga menyahut dengan percaya diri."Oke ... gue panggil Kapten Bumi sekarang," gertak Rain merogoh kantong blazernya.Tama dan Ingga saling berpandangan. Rain tidak pernah main-main dengan ancamannya. Walau pun Tama menyimpan senjata. Namun, tanpa anak buah rasanya tidak mudah jika harus melawan Rain bese
Tangannya bergerak cepat menarik pistol dari dalam persembunyian. Gegas ia todongkan senjata tersebut pada Rain.Kirani yang ngeri memekik keras. Dia masih trauma dengan insiden beberapa bulan lalu yang merenggut nyawa bapaknya."Tetap tenang dan terus berada di belakang aku," ujar Rain memenangkan hati sang istri. Dia menggenggam kuat tangan Kirani."Tama, buka pintunyaaa!" Sementara di atas Shila terus berteriak dan menggedor pintu. "Taaam!"Teriakan keras dari Shila sedikit mengalihkan perhatian Tama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rain. Ketika Tama tengah mendongak, tangannya langsung menampik senjata yang tengah dipegang oleh Tama.Senjata api itu terjatuh ke lantai. Tama terkesiap. Lagi-lagi Rain tidak melewatkan kesempatan. Kakinya bergerak cepat menendang perut Tama hingga lelaki itu terjatuh.Rain dengan sigap meraih pistol Tama dengan kakinya. Setelah dapat dia mengarahkan senjata tersebut pada Tama."Kiran, kamu kel
Tama bergegas menarik Shila kembali begitu mendengar peringatan dari polisi. Dia menjadikan Shila sebagai tawanan. Pistol di tangannya ia arahkan pada kepala Shila.Tentu saja gadis itu ketakutan. Tubuh Shila sampai bergetar saking ngerinya. Bibirnya merintih takut.Didan pun memperlakukan Kirani sama seperti bosnya. Wanita itu ia sekap. Moncong senjatanya ia arahkan pada pelipis istri dari Rain.Berbeda dengan Shila yang gemetar ketakutan, Kirani terlihat sedikit tenang. Bukan karena dia berani. Namun, keadaan ini sudah pernah ia alami sebelumnya. Dia memilih diam sembari memikirkan jalan keluar."Sekali kami peringatkan untuk membuka pintu apartemen ini atau kami buka paksa!" Suara Kapten Bumi terdengar lebih keras doorbell interkom.Tama mendekat pintu. Lewat layar LCD tujuh inchi dia bisa melihat keadaan di luar. Ada Komandan Bumi berserta anak buahnya dan
Tama memuntahkan isi pistolnya. Nathan sempat menghindar dengan melengoskan tubuh. Namun, timah panas tersebut tetap mengenai lengan atasnya."Nathaaan!" Shila dan Kirani menjerit bersamaan melihat bisep pemuda itu sudah berlumuran darah. Shila langsung memdekap Nathan.*Satu jam sebelum kejadian di apartemen Tama.Di rumah sakit, Ijong tengah menjenguk Iqbal. Keduanya tengah asyik berbincang. Sementara di brankar sebelahnya Gadis asyik bermain game di gadget untuk menghilangkan jenuh.Dalam hati, Gadis merutuk kedatangan Ijong. Karena moment mengobrolnya dengan Iqbal jadi tertunda. Apalagi kedua lelaki itu berbicara topik yang tidak dipahami oleh Gadis. Pokok tentang dunia bisnis dan mafia.Ketika tengah asyik berbincang, ponsel Ijong bergetar. Pemuda setengah gondrong itu melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Ayon."Ada apa, Yon?" tany