Rain hanya menatapku sejenak. Lelaki itu membuka pintu mobil. Tidak lama kendaraan roda empat itu pun melaju.
"Kiran, ayo kita berangkat!"
Panggilan dari Iqbal membuatku tersadar. Pemuda itu sudah duduk di atas motor besar berwarna hitam. Wajahnya cukup tampan dengan kacamata hitam. Penampilannya kian keren dengan sebuah tas kecil di pinggangnya.
Perlahan aku menuruni undakan teras, ketika Iqbal menunjukkan helm. Ketika mendekat, dia langsung memasangkan alat pengaman tersebut pada kepalaku.
"Biar aku aja!" tolakku saat tangan Iqbal memasang pengait helm.
"Oke." Iqbal tersenyum. Pemuda itu lantas menaiki motor. Aku pun membonceng di belakangnya. "Pegangan biar gak jatoh, Ran!" suruhnya akrab.
Canggung membuat aku mengabaikan perintah Iqbal. Pemuda ramah itu tidak berkomentar lagi. Dia mulai melajukan motornya. Awalnya pelan saja. Namun, di jalan raya nyatanya dia mengebut. Iqbal bahkan menyalip dua truk besar di depannya.
"Aaaaa!" Aku menjerit ngeri ketika melihat di depan ada sebuah bus yang melintas.
Takut membuatku menutup mata. Ketika melek ternyata kami sudah berada di jalur kiri lagi. Iqbal benar-benar lincah mengendalikan motor.
"Ngeri ya?" Iqbal menoleh padaku dengan seringai lucu.
Aku menepuk gemas punggungnya. "Kalo celaka tadi gimana?" tegurku sewot.
"Salip-menyalip sudah menjadi makanan sehari-hariku, Ran."
"Aku gak peduli, Bal," balasku sewot. "Mungkin kamu sudah jago berkendara, tetapi sekarang kamu sedang membawa seorang penumpang. Jadi kamu harus mengutamakan keselamatannya."
Iqbal mulai memelankan laju motornya. "Maaf, ya," ucap Iqbal terdengar serius.
"Jangan lagi-lagi deh!" pesanku ketus.
Lagi-lagi Iqbal menoleh. "Siap tuan putri." Dia mengedipkan sebelah matanya.
Aku tersenyum tipis melihat sikap manis Iqbal. Mungkin karena seumuran, atau memang dia anak yang menyenangkan, sehingga tidak butuh waktu lama kami sudah saling klik dalam berteman.
"Pegangan!" Tiba-tiba Iqbal memerintah.
"Iqbaaal!"
Aku menjerit gemas saat Iqbal kembali menggeber motornya. Mau tidak mau aku pun memegang pinggangnya. Karena kesal kucubit pinggang pemuda itu. Iqbal mengaduh, tetapi terbahak-bahak juga.
Tidak lama kami tiba di sebuah pasar. Pada beberapa preman pasar yang tengah duduk santai di parkiran, Iqbal melambai. Preman-preman itu pun langsung bergerak menghampiri kami.
"Cewek baru lu, Bal?" tanya salah seorang preman.
"Kok tipemu beda, Bal? Biasanya suka yang bahenol dan seksi," timpal temannya.
Aku dibuat heran melihat preman-preman itu menyerahkan uang pada Iqbal.
"Dia anak baru di basecamp," balas Iqbal menyengir tipis. Dengan santainya dia menerima uang-uang tersebut. Lantas memasukkannya pada tas pinggang yang ia bawa.
"Waaah ... asyiiik nih!" Si brewok berseru, "tar kapan-kapan gue maen ke basecamp dah, biar bisa ikutan gilir," lanjutnya sambil mengerling mesum padaku.
Aku ternganga mendengarnya. Begitu juga dengan Iqbal. Tangan pemuda itu langsung mencengkeram kaos lelaki yang badannya jauh lebih besar darinya itu.
"Lu ngomong apa?" Sosok Iqbal yang manis beberapa jam lalu lenyap. Berganti dengan pemuda bertampang garang. "Lu ngomong apa tadiii!" Dia membentak geram.
"Sabar, Bro!" Kedua teman si preman mencoba untuk menenangkan Iqbal.
"Asal kalian tahu, Kirani ini adalah cewek yang baik-baik," ujar Iqbal dengan suara keras, "dia yang akan mengatur segala urusan rumah tangga markas. Dan Bang Rain sudah berpesan, agar gue selalu ngejaga dia dari para bajing*n macam elu-elu pada," terangnya berapi-api. Dengan gemas Iqbal menghempas badan si preman. "Ayuk, Kiran!" Pemuda itu menggandeng tanganku pergi.
Kami masuk ke area pasar. Iqbal menyuruhku untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan. Tidak disangka banyak pedagang yang kenal dengan Iqbal. Bahkan pedagang buah, daging, dan ikan yang tadi kami datangi tidak bersedia dibayar.
"Waaah enak bener jadi kamu ya, Bal." Aku memuji salut. "Gak perlu mikir duit belanja tiap hari nih."
Iqbal hanya tersenyum simpul. "Kamu tunggu di sini sebentar ya. Aku ada kepentingan dulu."
"Lama gak?"
"Eum ... satu jam mungkin," balas Iqbal tidak yakin.
"Kalo gitu aku ikut kamu aja deh." putusku kemudian. Karena bagiku menunggu itu sesuatu yang tidak menyenangkan.
"Boleh." Iqbal mengizinkan, "kita titipkan belanjaan kita pada tukang buah itu saja yuk!"
"Ayuk!"
Aku dan Iqbal kembali menghampiri penjual buah. Pedagang yang tadi memberi kami secara cuma-cuma apel dan mangganya.
"Bang, kita titip barang dulu di mari sebentar ya," izin Iqbal.
"Ya, taruh aja di situ." Si pedagang menunjuk meja kosong samping dekat rak buah.
Aku dan Iqbal menurunkan belanjaan di tempat yang dimaksud. Usai mengucapkan terima kasih, Iqbal mengajakku pergi. Kami menyusuri aneka lapak.
"Mau ngapain sih, Bal?" tanyaku penasaran.
"Ngejalanin tugas," jawab Iqbal santai.
Tidak lama kutahu tugasnya Iqbal itu apa. Ketika pemuda itu menghampiri beberapa kios, sang pemilik memberinya upah. Begitu terus hingga ke ujung. Setelah itu kami kembali untuk mengambil barang belanjaan.
"Uang itu nanti kamu serahkan ke Bang Rain?" tebakku ketika kami hendak menaiki motor.
Iqbal hanya mengangguk. Pemuda itu memberikan helm padaku.
"Tiap hari, Bal?"
"Ya."
"Kamu gak kasihan sama mereka. Mereka punya tanggungan keluarga lho."
Iqbal menoleh padaku. "Tidak ada kamus kasihan dalam kehidupan kami. Uang yang kami minta adalah uang keamanan. Siapa yang mau gelar lapak di wilayah kekuasaan kami, maka harus membayar uang keamanan biar bisa jualan dengan tenang."
"Tapi--"
"Gak usah heran, di pasar mana pun kamu pasti akan menemui praktek seperti ini, Ran," tukas Iqbal datar.
Wajah Iqbal sudah tidak enak lagi dilihat. Karena itu aku memilih tidak bicara lagi. Kami saling membisu dalam perjalanan pulang.
Ketika memasuki markas, aku dibuat agak sedikit heran. Teras sepi. Hanya ada bekas kulit kacang yang berserakan di lantai. Serta puluhan putung rokok dalam asbak.
"BUGHHH!"
"ARGHHH!"
Aku tercekat ketika mendengar suara pukulan dan erangan seseorang di ruang kerja Rain.
"ARGHHH!"
Erangan kesakitan itu membuat aku menggigil.
"Udah gak usah didengerin, sebaiknya kita langsung ke dapur!" ajak Iqbal begitu mengetahui ketakutanku.
Aku mengangguk. Ketika tangan Iqbal merangkul, aku menurut pasrah. Kami melangkah menuju dapur.
"Suara-suara seperti itu akan sering kamu dengarkan, Ran," tutur Iqbal sembari memasukkan barang belanjaan ke kulkas.
"Tapi kenapa, Bal?" tanyaku penasaran.
"Biasanya mereka yang ketahuan berkhianat sama Bang Rain."
"Maksudnya?" Aku masih belum paham.
"Misalnya ngebocorin rahasia kelompok kita pada pihak lawan. Atau juga ngembat duit keamanan," terang Iqbal tenang, "bisa juga ngeyel dengan perintah Bang Rain."
Aku masih penasaran menatap Iqbal dengan serius.
"Bisnis Bang Rain itu bersih. Makanya doi geram banget kalo ada anak buahnya yang ikutan jualan narkoba di wilayah kekuasaannya."
Aku yang masih belum paham terus menuntut penjelasan Iqbal lewat tatapan mata.
"Bang Rain juga tidak mengizinkan ada praktek prostitusi di club kepunyaannya."
"Eum ... kamu sudah lama ikut Bang Rain?"
GEDEBUG!
Suara benda berat jatuh itu membuat aku dan Iqbal terdiam. Ketika Iqbal beranjak pergi, aku mengikuti. Kami menuju sumber suara, yakni ruang kerjanya Rain.
Sampai di ruang tengah, aku dibuat terpana melihat Rain tengah menginjak seseorang.
"Buang bangs*t itu ke wilayahnya Tama. Biar dia tahu, kalo gue gak suka main-main!" titah Rain sembari memperdalam injakkannya. Membuat lelaki yang tengah terlungkup lemah itu mengerang lagi.
"Siap, Bos."
Dia anak buah anak buah Rain gegas menyeret pria tidak berdaya itu keluar. Hatiku mencelus ngeri melihat wajah lelaki tersebut yang sudah bersimbah darah. Peristiwa ini mengingatkan aku pada kejadian pemukulan Bapak waktu lalu.
Sementara di sana, Rain kembali bersikap tenang seperti biasa. Tidak ada raut penyesalan telah menganiaya seseorang. Lelaki itu melewati aku dan Iqbal tanpa bicara menuju anak tangga.
Tiba-tiba ada semacam rasa benci menyergap hati. Sepertinya aku ingin memberi pelajaran padanya agar tidak semena-mena menghajar orang. Tapi bagaimana? Aku sendiri tidak punya keahlian bela diri.
"Orang tadi adalah pengkhianat. Dia pantas mendapat hukuman dari Bang Rain," bisik Iqbal seolah membaca isi hatiku.
Aku hanya tersenyum tipis. Tetap saja aku tidak suka cara Rain menghukum seseorang dengan kekerasan. Andai punya kuasa, aku ingin merubah Rain menjadi pria yang manis seperti Iqbal.
Hei ...ada apa dengan pikiranku?
Next
Subscribe untuk info update part terbaru 🙏
Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."
Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad
Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve
"Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b
Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri
Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh