"Kita ke dapur lagi yuk, Ran!"
Aku mengangguk menyetujui ajakan Iqbal. Kami akan membuat makanan.
"Makanan kesukaanmu apa?" tanya Iqbal mulai mengeluarkan sayuran dari kulkas.
Aku berpikir sejenak. "Semua makanan aku suka. Kami tidak punya kesempatan untuk memilih. Apa yang ada ya dilahap saja," jawabku jujur disertai seringai malu. Tapi, memang seperti itu kenyataannya.
Iqbal tersenyum tipis mendengarnya. "Tapi setidaknya ada kan makanan yang paling kamu suka?"
"Eum ... apa ya?" Mataku menerawang, "aku suka ayam goreng karena ibu lebih sering membuat tempe goreng untuk kami."
"Oh. Ya udah ayuk kita buat!" ajak Iqbal semangat.
Pemuda itu lekas mengeksekusi. Dia mengeluarkan daging ayam dari freezer, lalu mulai memotongnya menjadi bagian kecil-kecil.
"Aku juga mau buat cap cay, tolong kamu potong-potong bahannya ya," suruh Iqbal sambil fokus pada pekerjaan. "Tahu dong bahan-bahannya apa saja?"
"Tahu lah." Perintah Iqbal pun gegas kulaksanakan. "Jadi menu favorit kamu cap cay?" tanyaku kemudian.
"Bukan." Iqbal menggeleng pelan, "cap cay dan balado kentang adalah menu favoritnya Bang Rain."
"Oh." Bibirku membulat kecil, "btw, kamu belum jawab pertanyaanku yang lalu. Kenapa kamu bisa sampai ada di sini? Terus bagaimana dengan keluargamu?" cecarku laksana wartawan yang haus akan informasi.
Iqbal tidak langsung menjawab. Potongan ayam dalam wadah ia cuci pada air keran. "Dari kecil aku gak tahu siapa orang tuaku. Dulu aku tinggal di panti. Gedean dikit aku kabur?"
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Pengurus pantinya galak. Aku gak betah. Terus hidup di jalanan. Nyopet buat bertahan hidup," tutur Iqbal meringis getir. "Sampai suatu ketika aku lagi ketiban apes. Aku ketahuan nyopet. Tubuhku jadi santapan massa." Iqbal menjeda penuturannya untuk menghela napas panjang. "Bang Rain datang sebagai dewa penolong. Lalu sejak saat itu aku berjanji bahwa hidupku akan kudedikasikan buat Bang Rain," ikrar Iqbal tampak bersungguh-sungguh.
Aku mengangguk perlahan. Kemudian kami mulai serius membuat makanan. Tidak disangka Iqbal sangat terampil memasak. Di sini aku hanya bertugas membantu dia sekadarnya.
Lebih dari satu jam baru ketiga menu itu berhasil kami selesaikan. Bertepatan pula dengan azan magrib, aku meminta izin pada Iqbal untuk membersihkan diri. Sekalian beribadah. Iqbal yang baik tentu saja mengizinkan.
Di lantai ini hanya ada satu kamar mandi. Bilik tersebut terletak di sebelah ruang keluarga. Di mana ruang tersebut tempat berkumpulnya para preman.
Beruntung saat kutuju, ruang keluarga sedang sepi. Sehingga aku bisa bebas dan nyaman untuk membersihkan diri. Karena risih juga jika ada para preman itu di luar sementara aku sedang mandi.
Rasanya lengket juga setelah seharian menemani Iqbal menjalankan tugasnya di pasar serta membuat makanan barusan. Walau begitu aku tidak akan berlama-lama di sini. Takut saja tiba-tiba ada di antara mereka mengetuk pintu karena kebelet.
By the way, di mana handukku? Kenapa aku cuma bawa baju ganti saja? Ya Allah ... aku benar-benar lupa tidak membawa kain empuk itu. Karena kemarin benar-benar asal saat menyiapkan bekal ganti.
Bagaimana ini?
Aku menggigit bibirku perlahan.
Haruskah aku meminjam handuknya Iqbal? Jika iya, bagaimana cara memanggilnya? Tidak mungkin juga aku berteriak memanggil namanya. Ini kan bukan di rumahku sendiri.
Tidak ada cara lain. Terpaksa kukeringkan badan menggunakan baju ganti. Karena baju yang tadi sudah kotor terkena debu jalanan dan bahan makanan.
Baju ganti ini menjadi sedikit basah. Ketika kupakai dadaku sedikit tercetak jelas. Aku mendengkus resah. Tapi tidak ada pilihan lain lagi.
Usai berpakaian, aku pun bersuci dari hadas kecil. Ketika hendak keluar, aku terlebih dulu mengintip keadaan luar. Terdengar suara beberapa preman. Namun, sepertinya mereka berada di ruang depan.
Setelah dirasa aman, cepat-cepat aku keluar kamar mandi. Sial! Ketika tengah terburu menuju kamar, aku menabrak seseorang. Ketika mendongak, sosok Rain tengah menatapku dingin.
"Eum ... maaf." Aku mundur selangkah.
Rain tidak menjawab. Hanya saja pandangannya tertuju pada kaos bagian dadaku yang lumayan basah. Sadar diperhatikan, gegas aku menyilangkan kedua lengan di dada.
"Kenapa basah-basahan begitu?" tegur Rain datar.
"Eum ... lupa bawa handuk." Aku menunduk canggung.
Rain tidak berkomentar. Kulihat dia bergerak menuju ruang kerjanya.
Aku sendiri langsung menuju kamar, lalu mengganti pakaian basah ini dengan baju kering lainnya. Setelah itu kembali berwudhu menggunakan air di keran dapur.
Ibadah sholat magrib kulaksanakan dengan khidmat. Berharap bisa cepat hengkang dari tempat ini. Walau pun sudah mempunyai teman sebaik Iqbal, tetap saja aku tidak mau hidup lama-lama di sini.
Setelah dirasa cukup ibadah dan doanya, kulipat mukena dan sajadah. Baru beranjak kembali ke dapur. Tampak Iqbal tengah menata hidangan di meja makan. Wajah dan rambutnya yang lembap menjadi pertanda jika dia pun sudah selesai mandi.
"Kamu mandi di mana, Bal? Perasaan di sini kamar mandinya cuma ada satu," tanyaku saat mendekat.
"Ada satu kamar mandi lagi di atas," jawab Iqbal tengah mengelap piring.
"Di dekat kamar mandinya Bang Rain." Aku mencoba menebak.
"Hu'um. Kamarku ada di atas bersebelahan dengan kamar Bang Rain." Tiba-tiba Iqbal menghentikan aktivitas. "Kayaknya kamar itu cocok ditempati kamu deh, Ran. Biar kamu bebas gunain kamar mandi. Entar deh aku usul sama Bang Rain buat tukeran kamar."
Aku terharu mendengar usulan dari Iqbal. "Kenapa kamu baik banget ke aku, Bal?" tanyaku dengan mata berembun.
Iqbal menyengir. "Karena kamu wanita sendiri di sini. Dan kamu butuh privasi."
"Makasih, ya," ucapku tulus.
Iqbal mengangguk pelan. "Yodah aku panggil anak-anak dan Bang Rain dulu."
Pemuda itu pun berlalu. Tidak lama terdengar pekikan senang dari anak-anak. Ada tujuh orang preman yang mendekat. Mereka tampak antusias menatap makanan di meja.
Namun, tidak ada yang berani mengambil makanan dulu. Hingga datang sang bos mereka diikuti Iqbal. Rain duduk di kursi utama. Iqbal sendiri menarik lenganku hingga duduk di sebelah kanannya.
"Lu masak sendiri, Bal?" tebak Rain begitu mengecap cap cay sayur itu. Dirinya seolah sudah hapal citarasa masakan khas Iqbal.
"Kiran tadi ikut bantuin," jawab Iqbal santai.
Pemuda itu tengah mengambil nasi dan sayur, lalu menaruh dua paha ayam goreng pada piring tersebut. Tidak disangka pemuda itu memberikannya padaku.
"Lu harus ajari dia cara membuat masakan yang enak. Karena gak setiap hari elu ada waktu bikinin masakan buat kita," suruh Rain sedikit melirik ke arahku.
"Siap, Bang," sahut Iqbal sedang menyuap makanan. Sementara yang lain juga sudah lahap menyantap hidangan.
"Bang Raiiin!"
Kami semua terkaget mendengar teriakkan itu. Tidak lama datang seorang preman dengan lebam di bawah mata.
"Anak buah ... Tama ... bikin kekacauan di wilayah kita, Bang," lapor preman tersebut terengah-engah.
Kulihat tangan Rain langsung mengepal.
"Bahkan ... Bang ... Bang Tigor kesabet celurit mereka, Bang." Preman itu bertutur lagi.
"Bedeb*h!" Rain menggebrak meja.
Aku tersentak kaget mendengarnya. Tidak lama jantung ini berdebar kencang. Seolah paham kondisiku, Iqbal merangkul pundakku lembut.
"Tama udah mulai main-main sama aku," ujar Rain dengan tatapan dingin, "kerahkan anggota! Mereka harus tahu siapa lawan mereka yang sebenarnya."
Para anak buah Rain langsung bangkit berdiri. Semuanya tampak siap menunggu perintah. Begitu juga dengan Iqbal.
"Itong dan Ayon jaga markas saja. Perketat keamanan dan ... jaga gadis itu baik-baik," titah Rain kembali melirik sekilas padaku.
"Siap, Bang!" Kedua orang preman berseru hormat.
"Ayo kita berangkat!" Tangan Rain mengibas.
Ketika lelaki itu menderap, ketujuh anak buahnya mengikuti. Termasuk kedua preman yang sudah ditugaskan untuk menjagaku.
"Kamu jaga diri baik-baik, Ran. Gak usah keluar kamar sebelum kami pulang, ya," pesan Iqbal memegang kedua pundakku.
"Aku ... aku takut, Bal," ucapku jujur.
"Gak perlu takut. Ada Itong dan Ayon yang akan ngejaga markas ini," balas Iqbal mencoba menenangkan.
Pemuda itu menepuk pipiku perlahan. Setelah itu dia berlari mengejar Rain dan kawan-kawannya.
Aku sendiri masih terpaku bingung. Setelah bayangan mereka tidak terlihat lagi, aku langsung gegas masuk ke kamar. Pintu kamar aku kunci rapat.
"Ya Allah ... semoga Rain dan anak buahnya selamat." Tanganku tengadah ke atas.
Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."
Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad
Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve
"Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b
Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri
Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh