Irina tertidur selama proses pemindahan para monster tersebut ke dalam helikopter. Namun, sosok Irina menarik perhatian Marco.
Pria bermanik merah tersebut mendekati gadis berambut cokelat ikal, memiliki bulu mata lentik melengkung senada dengan alisnya dan parasnya menunjukkan keramahan bahkan saat memejamkan mata.
Pandangan semua pria yang duduk di bangku kini terkunci pada gerak-gerik tak lazim dari saudara kembar Polo.
"Dasar psikopat! Hentikan perilaku menjijikkanmu itu!" tegas Polo dari tempat duduknya dengan mata melotot.
"Iyuh," ucap seorang pria sampai memejamkan mata karena Marco malah menjilat hidung mancung gadis itu hingga ia terbangun dari tidurnya.
"Hah!" kejutnya saat melihat wajah Marco membungkuk di depannya dan mengunci kedua pergelangan tangannya seraya menekannya ke dinding helikopter.
Marco menyeringai dan kembali menjulurkan lidah. Para pria memalingkan wajah begitupula Irina yang membungkam mulutnya saat Marco menjilat dagunya dengan ujung lidah seperti menikmati ice cream.
"Marco enough! Jangan sampai aku datang ke sana untuk memukul kepalamu!" teriak Polo menggelegar seperti suara petir di langit.
Marco terlihat malas seketika. Ia menurunkan tangan Irina yang ia tarik ke atas, tapi masih memeganginya.
"Rasamu seperti manusia. Kulitmu hangat dan kenyal. Bibirmu ... aku belum memeriksanya. Sepertinya aku ha—"
"MARCO!"
Irina memejamkan matanya rapat. Tubuhnya gemetaran terlihat ketakutan. Marco yang sudah menjulurkan lidah dan terlihat siap untuk melumat bibir Irina langsung melepaskan cengkeraman karena gertakan Polo. Marco mengangkat kedua tangannya ke atas sembari mundur perlahan ketika Polo berjalan mendekatinya.
Marco menundukkan wajah dan pandangannya, sibuk memandangi ujung sepatu boots-nya dengan cuek, sedang Polo menatapnya tajam.
"Kita belum tahu kebenaran dari ucapannya, Marco. Bagaimana jika kau terinfeksi? Hanya kau yang kumiliki, Brother. Kau ingin meninggalkanku sendiri di tempat sampah ini?" tanya Polo menatap saudaranya lekat terlihat cemas.
Marco diam menatap Polo dengan wajah serius. Tiba-tiba, Marco memeluknya erat dan Polo membalas pelukannya. "I love you, Polo," ucap Marco dengan mata terpejam.
Semua orang yang melihat keduanya saling menyayangi tersenyum penuh haru, tapi tidak dengan Irina yang menatap Marco tajam.
"Hah, lihat Marco. Sentimental," kekeh pria berkulit hitam dan semua anggota tim mengangguk setuju.
"Marco! I need your help!" teriak co-pilot dan Marco segera berjalan ke depan sembari meninggalkan sebuah kedipan mata kepada Irina. Polo memijat keningnya yang mendadak terasa berat karena tingkah miring saudaranya.
"Barter," ucap Irina begitu saja, tapi mengejutkan pria bermanik biru.
"Tentang apa?" sahut Polo menatap gadis berpenampilan lusuh di sampingnya.
"Informasi. You and me. Kau pasti penasaran dengan sosok dan informasi yang kumiliki bukan? Hem, sama denganku. Aku hanya menawarkanmu satu kali, menolak, tak ada pertukaran lagi," jawab Irina tegas.
Polo terlihat ragu. Ia menoleh ke arah anak buahnya dan para lelaki bersenjata itu mengangguk.
"Kenapa ma—"
"Kita mendarat! Liberty! Pegangan kawan-kawan," teriak Marco yang tetap berdiri di belakang dua orang yang bekerjasama mengemudikan helikopter.
Polo segera duduk di samping Irina dan memasang seat belt. Irina menatap Marco keheranan yang memilih terpontang-panting di dalam helikopter. Lelaki bermanik merah itu malah tertawa senang saat tubuhnya menghantam dinding helikopter.
"Dia ...?" tunjuk Irina heran.
"Barter. Tahan pertanyaanmu," sahut Polo cepat.
Irina mengangguk sembari memegangi seat belt-nya erat dan mata terpejam seperti takut saat helikopter bergoncang karena hantaman angin kencang disertai hujan lebat di luar.
"Kita tetap berada di sini sampai badai reda. Berbahaya jika berada di luar," ucap Pilot menginformasikan sembari melepaskan headphone di dua telinganya. Semua orang mengangguk.
Polo menoleh ke arah Irina dan gadis itu juga melakukan hal sama.
"Ladies first. Aku berusaha sopan," ucap Polo menatapnya lekat.
"Oke. Kalian kembar, tapi kenapa warna mata kalian berbeda? Kau biru dan Marco merah," tanya Iriana sembari melirik Marco yang duduk di atas sebuah kotak kayu sembari memeluk lututnya.
Polo terdiam dan wajahnya tertunduk seketika. Mata Irina masih mengunci wajah Polo yang tak meninggalkan sisa tanah di kulitnya.
"Jujur, selama tiga tahun mengikuti Marco dan Polo, aku tak tahu asal mata itu. Jawablah, Capt! Beritahukan rahasiamu jika kau memang percaya pada kami," ucap seorang lelaki bertubuh besar dan memiliki otot lengan yang padat.
"Aku saja. Sepertinya Polo mendadak sariawan," sahut Marco dengan santai dan senyum terkembang. Mata semua orang beralih ke pria bermanik merah tersebut. "Aku tak tahu kenapa mataku berubah merah. Dulu seingatku, mataku dan Polo berwarna biru lembut, seperti langit. Lalu ... aku dan Polo berumur 31 tahun sampai saat terbangun dari tidur, kami sudah berada di sebuah tabung."
Praktis, mata semua orang terbelalak.
"Tabung?" tanya Irina terlihat kaget dan Marco mengangguk. "Kalian? Sorry, aku tidak paham," sambung Irina sampai mengedipkan mata berulang kali terlihat bingung.
"Malam itu, aku dan Marco baru saja kembali dari Gym, salah satu usaha yang dimiliki oleh ibu kami, Lopez. Seperti sipil lainnya, kami melakukan kegiatan normal. Hanya saja, sebelum tidur, tiba-tiba saja ayah kami, Brian, menyuntikkan sebuah serum. Ia mengatakan jika itu vitamin untuk kesehatan tubuh kami dan yah, kami percaya saja," sahut Polo menjelaskan dengan tenang.
"Aku, aku yang akan melanjutkan!" sahut Marco mengangkat tangan tinggi penuh semangat. Polo mengizinkan dengan menunjuk saudaranya.
"Oke. Em, lalu ... kami tidur. Entah apa yang terjadi, saat aku membuka mata, aku berada di dalam tabung kaca. Aku panik dan berusaha keluar dari tempat sempit itu. Lalu ... aku berhasil. Tabungku terbuka, tapi pemandangan mengerikan terjadi. Ya, seperti yang terjadi saat ini. Neraka dunia," sambung Marco antusias.
Semua pendengar saling melirik. Irina menatap Polo seksama dari atas sampai bawah.
"Tahun berapa saat kau disuntik oleh ayahmu, Polo?" tanya Irina curiga.
Polo mendesah. "2041, jika aku tak salah ingat."
"What? Berarti seharusnya ... kau sudah berumur ...."
"Yup! Kami seharusnya sudah menjadi kakek-kakek berumur 60 tahun. Hehe, kami diawetkan, tapi dalam keadaan hidup. Lalu kau tahu, Irina? Saat kami bangun, semua orang sudah menghilang," sahut Marco yang kembali mengejutkan para pendengar.
Terlihat, raut kesedihan di wajah dua lelaki kembar yang memiliki manik berbeda itu. Semua orang terdiam dan keheningan menyelimuti cabin helikopter meski suara petir menggelegar masih terdengar kencang di luar.
"Harghhh!"
"Oh, God! Mereka sudah sadar!" pekik Irina panik saat melihat para monster kembali meraung dalam kantong mayat berisi air.
Lazo dan Safa menatap pria bermanik biru di depannya dengan saksama. "Kenapa mereka bisa bangun? Apakah tabung rusak?" tanya Safa menduga, dan semua orang selain pasturi itu mengangguk. "Lalu ... di mana kedua orang tuamu?" tanya seorang pria yang dulunya adalah salah satu pion dari kelompok mafia lain. "Akan kuceritakan sembari kalian bersiap. Ayo," ajak Yusuke. Safa dan Lazo mengangguk pelan. Polo disalami oleh dua orang yang baru saja bangkit itu. Polo tampak sungkan, tapi bisa merasakan jika dua orang itu cukup tangguh karena terlihat dari cara bersikap. "Asal kalian tahu, Lazo seorang pekerja kantoran sebuah perusahaan ternama di Jerman . Namun, itu hanya kedok saja. Ia dan isterinya adalah seorang petarung. Bahkan, saat sudah memilih menjadi warga sipil, keduanya melanjutkan profesi itu," bisik Lucy. "Petarung seperti apa?" tanya Bruno ikut penasaran. "Petarung bayaran. Mereka tak bisa meninggalkan profesi sebagai mafia seutuhnya. Dulunya, Benjamin Lazo dikenal dengan nama
Helikopter Marco terbang menuju ke bandara Seward karena kehabisan bahan bakar. Semua anggota Marco bersiap jikalau ada monster yang datang menyerang seperti kejadian beberapa hari yang lalu. Marco mencari titik pendaratan dekat lokasi bahan bakar. Semua anggota menyiapkan Rainbow Gas tanpa bom untuk melumpuhkan para monster karena mereka harus hemat amunisi. Perlahan, helikopter mendarat dekat sebuah hanggar. Hugo, Fabio dan Chen bersiap jikalau melihat monster mendekati kendaraan terbang mereka. Namun, sampai helikopter itu mendarat sempurna dan mesin dimatikan, tak ada satupun monster terlihat. "Cepat! Cepat!" pinta Lucas selaku co-pilot seraya keluar dari helikopter lalu mengambil dua derigen cadangan di dekat dudukan tempat tiga kawannya duduk. Marco segera keluar dan menggunakan indera penciumannya untuk memeriksa sekitar. Marco memberikan kode kepada kawan-kawannya jika tempat itu aman tak tercium keberadaan monster. Hugo memimpin di depan menuju ke tempat tong-tong bahan ba
Ternyata, Irina sungguh tak keluar kamar usai Sakura menginterogasinya. Kecurigaan Sakura dan Maksim semakin menguat karena gadis cantik itu mengurung dirinya di kamar hingga makan siang tiba. Marco dan timnya yang telah selesai mengamankan gedung dengan darah monster hasil kerja keras Maksim, segera masuk ke dalam hotel untuk menikmati makan siang yang telah dipersiapkan oleh para anggota Red Skull. Anak-anak membantu dengan membersihkan ruangan di hotel yang sering digunakan agar tetap rapi dan bersih. Keharmonisan terasa di dalam bangunan bertingkat yang kini dihuni oleh para manusia yang berhasil bertahan dari wabah monster. Para pria masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri sebelum berkumpul di ruang makan. Namun, saat Marco akan masuk ke kamar, ia terkejut karena pintu itu dikunci dari dalam. Marco mencoba mengetuk pintu berulang kali, tapi Irina tak kunjung membuka pintu kamar tersebut. Marco mulai panik karena tak ada tanggapan dari dalam kamarnya. "Irina! Irin
Anak-anak yang dikumpulkan di lobi, mendapat sambutan hangat dari anggota Red Skull dan Irina. Sakura sangat berterima kasih meski ia sedih setelah mengetahui jika Galina telah berpulang. Sakura berjanji akan mengunjungi makan Galina bersama Maksim nantinya. Malam itu, anak-anak diberikan kamar untuk mereka tinggal selama di tempat tersebut. Terlihat, anak-anak senang karena fasilitas dari hotel memberikan kenyamanan dan ada banyak orang dewasa di sekitar yang akan melindungi mereka. Namun, Irina malah mengurung diri di kamarnya tak ikut menyambut seperti yang lain. Gadis itu terlihat takut setelah mengetahui jika Sakura mengenal orang-orang yang telah tewas dari pihak 13 Demon Heads saat disebutkan oleh anggota Red Skull. CEKLEK! "Hem, pasti dia lelah," ucap Marco ketika kembali ke kamar dan mendapati Irina sudah tertidur di ranjang. Marco segera melucuti pakaiannya lalu membersihkan diri di kamar mandi yang berada dalam satu ruangan, meski terpisah dinding dengan ruang tidur. Tu
Kelompok Marco bergegas berlari mendatangi kelompok yang baru saja datang untuk mengamankan mereka dari serangan Monster. Kelompok itu terpaksa berpisah karena letak pendaratan helikopter. Marco berlari kencang mendahului kelompoknya karena ia mencium bau monster di sekitar wilayah itu. Marco panik, takut anak-anak itu terluka. Sedang Maksim, Fabio, Lucas dan anak-anak yang ikut bersama mereka terus berlari mendatangi gedung hotel tempat mereka berlindung nantinya. Namun, tiba-tiba saja .... "Horg!" "Serigala monster!" teriak Fabio lantang saat melihat tiga ekor serigala berlari kencang, muncul dari persimpangan jalan. Hewan-hewan itu terlihat beringas. Mata mereka menyala merah dengan air liur menetes dari rahang bergigi tajam tersebut. "AAAAA!" jerit anak-anak histeris. "Terus berlari! Jangan berhenti!" teriak Maksim berusaha sekuat tenaga mengikuti anak-anak itu. Fabio dan Lucas dengan sigap mengarahkan senapan laras panjang mereka untuk menjatuhkan para serigala. "Heaaahhh
Saat Irina tampak gugup karena ditatap tajam oleh kekasihnya—Marco—dan dicurigai oleh Maksim, tiba-tiba terdengar suara mesin gemuruh rendah dari kejauhan. Maksim, Irina dan Marco yang berada di atap gedung langsung menoleh ke asal suara. Mata mereka menyipit saat mendapati dua buah helikopter mendekat dengan sorot lampu menyilaukan menunjukkan posisi mereka di malam gelap. "Itu mereka! Itu pasti Sakura dan timnya!" seru Maksim gembira. Praktis, Marco dan Irina langsung berdiri ikut bahagia. Namun, mereka melihat cahaya berkedip dari dermaga tempat kapal dijaga oleh Chen dan Amy. Kapal mereka menjauh dari dermaga seraya terus menyuarakan klakson kapal. Irina melebarkan mata saat hidung Marco bergerak seperti mengendus. "Monster!" seru Marco lantang menunjuk ke bagian bawah bangunan. Mata Irina dan Maksim terbelalak lebar ketika melihat di jalanan, segerombolan manusia buas itu berlari ke arah mereka. Marco yakin, para monster itu pasti tertarik karena suara dan pergerakan helikopt