Marco-Polo adalah saudara kembar yang disebut-sebut sebagai 'Penyelamat' oleh para manusia yang masih bertahan di bumi dari serangan para 'Monster'. Dalam usahanya memusnahkan para monster bersama para manusia yang selamat, mereka bertemu dengan sosok gadis yang mengaku bernama Irina Tolya. Rumor mengatakan, jika masih ada satu manusia yang bisa mengendalikan monster dalam tubuhnya dan ialah gadis berdarah campuran hijau tersebut. Hanya saja, kehadiran Irina Tolya malah membuat Marco dan Polo terpecah. Keduanya saling bertikai dan membentuk kubu sendiri dalam menyelesaikan konflik wabah monster ini. Akankah tujuan Marco dan Polo untuk membersihkan bumi dari para monster akan terwujud saat keduanya sudah tak sejalan? Dan siapakah sosok Irina Tolya, hingga kabar angin bisa membawa namanya di tengah kehancuran dunia?
view moreNew York tahun 2070.
Gemuruh rendah yang dihasilkan mesin besar bergema dalam gelapnya malam. Dengan berbekal cahaya bulan sebagai penerangnya, terlihat samar sebuah helikopter melintasi langit malam.
Di dalam helikopter, sejumlah orang memasang wajah tegang, mengkhawatirkan suasana mencekam yang dihasilkan suara guntur yang mulai terdengar. Awan mendung yang menutupi sinar bulan, menandakan badai akan segera datang.
Mendadak, kilatan petir terlihat, dan hal tersebut diikuti dengan guncangan hebat helikopter.
"Marco! Visual!" teriak seorang lelaki dengan manik biru lautan yang berdiri tegap di pintu palka helikopter tipe kargo tersebut.
"Negatif, Polo! Tak ada kehidupan!" jawab seorang pria lain dari bangku kemudi helikopter bernama Marco. Mata merahnya yang fokus pada pemandangan di depannya dan tak menyadari bahwa co-pilotnya terlihat begitu tegang.
Pria benama Polo tersebut berdecak. Matanya menyipit saat merasakan udara dingin mulai menerpa tubuhnya dan membuat rambutnya terhempas seketika.
"Cari lokasi pendaratan yang aman! Kita lanjutkan pencarian begitu badai reda," tegas Polo seraya mengalihkan pandangan dari pemandangan mengerikan yang dipamerkan lokasi di bawah sana, sebuah dataran hancur-lebur yang sempat dipanggil sebuah ‘kota’. “Nanti, ketika—!”
Sebelum Polo menyelesaikan ucapannya, suara ledakan dahsyat mengejutkan awak dalam helikopter tersebut. Polo bergegas kembali ke pintu palka untuk mengintip.
"Polo! Tangkap!" teriak co-pilot sembari melemparkan teropong pendeteksi suhu panas dari tempat duduknya.
Polo langsung berjongkok dan menempelkan benda yang memiliki lensa berlapis tersebut di kedua matanya. "Ada manusia yang selamat!" teriaknya lantang mengejutkan semua orang.
Para pria berseragam hitam yang duduk di bangku helikopter segera berdiri dan mendatangi Polo.
"Hanya satu. Jangan buang waktu untuk menyelamatkannya, Capt!" tegas seorang pria bertubuh gemuk dari teropong suhu.
"Satu lebih baik daripada tidak sama sekali. Jika yang di bawah itu kau, apakah tak ada keinginan untuk diselamatkan?" jawab Polo melirik pria di sampingnya. Pria itu mengangguk pelan, terlihat malu.
Mendengar ucapan pria dengan wajah serupa dirinya itu—saudara kembarnya—Marco segera mengarahkan helikopter ke lokasi yang telah di tandai oleh Polo.
Polo melemparkan sebuah benda berbentuk tabung berwarna perak dengan dua katup di sisi kanan kiri memiliki lubang-lubang kecil seperti penyaring.
"Hah! Hah!" engah seorang gadis dengan rambut berwarna cokelat dikuncir kuda, berlari kencang menghindari kejaran sekumpulan orang yang terlihat buas dengan mulut berliur dan mata merah.
"Agh! No! No!" teriaknya panik yang sudah jatuh di atas tanah dan puing-puing bangunan di sekitarnya.
"Harrghhh!"
"Aaaaaa!"
Gadis itu meringkuk menutupi kepala dengan kedua tangan, pasrah dengan takdir kejam yang akan menentukan hidupnya.
Namun, mata gadis itu melebar seketika saat mendengar suara benda jatuh di dekat sepatu boots dan mengeluarkan bunyi nyaring memekakkan telinga.
Gadis tersebut melihat sebuah benda yang dikenalinya mengeluarkan asap pekat berwarna putih dari dua katup yang menyeruak di sekitarnya.
Gadis itu seperti mendapatkan kekuatannya kembali. Ia segera berdiri dan bergegas menaiki reruntuhan puing bangunan dengan besi mencuat dari fondasinya, bersembunyi di balik dinding keropos itu.
"Hah ... hah ... itu ...," engahnya dengan jantung berdebar kencang serasa akan meledak dan matanya langsung memindai ke atas langit.
Matanya menajam saat melihat seperti kumpulan burung besar berwarna hitam terbang menuju ke arahnya.
Senyum gadis tersebut merekah. Ia berdiri dan melambaikan tangan. Namun ....
"Aghhh!" teriaknya terkejut saat tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga ia terjungkal dari balik dinding dan kini terlentang di atas puing.
"Hargghhh!"
Mata gadis itu melebar dan ia segera merangkak mundur dengan cepat menggunakan kedua telapak tangan sebagai penumpu tubuhnya yang sudah kotor karena aksinya malam itu agar tetap hidup.
"Pergi!" teriaknya sembari melemparkan benda apapun yang bisa diraih dalam genggaman tangan ke tubuh seorang pria yang terlihat buas dan luka di sekujur tubuhnya.
Seketika, terdengar suara tembakan bertubi-tubi yang membuat gadis itu langsung memejamkan mata dan menutup kedua telinga, kembali meringkuk di atas puing agar tak terkena peluru tajam mematikan di dekatnya.
Suara langkah kaki terdengar seperti menginjak bebatuan yang berserakan di tempat tak bertuan tersebut.
"Periksa dia."
Mata gadis itu kembali terbuka meski tubuhnya gemetaran tanpa ia kehendaki. Ia membuka kedua tangan yang menutup telinganya dengan gugup.
Pandangannya terkunci pada sosok pria tampan meski terlihat berantakan dan kumal karena noda tanah di wajahnya.
"Bangun dan angkat kedua tanganmu!" perintah seorang lelaki berkulit hitam, mengarahkan senapan laras panjang ke tubuhnya.
Gadis itu perlahan bangun meski terlihat ragu. Ia kembali tertegun saat sebuah senter dengan lampu menyilaukan mata menyorot manik hijaunya.
"Buka mulut dan matamu! Jika kami melihat gejala, kau mati di tempat," tegas seorang pria berambut pirang dengan senter di tangannya.
Gadis itu melakukan yang diperintahkan dan mencoba untuk tenang. Namun, matanya kembali pada sosok pria yang berdiri di samping mayat menunjukkan wajah datar.
"Matamu biru. Apakah ... kau Polo? Pria yang disebut sebagai 'Penyelamat'?" tanya gadis itu yang praktis, membuat Polo menoleh seketika.
"Angin membawa berita palsu, Nona. Jika aku seorang penyelamat, seharusnya ... tak perlu ada kematian di tiap kota yang aku singgahi," jawabnya sembari berjalan mendekati sekumpulan pria yang terkena dampak gas berwarna putih hasil lemparannya dari atas langit.
Gadis itu nekat mendatangi Polo meski dihadang oleh para lelaki berseragam hitam.
"Bagiku kau tetap pahlawan. Kau menyelamatkanku. Kabar yang kudengar, kau mengumpulkan para 'Monster' untuk disembuhkan. Apakah ... kau berhasil melakukannya?" tanya gadis itu menatap Polo tajam yang berdiri memunggunginya.
Semua pria dari tim Polo saling melirik dalam diam. Polo membalik tubuhnya dan berdiri di kejauhan menatap gadis tak dikenalnya itu.
"Kabar terakhir yang kudapat, aku tak pernah mengumpulkan para monster untuk diobati. Aku bahkan tak tahu jika mereka bisa disembuhkan. Apa kau bermaksud memberikanku petunjuk? Siapa kau sebenarnya?" tanya Polo menyorotnya tajam.
"Irina Tolya."
Lazo dan Safa menatap pria bermanik biru di depannya dengan saksama. "Kenapa mereka bisa bangun? Apakah tabung rusak?" tanya Safa menduga, dan semua orang selain pasturi itu mengangguk. "Lalu ... di mana kedua orang tuamu?" tanya seorang pria yang dulunya adalah salah satu pion dari kelompok mafia lain. "Akan kuceritakan sembari kalian bersiap. Ayo," ajak Yusuke. Safa dan Lazo mengangguk pelan. Polo disalami oleh dua orang yang baru saja bangkit itu. Polo tampak sungkan, tapi bisa merasakan jika dua orang itu cukup tangguh karena terlihat dari cara bersikap. "Asal kalian tahu, Lazo seorang pekerja kantoran sebuah perusahaan ternama di Jerman . Namun, itu hanya kedok saja. Ia dan isterinya adalah seorang petarung. Bahkan, saat sudah memilih menjadi warga sipil, keduanya melanjutkan profesi itu," bisik Lucy. "Petarung seperti apa?" tanya Bruno ikut penasaran. "Petarung bayaran. Mereka tak bisa meninggalkan profesi sebagai mafia seutuhnya. Dulunya, Benjamin Lazo dikenal dengan nama
Helikopter Marco terbang menuju ke bandara Seward karena kehabisan bahan bakar. Semua anggota Marco bersiap jikalau ada monster yang datang menyerang seperti kejadian beberapa hari yang lalu. Marco mencari titik pendaratan dekat lokasi bahan bakar. Semua anggota menyiapkan Rainbow Gas tanpa bom untuk melumpuhkan para monster karena mereka harus hemat amunisi. Perlahan, helikopter mendarat dekat sebuah hanggar. Hugo, Fabio dan Chen bersiap jikalau melihat monster mendekati kendaraan terbang mereka. Namun, sampai helikopter itu mendarat sempurna dan mesin dimatikan, tak ada satupun monster terlihat. "Cepat! Cepat!" pinta Lucas selaku co-pilot seraya keluar dari helikopter lalu mengambil dua derigen cadangan di dekat dudukan tempat tiga kawannya duduk. Marco segera keluar dan menggunakan indera penciumannya untuk memeriksa sekitar. Marco memberikan kode kepada kawan-kawannya jika tempat itu aman tak tercium keberadaan monster. Hugo memimpin di depan menuju ke tempat tong-tong bahan ba
Ternyata, Irina sungguh tak keluar kamar usai Sakura menginterogasinya. Kecurigaan Sakura dan Maksim semakin menguat karena gadis cantik itu mengurung dirinya di kamar hingga makan siang tiba. Marco dan timnya yang telah selesai mengamankan gedung dengan darah monster hasil kerja keras Maksim, segera masuk ke dalam hotel untuk menikmati makan siang yang telah dipersiapkan oleh para anggota Red Skull. Anak-anak membantu dengan membersihkan ruangan di hotel yang sering digunakan agar tetap rapi dan bersih. Keharmonisan terasa di dalam bangunan bertingkat yang kini dihuni oleh para manusia yang berhasil bertahan dari wabah monster. Para pria masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri sebelum berkumpul di ruang makan. Namun, saat Marco akan masuk ke kamar, ia terkejut karena pintu itu dikunci dari dalam. Marco mencoba mengetuk pintu berulang kali, tapi Irina tak kunjung membuka pintu kamar tersebut. Marco mulai panik karena tak ada tanggapan dari dalam kamarnya. "Irina! Irin
Anak-anak yang dikumpulkan di lobi, mendapat sambutan hangat dari anggota Red Skull dan Irina. Sakura sangat berterima kasih meski ia sedih setelah mengetahui jika Galina telah berpulang. Sakura berjanji akan mengunjungi makan Galina bersama Maksim nantinya. Malam itu, anak-anak diberikan kamar untuk mereka tinggal selama di tempat tersebut. Terlihat, anak-anak senang karena fasilitas dari hotel memberikan kenyamanan dan ada banyak orang dewasa di sekitar yang akan melindungi mereka. Namun, Irina malah mengurung diri di kamarnya tak ikut menyambut seperti yang lain. Gadis itu terlihat takut setelah mengetahui jika Sakura mengenal orang-orang yang telah tewas dari pihak 13 Demon Heads saat disebutkan oleh anggota Red Skull. CEKLEK! "Hem, pasti dia lelah," ucap Marco ketika kembali ke kamar dan mendapati Irina sudah tertidur di ranjang. Marco segera melucuti pakaiannya lalu membersihkan diri di kamar mandi yang berada dalam satu ruangan, meski terpisah dinding dengan ruang tidur. Tu
Kelompok Marco bergegas berlari mendatangi kelompok yang baru saja datang untuk mengamankan mereka dari serangan Monster. Kelompok itu terpaksa berpisah karena letak pendaratan helikopter. Marco berlari kencang mendahului kelompoknya karena ia mencium bau monster di sekitar wilayah itu. Marco panik, takut anak-anak itu terluka. Sedang Maksim, Fabio, Lucas dan anak-anak yang ikut bersama mereka terus berlari mendatangi gedung hotel tempat mereka berlindung nantinya. Namun, tiba-tiba saja .... "Horg!" "Serigala monster!" teriak Fabio lantang saat melihat tiga ekor serigala berlari kencang, muncul dari persimpangan jalan. Hewan-hewan itu terlihat beringas. Mata mereka menyala merah dengan air liur menetes dari rahang bergigi tajam tersebut. "AAAAA!" jerit anak-anak histeris. "Terus berlari! Jangan berhenti!" teriak Maksim berusaha sekuat tenaga mengikuti anak-anak itu. Fabio dan Lucas dengan sigap mengarahkan senapan laras panjang mereka untuk menjatuhkan para serigala. "Heaaahhh
Saat Irina tampak gugup karena ditatap tajam oleh kekasihnya—Marco—dan dicurigai oleh Maksim, tiba-tiba terdengar suara mesin gemuruh rendah dari kejauhan. Maksim, Irina dan Marco yang berada di atap gedung langsung menoleh ke asal suara. Mata mereka menyipit saat mendapati dua buah helikopter mendekat dengan sorot lampu menyilaukan menunjukkan posisi mereka di malam gelap. "Itu mereka! Itu pasti Sakura dan timnya!" seru Maksim gembira. Praktis, Marco dan Irina langsung berdiri ikut bahagia. Namun, mereka melihat cahaya berkedip dari dermaga tempat kapal dijaga oleh Chen dan Amy. Kapal mereka menjauh dari dermaga seraya terus menyuarakan klakson kapal. Irina melebarkan mata saat hidung Marco bergerak seperti mengendus. "Monster!" seru Marco lantang menunjuk ke bagian bawah bangunan. Mata Irina dan Maksim terbelalak lebar ketika melihat di jalanan, segerombolan manusia buas itu berlari ke arah mereka. Marco yakin, para monster itu pasti tertarik karena suara dan pergerakan helikopt
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments