"Iriana Tolya."
Praktis, mata semua orang melebar saat gadis yang mereka selamatkan menyebutkan namanya.
Polo mendekati gadis itu dan menarik pergelangan tangannya. Gadis itu terdiam ketika jaket hitamnya yang robek dari bagian lengan sebelah kiri di lihat oleh pria bermanik biru tersebut.
"Agh!" rintihnya ketika Polo menyayat lengannya yang putih dengan sebuah pisau hingga darahnya menetes.
Gadis itu membungkam mulutnya dengan air mata menetes begitu saja. Polo melihat darah gadis itu menyeruak, tapi warnanya merah kehijauan. Mata semua orang yang melihat terbelalak lebar.
"Cerita itu benar. Ada seorang gadis yang bisa mengendalikan pengaruh serum 'Monster' dalam tubuhnya. Itu bukan mitos, Polo. Itu kisah nyata!" tegas seorang pria berambut pirang menatap Polo tajam.
Polo menghisap darah yang menyeruak itu dengan mulutnya. Semua orang tertegun, tapi seketika, Polo meludah dan mengelap mulutnya dengan kain di lengan baju tempurnya.
"Pahit," ucapnya dengan kening berkerut.
Gadis itu merobek bagian bawah kaosnya untuk membalut lengannya yang tersayat. Ia memegangi lengannya yang sakit dengan mata terpejam seperti berusaha menenangkan diri.
"Aku akan membantumu menghentikan wabah monster ini, asal kau menolongku menemukan sisa peninggalan. Bagaimana?" tanya gadis bernama Irina terlihat serius.
"Jangan membual. Wabah ini tak ada obatnya. Menyelesaikannya dengan membunuh mereka semua," jawab Polo tegas.
Irina mengepalkan kedua tangan. Semua pria dari tim Polo langsung menyiagakan senjata. Mereka membidik tubuh Iriana dan mundur perlahan. Polo terlihat waspada.
"Akan kutunjukkan padamu, ketika 'Monster' bisa dikendalikan," ucapnya dengan nafas mulai menderu.
Mata Polo terbelalak, ketika melihat Irina mulai bersikap tak wajar. Otot-otot di tubuhnya menegang dan wajahnya berubah bengis seketika. Semua orang tegang.
"Harrghhh!" teriaknya meraung bagaikan seekor monster yang terlepas dari belenggu. "Run little rabbit, run," ucapnya dengan seringai muncul di wajah.
"Run!" teriak Polo lantang.
Praktis, semua pria bersenjata itu berlari kencang untuk menyelamatkan diri. Irina mengejar mereka dengan tawa menggelegar seperti badai yang sebentar lagi menerjang kawasan tempat mereka berada.
"Shoot her!" teriak Polo berlari ke arah pintu palka belakang helikopter yang terbuka. Terlihat, Marco sudah membidik Irina dengan senapan laras panjang dalam genggaman.
Namun tiba-tiba, Irina terjatuh. Marco menurunkan senjata dan menatap gadis cantik berahang tegas itu seksama.
"Hei! Jangan diam saja! Kita harus segera pergi!" tegas Polo menarik salah satu lengan saudara kembarnya.
"Wait. Look!" jawabnya menunjuk Irina yang mengerang di atas tanah, menyembunyikan wajahnya di balik rambutnya yang tergerai karena kuncirnya terlepas.
"Hempf ... argh! Aku bukan monster! Hargh!" erangnya seperti mencoba menyangkal sesuatu dalam dirinya.
Kening Marco dan semua orang yang melihat keanehan Iriana berkerut. Mereka berkumpul dan berdiri menatap Irina tajam di kejauhan.
Irina perlahan bangun dan mendongakkan kepalanya ke atas. Saat itu juga, suara guntur terdengar disertai tetesan hujan mulai mengguyur kawasan tempat mereka berdiri secara perlahan.
Irina kembali berdiri tegap dan membiarkan tubuhnya basah dengan pandangan sendu menatap semua orang.
"Aku bisa mengendalikannya," jawabnya pelan.
Marco dan lainnya tertegun seketika.
"Marco, bagaimana?" tanya Polo berbisik ke saudara kembarnya yang bersikap seperti mengendus udara di sekitar gadis itu meski hujan mengguyur di tempat mereka berada.
"Dia berbeda," jawabnya masih terus mengendus. "Aku cukup yakin jika dia aman. Baunya lain, tapi ... dia masih manusia," sambungnya seraya menatap Irina lekat dari tempatnya berdiri. Polo menyipitkan mata terlihat serius untuk menentukan keputusannya.
"Masuklah," pinta Polo dan Irina mengangguk pelan.
Semua orang masih menjaga jarak ketika Irina mulai memasuki cabin dan duduk di salah satu bangku. Irina malah memberikan kedua tangannya kepada Polo yang berdiri di depannya.
"Haruskah kuajari cara memborgol? Hem?" tanya Irina menaikkan salah satu alisnya.
Polo tersenyum dan melakukan yang Irina minta. Semua orang mulai terlihat tenang dan mendekati bangku, siap untuk duduk.
"Wait. Tugas kalian belum selesai," ucapnya melirik dengan tetesan air mengenai wajah dari rambutnya yang basah.
"Tugas apa?" tanya Marco bingung.
"Para monster yang pingsan. Bawa mereka masuk. Hujan membantu mereka untuk tenang. Ikat mereka dan rendam dalam air saat kita membawanya. Cepat lakukan sebelum efek gas bius mereka habis."
Semua pria itu saling memandang terlihat ragu.
"Jika tak mau, aku saja. Namun, lepaskan borgolku," ucapnya sembari menyodorkan tangannya yang terperangkap.
Polo memberikan kode kepada anak buahnya untuk melakukan yang Irina minta. Namun, mereka tak memiliki tempat untuk menampung air.
"Punya kantong mayat? Masukkan mereka di dalam sana. Setidaknya, mereka tetap tenang sampai menuju ke perbatasan. Kita akan rendam mereka di Upper Bay, Patung Liberty," sambungnya yang mengejutkan semua orang.
"Bagaimana kau tahu semua ini?" tanya Marco curiga bertolak pinggang dengan dagu terangkat.
Namun, Irina hanya diam. Semua orang masih menunggunya membuka mulut, tapi gadis tersebut malah memejamkan mata dan memalingkan wajah.
"Kita diabaikan oleh seorang gadis. Wow," celetuk Polo dan semua orang tertawa meski tak bersuara.
"Sepertinya kita harus mandi. Wajah tampan kita jadi tak terlihat karena kotoran di bumi ini. Hem, air hujan ini gratis. Lumayan untuk membersihkan diri," sahut Marco sembari meletakkan senapan laras panjang dan malah menelanjangi diri.
Semua orang shock dibuatnya, ketika Marco berjalan begitu saja keluar dari helikopter dan hanya mengenakan sepatu boots tanpa satupun pakaian di tubuhnya.
Marco berjalan sembari menenteng dua kantong mayat di kedua tangannya sambil berjoget menikmati tetesan air hujan yang mengguyur tubuhnya.
"Kenapa aku memiliki saudara tak waras sepertinya? Dia lebih gila dari para monster ini," gerutu Polo mendatangi Marco dan ikut terguyur hujan hingga pakaiannya basah kuyup.
Orang-orang terkekeh. Mereka keluar dari helikopter dan memasukkan para monster ke dalam kantong mayat yang telah diisi oleh air hujan dengan penutup di bagian wajah sengaja di buka.
Para pria itu menggotong beberapa kantong mayat berisi para monster yang sudah direndam dalam air dan digeletakkan di atas lantai helikopter.
Irina melirik dan tersenyum tipis. Ia tak menyangka para lelaki itu menuruti perintahnya. "Aku sudah menemukan mereka. Seharusnya, petaka ini akan segera berakhir," ucapnya lirih dengan mata kembali terpejam.
Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa dukung author dengan vote gems batu biru dan komen positif ya. Jika menemukan typo dalam penulisan, koreksi aja di paragraf tersebut nanti akan lele revisi. Tengkiyuw lele padamu^^
Irina tertidur selama proses pemindahan para monster tersebut ke dalam helikopter. Namun, sosok Irina menarik perhatian Marco. Pria bermanik merah tersebut mendekati gadis berambut cokelat ikal, memiliki bulu mata lentik melengkung senada dengan alisnya dan parasnya menunjukkan keramahan bahkan saat memejamkan mata. Pandangan semua pria yang duduk di bangku kini terkunci pada gerak-gerik tak lazim dari saudara kembar Polo. "Dasar psikopat! Hentikan perilaku menjijikkanmu itu!" tegas Polo dari tempat duduknya dengan mata melotot. "Iyuh," ucap seorang pria sampai memejamkan mata karena Marco malah menjilat hidung mancung gadis itu hingga ia terbangun dari tidurnya. "Hah!" kejutnya saat melihat wajah Marco membungkuk di depannya dan mengunci kedua pergelangan tangannya seraya menekannya ke dinding helikopter. Marco menyeringai dan kembali menjulurkan lidah. Para pria memalingkan wajah begitupula Irina yang membungkam mulutnya saat Marco m
Semua penumpang dalam helikopter panik seketika. Lima lelaki yang terindikasi terkena serum monster kembali mengamuk dan meraung di dalam kantong mayat."Shoot them!" teriak Polo sembari melepaskan seat belt yang menahan perutnya."No! No! No!"DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!Mata Irina terpejam seketika. Ia mengepalkan kedua tangan di depan wajahnya terlihat menahan marah. Namun, gerak-geriknya yang mencurigakan itu, membuat seluruh moncong senapan terarah ke tubuhnya.Akan tetapi, tangis kesedihan yang malah mereka dengar dari gadis cantik itu. Polo menatap Irina yang menangis terisak seperti menyayangkan perbuatan yang mereka lakukan."Hiks! Kalian ingin memusnahkan ras kita, ha? Sudah berapa banyak yang kalian bunuh? Sudah kubilang jika mereka bisa disembuhkan! Ini bukan wabah! 'Monster' tidak menular!" teriaknya dengan air mata sudah mengguyur deras wajah cantiknya seperti hujan lebat di luar."Jika h
Polo akhirnya mendatangi saudara kembarnya yang malah memainkan kejantanan salah seorang Monster tersebut dengan ujung pistol dalam genggaman. Irina memalingkan wajah terlihat tak ingin ikut serta dalam pengamatan itu."Darahnya merah kehitaman. Secara logika, dia masih manusia, Polo. Mungkin bisa diibaratkan minyak dan air yang tercampur. Kita harus mencari seorang dokter atau ... profesor, atau ... petugas lab, atau siapapun yang bekerja di dunia medis untuk meneliti mereka. Memisahkan senyawa aneh di tubuh para monster ini. Mungkin, kita bisa menemukan obatnya," ucap Marco menunjuk darah para monster yang tergenang di lantai helikopter."Dokter? Kau berencana mencari ilmuwan di tengah reruntuhan dan hancurnya kota-kota di dunia? Begitu?" tanya Polo menegaskan dan Marco mengangguk cepat."Itu seperti mencari emas dalam kubangan lumpur, Marco. Selama bertahun-tahun, kita mencari manusia hidup dan hanya beberapa yang berhasil kita selamatkan. Tak ada satupun dar
Marco mengambil alih menjadi pemimpin tim kali ini karena Polo dan anggota lainnya tak mau berdebat dengan lelaki bermanik merah tersebut.Irina dan Polo memilih duduk di bangku karena lantai helikopter dipenuhi oleh peta serta perlengkapan komunikasi lainnya. Para anggota tim duduk melingkar mendengarkan instruksi Marco dengan seksama."Bagaimana kau bisa selamat sampai sejauh ini, Irina?" tanya Polo menatapnya curiga."Aku beradaptasi. Aku pernah bertemu pasukan militer sebelumnya saat serangan besar terjadi di Mexico. Aku ikut dalam kelompok mereka sampai ke titik evakuasi. Aku mengamati cara mereka mengunakan senapan, granat, peluncur misil dari RPG dan senjata lainnya. Hingga malam itu, ketika beberapa orang yang selamat akan diseberangkan ke Cuba menggunakan sebuah kapal, kami di serang entah dari mana para monster itu datang. Orang-orang terluka dan tewas," ucapnya terlihat berusaha untuk tetap tegar saat bercerita."Oke, lanjutkan," pinta Polo.
Irina menatap wajah Polo penuh selidik saat pria itu mengatakan hal yang menarik perhatiannya tentang sosok Marco dan kemampuan yang dimilikinya.Mata Irina kembali ke tablet yang menangkap pergerakan Marco saat ia mengendap ke balik semak tanpa diikuti oleh dua pria yang menjaganya.Mata Irina melebar ketika ia melihat pergerakan kameranya seperti sempat kabur beberapa detik lalu kembali jelas dan berubah kabur saat Marco bergerak."Apakah kita mengalami gangguan sinyal?" tanya Irina sembari membenarkan sebuah parabola portabel yang tersambung ke tablet dalam genggamannya."Itulah salah satu kehebatan dari Marco. Dia gesit dan sangat hebat dalam menyelinap. Ia juga bisa mencium bau dari jarak 1 kilometer. Oleh karena itu, dia tertarik padamu. Sepertinya baumu lain dari manusia yang pernah ia temui sebelumnya," sahut co-pilot yang tiarap di atas helikopter, membidik siapapun yang berusaha menyerang timnya."Wow! Apakah ..
Wajah semua orang serius seketika."Silent Gold?" sahut Polo seakan tak percaya dengan yang diucapkan oleh Irina dan Marco.Polo segera berdiri dan mendekatkan bilah pedang itu ke bawah cahaya lampu untuk melihat lebih jelas tentang senjata yang ditemukannya."Apa itu Silent Gold?" tanya Robin—pria berkulit hitam—yang ikut mengambil sebuah belati dan menggenggamnya erat."Aku hanya pernah mendengar kisahnya. Namun, ibu dulu mengatakan jika itu sebuah dongeng zaman peperangan. Apa jangan-jangan ... ah! Itu hanya mainan!" pekik Marco menyangkal ucapannya sendiri."Agh!" rintih Polo dan erangannya mengejutkan semua orang."Ada apa? Kau kenapa?" tanya Robin panik dan bergegas mendekati Captain-nya."Oh! Kau berdarah!" pekik Chen. Pria berwajah Asia itu segera membuka tas ransel untuk mengambil perlengkapan medis.Kening Irina berkerut. Ia melihat darah Polo berwarna merah kebiruan. Irina menat
Kesedihan dalam heningnya bunker menyelimuti hati semua orang. Irina berusaha untuk mengendalikan dirinya yang dirundung kesedihan. Marco menatap wajah Irina tajam yang berusaha tegar dengan terus menggergaji gembok untuk membuat suara berisik di dalam ruangan itu.Hingga akhirnya, Marco berhasil membuka seluruh gembok dari peti-peti yang berhasil diturunkan. Lucas dan Chen menyingkirkan peralatan makan mereka untuk bisa melihat lebih jelas isi dari peti-peti tersebut."Ini seperti membuka kado Natal, Polo. Jangan merusak kesenanganku, aku ingin membuka semuanya," ucap Marco dengan keringat membasahi keningnya."Oke, oke," jawab Polo pasrah mengangkat kedua tangan. Irina tersenyum melihat Polo begitu sabar menghadapi tingkah saudara kembarnya.Marco menggosokkan kedua tangan sambil menjulurkan lidah terlihat begitu bersemangat. Ia berjongkok di salah satu peti berwarna hitam yang memiliki tanda titik cet berwarna di bagian penutupnya.KLEK!
Semua orang terkekeh. Suasana dalam bunker ramai seketika. Polo meminta kepada Marco agar merelakan sepatu yang sudah dipakai oleh Chen dengan dalih pria Asia itu lebih membutuhkannya. "Kau pilih kasih, Polo! Mereka mendapatkan barang bagus, sedang aku hanya menjadi tukang congkel sedari tadi tanpa upah sedikitpun," ucapnya protes. Semua orang menahan tawa. "Hei! Barter kita belum selesai. Aku masih ingin tahu tentang kalian berdua. Aku sangat yakin, jika Marco dan Polo, bukan manusia biasa. Jangan bohong padaku," ucap Irina tegas seraya turun perlahan dari tiang besi tempatnya berpijak. Semua pria di sana ikut menunjukkan wajah serius di mana mereka juga ingin mengetahui lebih dalam tentang dua pria bermanik merah dan biru tersebut. "Wah, kita dikeroyok, Polo. Namun ... aku suka mendengar dongeng. Ceritakan mereka dengan petualangan kita," ucap Marco kembali tersenyum sembari mendatangi sebuah peti untuk melihat isinya. Polo mendesah