Share

MP-5. Looking for Clues

Polo akhirnya mendatangi saudara kembarnya yang malah memainkan kejantanan salah seorang Monster tersebut dengan ujung pistol dalam genggaman. Irina memalingkan wajah terlihat tak ingin ikut serta dalam pengamatan itu.

"Darahnya merah kehitaman. Secara logika, dia masih manusia, Polo. Mungkin bisa diibaratkan minyak dan air yang tercampur. Kita harus mencari seorang dokter atau ... profesor, atau ... petugas lab, atau siapapun yang bekerja di dunia medis untuk meneliti mereka. Memisahkan senyawa aneh di tubuh para monster ini. Mungkin, kita bisa menemukan obatnya," ucap Marco menunjuk darah para monster yang tergenang di lantai helikopter.

"Dokter? Kau berencana mencari ilmuwan di tengah reruntuhan dan hancurnya kota-kota di dunia? Begitu?" tanya Polo menegaskan dan Marco mengangguk cepat.

"Itu seperti mencari emas dalam kubangan lumpur, Marco. Selama bertahun-tahun, kita mencari manusia hidup dan hanya beberapa yang berhasil kita selamatkan. Tak ada satupun dari mereka seorang dokter," tegas seorang pilot yang menggantikan tugasnya tadi.

"Tabung!" sahut Irina tiba-tiba dari tempatnya duduk.

"Tabung apa?" tanya Polo bingung.

"Tabung yang menidurkan kalian hingga berpuluh-puluh tahun lamanya! Pasti ada petunjuk di sana. Tak bisakah kalian berdua pikir jika mungkin, mungkin saja ... ada jejak yang bisa kita dapatkan dari tabung tersebut," jawab Irina antusias sampai matanya terbelalak lebar.

"Ke Miami? Kau ingin kami kembali ke Miami? Hah! Yang benar saja! Tempat itu sudah seperti neraka! Kami hampir mati saat berusaha keluar dari tempat itu!" pekik Marco menolak keras.

"Tak bisakah kau pahami, Tuan Marco? Ayahmu yang bernama ... mm, sorry aku ...."

"Brian," sahut Polo dan Marco bersamaan.

"Ah, yes, itu maksudku. Dia menyuntikkan kalian sebuah vitamin. Lalu ... kalian tertidur dan terbangun dalam sebuah tabung. Bisa jadi, ayah kalian sengaja melakukannya. Bisa jadi, Brian tahu hal ini akan terjadi. Ia menyelamatkan nyawa kalian dengan memasukkan dalam tabung itu," ucap Irina menjelaskan penuh semangat.

Polo dan Marco terdiam.

"Damn! Aku selama ini menyalahkan ayah dan ibu karena meninggalkan kami," ucap Polo sedih menutup matanya dengan salah satu tangannya.

"Kita harus ke tempat tabung itu berada. Berharaplah, kita akan menemukan jejak keberadaan orang tua kalian. Semua hal baik masih bisa terjadi dalam keterpurukan ini," ucap Irina menyemangati para pria di depannya yang terlihat lesu.

"Bagaimana jika tidak ada?" sahut Polo terlihat putus harapan.

"Kita pergi ke utara. Jika kalian mencari manusia yang selamat, seharusnya mereka ada di sana. Aku yang menyarankan agar mereka berlindung di tempat dingin," ucap Irina yang membuat mata semua orang terbelalak.

"What? Benarkah? Masih ada manusia hidup dalam jumlah banyak di bumi ini?" tanya Marco memekik.

"Namun, aku tak tahu. Apakah orang-orang itu berhasil selamat sampai ke sana atau tidak. Kami ... berpisah di jalan," jawab Irina tertunduk sedih dengan mata kembali berlinang.

"Kita bisa pergi ke Utara, Teman-teman. Kita memiliki peluang hidup di sana," sahut pria berwajah Asia terlihat gembira mendengar berita tersebut.

"Kau bermaksud untuk meninggalkan kelompok demi hidup di Utara? Bersama para manusia penakut itu, begitu?!" pekik Marco marah dan mendorong dada pria Asia tersebut hingga terpepet dinding helikopter.

"Hei, hei, tenang. Kita harus menghargai keputusan Chen. Mungkin, ia sudah lelah ikut bersama kita, Marco," ucap Polo mendekap Marco dari belakang.

"Pengecut!" ucap Marco meludahi pria Asia yang terlihat tertekan tersebut. Semua pria berpakaian hitam dan bersenjata itu terdiam, terlihat ragu akan keputusan yang akan mereka pilih.

"Ya, kalian semua boleh pergi, tapi jalan kaki. Helikopter dan semua persediaan milik kami. Hanya dipertuntukkan bagi orang-orang yang masih ingin bertempur. Ingin pergi? Silakan. Kalian akan aku tinggalkan di sini. Aku sungguh menyesal menyelamatkan kalian kala itu jika tahu seperti ini balasannya. Menjijikkan," ucap Marco kesal dan melepaskan dekapan Polo di tubuhnya.

Polo dan semua orang yang mendengar mendesah pelan. Mereka tak menyangka jika Marco akan semarah itu.

"Bagaimana jika kita tetap ke Miami? Bila kita gagal dan tak menemukan petunjuk apapun, kita pergi ke Utara. Bagaimana?" tanya Irina mencoba memberikan solusi.

Semua orang terdiam terlihat memikirkan ucapan dari gadis yang baru ditemui mereka hari itu.

"Oke. Aku setuju. Setidaknya kita memiliki plan B dari misi kali ini," sahut Marco semangat.

"Seriously, Marco? Apa kau ingat jalan ke sana?" tanya Polo terheran-heran.

"Kita menaiki helikopter, Brother. Sepertinya kau perlu kurendam dalam teluk agar otakmu kembali jernih. Kau terlalu sibuk menyelamatkan dunia hingga mengabaikan kewarasanmu," sahut Marco santai menunjuk saudara kembarnya.

"Aku? Aku tak waras? Oh, oke! Ya, kau benar. Aku tak waras karena akulah satu-satunya orang yang tahu bagaimana cara memasak, membersihkan ruangan dan mencuci tangan sebelum makan," tegas Polo terlihat kesal sembari berdiri dan ikut bertolak pinggang.

"Hem, aku menyukai kejujuranmu, Brother. Ya, akuilah kesalahanmu. Kau akan tumbuh menjadi manusia yang bijaksana," sahut Marco berwajah lugu.

Polo menggaruk kepala dan memilih menjauh dari Marco yang membuatnya seperti orang gila.

"Aku ikut," sahut Chen si wajah Asia dan diangguki oleh semua orang yang sepakat dengannya.

Marco yang mendengar ucapan dari anggota timnya bertolak pinggang seraya mengangguk-angguk meski masih memasang wajah kesal.

"Aku maafkan sikap egois kalian semua. Berterima kasihlah pada Irina karena memberikan ide cemerlang. Berani berkhianat, aku tak segan melemparkan siapapun dari atas helikopter," ucap Marco mengancam dan semua orang menghembuskan nafas panjang seraya mengangguk paham meski tertekan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status