Polo akhirnya mendatangi saudara kembarnya yang malah memainkan kejantanan salah seorang Monster tersebut dengan ujung pistol dalam genggaman. Irina memalingkan wajah terlihat tak ingin ikut serta dalam pengamatan itu.
"Darahnya merah kehitaman. Secara logika, dia masih manusia, Polo. Mungkin bisa diibaratkan minyak dan air yang tercampur. Kita harus mencari seorang dokter atau ... profesor, atau ... petugas lab, atau siapapun yang bekerja di dunia medis untuk meneliti mereka. Memisahkan senyawa aneh di tubuh para monster ini. Mungkin, kita bisa menemukan obatnya," ucap Marco menunjuk darah para monster yang tergenang di lantai helikopter.
"Dokter? Kau berencana mencari ilmuwan di tengah reruntuhan dan hancurnya kota-kota di dunia? Begitu?" tanya Polo menegaskan dan Marco mengangguk cepat.
"Itu seperti mencari emas dalam kubangan lumpur, Marco. Selama bertahun-tahun, kita mencari manusia hidup dan hanya beberapa yang berhasil kita selamatkan. Tak ada satupun dari mereka seorang dokter," tegas seorang pilot yang menggantikan tugasnya tadi.
"Tabung!" sahut Irina tiba-tiba dari tempatnya duduk.
"Tabung apa?" tanya Polo bingung.
"Tabung yang menidurkan kalian hingga berpuluh-puluh tahun lamanya! Pasti ada petunjuk di sana. Tak bisakah kalian berdua pikir jika mungkin, mungkin saja ... ada jejak yang bisa kita dapatkan dari tabung tersebut," jawab Irina antusias sampai matanya terbelalak lebar.
"Ke Miami? Kau ingin kami kembali ke Miami? Hah! Yang benar saja! Tempat itu sudah seperti neraka! Kami hampir mati saat berusaha keluar dari tempat itu!" pekik Marco menolak keras.
"Tak bisakah kau pahami, Tuan Marco? Ayahmu yang bernama ... mm, sorry aku ...."
"Brian," sahut Polo dan Marco bersamaan.
"Ah, yes, itu maksudku. Dia menyuntikkan kalian sebuah vitamin. Lalu ... kalian tertidur dan terbangun dalam sebuah tabung. Bisa jadi, ayah kalian sengaja melakukannya. Bisa jadi, Brian tahu hal ini akan terjadi. Ia menyelamatkan nyawa kalian dengan memasukkan dalam tabung itu," ucap Irina menjelaskan penuh semangat.
Polo dan Marco terdiam.
"Damn! Aku selama ini menyalahkan ayah dan ibu karena meninggalkan kami," ucap Polo sedih menutup matanya dengan salah satu tangannya.
"Kita harus ke tempat tabung itu berada. Berharaplah, kita akan menemukan jejak keberadaan orang tua kalian. Semua hal baik masih bisa terjadi dalam keterpurukan ini," ucap Irina menyemangati para pria di depannya yang terlihat lesu.
"Bagaimana jika tidak ada?" sahut Polo terlihat putus harapan.
"Kita pergi ke utara. Jika kalian mencari manusia yang selamat, seharusnya mereka ada di sana. Aku yang menyarankan agar mereka berlindung di tempat dingin," ucap Irina yang membuat mata semua orang terbelalak.
"What? Benarkah? Masih ada manusia hidup dalam jumlah banyak di bumi ini?" tanya Marco memekik.
"Namun, aku tak tahu. Apakah orang-orang itu berhasil selamat sampai ke sana atau tidak. Kami ... berpisah di jalan," jawab Irina tertunduk sedih dengan mata kembali berlinang.
"Kita bisa pergi ke Utara, Teman-teman. Kita memiliki peluang hidup di sana," sahut pria berwajah Asia terlihat gembira mendengar berita tersebut.
"Kau bermaksud untuk meninggalkan kelompok demi hidup di Utara? Bersama para manusia penakut itu, begitu?!" pekik Marco marah dan mendorong dada pria Asia tersebut hingga terpepet dinding helikopter.
"Hei, hei, tenang. Kita harus menghargai keputusan Chen. Mungkin, ia sudah lelah ikut bersama kita, Marco," ucap Polo mendekap Marco dari belakang.
"Pengecut!" ucap Marco meludahi pria Asia yang terlihat tertekan tersebut. Semua pria berpakaian hitam dan bersenjata itu terdiam, terlihat ragu akan keputusan yang akan mereka pilih.
"Ya, kalian semua boleh pergi, tapi jalan kaki. Helikopter dan semua persediaan milik kami. Hanya dipertuntukkan bagi orang-orang yang masih ingin bertempur. Ingin pergi? Silakan. Kalian akan aku tinggalkan di sini. Aku sungguh menyesal menyelamatkan kalian kala itu jika tahu seperti ini balasannya. Menjijikkan," ucap Marco kesal dan melepaskan dekapan Polo di tubuhnya.
Polo dan semua orang yang mendengar mendesah pelan. Mereka tak menyangka jika Marco akan semarah itu.
"Bagaimana jika kita tetap ke Miami? Bila kita gagal dan tak menemukan petunjuk apapun, kita pergi ke Utara. Bagaimana?" tanya Irina mencoba memberikan solusi.
Semua orang terdiam terlihat memikirkan ucapan dari gadis yang baru ditemui mereka hari itu.
"Oke. Aku setuju. Setidaknya kita memiliki plan B dari misi kali ini," sahut Marco semangat.
"Seriously, Marco? Apa kau ingat jalan ke sana?" tanya Polo terheran-heran.
"Kita menaiki helikopter, Brother. Sepertinya kau perlu kurendam dalam teluk agar otakmu kembali jernih. Kau terlalu sibuk menyelamatkan dunia hingga mengabaikan kewarasanmu," sahut Marco santai menunjuk saudara kembarnya.
"Aku? Aku tak waras? Oh, oke! Ya, kau benar. Aku tak waras karena akulah satu-satunya orang yang tahu bagaimana cara memasak, membersihkan ruangan dan mencuci tangan sebelum makan," tegas Polo terlihat kesal sembari berdiri dan ikut bertolak pinggang.
"Hem, aku menyukai kejujuranmu, Brother. Ya, akuilah kesalahanmu. Kau akan tumbuh menjadi manusia yang bijaksana," sahut Marco berwajah lugu.
Polo menggaruk kepala dan memilih menjauh dari Marco yang membuatnya seperti orang gila.
"Aku ikut," sahut Chen si wajah Asia dan diangguki oleh semua orang yang sepakat dengannya.
Marco yang mendengar ucapan dari anggota timnya bertolak pinggang seraya mengangguk-angguk meski masih memasang wajah kesal.
"Aku maafkan sikap egois kalian semua. Berterima kasihlah pada Irina karena memberikan ide cemerlang. Berani berkhianat, aku tak segan melemparkan siapapun dari atas helikopter," ucap Marco mengancam dan semua orang menghembuskan nafas panjang seraya mengangguk paham meski tertekan.
Marco mengambil alih menjadi pemimpin tim kali ini karena Polo dan anggota lainnya tak mau berdebat dengan lelaki bermanik merah tersebut.Irina dan Polo memilih duduk di bangku karena lantai helikopter dipenuhi oleh peta serta perlengkapan komunikasi lainnya. Para anggota tim duduk melingkar mendengarkan instruksi Marco dengan seksama."Bagaimana kau bisa selamat sampai sejauh ini, Irina?" tanya Polo menatapnya curiga."Aku beradaptasi. Aku pernah bertemu pasukan militer sebelumnya saat serangan besar terjadi di Mexico. Aku ikut dalam kelompok mereka sampai ke titik evakuasi. Aku mengamati cara mereka mengunakan senapan, granat, peluncur misil dari RPG dan senjata lainnya. Hingga malam itu, ketika beberapa orang yang selamat akan diseberangkan ke Cuba menggunakan sebuah kapal, kami di serang entah dari mana para monster itu datang. Orang-orang terluka dan tewas," ucapnya terlihat berusaha untuk tetap tegar saat bercerita."Oke, lanjutkan," pinta Polo.
Irina menatap wajah Polo penuh selidik saat pria itu mengatakan hal yang menarik perhatiannya tentang sosok Marco dan kemampuan yang dimilikinya.Mata Irina kembali ke tablet yang menangkap pergerakan Marco saat ia mengendap ke balik semak tanpa diikuti oleh dua pria yang menjaganya.Mata Irina melebar ketika ia melihat pergerakan kameranya seperti sempat kabur beberapa detik lalu kembali jelas dan berubah kabur saat Marco bergerak."Apakah kita mengalami gangguan sinyal?" tanya Irina sembari membenarkan sebuah parabola portabel yang tersambung ke tablet dalam genggamannya."Itulah salah satu kehebatan dari Marco. Dia gesit dan sangat hebat dalam menyelinap. Ia juga bisa mencium bau dari jarak 1 kilometer. Oleh karena itu, dia tertarik padamu. Sepertinya baumu lain dari manusia yang pernah ia temui sebelumnya," sahut co-pilot yang tiarap di atas helikopter, membidik siapapun yang berusaha menyerang timnya."Wow! Apakah ..
Wajah semua orang serius seketika."Silent Gold?" sahut Polo seakan tak percaya dengan yang diucapkan oleh Irina dan Marco.Polo segera berdiri dan mendekatkan bilah pedang itu ke bawah cahaya lampu untuk melihat lebih jelas tentang senjata yang ditemukannya."Apa itu Silent Gold?" tanya Robin—pria berkulit hitam—yang ikut mengambil sebuah belati dan menggenggamnya erat."Aku hanya pernah mendengar kisahnya. Namun, ibu dulu mengatakan jika itu sebuah dongeng zaman peperangan. Apa jangan-jangan ... ah! Itu hanya mainan!" pekik Marco menyangkal ucapannya sendiri."Agh!" rintih Polo dan erangannya mengejutkan semua orang."Ada apa? Kau kenapa?" tanya Robin panik dan bergegas mendekati Captain-nya."Oh! Kau berdarah!" pekik Chen. Pria berwajah Asia itu segera membuka tas ransel untuk mengambil perlengkapan medis.Kening Irina berkerut. Ia melihat darah Polo berwarna merah kebiruan. Irina menat
Kesedihan dalam heningnya bunker menyelimuti hati semua orang. Irina berusaha untuk mengendalikan dirinya yang dirundung kesedihan. Marco menatap wajah Irina tajam yang berusaha tegar dengan terus menggergaji gembok untuk membuat suara berisik di dalam ruangan itu.Hingga akhirnya, Marco berhasil membuka seluruh gembok dari peti-peti yang berhasil diturunkan. Lucas dan Chen menyingkirkan peralatan makan mereka untuk bisa melihat lebih jelas isi dari peti-peti tersebut."Ini seperti membuka kado Natal, Polo. Jangan merusak kesenanganku, aku ingin membuka semuanya," ucap Marco dengan keringat membasahi keningnya."Oke, oke," jawab Polo pasrah mengangkat kedua tangan. Irina tersenyum melihat Polo begitu sabar menghadapi tingkah saudara kembarnya.Marco menggosokkan kedua tangan sambil menjulurkan lidah terlihat begitu bersemangat. Ia berjongkok di salah satu peti berwarna hitam yang memiliki tanda titik cet berwarna di bagian penutupnya.KLEK!
Semua orang terkekeh. Suasana dalam bunker ramai seketika. Polo meminta kepada Marco agar merelakan sepatu yang sudah dipakai oleh Chen dengan dalih pria Asia itu lebih membutuhkannya. "Kau pilih kasih, Polo! Mereka mendapatkan barang bagus, sedang aku hanya menjadi tukang congkel sedari tadi tanpa upah sedikitpun," ucapnya protes. Semua orang menahan tawa. "Hei! Barter kita belum selesai. Aku masih ingin tahu tentang kalian berdua. Aku sangat yakin, jika Marco dan Polo, bukan manusia biasa. Jangan bohong padaku," ucap Irina tegas seraya turun perlahan dari tiang besi tempatnya berpijak. Semua pria di sana ikut menunjukkan wajah serius di mana mereka juga ingin mengetahui lebih dalam tentang dua pria bermanik merah dan biru tersebut. "Wah, kita dikeroyok, Polo. Namun ... aku suka mendengar dongeng. Ceritakan mereka dengan petualangan kita," ucap Marco kembali tersenyum sembari mendatangi sebuah peti untuk melihat isinya. Polo mendesah
Robin memimpin di depan. Ia mengajak semua orang dalam kelompoknya untuk merangkak melewati sisi Timur dari Gym agar bisa memasuki kediaman Marco-Polo yang ditinggalkan selama puluhan tahun silam.Mata Polo mengawasi dari teropong senapan laras panjang berikut dua kawannya yang berada di atas helikopter. Mereka ikut melindungi meski jarak bidik terpaut cukup jauh.Marco memanfaatkan peluang dengan kembali menyemprotkan cet di sisi Selatan meski ukuran dinding kaca lebih luas. Ia berharap, ketika ia dan timnya kembali ke helikopter, pergerakan mereka tak ketahuan oleh para monster."Hah, kami berhasil, kami berhasil! Ya Tuhan, jantungku rasanya mau meledak," ucap Robin dengan nafas menderu, terdengar begitu santer dari sambungan radio."Hati-hati. Aku sudah menggambarkan peta rumahku. Itu sudah yang paling bagus sejak terakhir kali aku menggunakan telunjuk untuk melukis," jawabnya teringat ketika Fabio memberikan sebuah tablet untuknya un
Suasana duka menyelimuti ruang bawah tanah kediaman Marco-Polo. Robin dan lainnya mendekati tabung yang telah terbuka, tempat di mana Marco dan Polo tidur selama ini."Polo, sudahlah. Kita makamkan ayahmu," ucap Robin mendekati Kapten Tim seraya menepuk pundaknya pelan.Polo mengangguk dan menghapus air mata kesedihan di wajahnya. Robin dibantu oleh Hugo menurunkan mayat Brian dari atas dinding yang tertancap sebuah tombak berwarna hitam.Polo memegang tombak hitam yang terlihat tak biasa setelah ia amati. Mayat Brian yang telah mengering seperti mumi di baringkan di atas lantai ruang bawah tanah.KLEK!Polo tersentak berikut semua orang saat menyadari jika tombak itu bisa dipanjang-pendekkan. Kini, tombak hitam itu seperti sebuah tongkat sepanjang 30 cm. Ujung runcing di sisi kanan dan kiri tombak masuk ke dalam lubang tersebut.Marco mulai bisa menenangkan diri setelah Irina mengelus punggungnya lembut dan terus tersenyum padanya.
Tak terasa, hari sudah berganti lagi. Polo membagi anggota timnya untuk segera menjalankan tugas pertama dari misi yang telah ia susun.Edward dan Ritz yang berada di helikopter tetap ditugaskan untuk menjaga benda terbang tersebut. Mereka menjadi pengawas di sekitar kawasan kediaman Lopez-Brian."Oke. Tugas mengamati perilaku para Monster aku berikan pada Irina dan—""Aku, aku! Biarkan aku menemani Irina, Polo!" sahut Marco langsung mengangkat tangannya tinggi."Oh, oke," jawab Polo pasrah, senyum Marco terkembang. Irina hanya bisa diam menerima keputusan."Ayo, Irina. Kita mengamati dari Mercusuar saja. Di sana, kita bisa melihat seluruh kawasan sampai bibir pantai," ajak Marco menggandeng tangan kanan Irina dengan santai.Sedang, semua orang dibuat kaget karena Marco begitu agresif bahkan gadis cantik itu sampai tak bisa berkutik dengan sikap sok ramahnya."Lalu bagaimana dengan para monster yang berada di dalam rumah, Polo?