Marco mengambil alih menjadi pemimpin tim kali ini karena Polo dan anggota lainnya tak mau berdebat dengan lelaki bermanik merah tersebut.
Irina dan Polo memilih duduk di bangku karena lantai helikopter dipenuhi oleh peta serta perlengkapan komunikasi lainnya. Para anggota tim duduk melingkar mendengarkan instruksi Marco dengan seksama.
"Bagaimana kau bisa selamat sampai sejauh ini, Irina?" tanya Polo menatapnya curiga.
"Aku beradaptasi. Aku pernah bertemu pasukan militer sebelumnya saat serangan besar terjadi di Mexico. Aku ikut dalam kelompok mereka sampai ke titik evakuasi. Aku mengamati cara mereka mengunakan senapan, granat, peluncur misil dari RPG dan senjata lainnya. Hingga malam itu, ketika beberapa orang yang selamat akan diseberangkan ke Cuba menggunakan sebuah kapal, kami di serang entah dari mana para monster itu datang. Orang-orang terluka dan tewas," ucapnya terlihat berusaha untuk tetap tegar saat bercerita.
"Oke, lanjutkan," pinta Polo.
Irina menarik nafas dalam. "Aku berhasil selamat setelah seorang tentara melindungiku. Ia tewas, begitupula monster tersebut. Aku mengambil tas milik tentara itu yang ternyata berisi banyak persenjataan dan perbekalan. Aku terus berlari di sepanjang garis pantai dan berharap menemukan kapal untuk membawaku menyeberang, tapi ... aku tak menemukan apapun dan siapapun. Aku sendirian selama ini," ucap Irina meneteskan air mata.
"Kau menemukan kami, Irina. Kami para pejuang dan kami akan membantumu," sahut Polo yang mengejutkan gadis berambut cokelat itu.
"Benarkah? Kau akan membantuku mencari penawar dan temuan lainnya untuk menyelesaikan konflik ini?" tanya Irina dengan senyum kebahagiaan terpancar di wajah cantiknya.
"Dan, mencari dalang yang membuat berita bohong tentang wabah 'Monster' ini. Sungguh, aku ingin mencincang mereka dan kujadikan kudapan," sahut Marco terlihat geram yang ternyata pembicaraan Irina dan Polo ikut di dengar semua orang.
Senyum Irina merekah dan berterima kasih. Pilot memberitahukan jika badai mulai reda. Para awak melihat dari balik jendela saat awan bergerak pergi dan langit mulai bercahaya terang.
Polo menginstruksikan anak buahnya untuk mengeluarkan para monster yang telah tewas dari helikopter dan membersihkan bekas darah di lantai.
"Jadi ... kau terkena serum monster dan bisa mengendalikanya? Bagaimana caranya?" tanya Marco tiba-tiba berdiri di depan gadis bermanik hijau tersebut.
Irina yang matanya sibuk melihat para pria menggotong kantong mayat keluar dari helikopter, tak menyadari pergerakan Marco.
Irina terlihat gugup. Ia ketakutan dan tak berani melihat Marco yang menatapnya tajam penuh curiga sampai tubuhnya membungkuk hingga wajah mereka seakan menempel.
"Aku ... menyuntikkan obat penenang. Aku menggunakan narkoba," jawabnya terunduk.
Marco tersenyum miring dan malah berjoget riang."Yes, narkoba. Of, course. Jadi sebenarnya, Irina. Kita cukup mengumpulkan narkoba sebanyak-banyaknya untuk membuat para monster itu jinak. Benar 'kan?" tanya Marco senang.
"Itu tak bisa bertahan selamanya, Polo. Kau pasti paham dampak buruk dari narkoba jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama dan terus-menerus. Selain itu, di mana kita mencari barang itu? Milikku saja sudah hampir habis, hanya bisa bertahan selama sebulan dan pada akhirnya ... aku akan menjadi seperti mereka. Para monster," jawab Irina sedih dengan wajah tertunduk.
Marco menatap Irina tajam yang terlihat begitu sedih dengan keadaannya. Marco berjongkok dan memegang tangannya erat bahkan mengecupnya punggung tangannya. Irina tertegun.
"Aku sudah berjanji akan membantumu. Kita akan temukan obatnya tanpa kau harus memakai narkoba. Aku lelaki tampan, gagah dan pemberani. Aku menepati janji," ucapnya mantab, tapi membuat Irina terkekeh karena ucapan penuh percaya diri dari pria bermanik merah di depannya.
Polo yang melihat di kejauhan kedekatan Irina dan saudara kembarnya itu hanya terdiam. Ia kembali fokus pada misi barunya untuk menyelamatkan para manusia yang sudah terkena dari dampak serum monster tersebut.
"Polo! Kita berangkat sekarang! Hujan sudah reda dan cuaca kembali hangat. Para monster pasti akan segera menemukan kita," ucap co-pilot dan Polo mengangguk.
"Kita pergi!" teriak Polo menginstruksikan dan semua anggota segera masuk ke helikopter.
Pintu palka belakang kembali terutup dan helikopter lepas landas meninggalkan New York dengan tujuan baru ke Miami, tempat Marco dan Polo terbangun dari tidur lamanya.
"Home," ucap Polo lirih dari balik jendela saat helikopter melintasi lautan luas dan tak ada jejak perahu ataupun kapal di atas perairan itu.
Penerbangan dari New York menuju ke Miami membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam. Awan lembut mulai menyapa. Rembulan telah digantikan matahari pagi yang bersinar terang.
Semua anggota dalam tim yang berjumlah 11 orang termasuk Irina, sepakat untuk tak membunuh para monster. Mereka akan menggunakan gas bius untuk melumpuhkan para monster tersebut sembari mencari solusi untuk kesembuhan mereka.
"Waw! Silau sekali," ucap Marco saat pintu palka belakang helikopter terbuka. Helikopter berhasil mendarat dengan mulus di pinggir pantai tak terlihat kehidupan di sekitarnya.
Pria bermanik merah tersebut memakai kacamata hitam sembari berjalan menggenggam sebuah pistol berisi peluru bius.
"Marco, do you hear me? Kau yang meminta untuk menyisir sekitar. Berhenti bermain-main dan bergegas!" tegas Polo dari panggilan radio.
"Yes, i hear you, Brother," jawabnya berlagak sembari membenarkan earphone yang terpasang di kedua telinganya.
Marco dilindungi oleh dua pria di kanan-kirinya menuruni papan palka helikopter. Irina terlihat gugup saat ikut mengintai dari sebuah layar tablet yang diperlihatkan oleh Polo di dalam helikopter.
Mata Marco memindai sekitar dan terus berjalan dengan santai seperti sedang menikmati pemandangan dari kehancuran sebuah kota.
Tiga pria bersenjata peluru bius bersiaga di pintu palka untuk menghalau para monster yang kemungkinan akan menyerang.
"Aku memasuki kawasan Gym, Polo," ucap Marco melaporkan.
"Hati-hati, Brother. Kemungkinan besar masih ada monster di sana," jawab Polo terdengar serius.
"Roger that."
Marco dan tim mulai melangkah dengan lebih perlahan agar tak menimbulkan suara berisik yang memicu perhatian para monster saat memasuki reruntuhan bangunan.
Orang-orang itu telah mempelajari para monster yang tertarik dengan suara berisik dan benda bergerak. Mereka menyimpulkan, para monster akan bersikap agresif dan menyerang benda bergerak hingga benda tersebut tak bergerak lagi.
"Tahan," bisik Marco yang dengan sigap merentangkan tangan dan menghentikan langkah. Marco meminta dua orang di belakangnya berjongkok perlahan dan merangkak menuju Gym.
Wajah semua orang yang mendengar tegang seketika.
"Oh, shit!" pekik Polo saat melihat dari pantauan kamera mini yang terpasang di rompi anti peluru Marco bagian dada.
"Mereka tak bergerak, Polo. Apa karena terperangkap di dalam dinding kaca seperti kotak itu?" tanya Irina menebak.
"AC."
"What?" sahut Irina kembali ke layar tablet.
"Lihatlah. Ada AC dalam ruangan kaca itu. Benda itu menyala," tunjuk Marco.
"Oh, kau benar. Jika AC menyala, berarti ... listrik di tempat ini masih berfungsi. Pasti ada manusia yang selamat," sahut Polo menduga.
"Apakah ... itu ayah dan ibu? Mungkinkah ... mereka masih hidup?" tanya Marco terdengar penuh harapan.
"Ayo, kita cari tahu, Brother. Percayalah pada kemampuanmu. Kau pasti bisa menyelinap tanpa terdeteksi oleh para monster itu," ucap Polo yang mengejutkan Irina.
"Apa yang akan Marco lakukan?" tanya Irina penasaran.
"Kemampuan dari si mata merah," jawabnya tersenyum miring.
Lazo dan Safa menatap pria bermanik biru di depannya dengan saksama. "Kenapa mereka bisa bangun? Apakah tabung rusak?" tanya Safa menduga, dan semua orang selain pasturi itu mengangguk. "Lalu ... di mana kedua orang tuamu?" tanya seorang pria yang dulunya adalah salah satu pion dari kelompok mafia lain. "Akan kuceritakan sembari kalian bersiap. Ayo," ajak Yusuke. Safa dan Lazo mengangguk pelan. Polo disalami oleh dua orang yang baru saja bangkit itu. Polo tampak sungkan, tapi bisa merasakan jika dua orang itu cukup tangguh karena terlihat dari cara bersikap. "Asal kalian tahu, Lazo seorang pekerja kantoran sebuah perusahaan ternama di Jerman . Namun, itu hanya kedok saja. Ia dan isterinya adalah seorang petarung. Bahkan, saat sudah memilih menjadi warga sipil, keduanya melanjutkan profesi itu," bisik Lucy. "Petarung seperti apa?" tanya Bruno ikut penasaran. "Petarung bayaran. Mereka tak bisa meninggalkan profesi sebagai mafia seutuhnya. Dulunya, Benjamin Lazo dikenal dengan nama
Helikopter Marco terbang menuju ke bandara Seward karena kehabisan bahan bakar. Semua anggota Marco bersiap jikalau ada monster yang datang menyerang seperti kejadian beberapa hari yang lalu. Marco mencari titik pendaratan dekat lokasi bahan bakar. Semua anggota menyiapkan Rainbow Gas tanpa bom untuk melumpuhkan para monster karena mereka harus hemat amunisi. Perlahan, helikopter mendarat dekat sebuah hanggar. Hugo, Fabio dan Chen bersiap jikalau melihat monster mendekati kendaraan terbang mereka. Namun, sampai helikopter itu mendarat sempurna dan mesin dimatikan, tak ada satupun monster terlihat. "Cepat! Cepat!" pinta Lucas selaku co-pilot seraya keluar dari helikopter lalu mengambil dua derigen cadangan di dekat dudukan tempat tiga kawannya duduk. Marco segera keluar dan menggunakan indera penciumannya untuk memeriksa sekitar. Marco memberikan kode kepada kawan-kawannya jika tempat itu aman tak tercium keberadaan monster. Hugo memimpin di depan menuju ke tempat tong-tong bahan ba
Ternyata, Irina sungguh tak keluar kamar usai Sakura menginterogasinya. Kecurigaan Sakura dan Maksim semakin menguat karena gadis cantik itu mengurung dirinya di kamar hingga makan siang tiba. Marco dan timnya yang telah selesai mengamankan gedung dengan darah monster hasil kerja keras Maksim, segera masuk ke dalam hotel untuk menikmati makan siang yang telah dipersiapkan oleh para anggota Red Skull. Anak-anak membantu dengan membersihkan ruangan di hotel yang sering digunakan agar tetap rapi dan bersih. Keharmonisan terasa di dalam bangunan bertingkat yang kini dihuni oleh para manusia yang berhasil bertahan dari wabah monster. Para pria masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri sebelum berkumpul di ruang makan. Namun, saat Marco akan masuk ke kamar, ia terkejut karena pintu itu dikunci dari dalam. Marco mencoba mengetuk pintu berulang kali, tapi Irina tak kunjung membuka pintu kamar tersebut. Marco mulai panik karena tak ada tanggapan dari dalam kamarnya. "Irina! Irin
Anak-anak yang dikumpulkan di lobi, mendapat sambutan hangat dari anggota Red Skull dan Irina. Sakura sangat berterima kasih meski ia sedih setelah mengetahui jika Galina telah berpulang. Sakura berjanji akan mengunjungi makan Galina bersama Maksim nantinya. Malam itu, anak-anak diberikan kamar untuk mereka tinggal selama di tempat tersebut. Terlihat, anak-anak senang karena fasilitas dari hotel memberikan kenyamanan dan ada banyak orang dewasa di sekitar yang akan melindungi mereka. Namun, Irina malah mengurung diri di kamarnya tak ikut menyambut seperti yang lain. Gadis itu terlihat takut setelah mengetahui jika Sakura mengenal orang-orang yang telah tewas dari pihak 13 Demon Heads saat disebutkan oleh anggota Red Skull. CEKLEK! "Hem, pasti dia lelah," ucap Marco ketika kembali ke kamar dan mendapati Irina sudah tertidur di ranjang. Marco segera melucuti pakaiannya lalu membersihkan diri di kamar mandi yang berada dalam satu ruangan, meski terpisah dinding dengan ruang tidur. Tu
Kelompok Marco bergegas berlari mendatangi kelompok yang baru saja datang untuk mengamankan mereka dari serangan Monster. Kelompok itu terpaksa berpisah karena letak pendaratan helikopter. Marco berlari kencang mendahului kelompoknya karena ia mencium bau monster di sekitar wilayah itu. Marco panik, takut anak-anak itu terluka. Sedang Maksim, Fabio, Lucas dan anak-anak yang ikut bersama mereka terus berlari mendatangi gedung hotel tempat mereka berlindung nantinya. Namun, tiba-tiba saja .... "Horg!" "Serigala monster!" teriak Fabio lantang saat melihat tiga ekor serigala berlari kencang, muncul dari persimpangan jalan. Hewan-hewan itu terlihat beringas. Mata mereka menyala merah dengan air liur menetes dari rahang bergigi tajam tersebut. "AAAAA!" jerit anak-anak histeris. "Terus berlari! Jangan berhenti!" teriak Maksim berusaha sekuat tenaga mengikuti anak-anak itu. Fabio dan Lucas dengan sigap mengarahkan senapan laras panjang mereka untuk menjatuhkan para serigala. "Heaaahhh
Saat Irina tampak gugup karena ditatap tajam oleh kekasihnya—Marco—dan dicurigai oleh Maksim, tiba-tiba terdengar suara mesin gemuruh rendah dari kejauhan. Maksim, Irina dan Marco yang berada di atap gedung langsung menoleh ke asal suara. Mata mereka menyipit saat mendapati dua buah helikopter mendekat dengan sorot lampu menyilaukan menunjukkan posisi mereka di malam gelap. "Itu mereka! Itu pasti Sakura dan timnya!" seru Maksim gembira. Praktis, Marco dan Irina langsung berdiri ikut bahagia. Namun, mereka melihat cahaya berkedip dari dermaga tempat kapal dijaga oleh Chen dan Amy. Kapal mereka menjauh dari dermaga seraya terus menyuarakan klakson kapal. Irina melebarkan mata saat hidung Marco bergerak seperti mengendus. "Monster!" seru Marco lantang menunjuk ke bagian bawah bangunan. Mata Irina dan Maksim terbelalak lebar ketika melihat di jalanan, segerombolan manusia buas itu berlari ke arah mereka. Marco yakin, para monster itu pasti tertarik karena suara dan pergerakan helikopt