***"Tolong ....!"Teriakan minta tolong terdengar nyaring di ruangan pesta mengingat para undangan memang sedang melangsungkan acara bincang-bincang sesama rekan."Tolong ... hu ... hu ... hu ...."Aku menoleh ke sumber suara. Disana sudah berdiri Mbak Risa dengan dandanan yang sangat berantakan. Bahkan ujung bajunya terkoyak hingga menampilkan pahanya yang mulus."Mbak!" teriak Mas Ari terlihat sangat panik. "Kenapa bisa begini, ada apa?"Kami semua berdiri melihat keributan yang Mbak Risa perbuat. Ada apa dengannya? Bukankah barusan dia bertemu aku di kamar mandi, atau jangan-jangan ...."Ada yang sengaja mau nyakitin aku, Ar. Hu ... hu ... hu ....""Siapa ... siapa orangnya, apa dia berada di sini?"Mbak Risa mengangguk pasti. Tangannya terulur dengan telunjuk mengarah tepat di wajahku. Aku mencebik. Wanita ular itu memang pandai berakting. "Kurang ajar kamu, Hana! Apa yang sudah kamu lakukan pada Mbak Risa, hah?!" Mas Ari mencekal pergelangan tanganku kasar. Dia menarik tubuhku
***Mas Ari mendongak, sedetik kemudian kepalanya kembali tertunduk. "Ma -- Maafkan saya, Pak. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan seperti ini lagi.""Mbak!" desis Mas Ari, "Ayo minta maaf!" Dia menarik tangan Mbak Risa dengan kasar. Jelas sekali terlihat jika wanita itu enggan meminta maaf."Tidak perlu berlebihan. Bangunlah, kita nikmati lagi pesta penyambutan anak saya," ujar Bu Wira tanpa senyuman. Tidak biasanya wanita paruh baya itu terlihat dingin seperti ini."Tuh, dengerin kata Bu Wira, Ar. Nggak usah berlebihan. Lagian aku juga nggak salah-salah amat kok, Hana emang udah nyerang aku duluan tadi," bela Mbak Risa."Diam!" bentak Mas Ari. Aku terkekeh melihat wajah Mbak Risa yang nampak memerah menahan malu, entah marah, aku tidak tau. Kenan berlalu dan meminta MC yang bertugas untuk menutup acara malam ini. Raut kecewa tergambar jelas di wajah lelaki es itu membuatku merasa bersalah karena sudah mengacaukan acara penyambutan untuknya.***"Hana ... Hana ...! Keluar
*** "Berani maju, kutekan tombol kirim sekarang juga!" Mas Ari seketika mundur dan terlihat mengepalkan kedua tangannya. Aku mengibaskan tangan di udara, melenggang menjauhi Mas Ari yang masih terpaku di belakang. FLASHBACK ON .... "Berkas sudah saya ajukan ke pengadilan agama. Saran saya, Mbak Hana segera keluar dari rumah suami," ucap saudara Yu Tikah. Aku meremas sepuluh jemari dengan gelisah. Hendak kemana aku pergi sementara di kota ini aku tidak memiliki saudara. "Lebih baik kamu sewa kamar kos saja, Han." Yu Tikah mulai bersuara, "Di ujung kompleks ini ada tempat kos yang murah, nanti aku bantu tanya kesana." Aku mengangguk samar, "Tapi jika saya pergi sekarang, alasan apa yang harus saya berikan, Yu?" Yu Tikah tersenyum. Dia mengusap punggungku lembut. Entah bagaimana caranya aku bisa membalas semua kebaikan wanita ini. Dia benar-benar menjelma malaikat untukku. "Apa masih perlu alasan untuk pergi, Hana? Bukankah cukup dengan luka yang kamu terima selama ini untuk dij
*** Semua mata menatap tajam ke arah dimana Mbak Risa berdiri. Wanita itu celingukan dan berbicara dengan gugup, "Mak- maksutku kamu tadi sudah menuduhku bermain api dengan Ari. Kamu pasti ngatain aku wanita jalang, iya kan?" Aku tertawa, "Terserah. Talak aku sekarang juga atau kulaporkan tindakan kamu ke polisi," ancamku pada Mas Ari. "Laporkan saja. Lagipula kau tidak akan mampu membayar biaya laporan." Mas Ari tersenyum menyeringai. Mbak Risa bersedekap dada dan menarik ujung bibirnya menghadapku. "Aku akan membantu Hana," ujar Yu Tikah lantang. Mas Ari bangkit. Dia mengepalkan kedua tangannya. Matanya menatap Yu Tikah dengan tatapan yang entah, aku tidak bisa mengartikannya. "Jangan mempersulit dirimu, Ar. Talak wanita kampung itu. Dari dulu ibu tidak setuju kamu menikahinya. Wanita serakah!" "Tapi, Bu ...." "Tidak ada tapi-tapian! Talak sekarang juga atau kamu tidak akan bisa bertemu Ibu lagi!" Aku tersenyum. Dengan dukungan Ibu aku pasti bisa mendapat talak Mas Ari mala
Hai, flashback masa lalu Hana sudah usai ya, sekarang fokus dengan alur maju dimana pembalasan Hana untuk keluarga Mantan suaminya dimulai.***"Kamu sudah mengerti sejauh ini, Han?"Aku mengangguk, mulai menyalin data-data yang sudah diberikan oleh para staf di masing-masing devisi. Mengatur jadwal bertemu klien untuk seminggu kedepan. Tidak terlalu sulit sejauh ini karena Kenan juga masih membimbingku dan sesekali mengecek data yang sudah aku rekap."Kenapa Bapak justru meminta saya sebagai sekretaris? Padahal jelas-jelas saya hanya lulusan SMA," ucapku penasaran. Aku wanita dari kampung, seorang janda dan hanya lulusan SMA. Tapi tiba-tiba Kenan datang dan menawarkan pekerjaan padaku dengan jabatan yang lumayan bagus.Jika ditanya apakah para pegawai Ken's Property tidak ada yang menaruh dengki padaku, sepertinya ada, jelas tidak mungkin jika beberapa dari mereka tidak menyayangkan keputusan Kenan untuk memperkerjakanku sebagai sekretaris pribadinya. Secara, mereka bergelut di peru
***"Ma-- Maaf, Pak. Saya tidak sengaja," ucapku terbata. "Lagi-- Lagipula kan Bapak bisa bilang tanpa harus dekat-dekat seperti tadi," elakku membela diri."Kamu ...." Kenan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku. Dia meringis kesakitan sambil memegangi punggung menggunakan satu tangan. Kenan membetulkan posisi duduk dan kembali membelah jalan menuju kampung tempatku dilahirkan tanpa meladeni ucapanku barusan.Kuhembuskan napas kasar. Berada di dekat Kenan membuat jantungku berdebar tidak karuan. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Sesekali aku memejamkan mata mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Bagaimana mungkin aku bisa enak-enakan istirahat sementara Kenan sejak tadi menyetir. Berulang kali kulihat dia memijat punggungnya dengan satu tangan. Aku menggigit bibir bawah, merasa bersalah sekali karena sudah berburuk sangka dan membuatnya kesakitan."Maaf ya, Pak," ucapku lirih."Tidurlah atau kesalahamu barusan tidak akan kumaafkan!"Aku mengangguk cepat. Buru-buru
***"Kamu mau ijin saja, Han?"Aku terkesiap saat mendengar suara Kenan dari belakang. Hampir saja sayur daun katuk yang kutuang tumpah jika Emak tidak sigap menahan tanganku agar tidak keluar dari wadah sayur."Hati-hati, Hana!" tegur Emak. "Tanganmu bisa melepuh, itu panas," ucapnya khawatir.Aku mengangguk. "I-- iya, Mak."Sepagi ini Emak sudah menyiapkan sarapan untuk kami semua. Bukan hal yang baru, karena setelah sholat subuh Emak sudah sibuk berkutat di dapur."Tidak, Pak. Saya baru bekerja lalu tiba-tiba ijin, apa kata staf lain nanti?"Kenan menaikkan kedua alisnya. Dia berlalu begitu saja dan menghampiri Bapak yang tengah duduk di ruang tamu."Jaya sudah sukses ya, Nduk?"Aku mengagguk, "Sebelum bekerja dengan Pak Kenan, aku berjualan keliling setiap hari, Mak. Jadi kuli Mamanya Pak Kenan. Mereka orang-orang baik," ucapku menerawang jauh pada sosok Bu Wira. "Awalnya aku tidak tau kalau Pak Kenan itu ternyata Jaya, Mak. Emak tau sendiri kan kalau bocah tengil itu dulu buluk b
***"Saya turun di gang depan saja, Pak."Kenan menoleh. "Kenapa?""Ehm ... saya mau berangkat sendiri. Naik taksi.""Hem!"Mobil berhenti tepat di depan gang menuju rumah kontrakan kecil yang kutempati. Beberapa ibu-ibu sudah berkerumun di depan gerobak sayur Yu Srinah. Jadi sekarang yang keliling di komplek ini adalah Yu Srinah? "Kamu yakin tidak mempertimbangkan tawaran saya barusan?""Permisi, Pak," kataku enggan menjawab pertanyaan Kenan. Aku ... belum siap membangun rumah tangga baru setelah gagal menjalani rumah tangga bersama Mas Ari. Apalagi ... strata kita berbeda. Jelas ada banyak rintangan yang akan aku lalui nanti.Semua mata menatap ke arahku yang baru saja turun dari mobil Kenan. Setelah menutup pintu mobil, Kenan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Kulirik jam di pergelangan tangan, sudah pukul 08.00 pagi, satu jam lagi aku harus sampai di kantor."Aku kira siapa tadi, Han, nggak taunya kamu," seloroh Yu Srinah. "Enak ya yang sekarang udah jadi anak buah Mas K