LOGINHidup Cassandra Arwen yang tenang dan damai tiba-tiba berubah 180 derajat saat ayahnya menikah lagi. Sialnya, ayahnya menikahi ibu dari mantan kekasihnya, cinta pertama yang sulit dilupakan, Rexandra Adikara. Cassandra harus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, dan juga godaan sang mantan yang kini menjadi kakak tirinya. Saat cinta yang masih terpendam itu perlahan bersemi kembali, apakah Cassandra akan terjerumus atau memilih menjauh?
View More“Aku turun.”
Cassandra membuka pintu mobil ketika Ervan—kekasihnya—memarkirkan mobilnya di depan rumahnya. Tapi sebelum gadis itu turun, tangan Ervan menahan pergelangan tangannya membuat Cassandra menoleh. “Kenapa, Van?” Tanya Cassandra dengan dahi berkerut samar. Ervan tak menjawab, sebaliknya pria itu menarik tengkuk Cassandra, hingga jarak wajah keduanya sangat dekat. Mata Ervan tertuju pada bibir merah muda Cassandra, dan detik berikutnya, pria itu refleks memiringkan wajah dengan mata terpejam, hendak menciumnya, tapi Cassandra dengan cepat mendorong tubuh pria itu membuat Ervan membuka mata, menatap Cassandra heran. “Kenapa?” “Jangan, Van.” “Udah setahun kita pacaran. Kamu gak pernah biarin aku cium kamu. Kenapa?” “Aku belum siap.” Kata Cassandra lirih. “Jangan paksa aku, Van.” Gadis itu meremas roknya gugup. Ervan pun menghela napas panjang, lalu bersandar di jok. Ekspresinya jelas kecewa. “Aku bakal nunggu sampai kamu siap.” “Hm.” Cassandra mengangguk. “Aku turun dulu.” “Aku jemput kamu. Kapan kamu balik asrama?” Cassandra tak langsung menjawab. Gadis itu menunduk, melihat bayangan wajahnya di permukaan dashboard yang licin. “Aku belum tahu, Van. Banyak hal terjadi tiba-tiba. Papaku—” Dia berhenti, menggigit bibir bawahnya. “Papaku bilang dia mau menikah lagi. Tanpa cerita apa pun sebelumnya. Aku bahkan belum tahu siapa wanita itu.” Ervan menoleh cepat. “Nikah? Secepat itu? Kamu bahkan belum pernah cerita kalau dia punya pacar.” “Aku juga baru tahu,” jawab Cassandra lirih. “Dia bilang calon istrinya bakal datang malam ini.” Ervan mengusap wajahnya frustasi. “Kapan nikahnya?” Cassandra menggigit bibir bawahnya, menatap lurus ke depan. “Aku enggak tahu, Van.” Ervan mencondongkan tubuh, menatapnya wajah murung Cassandra dengan lekat. “Sayang, jangan sedih. Kamu bisa obrolin dulu sama Papa kamu. Aku temenin, ya?” Cassandra menggeleng pelan. “Enggak usah, Van. Ini masalah keluarga aku.” “Tapi—” “Aku turun dulu.” Potong Cassandra tersenyum kaku, segera membuka pintu mobil, menjejak lantai yang basah, menengadahkan wajah, menatap rumah besar bergaya klasik yang berdiri megah di hadapannya. Dengan langkah berat, gadis itu masuk ke dalam rumah itu. Begitu pintu terbuka, aroma parfum maskulin khas ayahnya langsung menyambutnya. “Cassie,” Suara berat itu memanggil. Seorang pria dengan setelan formal tampak berjalan dengan penuh kharisma ke arahnya. “Akhirnya kamu pulang juga, Cassie.” Ucap Alex, menatap lekat putrinya. “Pa, jelasin. Apa maksudnya? Papa pasti bercanda, kan?” “Papa serius. Papa sudah bilang jika papa akan menikah lagi.” “Pa, kenapa tiba-tiba? Siapa calon istrinya? Aku bahkan belum mengenalnya.” “Makanya papa meminta kamu pulang.” Alex menepuk lembut bahu putrinya. “Papa akan mengenalkannya. Papa yakin kamu akan suka. Sekarang persiapkan dirimu, sayang, karena sebentar lagi mereka tiba.” “Mereka?” dahi Cassandra berkerut, alisnya bertaut dalam. Melihat ekspresi itu, Alex tersenyum kecil. “Papa lupa cerita. Selain punya mama baru, kamu akan memiliki kakak tiri.” “Kakak tiri?” Suara Cassandra meninggi, mata bulatnya membelalak. “Benar. Kamu tidak akan sendiri lagi. Dia pria yang sopan, pintar, dan bisa menjaga kamu. Nanti kalian pasti akrab. Sekarang rias diri kamu. Papa ingin putri papa ini tampil cantik.” Ucapnya dengan nada perintah, menatap lekat manik cokelat Cassandra. Dalam hati Cassandra tersenyum pahit. Akrab? Dia bahkan belum siap punya ibu tiri, apalagi kakak tiri. “Tapi, Pa—” Cassandra menatap ayahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Semua ini terlalu cepat. Papa bahkan belum pernah cerita soal wanita itu.” Alex menatap putrinya lama, lalu menghela napas. “Papa tahu ini mendadak. Tapi Papa ingin kamu berusaha menerima. Papa sudah lama sendiri, Papa butuh pendamping. Lagipula … Lilian itu wanita baik. Sekarang, bersiaplah. Ganti pakaianmu, tata rambutmu. Papa ingin kamu tampil cantik malam ini.” Cassandra terdiam, lalu mengangguk perlahan. “Baik, Pa.” Gadis itu pun berjalan ke kamarnya dengan langkah gontai, kepalanya tertunduk kusut. “Hah.” Cassandra membuang napas kasar, mendudukkan diri di depan meja rias sambil menatap pantulan dirinya di cermin. “Mama tiri? dan kakak tiri? Aku bahkan tidak tahu mereka.” Gumamnya lirih. Tangannya bergerak pelan, menyisir rambutnya dan membiarkan helai hitamnya jatuh lembut di bahu. Tak lupa, Cassandra juga mengoleskan sedikit lip tint, lalu berjalan malas ke walk in closet mengambil gaun biru pastelnya dari dalam lemari dan memakainya cepat di tubuh indahnya. Ketika Cassandra turun kembali, jam menunjukkan pukul tujuh malam. Lampu gantung di ruang tengah sudah menyala terang, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat. Alex sudah menunggu di depan pintu, tersenyum bangga melihat putrinya. “Kamu cantik sekali, Cassie.” Cassandra hanya tersenyum samar, menutupi kesedihannya. “Makasih, Pa.” “Ayo, Nak. Kita jemput calon mama dan kakak tirimu.” Alex menatap lekat putrinya, menggenggam tangannya. Cassandra hanya bisa mengangguk, berjalan berdampingan dengan sang ayah ke halaman depan. Udara malam terasa sejuk. Lampu taman di luar sudah dinyalakan, dan dari kejauhan terdengar suara mesin mobil mendekat. Sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan gerbang. Dari balik jendela, Cassandra bisa melihat siluet dua orang. Pintu pertama terbuka. Seorang wanita turun dengan anggun, mengenakan gaun krem lembut dan perhiasan sederhana namun mahal. Rambutnya terurai rapi, wajahnya cantik dengan senyum yang tenang. “Lilian,” sapa Alex hangat, memeluk tubuh wanita itu. Cassandra memperhatikan dari jarak beberapa langkah. Lilian tampak mempesona dengan gaun kremnya dan aroma parfum lembut yang elegan. Wanita itu kemudian menoleh, tersenyum padanya. “Kamu pasti Cassandra, ya? Aku senang akhirnya bisa bertemu.” Cassandra hanya mengangguk dan tersenyum halus, membungkuk sopan memberi hormat. “Salam kenal, tante.” “Cassie sangat cantik.” Puji Lilian, senyumnya begitu hangat. Cassandra tersenyum, mulutnya sudah terbuka ingin menjawab, namun sebelum kata-katanya keluar, suara pintu mobil di sisi lain terdengar terbuka. Sepasang sepatu kulit hitam menginjak jalan basah, lalu perlahan muncul sosok pria bertubuh tinggi tegap—dengan bahu lebar, dan garis rahang tegas. Cassandra mengangkat wajah, menatap pria tinggi yang keluar dari mobil dengan jaket kulit hitam yang menutupi tubuh tegapnya. Rambutnya sedikit acak, tatapannya tajam. Dunia seolah berhenti berputar. Rexandra Adikara. Darah Cassandra seperti berhenti mengalir. Napasnya tercekat. Sementara itu, pria itu, Rexa, melangkah mendekat dengan santai, senyum miring terukir di sudut bibirnya. “Malam, Om Alex,” sapanya dengan senyum ramah, suaranya rendah—lalu menatap Cassandra, mata mereka saling terkunci. “Hai, Cassandra, ya?” “Sayang, ini Rexa. Dia akan menjadi kakak tiri kamu.” ucap Alex membuat tubuh Cassandra membeku di tempat, sementara kedua tangannya meremas ujung gaunnya dengan gugup. Bagaimana mungkin? Pria di depannya yang pernah menjadi cinta pertamanya, sekaligus luka pertamanya tiba-tiba saja datang kembali. Dan kini, menyandang status sebagai kakak tirinya? “Hai, Cassie.” Rexa menyapa lagi dengan ramah, melangkah mendekat, membungkukkan punggung tegapnya, lalu mensejajarkan wajahnya di telinga Cassandra. “Sepertinya mulai sekarang, kita akan sering bertemu.”Duar! Bagaikan dihantam petir di siang bolong, dunia Cassandra seolah runtuh seketika. Seluruh sendinya terasa lepas, membuat tubuhnya nyaris merosot dari kursi pasien. Pandangannya mengabur sesaat sebelum dia kembali menatap wajah dokter di hadapannya dengan mata membelalak. “H-hamil?” Ucapnya tercekat, suara itu nyaris tak keluar dari tenggorokannya. Kata itu bergema di kepalanya. Hamil. Bagaimana bisa? Di dalam rahimnya kini bersemayam sebuah kehidupan? Pertanyaan itu berputar-putar tanpa jawaban. Lututnya melemas, tangannya gemetaran hebat, membuatnya terpaksa berpegangan pada sisi ranjang pemeriksaan. Wajahnya yang semula pucat kini kian pasi, menyisakan rona kelabu yang menyedihkan. Dokter yang duduk di hadapannya mengernyit, menatap Cassandra dengan raut heran. Bukankah kabar kehamilan seharusnya disambut buncah bahagia? Namun, gadis di depannya justru tampak seperti baru saja menerima vonis mati. “Nona,” dokter itu menegur lembut, bangkit sedik
“Ugh!” Langkah Cassandra melambat begitu keluar dari toilet. Tenggorokannya masih terasa perih, perutnya melilit seolah belum selesai memberontak. Dia mengusap sudut bibirnya dengan tisu, lalu menarik napas dalam-dalam, mencoba menegakkan punggungnya yang terasa rapuh, dan kembali berjalan di lorong ICU yang dingin dan sunyi. Bau antiseptik langsung menyambutnya lagi, menusuk hidung, membuat perutnya kembali bergejolak. Dan di sanalah Kai. Pria itu berdiri tepat di depan pintu ruang ICU, bersandar pada dinding dengan ponsel di tangan. Begitu melihat Cassandra keluar dari arah toilet, tubuhnya langsung menegang. Tatapannya menyapu wajah wajah pucat gadis itu, mata sembabnya, dan rambut yang berantakan menempel di pelipis. Lalu matanya turun. Ke tangan Cassandra yang refleks menekan perutnya sendiri. “Kamu muntah lagi?” Tanya Kai cepat, langkahnya melebar menghampiri, nada suaranya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran. Cassandra hanya menggeleng, tak ingin membu
Cassandra terduduk tegak tapi rapuh di kursi sebuah ruangan yang dipenuhi bau antiseptik dan dengung mesin yang tak pernah benar-benar mati. ICU. Di hadapannya, Alex terbaring tak bergerak, dengan selang oksigen yang terpasang di hidungnya, dan monitor jantung di samping ranjang yang memantulkan garis hijau naik-turun dengan irama yang teratur. Sudah dua minggu. Dua minggu sejak dokter mengatakan bahwa Alex koma, Cassandra tak pernah melewati sedetikpun untuk menjaga pria itu. Gadis itu menatap Alex dengan mata sembabnya, wajah yang pucat dan juga lelah. Sembari menggeser kursinya sedikit lebih dekat, Cassandra meraih tangan dingin ayahnya dengan sangat lembut. “Pa ….” Gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Air matanya kembali menetes, membasahi pipi pucatnya itu. “Aku di sini.” Tapi tak ada jawaban. Tak ada juga gerakan. Dada Cassandra terasa sesak, hatinya begitu perih seperti dikoyak-koyak melihat keadaan ayahnya saat ini. “Pa, bangun.” Lirihnya d
Cassandra menangis pilu, wajahnya sudah sembab, matanya memerah, dan tubuhnya goyah setelah mendengar perkataan sang dokter yang memvonis ayahnya, Alex, koma. Rexandra yang berdiri di sampingnya langsung berjongkok di hadapan gadis itu, merengkuh tubuh ringkihnya ke dalam pelukan. “Xa, Papa koma, Xa. Papa koma.” Suara Cassandra bergetar lirih, tangisnya makin kencang, bahunya berguncang hebat, dan napasnya tersengal, seolah udara di lorong rumah sakit itu tak lagi cukup untuknya. Dan Rexandra tidak bisa melakukan apa-apa lagi, selain memeluknya lebih erat, mencoba menyalurkan ketenangan yang bahkan tak dia miliki sendiri. “Xa, semua gara-gara kita. Harusnya kita nggak memulai hubungan ini. Harusnya kita nggak seperti ini!” Raungnya sambil mencengkram dadanya sendiri, menekan sesak yang merayap. “Hubungan kita nggak salah, Cassie.” Ucap Rexandra pelan tapi tegas, masih dalam posisi memeluk gadis itu, dagunya bertumpu di puncak kepalanya. “Kita saling mencintai. Dan itu bukan dos
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ratings
reviewsMore