Share

Perjodohan

Aku membuka mataku, kepalaku masih terasa berat. Pandanganku masih kabur, apa yang terjadi?

"Sudah sadar, Nawang." Kudengar Suara Ibu. 

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, mulai jelas terlihat siapa saja yang berada di kamarku. Ada Ibu di sampingku dan mbak Asih. Mbak Asih menggosok-gosok tanganku yang dingin agar terasa hangat. 

"Nawang kenapa, Bu?" Aku bertanya lirih. 

"Kamu pingsan tadi," jawab Ibu. 

"Pingsan?" tanyaku. 

"Iya, kamu belum makan dari pagi, ya? Kata Mbok, kamu gak ada makan." Aku terdiam mendengarkan Ibu.

Aku baru ingat, keluarga calon suamiku sedang menungguku tadi. "Keluarga mas Bayu, sudah pulang Bu?" Aku bertanya, berharap mereka sudah pulang. 

"Belum, mereka juga mencemaskan keadaanmu." Perkataan Ibu membuatku agak kecewa. 

"Asih, rapikan Adekmu. Ibu mau ke depan lagi. Kasih makan dulu dia," titah Ibu ke mbak Asih. Lalu keluar kamarku menemui lagi calon menantunya itu. 

"Udah Dek, nurut aja. Mbak tau, kamu sedih. Tapi percaya sama Mbak. Ibu pasti memilihkan yang terbaik buat kita." Perkataan mbak Asih, ada benarnya.

Aku sudah memutuskan, tapi kenapa masih berharap Ibu akan berubah pikiran. Semoga mas Bayu akan bisa menggantikan posisi mas Dimas di hatiku. 

★★★KARTIKA DEKA★★★

"Ayune calon mantuku," puji Mama mas Bayu, begitu melihatku. 

"Sudah sehat kamu, Ndok?" tanyanya. 

"Sudah, Bu." Aku menjawab dengan tertunduk. 

"Karena gugup aja Jeng. Mau ketemu calon mertua." Ibu menimpali, untuk menutupi hal yang sebenarnya. 

"Baiklah, berarti kita sudah sepakat. Pernikahan Bayu dan Nawang akan dilaksanakan satu bulan lagi, terhitung dari sekarang," kata Pakde sebagai juru bicara dari keluarga kami, membuatku tak bisa memikirkan hal lain lagi. Berarti saat aku tak sadarkan diri tadi, telah terjadi kesepakatan antara dua keluarga. 

Aku bertekad, mulai sekarang, aku harus mengenal mas Bayu lebih dekat lagi. Belajar mencintainya seperti aku mencintai mas Dimas. Mas Bayu lah yang akan menjadi pelabuhanku. 

Mas Bayu terus saja memperhatikanku, membuat aku risih dan agak salah tingkah. 

"Baiklah, kami pamit dulu. Hari sudah semakin larut." Papa Mas Bayu berpamitan.

"Bu, boleh saya sering kesini? Sepertinya Nawang perlu mengenal saya lebih dekat." Aku terhenyak mendengar perkataan Mas Bayu yang meminta izin ke Ibu, sebelum mereka pergi. Apakah dia bisa mendengar suara hatiku?

"Boleh banget nak Bayu. Memang kalian harus sering-sering ketemu. Biar pas harinya tak canggung lagi." Aku jadi salah tingkah mendengar ucapan Ibu.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Sejak hari itu, hampir setiap hari Mas Bayu datang. Dia sampai harus kos di dekat rumahku. Karena bila harus bolak balik dari rumahnya, akan cukup memakan waktu dan tenaga. Butuh waktu tiga jam, bila ditempuh dengan sepeda motor dari rumahnya ke rumahku. 

Sementara untuk pekerjaannya, sementara di handle orang kepercayaannya. 

Sejauh ini, aku mengenal mas Bayu sosok yang menyenangkan. Hanya dia tak humoris seperti mas Dimas. Kepribadiannya agak pendiam. Tapi, bila ada pembicaraan yang menarik. Bisa sangat nyambung bicara dengannya. 

Namun, aku belum merasakan getaran di hatiku saat bersamanya. Dia belum lebih dari sekedar sahabat buatku. Biarlah waktu yang menjawab. Yang penting sejauh ini aku merasa nyaman. 

Sudah tiga minggu ini, komunikasi intens kami lakukan. Keluargaku pun mulai direpotkan dengan persiapan menjelang pernikahan, yang akan dilaksanakan seminggu lagi. 

"Mas, besok pulang ke rumah. Kita ketemu lagi di hari pernikahan. Mas harap, Nawang tak berubah pikiran," katanya sebelum pulang. 

Aku hanya menatapnya. Meski komunikasi kami sudah lumayan akrab. Lidahku masih kaku untuk membalas perkataannya barusan. 

"Hati-hati Mas." Hanya itu yang keluar dari mulutku, saat dia sudah ada di dalam mobilnya. Aku terus memandangi mobilnya hingga tak terlihat lagi.

"Ini undangan buat Dimas." Ibu menyerahkan satu buah undangan tertulis nama Mas Dimas di kolom penerima. Sesaat setelah mas Bayu pergi. 

"Apa harus Bu, mengundang Mas Dimas?" tanyaku. Aku berpikir tak perlu menyakiti mas Dimas lagi dengan mengundangnya. 

"Harus malah. Biar si Dimas itu tau diri," sinis Ibuk.

"Kamu harus ditemani Mbok Ijah. Jangan sendirian, Ibu gak ada waktu lagi nemeni kamu. Masih banyak undangan yang belum diantar." Aku sedikit lega mendengar perkataan Ibu. Berarti aku punya waktu lebih untuk meminta maaf dengan Mas Dimas. Aku harus mibta maaf, karena tak bisa menepati janji. Janji kami untuk kelak mengarungi bahtera rumah tangga bersama.

"Mbok! Mbok Ijah." Ibu memanggil mbok Ijah. 

"Ya, Bu." Mbok Ijah datang dari arah dapur dengan tergopoh-gopoh.

"Nanti temani Nawang ya. Laporan sama saya kemana aja dia pergi. Mbok harus mengawasi Nawang, kalo lengah sedikit saja. Mbok saya pecat!" tegas Ibu sembari berlalu. 

Mbok Ijah manggut-manggut tanda menurut, meski dari wajahnya terlihat bingung. Aku hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Ibu.

"Buk, cepetan keburu siang," panggil Bapak dari luar rumah. 

"Iya, Pak." Ibu keluar kamar, mempercepat langkah kakinya menemui Bapak yang sudah lebih dulu masuk ke mobil.

Hari ini Bapak dan Ibu akan bertolak ke kampung Ibu yang tak seberapa jauh jaraknya. Hanya butuh waktu dua jam perjalanan. 

"Kita pergi jam berapa, Mbak Nawang?" tanya mbok Ijah. Mengejutkanku yang masih berdiri di teras rumah.

"Sekarang saja Mbok. Saya ambil tas dulu." Aku langsung masuk, mengambil tas ke kamarku.

"Iya Mbak," jawab mbok Ijah patuh.

★★★KARTIKA DEKA★★★

"Assalamualaikum, Bu," salamku ke Ibu mas Dimas yang kebetulan ada di teras rumahnya. 

"Waalaikum salam … Nawang." Ibu mas Dimas agak terheran melihatku. Apa mas Dimas sudah cerita ya, tentang hubungan kami yang sudah putus? Aku mencium  tangan Ibu Mas Dimas dengan takzim.

"Mas Dimas … ada Bu?" tanyaku ragu. Apakah Mas Dimas mau menemui ku?

"Tadi pergi sebentar. Nah, itu dia," tunjuk Ibu mas Dimas ke arah jalan di depan rumahnya. Terlihat mas Dimas lagi mengarah ke rumah dengan motornya. 

"Ibu tinggal dulu ya." Ibu mas Dimas masuk ke dalam rumahnya, begitu mas Dimas sudah memarkirkan motornya di halaman rumahnya.

"Nawang … sudah lama?" tanya mas Dimas terkesan formal. Sepertinya dia sudah bisa menerima perpisahan kami. Aku sedikit kecewa, padahal baru sebulan.

"Baru aja Mas." 

"Ada perlu apa?" Aku agak serba salah mendengar pertanyaannya. 

Kukeluarkan undangan dari dalam tasku. Dan memberikan padanya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Dimas menerima dan membukanya. 

"Jadi minggu depan kamu akan menikah? Kamu cantik di sini. Dia lelaki yang beruntung, bisa mempersuntingnya." Setiap kata yang keluar dari mulut mas Dimas, yang mengomentari poto prewedku dan mas Bayu, seolah sembilu yang menusuk relung hatiku. 

"Kalo Mas gak bisa datang … gak papa." Aku menundukkan wajahku. Tak berani menatap lelaki yang masih kucintai ini. 

"Insha Allah, Mas datang." Aku mendongakkan kepalaku, seolah tak percaya mendengarnya. 

"Mas yakin?" tanyaku tak percaya. 

"Mas sudah ikhlas. Mas ingin menitipkan kamu langsung ke suamimu. Apa dia tau, kita pernah ada hubungan?" Pertanyaannya kujawab dengan anggukan. 

Aku memang menceritakan semuanya ke mas Bayu. Tak ingin ada yang ditutupi. Aku tak ingin kelak mas Bayu tau dari orang lain. Justru akan menjadi kerikil dalam hubungan pernikahan kami.

"Yah, sebaiknya begitu. Sudah sore, sebaiknya kamu pulang. Calon pengantin, tidak baik berlama-lama di luar rumah."  

Aku menelan salivaku, dia mengusirku dengan cara halus. 

"Nawang pulang Mas. Sekali lagi maafkan Nawang. Sampaikan salam Nawang ke Ibu," kataku bangkit dari dudukku diikuti oleh Mbok Ijah.

"Selamat ya." Mas Dimas mengulurkan tangannya. Aku tak lantas menyambut uluran tangannya. Netra kami saling beradu. Dia terlihat tegar. 

"Makasih Mas." Kusambut uluran tangannya, masih hangat. Sama seperti dulu.

Di perjalanan aku terus berusaha menghapus sisa-sisa bayangan mas Dimas. Aku sudah memilih, tak sepantasnya memikirkan orang lain. Seminggu lagi, aku akan sah menjadi istri mas Bayu.

CIIIITT

Suara ban berdecit.

"Mbak Nawang, awas!"

★★★KARTIKA DEKA★★★

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status