 LOGIN
LOGINRumah tangga kami baik-baik saja, kami memiliki satu anak perempuan yang sangat cantik dan lucu usianya empat tahun. Suatu hari Mas Angga suamiku, pergi dinas ke Bandung selama enam bulan. Selama itu juga hubungan kami masih terjaga dengan baik, sampai aku mendengar kabar Mas Angga menikah dengan tetangga tempatnya tinggal. Rupanya mereka...
View MoreWanita muda yang diperkirakan usianya sebaya denganku menatap dengan tatapan sedih. Sesekali ia menoleh ke arahku, dan kembali menundukan kepala, seolah ingin menunjukkan berapa ia merasa menyesal.
Aku pun merasakan hal serupa, dimana hatiku hancur berkeping-keping setelah tahu bahwa wanita yang ada di hadapanku itu adalah Kinan, istri kedua suamiku. Mas Angga dan Mbak Kinan menikah sekitar dua minggu lalu, pernikahan yang dilangsungkan di Solo, tempat kelahiran Mbak Kinan dirahasiakan dariku. Hubungan keduanya memang sudah dekat sejak enak bulan lalu, hanya saja aku tidak menaruh curiga sedikitpun. Kupikir hanya sebatas tetangga dan tidak mungkin sampai berakhir sampai ke pelaminan seperti saat ini. Bagaimana perasaanku saat ini saat melihat semuanya terlanjur terjadi? Sedih dan hancur. Aku merasa begitu sedih, melihat suami yang kukira mencintaiku dan hanya menjadikanku sebagai satu-satunya wanita dalam hidupnya, ternyata berkhianat. Butuh waktu beberapa hari untuk meyakinkan diri datang ke Bandung, hanya ingin memastikan apakah benar suamiku Mas Angga, menikah lagi dengan tetangganya Mbak Kinan. Informasi tersebut diketahui, setelah Mas Aldi memberitahu, bahkan Mas Angga menikah lagi. Awalnya aku tidak percaya, tapi setelah melihat beberapa gambar yang sempat diambil oleh Mas Aldi, barulah aki percaya. “Hana.. “ suara Mas Angga terdengar, aku menoleh ke arahnya. “Jadi, benar kalian sudah menikah?” tanyaku dengan suara bergetar. “Aku bisa jelaskan.” ucapnya, tapi aku melihat keraguan dan kebingungan di wajahnya. Mungkin jika saja hari ini semua rahasianya tidak terbongkar, hubungan mereka akan tetap tertutup rapat.. “Ibu dan Ayah tau?” tanyaku penasaran. Jujur, aku ingin tahu sejauh mana Mas Angga berbohong padaku, apakah dia juga melibatkan keluarganya untuk mengelabui ku. “Tidak.” jawabnya lemah. “Aku belum berani mengatakannya, dan aku harap kamu pun mau merahasiakannya.” Hatiku seperti kembali dihantam batu besar, bagaimana mungkin setelah pengkhianatan ini terbongkar, Mas Angga masih ingin merahasiakannya dari ibu dan ayah. “Aku nggak mau mereka kecewa.” “Apa?! Mas nggak mau melihat mereka kecewa tapi Mas udah bikin aku dan Adiba kecewa!” Sentakku, “Mas Minta maaf.. “ “Mas tega menyakiti kami, padahal aku sudah merasa yakin, dan menaruh kepercayaan yang begitu besar pada Mas Angga, tapi?” Aku kembali menangis, padahal aku sudah meniatkan diri untuk tidak menunjukkan bagaimana rapuhnya aku saat ini. “Maafin Mas, Hana. Mas, harus menikahi kinan.” “Lalu kami? Aku nggak mau di madu, Mas bisa pilih sekarang, aku atau Mbak Kinan.” “Mas nggak bisa memilih, Hana. Mas sayang kalian berdua,” “Apa?!” Aku terkejut dengan jawaban Mas Angga, bagaimana mungkin dia bersikap begitu serakah dan tidak mau memilih salah satu diantara kami. “Baiklah, kalau Mas Angga nggak bisa memilih, biar aku yang memutuskan. Aku minta cerai, Mas!” “Hana, nggak bisa gitu.” Mas Angga mendekat. “Kita bisa bicarakan baik-baik, jangan mengambil keputusan sepihak kayak gini.” Aku menepis tangannya, yang hendak meraih tanganku. “Lalu, bagaimana dengan Mas Angga sendiri? Mengambil keputusan untuk menikah lagi tanpa menanyakan bagaimana perasaanku. Jangan egois Mas! Aku juga masih punya hati!” Kedatanganku menemui Mas Angga dan Mbak Kinan tidak menemukan titik terang, apakah kami akan berpisah atau tidak. Tapi yang pasti aku sudah terlanjur sakit hati dan memutuskan untuk pulang malam itu juga, mengabaikan larangan Mas Angga yang terus memintaku tetap tinggal. Sosok suami yang terlihat begitu mending keluarga, ternyata bisa berkhianat juga. Padahal selama ini hubungan rumah tangga kami terlihat begitu harmonis dan baik-baik saja. Ternyata di balik kebaikan suamiku, dia menyimpan rahasia yang begitu besar dimana ia menjalin hubungan dengan wanita lain. Perselingkuhan itu dimulai saat enak bulan lalu, saat Mas Angga ditugaskan di salah satu rumah sakit daerah di bandung. “Anak siapa itu, Mas?” tanyaku, saat melihat wajah anak kecil di layar ponsel suamiku, Mas Angga. “Anak Mbak Kinan, tetangga sebelah.” jawabnya. “Mamahnya kemana? Ko sama kamu?” tanyaku lagi. Mas Angga terlihat begitu akrab dengan anak kecil itu, mungkin karena profesinya sebagai dokter anak, yang membuatnya memiliki ketertarikan pada anak kecil tidak hanya pada Adiba saya, putri kami. “Mamanya lagi istirahat, baru pulang shift malam. Kasihan belum tidur sama sekali.” Mas Angga merangkul anak lelaki itu, “Adiba mana, Bu? Nggak kedengeran suaranya?” tanya Mas Angga karena saat kami melakukan panggilan video call, Adiba tidak terlihat. “Lagi sama Ibu di depan, jagain toko bunga. Aku sedikit nggak enak badan, makanya ke belakang dulu, istirahat.” jelasku. Sudah dua hari ini aku merasa tidak enak badan, meriang dan kerap tiba-tiba pusing. “Udah minum obat?” “Udah.” jawabku singkat, sambil merebahkan tubuh di atas sofa. “Ya sudah, istirahat saja dulu. Nanti kalau masih belum mendingan, berobat aja atau aku minta Mas Andi bawain kamu obat.” “Iya.” “Kalau begitu sudah dulu, ya? Aku mau jagain Aldan dulu, kasihan ibunya butuh istirahat.” “Iya.” jawabku singkat. “Salam untuk Adiba, bilang ayah kangen.” Aku hanya menggumamkan samar. Pergantian cuaca memang kerap membuat kondisi tubuh melemah, apalagi aku yang kerap tidur larut malam, membuat penyakit sangat mudah datang. Ternyata sejak saat itulah hubungan keduanya terjalin, karena mereka berdua tinggi di satu lingkungan yang sama dan intensitas pertemuan yang kerap terjadi diantara keduanya menimbulkan benih-benih cinta dan berakhir di pelaminan.“Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya
“Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n
Beberapa orang datang, berkerumun hendak menolong. Aku menoleh ke arah Pak ojek, lelaki itu tergeletak tidak berdaya bahkan tidak terlihat pergerakan sedikitpun, hanya tertelungkup dengan helm penutup kepalanya lepas entah kemana. Yang membuatku semakin terkejut yakni saat melihat darah segar mengalir dari hidung dan keningnya. Lelaki tua itu mengalami luka parah, tidak seperti diriku yang masih dalam keadaan sadar, walaupun aku tidak bisa menggerakkan salah satu kakiku. Entah terkilir atau parah, aku tidak tahu pasti. Sakit dan panik bercampur aduk, beberapa orang langsung menolong kami. Aku dibawa oleh seorang lelaki, memangku tubuhku dan segera dilarikan ke ruang IGD. Aku masih terus menoleh ke arah Pak Ojek, dan lelaki itu masih belum juga sadar. Aku semakin takut dibuatnya.“Tolong berbaring, kami harus memeriksa.” seorang perawat menginstruksikan padaku untuk diam, namun aku masih belum bisa tenang sementara bapak itu
“Hana, kenalkan ini anak ibu namanya Angga,” . lelaki berparas tampan itu tersenyum, mengangguk samar dan mengulurkan tangannya. “Angga Permadi, dan kamu Hana, kan?” Aku malu saat hendak membalas uluran tangannya, bahkan bibirku tiba-tiba kelu hanya untuk menjawab sapaan darinya. “Iya, Mas. Hana,” balasku dengan hanya mengangguk samar, tidak berani membalas uluran tangan darinya. “Cantik, kan?” tanya Ibu lagi, yang membuatku semakin malu saja. “Iya, cantik sekali.” Pujian yang begitu membekas dalam hatiku sampai saat ini. Sekelebat bayangan dimana kami pertama kali bertemu terus berputar dalam ingatan. Saat paling mendebarkan dalam hidupku untuk yang pertama kalinya, dimana aku benar-benar merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki pada pandangan pertama. Parasnya yang tampan, tutur katanya yang begitu santun, bahkan perlakuan
Sampai pukul dua siang, Mas Angga tidak kunjung kembali. Entah kemana dia pergi, aku tidak berani menghubunginya walaupun sangat ingin tahu. Aku berusaha keras untuk tidak terlihat masih berharap, bertarung melawan keinginanku sendiri yang benar-benar membuatku merasa semakin kacau. Ayah datang tiga puluh menit lalu, aku pun memutuskan untuk pulang saja. Tidak berani meninggalkan Adiba terlalu lama, yang aku titipkan bersama ibu panti. Saat melewati lorong rumah sakit menuju lobi utama dimana aku memesan ojek online,tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya sedikit familiar. Tidak ingat pasti siapa sosok itu, namun wajah dan senyumnya sedikit familiar.“Masih ingat saya?” dia menyapa, walaupun awalnya aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya, tapi sudah terlanjur menyapa, akhirnya aku pun menoleh.Jujur aku hanya ingat sekilas wajahnya saja, tapi nama dan kapan kami bertemu aku tidak dapat mengingatnya.
Jika saja kondisi ibu membaik dengan cepat, mungkin aku dan Mas Angga akan segera memproses kelanjutan hubungan rumah tangga kami yang sudah tidak terselamatkan lagi. Satu Minggu berlalu, kondisi ibu semakin memburuk saja dan hubungan kami pun tidak kalah buruk. Yang aku dengar dari Mas Aldi, Mbak Kinan datang ke Jakarta, menyusul Mas Angga yang tidak kunjung kembali ke Bandung, mengingat kondisi ibu yang semakin memburuk.Aku tidak tahu pasti dimana Mbak Kinan tinggal saat ini, sebab aku pun masih bolak-balik antara rumah ibu dan rumah panti. Aku tidak punya tempat tinggal pasti saat ini, seperti terombang-ambing tanpa kepastian. Bukan hanya status saja, tapi tempat tinggal pun sama tidak pastinya.“Makan, Hana. Jangan bengong terus.” suara ayah membuyarkan lamunan ku.Terlalu bingung hingga membuat ku kerap melamun tidak jelas. “Iya, Ayah.” aku menatap kembali piring berisi nasi goreng buatan Mbak Asti yang sebelum
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments