"Mau pergi kemana kamu, buru-buru sekali?" tanya Alexander Guan penasaran, ketika melihat Arsenio menuruni anak-anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Pakaiannya pun sangat rapi, seakan ada acara penting yang harus dihadiri. Namun, saat berada di ujung anak tangga, Arsenio bungkam dan gelagapan. Bola matanya bergerak cepat ke kiri dan kanan. Seolah sedang berusaha menyembunyikan sesuatu."Kenapa diam? Sebenarnya kamu mau pergi kemana? Di mana Bastian? Mengapa tidak bersama kamu?" cecar Alexander Guan meradang, lantaran tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut putra semata wayangnya itu.Bastian yang selalu menempel di sisi Arsenio, memang tidak menunjukkan batang hidungnya. Alexander Guan, mempertanyakan hal tersebut. "Saya di sini, Tuan." Bastian datang dari arah belakang. Langkahnya terhenti satu meter dari Arsenio dan yang lainnya. Sebelum Arsenio bisa menjawab, Bastian sudah lebih dulu berkata. Pembawa Bastian yang tenang, tidak memudahkan seseorang untuk bisa meneb
[Baiklah. Aku tunggu kamu di rumah.]"Kau mendengarnya sendiri bukan? Saat ini Arsenio sedang dalam perjalanan menuju kemari. Aku sudah mengikuti semua perintahmu!" Elisha mengakhiri sambungan telponnya dan membuang benda pintar itu ke sembarang tempat. Kemudian, menjatuhkan tubuh seksinya ke sofa, memasang wajah geram sambil melipat kedua tangan di dada. Leonardo berdiri tidak jauh dari Elisha. Memasang senyuman dingin tanpa berkedip. "Orang-orangku akan mengawasi kalian saat Arsenio datang. Jangan coba-coba melawan atau aku akan berbuat lebih jauh dari ini!" ancam Leonardo sebelum akhirnya melenggang pergi dari ruangan tersebut.Dua pria memakai kaos hitam lengan pendek dan ketat itu, mengekor kepergian Leonardo.Sementara itu, Malik menatap dingin punggung Leonardo, sampai benar-benar hilang dari pandangan.PLAAAAAKKKKK ....Tidak ada angin tidak ada hujan, Malik menampar pipi Elisha begitu saja tanpa alasan jelas, saking kencangnya tamparan sampai meninggalkan bekas merah di waj
Leonardo beringsut dari sofa, mengayunkan kaki pasti, menghampiri Elisha di ujung anak tangga. "Mari, Tuan Putri." Setelah mengikis jarak, Arsenio mengulurkan tangan kanan, sedikit membungkuk, menunjukkan kesan romantis layaknya pangeran di negeri dongeng.Elisha tersipu malu, berseri-seri sembari menutup mulutnya dengan tangan kiri. Merasa terkesan dengan perlakuan sang kekasih, yang begitu romantis. "Terima kasih." Dia mengangkat tangan kanan, kemudian Arsenio meraihnya cepat. Dikecupnya punggung tangan itu dengan sentuhan lembut. Elisha makin klepek-klepek dibuatnya, tetapi, Arsenio seperti ingin muntah sekarang. Meski tertekan, ia mencoba untuk menunjukkan senyuman terbaik.Arsenio mendongak, dapat terlihat oleh netranya sebuah alat pelacak berukuran sangat kecil menempel di antara Berlian, di kalung yang Elisha kenakan.Berkat Sistem Mafia, membuat panca indera Arsenio semakin tejam. Terutama pada mata. Ia seolah memiliki ketajaman bagaikan singa yang sedang memburu mangsanya.
Terpisah jauh dari hiruk pikuk kota Sky Blue City. Sebuah desa yang masih asri. Dikelilingi perbukitan dan lahan-lahan yang ditumbuhi sayur mayur, milik warga setempat. Seorang gadis ayu beberapa waktu terakhir, bermalam di salah satu rumah di sana. Menghabiskan hari-harinya tanpa tekanan pekerjaan yang begitu memberatkan. Ponselnya berdering sesaat ia menyelesaikan makan mie instan untuk mengganjal perut. Seseorang mengirimkan pesan singkat, ia buru-buru membacanya.[Pak Ketua memintamu untuk kembali. Supir akan datang menjemput!]Sekiranya itulah yang tertulis dalam pesan singkat tersebut. Gadis cantik bermata indah itu, sengaja tidak membalas.Dia langsung saja beranjak dari ruang makan yang hanya dilapisi karpet, serta terdapat sebuah meja berukuran sedang dan berkaki pendek di sana. "Ibu!" Gadis itu berteriak sambil mencari-cari sosok wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibu."Iya, Sayang. Ibu ada di dapur." Wanita yang dimaksud pun menyahut. Menyudahi aktivitas cuci piring ya
Jalanan beraspal Sky Blue City. Meskipun hari sudah gelap, tidak serta merta membuat jalanan menjadi sepi. Sebaliknya, malah ramai. Kafe dan tempat makan yang berada di pinggiran jalan, banyak dikunjungi. Baik mereka yang baru pulang bekerja, maupun yang duduk santai sekedar mengobrol dengan kawan. Sementara itu, Arsenio duduk nyaman di kursi penumpang, sesekali memijat kepalanya yang mulai terasa sakit lagi. Selalu saja begini, jika terlalu banyak pikiran.Satu hal yang sangat mengganjal pikirannya, yaitu pernikahannya dengan Elisha. Acaranya akan dilangsungkan dalam sepuluh hari dari sekarang. Meskipun ini masuk dalam rencana untuk dapat menghancurkan Kampak Kembar, tetap saja harus dipikirkan matang-matang. Satu kali saja salah mengambil langkah, maka hancur semua.Bastian yang fokus mengemudi, tertangkap beberapa kali menengok ke belakang melalui kaca spion kecil yang menempel di kaca mobil, tepat di atas kepala."Apa Tuan Muda ingin istirahat sejenak? Mungkin pergi ke suatu temp
Satu jam berlalu. Arsenio, dengan ditemani Bastian, serta Dokter Kris sudah berada di ruangan Anindira dirawat.Biarpun hanya mengalami luka ringan akibat menabrakkan diri ke mobil, Anindira mendapatkan perawatan di ruang VVIP. Arsenio yang menginginkannya. "Bagaimana kondisinya sekarang, Dokter?" Arsenio bertanya kepada pria setengah baya itu. Raut wajahnya begitu serius, menandakan ia cukup mencemaskan gadis ayu, yang terbaring tak berdaya di ranjang itu. "Tidak ada yang perlu dicemaskan, Tuan Muda. Anindira hanya mengalami luka ringan saja," papar Dokter, yang memeriksa kondisi Anindira tadi. "Lalu, kapan dia akan bangun?" Arsenio melipat kedua tangan di dada dan sedikit mengelus dagunya. "Tidak akan lama lagi, dia akan bangun, Tuan Muda," jawab Dokter itu yakin.Benar saja, hanya berselang beberapa detik, Anindira menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Jari telunjuk kanannya mulai bergerak, lalu disusul jari-jari yang lainnya.Dokter buru-buru memeriksa Anindira. Arsenio mengha
"Jangan pergi! Temani aku di sini. Aku sangat ketakutan!" Kalimat itu terus terngiang-ngiang di benak Arsenio, meskipun ia sudah berada jauh dari Anindira. Pelukan hangat serta suara lembut Anindira, seolah masih melekat pada raganya. Begitu sulit untuk dilupakan begitu saja. Apakah pengaruh wanita sebegitu kuatnya, sampai hanya dengan satu kalimat saja sudah membuat seorang pria mabuk kepayang?Ketika menjalani hubungan dengan Elisha dulu, Arsenio tidak pernah merasakan hal demikian. Kemungkinan karena Elisha tidak benar-benar mencintainya?Arsenio menghela napasnya berat, berat berulang kali, "apa kau mengetahui informasi tentang orang tua Anindira?"Arsenio berkat pelan. Sikut tangan kanan menempel pada jendela, sedangkan telapaknya menopang kepala. Ia merasa sangat lemas karena nyeri di bagian kepala sungguh menyiksa. Bastian melirik dari balik kaca spion kecil, "orang tua, Anindira?" Kening Bastian mengerut. "Apakah ia masih memiliki orang tua? Saat melamar pekerjaan di All S
Sementara itu, masih dalam lingkungan All Star Hospital, tetapi berbeda situasi. Anindira pun pergi ke rooftop, untuk menenangkan diri. Ia merasa bosan karena terus-terusan berada di kamar. Terlebih tidak ada kawan yang bisa diajak bicara.Sebenarnya ia tidak mau masuk dalam pusaran konflik ini, tetapi keadaan telah memaksanya untuk masuk dalam jurang. "Ibu ..." Anindira memanggil lirih sosok wanita yang begitu melekat dalam benak. Entah, bagaimana kabar wanita itu sekarang? Sudah siuman atau belum? Anindira pun tidak tahu. Merasa gelap dan putus asa. "Maafkan, Anindira, Bu. Seandainya Anindira tidak meninggalkan rumah dan membiarkan Ibu sendiri, mungkin kejadian ini tidak akan Ibu alami ..." Ia berucap pelan. "Kalau saja aku tahu, bahwa pria itu berencana melukai Ibu, aku tidak akan pernah sudi bertemu dia lagi!"Penyesalan memang datangnya selalu belakang. Tidak mungkin di awal. Kini, Anindira begitu membenci Around. Bahkan jijik menyebutnya ayah.Ada satu alasan besar, yang men